Sekali lagi Adnan mencoba menjawab kesalah pahaman Karina padanya di masa lalu. Sebelum akhirnya dia memilih melangkah meninggalkannya. Adnan tahu Karina tetap bergeming tak bergerak di tempat ia berpijak. Dia bahkan tak mendengar suara langkah wanita itu.
Adnan meninggikan suara, mengingatkan Karina kalau saat ini Nayra dan putranya pasti telah menantikan kehadiran mereka. Terdengar Karina mulai melangkah setelahnya, membuntuti langkah Adnan meski dengan sangat perlahan.
Malam itu mereka makan malam dengan lancar, meski ada beberapa keriuhan di meja makan saat Nayra terus saja mengoceh membuat Karina kadang tersedak. Adnan tak melewatkan sedetik pun waktu yang berlalu untuk encuri pandang pada Karina di seberang meja melalui ekor matanya.
Andai Karina tahu, betapa Adnan mencintainya. Adnan bahkan bisa mengenalinya dari rasa masakan yang ia masak.
Pria tampan berperawakan tegap dan macho
Karina menatap langit-langit kamarnya. Seperti biasa, Mama Ina dan Ayub sudah berangkat ke rumah tetangga, mencari teman main untuk sang cucu. Dan akan pulang nanti setelah senja, saat langit sudah mulai berwarna jingga.Karina menyembunyikan kepalanya di dalam bantal, mencoba menepis semua pikiran tentang Adnan yang silih berganti hadir seperti udara yang berputar. Bahkan air mata tak mampu membawa pergi semua kenangan itu.Setelah lelah bolak-balik tidak jelas di atas tempat tidur, Karina pasrah pada kehendak hati. Ia duduk di tepi tempat tidur, membenahi diri dan perasaannya. Turun dan merangkak di depan tempat tidur sembari meraba sesuatu jauh di bawah kolong.Menarik sesuatu dari bawah sana. Sebuah kotak usang yang berdebu. Karina membuka kotak itu, mengeluarkan isinya satu persatu. Sampai sebuah foto terjatuh dari lipatan sebuah buku yang ia pegang tadi.Dia meraih foto itu, menatapnya. Di sana
Hari ini Karina memilih pulang ke rumah sendiri. Dia ingin membakar buku diary yang menyimpan semua kenangan dirinya dan Adnan. Berharap jika buku diary itu sudah ia musnahkan, semua rasa itu akan ikut musnah bersamanya.Dia memilih menghindar, takut ketahuan Mama Ina atau Papa. Dia sudah memasukkan buku diarynya ke dalam tas. Melangkah keluar kamar seperti seorang pencuri. Jantungnya berdetak cepat, seolah akan melakukan sebuah kejahatan. Padahal tak satu orang pun selain dirinya yang tau, kalau dia akan membakar semua kenangannya bersama Adnan."Karin, mau kemana pagi-pagi begini?" Suara Mama Ina tiba-tiba membuat ia terhenyak kaget."Eh, Ma-mama, Ka-karina mau pulang ke rumah dulu, Ma. Ma-mau lihat-lihat." jawabnya tergagap karena kaget.Mama Ina mengernyit bingung, tidak biasanya Karina gugup seperti itu. Seperti menyembunyikan sesuatu. Mama Ina tersenyum, menepuk pundak Karina menenangkannya.
Nayra bergegas menuju motor, begitu keluar dari Bank mengambil uang transfer dari kakaknya. Saat motornya sudah melaju, dia nyaris saja ditabrak oleh dua orang pemuda yang membawa motor secara ugal-ugalan.Sesuatu jatuh dari tas kedua pemuda itu. Nayra berteriak memanggil, tapi laju motor mereka terlalu kencang hingga tak mendengarkan panggilan Nayra. Nayra menghentikan motor begitu dia sampai pada benda tadi. Turun dan mendekati benda itu secara perlahan.Ia mengamati benda itu yang ternyata sebuah buku diary, di sampulnya tertulis dengan indah dua nama 'Aska dan Kara'. Nayra tersenyum geli, dia mengingat buku diary-nya yang di Jawa. Nyaris sama seperti buku itu meskipun buku diarynya berwarna pink. Sementara buku diary yang dipegangnya sekarang berwarna biru.Nayra memasukkan buku itu ke dalam tas, lalu bergegas pulang ke rumah. Sebelum gumpalan awan hitam di langit, tumpah menjadi hujan deras. Petir dan kilat sudah mu
Nayra sekali lagi membolak-balik buku diary itu, sampai dia menemukan apa yang dia cari di balik sampul belakang buku itu. ASKA(Adnan sayang Karina) dan Kara(Karina rindu Adnan).Nayra tersenyum membaca tulisan itu, dia penasaran ingin mengetahui lebih jauh tentang hubungan mereka berdua. Namun, karena ia sudah sangat kelaparan, maka dia putuskan untuk ke dapur dulu, masak dan makan. Dia masih punya banyak waktu untuk mengintip, apa yang sebenarnya terjadi dengan suami dan sahabatnya itu di masa lalu.Usai makan siang dan berbenah, Nayra kembali meloncat ke tempat tidur. Meraih buku diary Karina dan mulai kembali tenggelam ke dalam kisah asmara kedua manusia yang begitu ia sayangi. Dia menyayangi Adnan sebagai temannya berbagi kepahitan dan menyayangi Karina sebagai sahabatnya berbagi keceriaan. ***Makassar 04 Juni 2007Tak
Makassar 05 Juni 2007Pagi diary!Apa kabarmu pagi ini? Jangan bertanya tentang kabarku. Ketika bangun dinihari tadi, aku merasa apa yang terjadi semalam itu hanya sebuah mimpi indah yang amat manis. Ah ... jika ini hanyalah sebuah mimpi, tolong! Jangan terlalu cepat membangunkan aku. Biarkan aku tetap tertidur memeluk erat mimpi ini.Bukan berlebihan diary!Apa kau tahu siapa Adnan Iskandar itu? Ya, dia adalah pria tampan dengan mata seteduh laut biru, bibir tipis yang menawan. Tatapannya, apa kau tahu diary? Tatapannya mampu menembus jantung tepat di tengah-tengahnya. Senyumannya seperti membenamkan aku ke lautan fantasi paling indah.Saat ini, aku seperti si buruk rupa yang beruntung mendapatkan cinta pangeran impian. Ah ... Adnan, aku jatuh cinta ...! Tolong jangan terlalu cepat mematahkan hatiku yang sedang berbunga ini.***Makassar 10 Juni 2007Tak terasa sudah seminggu kami jadian, mesk
Setelah merawat luka di sikunya yang tadi tergores aspal, Karina mengurung diri di kamarnya. Ayub yang merasa ibunya butuh sendiri pun, hanya bisa menatap Karina iba. Ketika Karina melangkah tanpa tenaga menuju kamar dan menguncinya. "Ibu! Kalau Ibu butuh apa-apa, Ibu panggil Ayub, ya!" Suara Ayub dari arah pintu kamar, membuat Karina meneteskan air mata. Ini semua karena buku diary itu. Buku yang ingin ia musnahkan begitu tiba di rumahnya nanti, tapi takdir berkata lain. Buku diary itu raib digondol copet, beserta tas, alat make-up, dan HP-nya. "Iya, Sayang. Maaf ya, ibu butuh sendiri dulu!" lirih Karina lemah. "Iya, Bu, Ayub paham." Suara langkah yang menjauh membuat Karina yakin kalau Ayub sudah pergi dari balik pintu kamarnya. Karina menggenggam erat dompet di tangannya, "Untung dompetnya kelupaan, kalau tidak, semuanya benar-benar akan kacau." Untuk yang pertama ka
Karina berdiri mematung di emperan toko yang sama, saat pertama kali bertemu dengan pria asing pemilik jaket itu. Menunggu ojek yang akan mengantarnya ke rumah Tante Tiara. Papa Karina menyuruhnya merawat adik perempuan satu-satunya yang lagi sakit. Karena anak Tante Tiara cowok semua dan sudah pada kerja. Jadi tidak ada yang merawat dan menjaga saat beliau sakit begini. Beberapa menit kemudian, ojek membawa Karina melaju menuju rumah Idham.Karina melangkah membuka gerbang rumah, berjalan ringan menuju pintu."Assalamu alaikum!" serunya meski tak ada jawaban dari dalam. Karina memutar knop pintu, ternyata tidak terkunci. Ia melangkah masuk dan menutup kembali pintunya."Tante! Tante! Tante Tiara ...! Dham ...!" panggil Karina berulang kali, tapi tak mendapat jawaban. Tiba-tiba Karina kebelet pipis, dengan setengah berlari ia menuju kamar mandi di samping dapur.Brugh!Begi
Karina masih bermalas-malasan di kamar, setelah acara makan siang dan segala ritualnya selesai (berbenah dan cuci piring). Tantenya lanjut istirahat, usai ia minum obat dibantu oleh Karina.Sementara Idham dan Raka, mereka heboh berdua di ruang tengah. Karina terlihat suntuk sendiri di kamar, tapi gara-gara kejadian tadi, dia enggan untuk bergabung dengan mereka.Tok... Tok...Karina melengos malas ketika tiba-tiba pintu kamar diketuk dari luar, "Pasti si Idham, mau jahil lagi!" gerutunya, "apa!?" bentak Karina kesal."Ceila, jangan ngambekkan dong, Kak. Bercanda kita!" teriaknya dari luar."Bodo', Pergi sana! Aku mau tidur!""Kak ... entar nyesel, loh," godanya lagi, sambil mengetuk pintu menggunakan irama gendang dangdut. Membuat emosi Karina benar-benar merambat ke ubun-ubun, dia melangkah keluar tidak sabar menjitak kepala adik sepupunya itu.
Karina duduk di sisi taman menerawang jauh ke masa lalu, masa di mana ketika dia masih berjuang. Bergelut dengan kehidupan, mencari makna dan kemana arah langkah yang akan ditempuh.Tak jauh dari tempatnya duduk, Raka dan Ayub terus berlari memperebutkan bola ke sana ke mari seolah tak pernah lelah. Mereka tertawa lepas, seolah duka tak pernah singgah pada raut wajah itu.Wajah-wajah yang pernah disinggahi rindu yang sangat menyiksa. Mata yang pernah dibanjiri oleh air mata kekecewaan dan penyesalan. Itulah hidup, sejatinya tak ada yang mudah. Semua butuh pengorbanan, perjuangan, dan kesabaran.Tak ada seorang pun manusia yang dilahirkan, bisa memilih jalan dan akhir dari hidupnya sendiri. Karena takdir selalu melenggang mengikuti kehendak SANG Pencipta. Sedang manusia hanya bisa berusaha semampu, sebisa mereka. Karena pinish-nya tetap urusan Allah.Karina pernah begitu mencintai Adnan. Pernah
Raka dan Ayub tengah tertidur dengan saling memeluk satu sama lain. Mereka begitu damai dalam lelap mereka. Seulas senyum merekah di sudut bibir Karina menatap kedua prianya.'Makasih Tuhan, telah membuka mataku untuk dapat melihat semua kebenarannya sebelum terlambat. Jika tidak, mungkin aku akan jadi manusia yang paling menyesal karena telah salah menilai Kak Raka.' bisik hati Karina. Dia menutup mata merafal syukur pada Sang Pemilik segala dalam hati.Ponsel-nyq berdering, tepat saat akan merebahkan tubuh di samping sang suami. Dia membatalkan niat untuk tidur dan segera beranjak menjauh dari kedua orang yang tengah terlelap itu. Takut suaranya akan mengganggu atau bahkan bisa membangunkan mereka.Dengan perlahan membuka pintu kamar, lalu menutupnya kembali begitu sudah berada di luar. Melangkah menuju halaman belakang dan menjawab panggilan yang sudah berdering dari tadi.Karina menjawab panggila
Adnan yang saat itu kebetulan keluar rumah mematung takkala mendapati sosok Karina dari kejauhan. Wanita itu tengah berjalan santai bersama suami dan putranya yang tampan. Mereka perlahan menjauh meninggalkan pekarangan rumah.Sudut bibir Adnan tersungging saat mengingat reaksi kedua Suami-Istri itu, saat tadi dia menggoda mereka tentang Furqon. Adnan begitu menikmati sekelebat kecemburuan yang berkilat di mata Raka setiap kali dia dengan sengaja menggoda Karina."Karin, aku mengikhlaskan kau bahagia dengannya. Bukan karena di hatiku tak ada lagi cintamu, tapi karena aku ingin kau bahagia. Cukup sudah derita kau pikul, cukup beban duka menghimpitmu. Kini saatnya kau tersenyum dan bahagia," bisiknya.Adnan menutup pintu, kembali ke dalam. Semua barang-barang yang akan dia bawa besok, sudah terkemas rapi dalam ransel besar berwarna hitam yang tergeletak di sudut ruangan. Raka terlentang dengan tatapan kosong menerawang jau
Setelah salat Isya, Karina dan Raka kembali ke ayunan di taman belakang, tempat favorit mereka sejak pertama kali mereka berdua menempati rumah itu. Mengulang kembali setiap detik indah yang sempat terenggut paksa oleh jarak dan situasi.Berkali-kali Raka mendekap erat Karina dengan penuh cinta, melepaskan semua kerinduan yang selama ini mengendap di dasar jiwanya. Sama seperti Karina yang tak bisa lepas lagi. Mereka kembali menikmati kebersamaan yang indah di atas ayunan yang menjadi sejarah indah awal mula cinta antara mereka tumbuh.Karina tak lagi segan membiarkan Raka tenggelam dalam kisah Karina tentang Surabaya dan semua yang dia alami di sana. Beberapa kali kilatan amarah terlihat di mata Raka ketika Karina sampai pada kisah tentang Nathan.Karina sangat lega. Lewat sudah duka yang selama ini memayungi rumah tangga mereka. Kini saatnya membuka lembaran baru, menata kembali semua yang sempat terserak di anta
Air mata menetes satu persatu luruh menindih ketegaran seorang Karina yang memang berhati selembut kapas, dia menatap Adnan yang juga mulai berkaca. Pria itu pasti sangat menyesal ... telah menyakiti Nayra selama ini meski mungkin tanpa menyadarinya."Aku akan ke Surabaya menyusul Nayra, dia pasti terpuruk sendiri di rumah sebesar itu. Ibu baru saja meninggal dan aku satu-satunya orang yang seharusnya menguatkan, justru menjadi manusia yang paling menyakiti," ucap Adnan penuh penyesalan."Kau tidak salah, Ad. Bukankah selama ini kau tidak tahu dengan perasaan Nayra yang sebenarnya?" ucap Karina berusaha menguatkan Adnan, tak ingin melihat pria itu rapuh di saat-saat seperti ini."Aku telah jadi teman berbagi kepahitan dengannya, tapi aku bahkan tak bisa peka untuk menyadari. Kepahitan yang justru aku sendirilah penyebab dari itu semua." Adnan mulai meracau menyalahkan diri sendiri."Ad, kapan kau aka
Sudah sebulan lebih sepasang suami istri itu dilanda perang dingin. Mereka hanya bicara satu sama lain ketika ada Ayub di tengah-tengah mereka atau saat ada orang luar yang datang bertamu.Seperti saat ini, mereka hanya diam dalam sekat ruang yang sama. Karina dengan novel tebal di tangan dan Raka dengan game di Hp-nya. Mereka laksana sepasang merpati terbang rendah yang tak saling menyapa.Suara ketukan dari arah pintu membuat Karina dan Raka yang tengah duduk berjauhan di ruang tamu seketika kompak menatap ke arah yang sama. Karina bangkit membuka pintu, untuk sejenak dia mencoba berdiskusi dengan akal sehatnya. Melihat Adnan berdiri mematung di ambang pintu membuat otak Karina bleng."Adnan, ka, kau ...?" tanya Karina dengan separuh nyawa yang tak lagi menetap.Wanita yang kini tengah mengenakan hijab hijau lemon itu panik bukan main, dia bisa mati berdiri kalau kedua pria ini bertemu. Raka
Usai makan malam bersama semua anggota keluarga mertuanya, Raka memboyong istri dan anaknya pulang. Ayub sudah keburu tidur di atas motor ketika mereka sampai. Raka mengambil alih putranya dari pangkuan Karina dan menggendong bocah itu hati-hati takut dia terbangun.Karina bergegas membuka pintu pagar dan pintu rumah, membiarkan Raka masuk lebih dulu. Tak ada percakapan ataupun gelak canda tawa romantis, seperti yang selalu tercipta di keluarga kecil mereka dulu. Hanya ada kebungkaman satu sama lain. Ada jarak tak kasat mata di antara mereka.Tepat saat tangan Karina sudah menyentuh stang motor, Raka muncul di ambang pintu, memintanya turun. Karina yang memang malas berdebat langsung patuh, dia memutar tubuh untuk menutup pintu gerbang.Tatapan mata mereka bertabrakan ketika Karina kembali masuk ke dalam ruang tamu. Raka sudah duduk di sana menatap tajam dengan tangan ditepuk-tepukkan pada paha. Karina membuang muka hend
Karina bergegas turun dari motor ketika Kayra sudah berdiri menatap di ambang pintu dengan tatapan seolah melihat setan. Karina melangkah ragu menghampirinya pun saat tiba-tiba adiknya itu menghambur memeluknya dengan terisak."Kak, aku pikir aku akan kehilangan Kakak untuk selama-lamanya. Aku pikir aku akan kehilangan Kanseku!" ucapnya dengan bahu terguncang dalam pelukan Karina, membuat air mata Karina ikut luruh."Karin, Kau!?" pekik papanya dari dalam membuat Karina mengangkat wajah menatap pria tua itu dengan tubuh gemetar ketakutan.Pria tua itu melangkah maju menyingkirkan Kayra dari pelukan Karina dan memeluk putri sulungnya dengan erat, seolah Karina akan pergi jauh dari kehidupan mereka selamanya. Karina kaget dengan perlakuan papa yang tadinya dia pikir dirinya akan diamuk dan dimarahi habis-habisan, tapi justru diperlakukan sehangat ini."Jangan pernah pergi lagi, Nak! Kau bisa memb
Karina melangkah ragu melintasi pagar, berdiri mematung di ambang pintu rumah sendiri. Menghela napas panjang dan menghembuskannya kasar. Sebelum dia memutuskan untuk masuk rumah menyeret koper dengan malas.Tepat saat akan masuk rumah, Raka dengan hanya menggunakan celana bokser pendek warna merah dengan baju kaos longgar berwarna putih, mendongak padanya. Pria itu tengah sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk. Melihat wanita yang begitu dia rindui itu membuat Raka berdiri mematung menatap Karina. Lama mereka terpaku satu sama lain.Raka menatap wanitanya penuh rindu, tapi tidak dengan Karina. Dia menatap Raka dengan amarah yang berkecamuk dalam dada. Wanita itu tidak bergerak karena pikirannya tengah sibuk mencerna untuk apa suaminya ada di sini, bukankah seharusnya saat ini dia di Surabaya mengangkangi wanitanya yang sangat cantik itu.Setelah Karina bisa menguasai situasi, dia berjalan masuk ke