Home / Sci-Fi / Koloni Betaverse / 3. Bob Matulaki

Share

3. Bob Matulaki

Author: Joel Amri
last update Last Updated: 2023-03-24 16:46:22

Asupan secangkir kafein memberinya energi baru. Bob Matulaki memutuskan untuk berkeliling sebentar di seputar Sektor Dermaga Selatan sebelum pulang ke apartemen. Dia berpikir siapa tahu firasatnya akan muncul dan membawanya kepada petunjuk berharga. Setiap informasi tentang pencarian orang, hewan peliharaan atau barang hilang dari Departemen Kepolisian selalu membuatnya bergairah.

Pukul tujuh lewat, jalan aspal di antara gedung-gedung tinggi itu mulai diisi pengendara otopet listrik dan hoverboard. Dengan cepat suasana pagi diwarnai dengung halus mesin listrik. Para budak korporat telah keluar dari barak apartemen mereka yang nyaman. Semuanya berpenampilan sangat rapi dan berkulit pucat. Bob Matulaki bangga hanya dia satu-satunya lelaki eksotis berkulit matang di tempat ini.

Saat berpapasan sering dia menatap mata mereka, mengedikkan kepala sambil tersenyum simpul, dan kadang lehernya terus memutar hingga pandangan matanya terpental oleh punggung mereka. Hampir tidak ada yang membalas keramahan bahasa tubuhnya tersebut.

"Orang-orang ini lebih serius daripada mesin!" gumamnya.

Seandainya tidak ada persoalan akibat virus pun, liburan Natal masih lama. Rasa kangennya pada kampung halaman hanya dapat diobati sementara dengan nongkrong bersama teman barunya, Andy Sipit. Biarpun latar belakangnya agak jauh, anak muda itu masih bisa tersambung dengan hal-hal remeh atau gurauan receh yang tidak bakal dipahami oleh mesin.

Bob lahir di Jakarta dari keluarga menengah bawah. Dia adalah anak bungsu dari empat bersaudara yang semuanya laki-laki. Ayahnya meninggal sepuluh tahun lalu, menyusul ibunya yang lebih dulu pergi dua bulan sebelumnya. Hingga kini ketiga abangnya masih hidup dan menetap di Jakarta, sebuah kota metropolitan yang berdiri di tengah perkampungan raksasa.

Mario Matulaki sempat berhenti kuliah untuk menjadi pemain bola profesional. Dia lama bermain sebagai striker di PS Jakarta. Abang sulungnya itu bisa dibilang menjadi otot bisep keluarga dan dialah yang mengangkat pendidikan adik-adiknya hingga sarjana. Setelah gantung sepatu, Mario ikut membesarkan perusahaan properti yang telah dirintis oleh Jon, abang Bob yang nomor dua. Jon adalah lulusan sekolah bisnis. Dia punya pengalaman kerja di beberapa perusahaan swasta sebelum akhirnya mendirikan perusahaan sendiri dengan investasi dari Mario. Sementara, abangnya yang nomor tiga, Alex atau Iskandar, nama barunya setelah menjadi mualaf, mengambil jurusan hukum. Iskandar Matulaki bekerja di kantor pengacara kondang Hariman Nasution. Hanya Bob yang meneruskan jejak sang ayah, menjadi sekuriti kantor.

Sejak kecil Bobby berminat menjadi pahlawan berseragam yang kerjanya menangkap penjahat. Waktu SMP saat kira-kira usianya 15 tahun, dia pernah ikut mengejar seorang pencuri di lingkungan rumahnya. Peristiwa itu terjadi pada malam hari di sebuah warung kelontong. Maling tablet itu kabur dan diburu warga. Si maling bersembunyi di dalam sumur resapan di belokan sebuah pertigaan gang kecil yang sepi. Gang itu menuju ke luar pemukiman sehingga warga yang terkecoh termasuk dirinya terus mencari maling itu hingga ke jalan raya.

Mendengar cerita para saksi yang tidak melihat seorang pun keluar dari gang, Bobby segera menelusuri berbagai kemungkinan tempat pelarian si maling. 

Mustahil maling itu memanjat tembok tinggi di kedua sisi gang. Tidak mungkin pula dia berlari ke arah yang lain karena di sana buntu. Selain itu para penghuni rumah kopel yang areanya tersekat rapat di gang buntu itu telah berada di luar untuk mencari tahu penyebab keributan. Para penguber maling menduga si maling sempat menyelinap dan bersembunyi di salah satu rumah di gang buntu yang langsung dibantah oleh warga di sana. Bahkan ada pula yang mengatakan si maling kabur menggunakan ilmu hitam.

Oma Bobby pernah memberi sebuah petuah saat menemaninya menonton serial misteri kesukaannya di TV. Untuk memecahkan sebuah misteri, hilangkan semua jawaban yang mustahil, maka ale akan mendapatkan satu jawaban yang benar, betapapun ale belum punya bukti untuk menjelaskannya. Belakangan dia tahu itu cara lain omanya yang pensiunan guru dalam menafsirkan satu kutipan bijak dari Sherlock Holmes. Lelaki Inggris ini adalah seorang detektif kriminal yang merupakan karakter rekaan dalam novel karangan Sir Arthur Conan Doyle. Buku novel klasik tersebut menjadi bacaan favorit Bob pada masa kuliahnya yang singkat.

Maka, setelah mengamati debu dan retakan semen di sekeliling penutup lubang pada jalan berubin beton itu, dia memberi kode kepada Alex. Kemudian yang dilakukan abangnya adalah berdiri di atas lubang resapan itu, menyalakan rokok, sambil menonton sisa keramaian dari perburuan yang gagal tersebut. 

Alex dan Bobby menunggu satu persatu warga kembali ke rumahnya masing-masing. Sekali waktu Alex melirik ke bawah ke tutup besi berbentuk petak dengan bilah-bilah datar yang membentuk rongga tempat air mengalir masuk saat hujan. Untuk sebuah alasan, Bob Matulaki bersyukur hanya abangnya yang dia beri tahu.

Selepas SMA sebenarnya Bobby ingin mendaftar di akademi kepolisian. Namun, ayahnya tidak setuju. Meski bekerja di bidang keamanan sebagai satpam bank swasta tetapi ayahnya memiliki perasaan antipati terhadap institusi kepolisian. Ketidaksukaan itu memang tidak dijadikannya alasan tetapi Bobby tahu dan bisa menarik kesimpulan dari cerita-cerita masa lalu dari keluarga besar ayahnya.

Klan Matulaki berasal dari nama kakek buyut ayahnya. Matu Laki. Lelaki yang kuat, begitu arti nama tersebut. Om Hans, pamannya, bercerita. 

Datang dari Ambon dengan kapal laut, Matu Laki bermaksud untuk kuliah sambil kerja di Jakarta. Dia tidak takut pada nasib, modalnya hanya keberanian.

Setelah dua tahun berlalu, cita-citanya tercapai. Matu Laki muda berhasil mengambil kuliah malam di jurusan Ilmu Komputer di Universitas Rawamangun sambil tetap bekerja sebagai pesuruh kantor di siang hari.

Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Kampung Banda tempat dia menumpang tinggal di rumah seorang pengasuh sasana tinju, menjadi target pengepungan polisi. Situasi senja hari itu sangat mencekam, bunyi letusan senjata api menyalak di tiap penjuru.

Matu Laki ikut ditangkap saat sedang menolong seorang temannya yang juga warga setempat yang datang untuk bersembunyi. Temannya itu panik dan ketakutan setelah melihat kawannya tersungkur diterjang peluru. Matu Laki merasa tidak bersalah. Namun, bagaimanapun pembelaan diri yang dilakukannya, dia tetap menjalani pemeriksaan, penyiksaan, dan dakwaan yang sama seperti tiga belas orang tersangka pengedar narkotika lainnya.

Enam tahun terbuang di dalam penjara, selepasnya Matu Laki bertekad mengubah arah hidupnya. Di balik dinding LP dia telah banyak belajar, bertukar pengalaman dan mimpi. Maka, perlahan Matu Laki berubah menjadi bos preman yang disegani. Dimulai dari Kampung Banda, di sana dia mengelola para pemuda pengangguran termasuk beberapa petinju yang gagal berprestasi. Mereka dipekerjakan sebagai centeng. Matu Laki cukup cerdas untuk mengerti bahwa betapapun pesatnya lompatan teknologi pada abad 22, belum ada yang bisa menggantikan posisi penagih utang.

Bapa Raja, begitu nama panggilan beliau pada masa tuanya. Semua warga Kampung Banda mengetahui nama itu. Sebagian besar mereka menaruh hormat, meski ada juga sebagian yang menganggapnya sebatas pemimpin para tukang pukul.

Yang jelas, Bapa Raja Matu Laki tidak pernah lagi berurusan dengan hukum. Dia selalu memperhitungkan dengan saksama langkah-langkahnya. Matanya dia latih untuk melihat setajam mata serigala. Kenalilah musuhmu, sebuah prinsip yang dipakainya, seperti kata-kata Tsun Zu. Buku The Art of War selalu tergeletak di meja kerjanya.

Bob yakin sejarah kakek canggahnya itu salah satu yang secara bawah sadar membuat ayahnya tidak berkenan dia menjadi polisi. Bahkan pendapat ayahnya didukung saudara-saudaranya, paman, tante, hingga omanya. Hanya ibunya yang abstain. Mereka menyuruhnya mencari universitas untuk tempat kuliah dan silakan memilih jurusan apa saja. Mario berbicara lewat telepon, ikut meyakinkannya bahwa dia tak perlu memikirkan soal biaya. Namun, Bob masih berusaha memberi alasan kepada ayahnya.

"Pai, beta tidak pintar seperti kaka-kaka. Tidak juga suka baca buku tebal-tebal. Beta bisa ukur kemampuan."

Ayahnya menatapnya dalam-dalam, keningnya berkerut. "Jadi, karena itu pula ale mau masuk polisi?"

"Ai, enggak begitu juga! Tapi, Pai, beta pintar melacak pencuri," jawab Bob lalu melirik Alex sambil mengedikkan kepala.

Bob berbelok di jalan kecil yang lebih ramai oleh pejalan kaki. Di situ ada jalan masuk samping gedung perkantoran serta blok restoran dan cafe di sisi lainnya. Dia tahu jalan itu menjadi destinasi sarapan dan makan siang favorit para karyawan seperti dirinya, selain enak harganya sesuai gaji. 

Kali ini kaca mata matahari terpacak di mukanya. Dipadu sepatu kulit bersol tebal makin menunjukkan gaya seorang petugas keamanan, bahkan mungkin akan ada yang mengira bahwa dia seorang polisi Betaverse yang sedang berpakaian preman. Umumnya warga Betaverse sudah paham ciri-ciri tersebut. Namun, pengunjung dari luar akan melihatnya lebih sebagai turis karena tertipu dengan kemeja flanel kotak-kotak dan celana jin ketatnya.

Sambil bersiul dan mengayuh pelan dia mengamati dengan acak setiap wajah. Dia tengok pula sudut-sudut kosong yang terlewatkan dari perhatian orang. Firasatnya belum hadir. Intuisinya belum berbicara.

Tiba di persimpangan dia mengerem sepedanya. Matanya memindai sebentar pemandangan di seberang. Biasanya jika ada sesuatu yang ganjil, pandangannya akan kembali ke tempat itu bagaikan terdapat sensor khusus yang bekerja di dalam kepalanya. Dia percaya intuisi tidak akan pernah tergantikan oleh mesin.

Bob curiga bahwa ada yang salah dengan sistem pengawasan keamanan inteligen digital Betaverse. Semalam Departemen Kepolisian menginformasikan dugaan adanya pengunjung ilegal yang menyusup melalui pelabuhan Dermaga Selatan. Laporan itu melampirkan foto tangkapan kamera sirkuit.

Polisi tentu telah memeriksa pelabuhan, lokasi penampakan tersebut. Jika tidak ditemukan apa pun di sana dan tidak terlacak lagi di tempat lain, agaknya itu bukan kunjungan ilegal biasa. 

Bob meraih kartu yang menggantung di lehernya. Dia buka layar sentuhnya untuk melihat kembali foto itu. Dia perbesar gambar wajahnya. Seorang laki-laki dewasa, memiliki berewok seperti sudah tidak dicukur berbulan-bulan, usia sekitar 40 tahun, etnis melayu. Kemungkinan besar orang Jawa, pikir Bob. 

Jaket hitamnya meski tampak lusuh, tetapi model yang biasa dikenakan orang zaman sekarang, berpotongan sederhana dan berbahan halus. Namun, Bob yakin, apabila orang ini tadi berada di jalan ini, akan dengan mudah dia temukan karena wajah sawo matang dan berbulunya yang mencolok. Menurutnya, orang ini peringkat kedua lelaki eksotis di jalan ini, tentu saja setelah dirinya.

Polisi tentu sedang mengolah semua data yang mereka dapatkan. Seharusnya identitas orang tersebut bisa segera diketahui. Namun, terlalu banyak hal yang mustahil pada kasus kali ini. Sepuluh jam telah lewat, belum ada perkembangan baru atau petunjuk lain selain foto penampakan tersebut. Hal yang tidak pernah terjadi selama tiga tahun lebih dia bekerja di Betaverse.

Bob berdiri di atas pedalnya. Dia menggenjot lebih kuat untuk pulang. Sepertinya dia telah menemukan firasat yang dia tunggu. Bukan dari hasil observasinya, melainkan dari memori pengalamannya di masa lalu. 

Dia tak sabar untuk menghubungi Andi Bugis, bekas rekan kerjanya yang telah direkrut Departemen Kepolisian Betaverse. Dia bisa membahas hal ini dengannya.

Namun, yang dia butuhkan sekarang adalah istirahat, tidur dengan minta dikeloni Martina.

***

Related chapters

  • Koloni Betaverse   4. Better to Take a Look

    "Pemerintah berencana membangun Auto Pinned Grid System untuk semua jalan dalam kota di Jakarta. Proyek tersebut ditargetkan selesai pada 2254 nanti. Apabila terlaksana, sebagai konsekuensinya kendaraan pribadi bermesin yang tidak dapat terintegrasi dengan APGS seperti mobil dan sepeda motor, akan ditiadakan dari jalanan ibu kota." Dila membacakan resume berita seputar Jakarta. "Maaf, Andy. Ini berita buruk untuk Beetle kamu." "Oh, ya! Semoga pada saat itu aku sudah bisa membangun rumah di Weleri. Akan kubawa dia ke sana." Mobil Beetle listrik kabriolet putih itu adalah koleksi akongnya. Kondisi mobil buatan Jerman yang desainnya terinspirasi dari bentuk kumbang itu sangat terawat. Dalam surat wasiat yang dibacakan setelah kakeknya itu wafat, nama Andy disebutkan berhak mewarisi mobil tersebut. Selain itu dia juga memperoleh sepetak lahan di Weleri, Jawa Tengah. Namun, berita soal rencana pembangunan APGS itu memang tidak ditemuinya di Global Earth Network, atau setidaknya di media

    Last Updated : 2023-03-24
  • Koloni Betaverse   5. Babah dan Ningsih

    Jakarta Timur, April 2250 Ningsih memanggil ayahnya dengan Babah, atau Babah Su'eb. Kata ibunya, itu gara-gara waktu pertama diajari bicara lidahnya tidak mau mengucapkan kata Abah dengan benar. Lalu untuk seterusnya panggilan Babah itu terpatri di lidahnya. Sementara ibunya selalu memanggil dengan Abah, atau Abah Su'eb. Demikian pula sebaliknya, Babah suka memanggilnya dengan Dewi. Babah jelas tahu nama lengkapnya adalah Sri Ningsih. Ibunya selalu memanggilnya Ningsih. Babah sendiri mengaku tidak ingat sejak kapan dia mulai memanggilnya dengan nama berbeda. Mulyo yang baru dua setengah tahun dengan lidah mungilnya sudah bisa pula memanggil namanya, Kak Ningsih. Namun, bocah laki-laki itu seperti tidak terlalu peduli dengannya dan selalu menempel pada ibu. Mereka berempat selama ini tinggal di ladang mobil. Itu adalah sebuah lahan datar seluas lapangan bola tempat ratusan bangkai mobil bekas ditelantarkan. Babah bertanggung jawab mencarikan mereka bangkai mobil yang layak untuk ti

    Last Updated : 2023-03-24
  • Koloni Betaverse   6. Mom and Dad

    Menara Oracle memiliki jalan masuk terbuka tanpa pagar pembatas. Andy melewati halaman berlantai batu alam berwarna kelabu dan bersamanya terlihat sejumlah karyawan yang datang dengan otopet listrik. Mereka yang energik dan tinggal dalam radius satu kilometer dari kantor, umumnya lebih memilih jalan di permukaan daripada streamline, apalagi bagi mereka yang berjiwa muda, mengendarai otopet listrik memberi kesenangan tersendiri. Di lahan parkir basement, Andy bertemu sekelompok karyawan yang tampak saling akrab sedang memarkir otopet mereka. Dia mengenali salah satunya, yaitu seorang perempuan petugas kebersihan di departemennya. Petugas kebersihan memang datang pagi-pagi. Mereka semua profesional. Di Menara Oracle tidak ada pekerjaan yang dipandang sebagai pekerjaan tenaga kasar. Petugas kebersihan seperti perempuan itu telah mengikuti pelatihan minimal selama satu bulan seperti dirinya sebelum resmi mendapatkan kartu identitas warga Betaverse. Di kartu itu status mereka tercantum

    Last Updated : 2023-03-24
  • Koloni Betaverse   7. Orang-Orang Aneh

    Jumat itu matahari semakin tinggi, Babah kembali menarik gerobak barangnya. Dia mendongak ketika sejumlah mobdron melintas di langit di atas jalan raya. Mereka terbang memasuki Jakarta tanpa hambatan. Dunia orang-orang atas, dia menyebutnya begitu. Sebentar lagi pukul sembilan, dia hanya punya waktu satu jam untuk berkeliling sebelum tiba di rumah singgah tempat Ningsih bersekolah. Sementara itu, Ningsih berjalan di sisi kiri gerobak. Dia sembunyi dari orang-orang aneh di atas trotoar di seberang jalan. Mobdron terbang rendah di langit bagai kawanan burung yang melintas tiada habis-habisnya, tidak bisa mengalihkan pikiran buruk yang menghantui Ningsih. Sesekali gadis itu mencuri pandang ke belakang untuk memastikan. Babah benar bahwa jarak mereka terlalu jauh. Mobil listrik yang berjejalan juga menghalangi mereka. Selain itu arah jalan mereka berlawanan. Setelah melangkah beberapa lama dan mereka semakin menjauh, Ningsih kembali bernapas lega. Pengalaman kemarin dulu sungguh membu

    Last Updated : 2023-03-30
  • Koloni Betaverse   8. Tongkat Pemukul Hitam

    Pemuda yang lengannya diringkus itu tidak terlihat melawan. Namun, dia tidak pula mengalah. "Ayo pulang!" seru si pengendara mobil. Kemudian lelaki itu beralih menghardik para pemuda yang lain, “Kalian para gabutan, pulang sana!” Masih tidak ada sedikit pun suara dari mulut orang-orang aneh tersebut. Lelaki itu mencoba menyeret tubuh terbungkus mantel merah bertudung ke kursi penumpang. Akan tetapi, alih-alih berhasil, malah dia yang terempas ke kap mobil. Lehernya tampak dicengkam tangan kurus si pemuda. Sejurus kemudian kepala bertudung merah itu bergerak mendekat ke leher lelaki tersebut. Mukanya terhalang tudung, tidak jelas yang hendak dia perbuat. Akan tetapi, gerak meronta si lelaki terkesan seolah sedang berjuang melepaskan diri dari ancaman gigitan penyerangnya. Pada saat genting si pengendara mobil berhasil menyergap serangan itu dengan tangannya yang terlihat kepayahan, sementara, suaranya terdengar parau dan tersedak ketika mencoba berteriak. Ningsih yang ketakutan,

    Last Updated : 2023-04-04
  • Koloni Betaverse   9. Kesaksian Shellyn

    Setelah memberi instruksi kepada Said untuk persiapan ruang rapat, Bu Asti mendatangi ruang kerja Divisi Perencanaan. Di situ dia menggantikan Andy sementara untuk menjaga komunikasi dengan Shellyn. Salah satu tugasnya sebagai sekretaris kantor adalah membantu karyawan yang sedang bermasalah. "Aku akan kembali, sepuluh menit. Aku harus mandi. Di sini ada Bu Asti, teman kerjaku. Bu Asti, ini Shellyn!" Andy menggeser sedikit tablet lipat kantornya, memperkenalkan Bu Asti kepada Shellyn. "Hai, Shellyn!" Bu Asti tersenyum lebar menatap layar tipis 17 inci. "Terima kasih sebelumnya, Bu!" ucap Andy setengah berbisik. Bu Asti memalingkan kepalanya. "Sudah cepat sana, atau saya terpaksa mengisi ulang pengharum ruangan!" "O, ya, semua sudah terkendali. Kami sudah menghubungi rumah sakit. Shellyn tinggal menunggu petugas medis datang. Dia hanya perlu ditemani agar tidak panik," cecar Andy sambil meninggalkan ruang kerjanya. Bu Asti mengangguk dan kembali menatap Shellyn di layar. "Ngomon

    Last Updated : 2023-04-06
  • Koloni Betaverse   10. Seperti Zombi

    Bu Asti masih terkesima melihat reaksi Andy. Dari pintu muncul Wenny dengan seperangkat alat kebersihan yang dibawa oleh troli AI yang membuntutinya dari belakang. Biasanya pekerjaan Wenny di seluruh ruangan seksi Divisi Perencanaan telah rampung sebelum jam delapan. "Selamat pagi semua!" sapa Wenny, formal. Perempuan bertubuh jangkung tersebut menurunkan robot pembersih lantai berupa benda kotak ergonomis selebar timbangan badan ke lantai bermaterial kayu parket. Seksi kantor Divisi Perencanaan sendiri berbentuk memanjang dan memiliki sebuah koridor dengan ruang-ruang kerja terbuka. Luas masing-masing studio itu sembilan meter persegi yang disekat-sekat oleh dinding. "Tidak ada." Dila menjawab pertanyaan Andy. “Aku rasa peristiwa di pinggir jalan semacam itu bukan sebuah berita sebelum dilaporkan ke polisi.” "Tidak ada? Sama sekali?" "Tetapi, ada penjelasan pakar yang berkaitan dengan cerita Shellyn." "Oh, kamu mengikuti video call Shellyn? Aku lupa, tentu saja!" "Please, deh, A

    Last Updated : 2023-04-07
  • Koloni Betaverse   11. Hadiah Ulang Tahun

    Lantunan ayat Qur'an Jumat siang itu datang dari masjid di samping rumah singgah. Babah memarkir gerobaknya di luar pagar di sudut dekat tong sampah. Ningsih telah masuk ke dalam, sementara, Babah mengaso di bangku kecil di bawah pohon ceri tempat anak-anak biasa bermain. Babah belum pergi sebab hari itu dia mempunyai janji bertemu dengan Bang Amir. Rumah singgah bagi anak-anak telantar itu menyediakan ruang belajar dengan barisan meja kursi dari kayu. Ningsih selalu memilih meja di pojok dekat pintu. Ia akan duduk diam di situ memperhatikan guru yang mengajar dengan papan putih dan spidol. Hari itu yang mengajar mereka, seorang guru baru bernama Evi. Sepertinya perempuan berhijab itu seorang mahasiswi. Dia masih muda, mungkin sepantaran dengan Bang Amir. Jam pertama, Kak Evi mengajar Geografi. Dia bertanya kepada murid-murid tentang Indonesia. Para anak laki-laki dengan lantang meneriakkan jawaban yang memang mudah. Mereka rata-rata berumur 12 tahun, masih berwajah kanak-kanak teta

    Last Updated : 2023-04-08

Latest chapter

  • Koloni Betaverse   30. Gabutan di Pulau Betaverse

    Andy telah selesai berbicara melalui telepon dengan Udin ketika turun di spot streamline di bawah gedung Oracle. Sopir mobil jet Profesor Munir itu sepakat untuk terbang membawa Andy ke seberang pukul sembilan. Si sopir bersemangat menawarinya untuk mengantar langsung ke Jakarta tetapi Andy tetap menolak. Setelah keberangkatannya hampir pasti Andy meminta Dila mencarikan tiket kereta atau bus jurusan Tegal—Jakarta untuk siang ini. Andy juga membaca berita terbaru tentang lockdown agar tidak melewatkan perkembangan yang berlangsung cepat seperti yang terjadi semalam. Editorial Betaverse Outlook mengatakan, tinggal menunggu waktu Kota Betaverse menghadapi persoalan yang sama dengan kota-kota lain di Jawa. Andy berkutat dengan tabletnya hingga anak tangga elevator bertemu marmer lantai bawah tanah yang berkilau. Spot perhentian itu bermandikan cahaya lampu, sangat mencolok dibandingkan lorong gelap di jalur lintasan pod cab. Di area masuk, pengguna streamline lebih ramai d

  • Koloni Betaverse   29. Alasan Abstrak

    Dewan kota diisi para tokoh penting Betaverse. Namun, lima puluh orang itu tidak dipilih lewat pemilu seperti anggota parlemen. Dengan jumlah warga sekitar tiga ratus ribu jiwa, Betaverse menggunakan sistem musyawarah yang lebih sederhana dibandingkan kota-kota di Pantura. Semua warga Betaverse berhak mendaftar untuk ikut dalam rapat. Serta-merta mereka dapat menjadi anggota dewan kota berdasar ketentuan dan kondisi dari Panitia. Tentu saja semua pendaftar diseleksi agar sesuai yang dibutuhkan. Cara lain adalah melalui undangan dari Panitia. "Cara kedua itu yang lebih banyak dipakai. Terutama untuk rapat dadakan," jelas Profesor Munir sambil mengusap tangannya dengan semprotan antiseptik. Andy duduk menghadap beliau sambil mendengar penjelasan tentang rapat dewan kota Betaverse. Sebelumnya sebagai pembuka percakapan Andy memberi tahu yang dilihatnya di lantai 55 kepada sang profesor. Andy berasumsi beliau mengetahui rencana rapat tersebut dan bahwa acara di aula

  • Koloni Betaverse   28. Lorong Streamline

    Memelesat di dalam pod cab dengan jendela bening transparan lebih terasa hidup daripada mode sembunyi. Andy merekam video pemandangan di depannya dengan tablet. Dia merasa takjub seperti saat awal-awal kepindahannya ke Betaverse. Andy tahu ada kemungkinan, atau lebih tepatnya risiko, dia akan meninggalkan kota ini demi membersamai Mom, Dad, dan Shellyn. Meski singkat, menjadi warga Betaverse sudah merupakan pengalaman yang sangat berkesan. Tidak akan ditemuinya lagi moda transportasi seperti ini di mana pun, satu-satunya di dunia. Baru kali ini setelah sebulan memilih bersepeda, Andy kembali menggunakan streamline. Lorong di bawah tanah tempat jalur pod cab itu, dibuat dengan tata cahaya yang indah agar pengguna streamline tidak terintimidasi oleh ruang tertutup dan kecepatannya yang seperti peluru. Efek garis-garis cahaya itu menurut Andy membuat streamline bagaikan kapsul perjalanan waktu. Pengguna yang takut melihat pemandangan dalam kecepatan tinggi itu kemungkinan tidak tahu ca

  • Koloni Betaverse   27. Lockdown Se-Jawa

    Pagi pukul enam lewat, Bob telah duduk di meja favoritnya di restoran UniChichi. Liurnya nyaris meleleh melihat penampilan semangkuk mi kuah dengan tambahan telur sambal merah. Rasa kantuknya pun hilang disulut aroma hidangan hangat yang membangkitkan selera. Sementara, gelang androidnya sunyi tanpa ada notifikasi apa pun. Bob merasa tidak perlu menunggu. Perutnya sudah berunjuk rasa sebab semalam hanya diberi asupan roti dan biskuit. Biarlah Said menyusulnya belakangan, pikir Bob. Nanti dia dapat menemani Said sarapan sambil menikmati tahu gejrot—buah tangan yang dia pesan semalam—sebagai menu penutup. Mi kuahnya hampir habis ketika Said muncul di ambang pintu restoran yang sengaja dibuka lebar setiap pagi. Pemuda itu masih membawa ransel. Tampaknya dia langsung datang ke UniChichi tanpa pulang lebih dahulu ke apartemen. Di tangannya tergantung goodie bag yang pasti berisi oleh-oleh. “Maaf, aku terlambat, Pak Bob!” Laki-laki semampai itu langsung duduk di depan Bob. Dia menyisir se

  • Koloni Betaverse   26. Fobia

    Sekitar pukul enam Andy telah mengayuh sepeda dari tempat parkir apartemennya menuju jembatan penyeberangan. Dia berkemas rapi dengan ransel yang terlihat penuh. Jaket kulit domba bertekstur halus yang dia kenakan cukup mampu menahan embusan angin dari daratan Jawa. Namun, dia melambat setelah melihat sekelompok polisi berjaga di mulut jembatan. Ketika akhirnya sepeda itu berhenti, seorang polisi muda datang mendekat. Dengan senter gelang tangan, polisi itu menyoroti sepeda gunung berdesain klasik itu. Andy mencoba tidak ambil pusing. Polisi mengetatkan pengawasan di situasi seperti sekarang adalah hal wajar. Andy hanya berharap jembatan masih dapat dilintasi. Seorang polisi lain datang menghampiri. “Pak Andy Shao?” Andy tidak mengenal petugas berusia sekitar 30 tahun itu. Sistem pengawasan inteligen digital pasti telah memindai muka Andy melalui kamera pengawas di sekitar tempat itu. Dengan cara itu petugas tersebut dapat memperoleh identitasnya dengan mudah. “Selamat malam, Pak

  • Koloni Betaverse   25. Tertahan di Betaverse

    Berdiri di pinggir koridor depan pintu lift, Andy tertegun menatap tabletnya. Dia membuktikan kata-kata Dila. Tiket kereta untuk malam ini hingga besok, bahkan setelahnya, kosong. Tidak ada jadwal perjalanan Tegal-Jakarta, tidak ke mana pun. Hanya ada keterangan “pelayanan rute luar kota dihentikan sementara”. Meskipun telah mendapatkan izin cuti, Andy masih belum tahu kapan dia akan berangkat ke Jakarta. Pilihan lain adalah dengan memesan travel mobdron yang berangkat dari Betaverse atau naik pesawat terbang dari bandara Cirebon. Namun, Andy lebih memilih transportasi darat lain seperti bus daripada melayang di atmosfer. Dia akui dirinya mengidap aerophobia. Dia takut naik pesawat terbang, melebihi ketakutannya duduk di dalam mobdron yang hanya terbang di bawah ketinggian seribu meter. "Benar rupanya," gumam Andy. "Kamu meragukan jawabanku, Andy?" balas Dila di airphone-nya. "Apakah sudah diputuskan? Lockdown?" "Belum ada beritanya. Tapi, bukan

  • Koloni Betaverse   24. Departemen Kepolisian

    Terakhir kali Bob datang ke kantor Departemen Kepolisian enam bulan lalu. Saat itu dia menemani Martina yang menjadi saksi untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di sebelah apartemennya. Yang menarik dalam kasus itu, Bob curiga dengan pengakuan si istri yang menjadi korban, bahwa semua yang diceritakan wanita itu kepada Martina tidak berdasar. Sistem pengawasan sosial di kota ini terlalu rapi sehingga semua orang melaporkan kondisi diri mereka setiap hari, sekalipun itu dilakukan secara tidak sadar. Dari teknologi face hingga voice recognition, tidak ada orang yang dapat menghindar dari pendataan mesin. Semua itu digunakan untuk keamanan mereka sendiri. Akibatnya, sebagai contoh, petugas kepolisian akan segera mendatangi alamat rumah seorang warga ketika satu hari saja keberadaannya hilang dari sistem. Selain itu, jika benar terjadi kekerasan, korban dapat dengan mudah mengaktifkan SOS dengan banyak cara sehingga sistem yang menggunakan artificial intelligence se

  • Koloni Betaverse   23. Persiapan

    Lamat-lamat terdengar bunyi pintu apartemen dibuka seseorang. Mungkin itu Martina. Terjaga dari tidurnya, Bob melihat jam di atas meja nakas, pukul satu lebih. Sinar terik matahari mengintip di sela sambungan gorden yang tertutup. Biasanya, apabila tidur pagi sehabis shift malam, Bob akan bangun pukul tiga sore, kemudian makan siang, lalu bersantai di ruang duduk dan menonton TV hingga waktu joging sebelum pukul lima. Sekarang dia punya waktu lebih untuk melakukan hal lain. Bob bangkit dari ranjang, merasa sudah tidak dapat tidur lagi meski badannya belum segar benar. "Dari mana kamu, Malyshka?" tanya Bob sambil memeluk Martina yang berdiri di depan bak cuci dapur. Diciumnya rambut keemasan wanita asli Rusia itu. "Kau sudah bangun. Tidurmu kurang lelap, ya?" balas Martina dengan aksen asing yang masih cukup kental. Alih-alih menoleh dan membalas kecupannya, Martina sibuk mencuci brokoli di bawah keran. Istrinya tampak tidak bersemangat dan enggan membicarakan kegiatann

  • Koloni Betaverse   22. Prediksi

    Virus tersebut melumpuhkan kesadaran orang-orang yang berdiam mematung di pinggir jalan. Kemampuan kognisi mereka berhenti. Demikian pula yang terjadi pada ibu Andy di dalam rumahnya. Tapi, apakah mereka benar-benar tidak merasa mengalami apa pun? "Bandingkan dengan robot di mal ketika sedang dinonaktifkan, mereka juga tidak merespons orang lain! Tapi, pengidap virus Z tidak sama dengan robot-robot humanoid itu," ujar Profesor Munir ke hadirin. Dia lalu kembali mengirim pesan singkat kepada Andy untuk melanjutkan videonya. "Dila, kaburkan wajah Mom and Dad di dalam video!" kata Andy di ruang studionya. Serta-merta Dila memasukkan perintah ke dalam aplikasi untuk mengaburkan wajah cantik Mom. Profesor Munir mengomentari setiap video dari Andy yang memenuhi layar di depan ruang rapat. Sang profesor harus menahan kecewanya ketika mendapati bagian wajah suspek pengidap virus Z—dalam hal ini ibu Andy—, dibuat kabur. Bagaimanapun, dia tahu bahwa Undang-Undang Informasi

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status