Menara Oracle memiliki jalan masuk terbuka tanpa pagar pembatas. Andy melewati halaman berlantai batu alam berwarna kelabu dan bersamanya terlihat sejumlah karyawan yang datang dengan otopet listrik. Mereka yang energik dan tinggal dalam radius satu kilometer dari kantor, umumnya lebih memilih jalan di permukaan daripada streamline, apalagi bagi mereka yang berjiwa muda, mengendarai otopet listrik memberi kesenangan tersendiri.
Di lahan parkir basement, Andy bertemu sekelompok karyawan yang tampak saling akrab sedang memarkir otopet mereka. Dia mengenali salah satunya, yaitu seorang perempuan petugas kebersihan di departemennya. Petugas kebersihan memang datang pagi-pagi.
Mereka semua profesional. Di Menara Oracle tidak ada pekerjaan yang dipandang sebagai pekerjaan tenaga kasar. Petugas kebersihan seperti perempuan itu telah mengikuti pelatihan minimal selama satu bulan seperti dirinya sebelum resmi mendapatkan kartu identitas warga Betaverse. Di kartu itu status mereka tercantum sebagai warga profesional.
Dari logat yang dia tangkap, tampaknya mereka berasal dari Jawa Tengah. Empat tahun kuliah di Semarang tentu dia paham hal itu. Ada keinginan untuk bergabung, berbasa-basi dan bertanya tentang kabar keluarga mereka di Jawa.
Masalahnya, dia bukan seorang ekstrovert, tidak mudah baginya berbasa-basi dengan orang asing tanpa konteks, tanpa sebab akibat. Menurutnya, itu adalah salah satu penyebab dia tidak mudah mendapatkan pacar.
Bahkan, satu-satunya teman di luar lingkaran rekan kerja di Divisi Perencanaan adalah Pak Bob. Petugas keamanan itu tanpa ragu menginterogasinya di lobi kantor pada hari pertama masuk kerja dengan alasan belum pernah melihat dia di Departemen Tata Kota. Lelaki itu mengaku hafal setiap wajah di departemen itu yang jumlah personelnya mencapai seratusan orang. Dia bahkan bisa mengambil kesimpulan bahwa dirinya berasal dari Jakarta dan pergi ke kantor itu mengendarai sepeda. Dia tidak sekadar melihat tapi mengamati, katanya. Sebagai penggemar kultur pop pramilenium Andy tahu omongan satpam itu sangat mirip ungkapan dari Sherlock Holmes. Belakangan setelah akrab, Pak Bob heran ketika tahu bahwa saat itu Andy merasa diinterogasi. Alih-alih, lelaki unik itu mengatakan bahwa seingatnya saat itu dia hanya sedang berbasa-basi.
Akhirnya, tanpa disengaja Andy bergabung juga dengan mereka di dalam lift. Sebelumnya dia memilih menunggu lift yang berbeda, ingin menyendiri demi menyadari bahwa kaus abu-abunya lembap karena keringat. Namun, rombongan tiga laki-laki dan seorang perempuan itu datang menahan pintu liftnya yang tiba lebih cepat. Mereka tampak sedang mengejar waktu.
Lima orang dalam tabung yang memelesat naik itu tak bersuara. Sepertinya semuanya memiliki adab kesopanan yang sama. Tiga orang laki-laki tampak berusia beberapa tahun di atasnya. Mereka mengenakan kemeja bernuansa biru tua dengan bayangan motif batik yang baru akan terlihat jika diperhatikan dari dekat.
Demikian pula yang perempuan, hanya warna kainnya merah marun dengan model kerah lebih lebar. Andy yakin yang mereka kenakan bukan sebuah seragam, melainkan pakaian kerja biasa. Akan tetapi, bahan kain unik yang sama tersebut cukup menarik perhatiannya. Menurutnya, pakaian seperti itu terkesan mahal, sebuah kamuflase fashion yang secara samar memasukkan unsur tradisional bermotif rumit ke dalam mode zaman sekarang yang sederhana.
Dia tidak begitu paham tentang batik, tetapi dia tahu beberapa wilayah memiliki ciri khas batiknya masing-masing. Barangkali, keempat mereka berasal dari daerah yang sama dan telah nyaman serta terbiasa mengenakan pakaian seperti itu.
Satu persatu mereka keluar di lantai yang dituju hingga menyisakan Andy dan perempuan yang dia kenali wajahnya. Mereka berdua sama-sama hendak ke lantai 50. Berdiri berdampingan, tinggi mereka hampir sama, Andy yang memiliki tinggi 177 cm paling-paling hanya dua-tiga senti lebih tinggi dari dia. Menurutnya, perempuan di sampingnya termasuk sangat jangkung untuk ukuran perempuan Jawa. Bahkan, teman-teman prianya tadi pun kalah tinggi.
Dari posturnya dia mengira si perempuan suka berolahraga. Renang, barangkali. Selain itu dia juga pantas menjadi pemain voli atau basket wanita. Andy juga tak menampik jika di Jakarta, perempuan itu bisa saja ditawari menjadi seorang model. Garis wajahnya yang tegas sangat mendukung. Andy tidak mengerti kenapa tiba-tiba dia memikirkan hal itu.
Hingga separuh perjalanan di lift, Andy belum mampu untuk sekadar menyapa. Dari pengalaman tinggal di Semarang, dia merasa sikapnya itu kurang terpuji. Dirinya akan terkesan angkuh, sesuatu yang bertolak belakang dengan sifat aslinya.
Kemarin-kemarin dia hanya bertemu sepintas lewat dengannya. Saat itu pun si perempuan sedang dalam seragam biru petugas kebersihan dan sibuk dengan pekerjaannya. Sekarang mereka bertemu berdua di dalam lift, masih dalam kostum dan suasana santai. Hanya saling bertukar senyum, rasanya sama sekali tidak cukup.
Dia memeriksa android di pergelangan tangannya. Pukul setengah delapan. Kali ini dia tiba di kantor lebih cepat dari biasanya.
"Biasa datang ke kantor jam segini, Mbak?"
"Eh, iya, Pak! Malah biasanya lebih awal," jawab perempuan itu sambil menebar senyum.
"Saya malah … saya biasanya keluar lift pukul delapan kurang lima belas. Hari ini entah kenapa saya kecepetan."
Perempuan itu hanya tersenyum atau malah seperti menahan tawa.
"Mbak asli mana?"
"Temanggung, Pak."
"Saya dulu kuliah di Semarang. Baru lulus tahun lalu dan sudah dua minggu kerja di sini. Tapi, di sini saya merasa sudah tua."
"Itu bukan soal umur tapi panggilan penghormatan … Mas!" balasnya tegas dengan tetap tersenyum.
"Ya, saya tahu. Tapi pas dengar Mbak-nya ngobrol sama teman-temannya di bawah, saya langsung merasa lebih enak memanggil Mbak."
"Tidak apa, kok, Mas!"
"Itu bukan berarti saya menganggap Mbak lebih tua, lo!"
Perempuan itu tertawa kecil bersamaan dengan denting pintu lift terbuka. Dia lebih dulu melangkah dengan sigap sebelum berbalik menghadap Andy, membuat rambutnya yang diikat ekor kuda yang tak seberapa panjang itu bergoyang.
"Memangnya menurut Anda berapa umur saya?" tanya perempuan itu.
"Tunggu, … dua puluh tiga?"
"Tidak, Anda salah. Saya memang lebih tua dari Bapak. Minggu depan umur saya dua puluh enam tahun."
"Bagaimana Mbak tahu? Memangnya Mbak pikir berapa umur saya?"
"Dua puluh tiga!" jawabnya, ringan.
"Oh, ya, tadi saya ada bilang kalau saya baru lulus tahun lalu. Umumnya, siswa SMA lulus pada umur delapan belas, maka normalnya dia akan lulus kuliah pada usia dua puluh dua tahun." Andy mencoba menguraikan jawaban perempuan itu sembari berjalan bersama menuju ruang ganti di ujung lorong. "Perhitungan Mbak sangat akurat!"
Perempuan itu menggelengkan kepalanya.
"Tidak bisa begitu juga perhitungannya. Bukankah banyak mahasiswa yang terlambat masuk kuliah atau telat menyelesaikan skripsi?"
"Ya, sih! Jadi, dari mana Mbak tahu?"
"Batas usia minimal diterima sebagai warga profesional Betaverse adalah dua puluh tiga tahun. Jika Anda menunggu setahun setelah lulus untuk pindah dan bekerja di sini, itu artinya … Anda telah terpaksa menunggu agar dapat memenuhi persyaratan umur. Dan, tidak ada fresh graduate yang bisa diterima kecuali dia telah menjalin hubungan dengan HRD sejak semester akhir. Mereka telah mengincar Anda. Sebaliknya, Anda pun telah sadar bahwa pekerjaan pertama Anda di Oracle."
"Waw!" Andy tidak dapat berkata-kata.
Keduanya berhenti di depan pintu ruang ganti. Pintu pertama adalah ruang ganti wanita, baru di sebelahnya ruang ganti pria. Pengguna ruang ganti pria bisa dihitung dengan jari, yakni mereka yang hobi bersepeda, salah satunya kepala Divisi Perencanaan. Bosnya itu biasa datang sebelum pukul sembilan. Setiap hari Andy-lah orang pertama yang menggunakan ruang ganti yang dilengkapi bilik-bilik shower.
"Baiklah, Pak. Saya duluan!"
"Tunggu!"
Perempuan itu kembali memutar badannya tetapi dengan tatapan heran.
"Mbak kenapa kembali memanggil saya Bapak? Rasanya terlalu formal."
"Karena kita tidak lagi sedang berdua di dalam lift. Maaf, Pak, saya terbiasa dengan kode etik kerja. Lagi pula itu tidak masalah, bukan?"
"Baiklah, Bu!"
Kali ini perempuan itu tersenyum hambar. Lalu dia berkata, "Semua orang di kantor ini memanggil saya Mbak. Itu panggilan formal untuk karyawan perempuan yang lebih muda dari Ibu atau yang belum menikah. Itu seperti panggilan Miss untuk ekspatriat perempuan di sini."
"Dan semua karyawan laki-laki dipanggil Bapak atau Sir. Oh, maklumlah, saya masih baru."
"Ya, tidak apa!—Maaf, Pak! Saya harus segera bertugas."
"Baiklah, kalau begitu. Tapi, satu hal lagi. Saya sungguh-sungguh mau menanyakan hal ini. Jadi, please, tolong dijawab!"
Perempuan bertubuh bugar itu hampir terperanjat mendengar kata-kata Andy. Kedua tangan si perempuan tampak semakin erat menggenggam tali tas ranselnya. Percakapan mereka yang dimulai dengan agak canggung itu seolah akan berakhir lebih canggung lagi.
"Kamu tentu punya keluarga di Temanggung. Bagaimana kabar mereka? Apa semua baik-baik saja?"
"Maksud Bapak?"
"Ada isu lockdown seluruh Jawa di berita pagi ini. Memang belum terjadi, tapi apakah isu itu berasal dari situasi yang memburuk di sana, aku ingin tahu. Keluargaku di Jakarta. Ayah, ibu dan seorang adik perempuan. Aku belum bisa menghubungi mereka. Jadi? Bagaimana kabar di Temanggung?"
"Saya juga belum menghubungi keluarga saya di Temanggung. Tapi, sejauh ini di media sosial semua baik-baik saja."
"Mereka telah memperbarui media sosial mereka?"
"Begitulah, saya rasa!"
Dari arah lorong muncul seorang perempuan berbadan sintal dengan pakaian resmi tertutup rapat. Blazer dan celana panjang berwarna gelap membuat ujung atas blus lilanya terlihat mencolok. Dia telah berdiri di depan pintu kaca kantor yang terbuka otomatis sebelum kemudian berubah pikiran. Bu Asti, sekretaris kantor, berjalan menghampiri mereka.
"Wenny, kamu baru datang?"
"Ya, Bu! Saya terlambat. Tapi Said sudah datang setengah jam yang lalu. Mungkin dia sedang berada di dalam kantor."
"Oke. Cepatlah bersalinnya! Akan ada rapat umum seluruh departemen siang nanti. Kita harus mempersiapkan ruangan."
"Selamat pagi, Pak Andy!" sapa Bu Asti ramah, lalu berbalik pergi.
Hampir bersamaan terdengar dering panggilan telepon bernada digital yang lembut dari gelang androidnya. Andy buru-buru memasang kembali airphone-nya, sambil mengusap layar untuk menerima panggilan.
"Halo!"
Di ujung telepon terdengar isakan tangis tertahan.
"Dila, who's this? Is it Shellyn? Halo, Shellyn!"
"Shellyn, please, calm down!" ujar Dila.
Wenny telah memutar gagang pintu ruang ganti tetapi mengurungkan langkahnya untuk masuk. Perempuan itu terdorong untuk menyaksikan ekspresi emosional Andy. Walaupun hanya bisa mendengar suara Andy, dia dapat menduga bahwa Shellyn adalah adik perempuannya yang berada di Jakarta, sedangkan Dila, sangat mungkin asisten rumah tangga mereka.
Setelah beberapa saat yang menegangkan demi hanya mendengar isakan tersebut, akhirnya sepatah kata keluar dari mulut Shellyn.
"Andy!" Jeritan lirih Shellyn itu terdengar bergetar.
"Shellyn, ceritakan! Apa yang terjadi? Kamu enggak apa-apa?"
"Mom and Dad! … Mom and Dad!" Jeritan lirih Shellyn berubah menjadi lengkingan kesedihan.
Kepala Andy mendadak kosong. Dia tidak siap untuk membayangkan hal buruk yang dapat terjadi pada kedua orang tuanya. Lelaki jangkung itu memeras rambut pendek lemasnya sambil terus menunduk. Kali ini dia hanya ingin menunggu kelanjutan kata-kata dari mulut Shellyn.
"Mom and Dad!" Nada suara Shellyn meninggi, campuran amarah dan ketakutan.
"Katakan saja, Shellyn! Aku di sini mendengar kamu."
"Mom and Dad … sudah berubah. Mom and Dad berubah … jadi zombi!" jerit Shellyn.
Omongan Shellyn selanjutnya semakin tidak jelas akibat terguncang-guncang oleh luapan emosi. Gadis remaja 15 tahun itu terus menangis tersedu-sedu. Dia menyaksikan sendiri pada Senin pagi yang biasanya normal, ayah ibunya berubah menjadi zombi, makhluk yang sama seperti cerita yang telah tersebar beberapa hari ini di antara teman-teman sekolahnya.
***
Jumat itu matahari semakin tinggi, Babah kembali menarik gerobak barangnya. Dia mendongak ketika sejumlah mobdron melintas di langit di atas jalan raya. Mereka terbang memasuki Jakarta tanpa hambatan. Dunia orang-orang atas, dia menyebutnya begitu. Sebentar lagi pukul sembilan, dia hanya punya waktu satu jam untuk berkeliling sebelum tiba di rumah singgah tempat Ningsih bersekolah. Sementara itu, Ningsih berjalan di sisi kiri gerobak. Dia sembunyi dari orang-orang aneh di atas trotoar di seberang jalan. Mobdron terbang rendah di langit bagai kawanan burung yang melintas tiada habis-habisnya, tidak bisa mengalihkan pikiran buruk yang menghantui Ningsih. Sesekali gadis itu mencuri pandang ke belakang untuk memastikan. Babah benar bahwa jarak mereka terlalu jauh. Mobil listrik yang berjejalan juga menghalangi mereka. Selain itu arah jalan mereka berlawanan. Setelah melangkah beberapa lama dan mereka semakin menjauh, Ningsih kembali bernapas lega. Pengalaman kemarin dulu sungguh membu
Pemuda yang lengannya diringkus itu tidak terlihat melawan. Namun, dia tidak pula mengalah. "Ayo pulang!" seru si pengendara mobil. Kemudian lelaki itu beralih menghardik para pemuda yang lain, “Kalian para gabutan, pulang sana!” Masih tidak ada sedikit pun suara dari mulut orang-orang aneh tersebut. Lelaki itu mencoba menyeret tubuh terbungkus mantel merah bertudung ke kursi penumpang. Akan tetapi, alih-alih berhasil, malah dia yang terempas ke kap mobil. Lehernya tampak dicengkam tangan kurus si pemuda. Sejurus kemudian kepala bertudung merah itu bergerak mendekat ke leher lelaki tersebut. Mukanya terhalang tudung, tidak jelas yang hendak dia perbuat. Akan tetapi, gerak meronta si lelaki terkesan seolah sedang berjuang melepaskan diri dari ancaman gigitan penyerangnya. Pada saat genting si pengendara mobil berhasil menyergap serangan itu dengan tangannya yang terlihat kepayahan, sementara, suaranya terdengar parau dan tersedak ketika mencoba berteriak. Ningsih yang ketakutan,
Setelah memberi instruksi kepada Said untuk persiapan ruang rapat, Bu Asti mendatangi ruang kerja Divisi Perencanaan. Di situ dia menggantikan Andy sementara untuk menjaga komunikasi dengan Shellyn. Salah satu tugasnya sebagai sekretaris kantor adalah membantu karyawan yang sedang bermasalah. "Aku akan kembali, sepuluh menit. Aku harus mandi. Di sini ada Bu Asti, teman kerjaku. Bu Asti, ini Shellyn!" Andy menggeser sedikit tablet lipat kantornya, memperkenalkan Bu Asti kepada Shellyn. "Hai, Shellyn!" Bu Asti tersenyum lebar menatap layar tipis 17 inci. "Terima kasih sebelumnya, Bu!" ucap Andy setengah berbisik. Bu Asti memalingkan kepalanya. "Sudah cepat sana, atau saya terpaksa mengisi ulang pengharum ruangan!" "O, ya, semua sudah terkendali. Kami sudah menghubungi rumah sakit. Shellyn tinggal menunggu petugas medis datang. Dia hanya perlu ditemani agar tidak panik," cecar Andy sambil meninggalkan ruang kerjanya. Bu Asti mengangguk dan kembali menatap Shellyn di layar. "Ngomon
Bu Asti masih terkesima melihat reaksi Andy. Dari pintu muncul Wenny dengan seperangkat alat kebersihan yang dibawa oleh troli AI yang membuntutinya dari belakang. Biasanya pekerjaan Wenny di seluruh ruangan seksi Divisi Perencanaan telah rampung sebelum jam delapan. "Selamat pagi semua!" sapa Wenny, formal. Perempuan bertubuh jangkung tersebut menurunkan robot pembersih lantai berupa benda kotak ergonomis selebar timbangan badan ke lantai bermaterial kayu parket. Seksi kantor Divisi Perencanaan sendiri berbentuk memanjang dan memiliki sebuah koridor dengan ruang-ruang kerja terbuka. Luas masing-masing studio itu sembilan meter persegi yang disekat-sekat oleh dinding. "Tidak ada." Dila menjawab pertanyaan Andy. “Aku rasa peristiwa di pinggir jalan semacam itu bukan sebuah berita sebelum dilaporkan ke polisi.” "Tidak ada? Sama sekali?" "Tetapi, ada penjelasan pakar yang berkaitan dengan cerita Shellyn." "Oh, kamu mengikuti video call Shellyn? Aku lupa, tentu saja!" "Please, deh, A
Lantunan ayat Qur'an Jumat siang itu datang dari masjid di samping rumah singgah. Babah memarkir gerobaknya di luar pagar di sudut dekat tong sampah. Ningsih telah masuk ke dalam, sementara, Babah mengaso di bangku kecil di bawah pohon ceri tempat anak-anak biasa bermain. Babah belum pergi sebab hari itu dia mempunyai janji bertemu dengan Bang Amir. Rumah singgah bagi anak-anak telantar itu menyediakan ruang belajar dengan barisan meja kursi dari kayu. Ningsih selalu memilih meja di pojok dekat pintu. Ia akan duduk diam di situ memperhatikan guru yang mengajar dengan papan putih dan spidol. Hari itu yang mengajar mereka, seorang guru baru bernama Evi. Sepertinya perempuan berhijab itu seorang mahasiswi. Dia masih muda, mungkin sepantaran dengan Bang Amir. Jam pertama, Kak Evi mengajar Geografi. Dia bertanya kepada murid-murid tentang Indonesia. Para anak laki-laki dengan lantang meneriakkan jawaban yang memang mudah. Mereka rata-rata berumur 12 tahun, masih berwajah kanak-kanak teta
Babah bangkit dari duduknya, meregangkan badan. Dia siap kembali berangkat. Masih ada yang mengganjal di benaknya seminggu ini. Babah sedang mencari sebuah benda penting untuk mobil bekas yang sedang ditukanginya di ladang mobil. Dia harus kembali berkeliling dan berharap di Pasar Besi akan menemukan benda tersebut. Pasar Besi adalah tempat jual beli suku cadang bekas pelbagai jenis mesin. “Kamu sudah akan pergi, Pak?” tanya Bang Amir. Anak muda itu berdiri menjulurkan tangannya. “Ya, eh, maaf, tanganku kotor!” Babah hendak menolak menyalami tetapi Bang Amir tetap saja menjabat tangan kasarnya. “Menemukan banyak barang rongsok pagi ini?” “Hanya beberapa kardus … ditambah panci aluminium rusak pemberian orang.” "Aku pernah berpikir coba seandainya Bapak menemukan satu tas penuh koin emas di jalan." "Kalau seperti itu … tak semudah membayangkannya. Aku hanya mengambil yang telah dibuang orang. Dan, hanya orang tidak waras yang bersedia membuang koin emas satu tas." Babah tersenyum
Kendaraan bersayap itu mendarat di landasan kecil di dekat puncak gedung. Profesor Munir keluar dari kursi belakang kabin mobil jet dan disambut seorang petugas keamanan bersetelan hitam yang dengan sigap menyiapkan tangga untuk turun. Satpam itu juga memberi tahu pengemudi mobil jet untuk kembali terbang dan menyarankan memarkir kendaraannya di lahan garasi di barat daya pulau. Hari itu ruang parkir di landasan tersebut akan dipakai oleh mobil jet petinggi Oracle. Mesin mobil jet yang baru datang itu kembali menderu. Ia terangkat vertikal ke udara, melipat kaki-kaki pendaratnya, sebelum kemudian melayang dengan halus di langit kota. Dari jauh ia tampak seperti layang-layang hitam segitiga yang pada satu momen melesat kencang serta bermanuver setengah lingkaran. Di ambang pintu kaca otomatis, Profesor Munir melepas kacamata mataharinya. Pada usia 55 tahun, lelaki setinggi 165 cm itu masih bugar. Pandangan matanya tajam, tetapi terlihat tenang. Ini bukan pertama kalinya dia datang ke
Andy tengah menyambut paramedis yang tiba di rumah orang tuanya ketika menerima telepon dari Bu Asti. Adiknya, Shellyn, keluar dari kamarnya untuk membukakan pintu sambil menggunakan head set berkamera. Tiga petugas medis itu berjalan mengikuti Shellyn menuju ruang duduk lalu ke dapur. Itu adalah pertama kalinya Andy melihat kondisi Mom. Ibunya berdiri di sisi jendela kaca, menghadap ke luar. Kaku, tak bergerak, seperti manekin. Tidak ada respons dari ibunya tatkala salah seorang petugas medis menyapanya. "Mom, Mom, please, Mom!" seru Shellyn yang secara perlahan datang mendekat. Shellyn merengkuh tangan ibunya. Mom hanya menatap lurus ke depan seakan tidak merasakan kehadiran orang-orang di sekitarnya. Andy tak dapat menyangkal bahwa ekspresi ibunya terlihat dingin, sedingin zombi. Adiknya lalu mengguncang-guncangkan tangan sang ibu, berharap dia menjadi sadar. Gadis itu tak lagi takut karena ada orang lain yang hadir untuk membantunya, bahkan suaranya bertambah kencang mengulang
Andy telah selesai berbicara melalui telepon dengan Udin ketika turun di spot streamline di bawah gedung Oracle. Sopir mobil jet Profesor Munir itu sepakat untuk terbang membawa Andy ke seberang pukul sembilan. Si sopir bersemangat menawarinya untuk mengantar langsung ke Jakarta tetapi Andy tetap menolak. Setelah keberangkatannya hampir pasti Andy meminta Dila mencarikan tiket kereta atau bus jurusan Tegal—Jakarta untuk siang ini. Andy juga membaca berita terbaru tentang lockdown agar tidak melewatkan perkembangan yang berlangsung cepat seperti yang terjadi semalam. Editorial Betaverse Outlook mengatakan, tinggal menunggu waktu Kota Betaverse menghadapi persoalan yang sama dengan kota-kota lain di Jawa. Andy berkutat dengan tabletnya hingga anak tangga elevator bertemu marmer lantai bawah tanah yang berkilau. Spot perhentian itu bermandikan cahaya lampu, sangat mencolok dibandingkan lorong gelap di jalur lintasan pod cab. Di area masuk, pengguna streamline lebih ramai d
Dewan kota diisi para tokoh penting Betaverse. Namun, lima puluh orang itu tidak dipilih lewat pemilu seperti anggota parlemen. Dengan jumlah warga sekitar tiga ratus ribu jiwa, Betaverse menggunakan sistem musyawarah yang lebih sederhana dibandingkan kota-kota di Pantura. Semua warga Betaverse berhak mendaftar untuk ikut dalam rapat. Serta-merta mereka dapat menjadi anggota dewan kota berdasar ketentuan dan kondisi dari Panitia. Tentu saja semua pendaftar diseleksi agar sesuai yang dibutuhkan. Cara lain adalah melalui undangan dari Panitia. "Cara kedua itu yang lebih banyak dipakai. Terutama untuk rapat dadakan," jelas Profesor Munir sambil mengusap tangannya dengan semprotan antiseptik. Andy duduk menghadap beliau sambil mendengar penjelasan tentang rapat dewan kota Betaverse. Sebelumnya sebagai pembuka percakapan Andy memberi tahu yang dilihatnya di lantai 55 kepada sang profesor. Andy berasumsi beliau mengetahui rencana rapat tersebut dan bahwa acara di aula
Memelesat di dalam pod cab dengan jendela bening transparan lebih terasa hidup daripada mode sembunyi. Andy merekam video pemandangan di depannya dengan tablet. Dia merasa takjub seperti saat awal-awal kepindahannya ke Betaverse. Andy tahu ada kemungkinan, atau lebih tepatnya risiko, dia akan meninggalkan kota ini demi membersamai Mom, Dad, dan Shellyn. Meski singkat, menjadi warga Betaverse sudah merupakan pengalaman yang sangat berkesan. Tidak akan ditemuinya lagi moda transportasi seperti ini di mana pun, satu-satunya di dunia. Baru kali ini setelah sebulan memilih bersepeda, Andy kembali menggunakan streamline. Lorong di bawah tanah tempat jalur pod cab itu, dibuat dengan tata cahaya yang indah agar pengguna streamline tidak terintimidasi oleh ruang tertutup dan kecepatannya yang seperti peluru. Efek garis-garis cahaya itu menurut Andy membuat streamline bagaikan kapsul perjalanan waktu. Pengguna yang takut melihat pemandangan dalam kecepatan tinggi itu kemungkinan tidak tahu ca
Pagi pukul enam lewat, Bob telah duduk di meja favoritnya di restoran UniChichi. Liurnya nyaris meleleh melihat penampilan semangkuk mi kuah dengan tambahan telur sambal merah. Rasa kantuknya pun hilang disulut aroma hidangan hangat yang membangkitkan selera. Sementara, gelang androidnya sunyi tanpa ada notifikasi apa pun. Bob merasa tidak perlu menunggu. Perutnya sudah berunjuk rasa sebab semalam hanya diberi asupan roti dan biskuit. Biarlah Said menyusulnya belakangan, pikir Bob. Nanti dia dapat menemani Said sarapan sambil menikmati tahu gejrot—buah tangan yang dia pesan semalam—sebagai menu penutup. Mi kuahnya hampir habis ketika Said muncul di ambang pintu restoran yang sengaja dibuka lebar setiap pagi. Pemuda itu masih membawa ransel. Tampaknya dia langsung datang ke UniChichi tanpa pulang lebih dahulu ke apartemen. Di tangannya tergantung goodie bag yang pasti berisi oleh-oleh. “Maaf, aku terlambat, Pak Bob!” Laki-laki semampai itu langsung duduk di depan Bob. Dia menyisir se
Sekitar pukul enam Andy telah mengayuh sepeda dari tempat parkir apartemennya menuju jembatan penyeberangan. Dia berkemas rapi dengan ransel yang terlihat penuh. Jaket kulit domba bertekstur halus yang dia kenakan cukup mampu menahan embusan angin dari daratan Jawa. Namun, dia melambat setelah melihat sekelompok polisi berjaga di mulut jembatan. Ketika akhirnya sepeda itu berhenti, seorang polisi muda datang mendekat. Dengan senter gelang tangan, polisi itu menyoroti sepeda gunung berdesain klasik itu. Andy mencoba tidak ambil pusing. Polisi mengetatkan pengawasan di situasi seperti sekarang adalah hal wajar. Andy hanya berharap jembatan masih dapat dilintasi. Seorang polisi lain datang menghampiri. “Pak Andy Shao?” Andy tidak mengenal petugas berusia sekitar 30 tahun itu. Sistem pengawasan inteligen digital pasti telah memindai muka Andy melalui kamera pengawas di sekitar tempat itu. Dengan cara itu petugas tersebut dapat memperoleh identitasnya dengan mudah. “Selamat malam, Pak
Berdiri di pinggir koridor depan pintu lift, Andy tertegun menatap tabletnya. Dia membuktikan kata-kata Dila. Tiket kereta untuk malam ini hingga besok, bahkan setelahnya, kosong. Tidak ada jadwal perjalanan Tegal-Jakarta, tidak ke mana pun. Hanya ada keterangan “pelayanan rute luar kota dihentikan sementara”. Meskipun telah mendapatkan izin cuti, Andy masih belum tahu kapan dia akan berangkat ke Jakarta. Pilihan lain adalah dengan memesan travel mobdron yang berangkat dari Betaverse atau naik pesawat terbang dari bandara Cirebon. Namun, Andy lebih memilih transportasi darat lain seperti bus daripada melayang di atmosfer. Dia akui dirinya mengidap aerophobia. Dia takut naik pesawat terbang, melebihi ketakutannya duduk di dalam mobdron yang hanya terbang di bawah ketinggian seribu meter. "Benar rupanya," gumam Andy. "Kamu meragukan jawabanku, Andy?" balas Dila di airphone-nya. "Apakah sudah diputuskan? Lockdown?" "Belum ada beritanya. Tapi, bukan
Terakhir kali Bob datang ke kantor Departemen Kepolisian enam bulan lalu. Saat itu dia menemani Martina yang menjadi saksi untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di sebelah apartemennya. Yang menarik dalam kasus itu, Bob curiga dengan pengakuan si istri yang menjadi korban, bahwa semua yang diceritakan wanita itu kepada Martina tidak berdasar. Sistem pengawasan sosial di kota ini terlalu rapi sehingga semua orang melaporkan kondisi diri mereka setiap hari, sekalipun itu dilakukan secara tidak sadar. Dari teknologi face hingga voice recognition, tidak ada orang yang dapat menghindar dari pendataan mesin. Semua itu digunakan untuk keamanan mereka sendiri. Akibatnya, sebagai contoh, petugas kepolisian akan segera mendatangi alamat rumah seorang warga ketika satu hari saja keberadaannya hilang dari sistem. Selain itu, jika benar terjadi kekerasan, korban dapat dengan mudah mengaktifkan SOS dengan banyak cara sehingga sistem yang menggunakan artificial intelligence se
Lamat-lamat terdengar bunyi pintu apartemen dibuka seseorang. Mungkin itu Martina. Terjaga dari tidurnya, Bob melihat jam di atas meja nakas, pukul satu lebih. Sinar terik matahari mengintip di sela sambungan gorden yang tertutup. Biasanya, apabila tidur pagi sehabis shift malam, Bob akan bangun pukul tiga sore, kemudian makan siang, lalu bersantai di ruang duduk dan menonton TV hingga waktu joging sebelum pukul lima. Sekarang dia punya waktu lebih untuk melakukan hal lain. Bob bangkit dari ranjang, merasa sudah tidak dapat tidur lagi meski badannya belum segar benar. "Dari mana kamu, Malyshka?" tanya Bob sambil memeluk Martina yang berdiri di depan bak cuci dapur. Diciumnya rambut keemasan wanita asli Rusia itu. "Kau sudah bangun. Tidurmu kurang lelap, ya?" balas Martina dengan aksen asing yang masih cukup kental. Alih-alih menoleh dan membalas kecupannya, Martina sibuk mencuci brokoli di bawah keran. Istrinya tampak tidak bersemangat dan enggan membicarakan kegiatann
Virus tersebut melumpuhkan kesadaran orang-orang yang berdiam mematung di pinggir jalan. Kemampuan kognisi mereka berhenti. Demikian pula yang terjadi pada ibu Andy di dalam rumahnya. Tapi, apakah mereka benar-benar tidak merasa mengalami apa pun? "Bandingkan dengan robot di mal ketika sedang dinonaktifkan, mereka juga tidak merespons orang lain! Tapi, pengidap virus Z tidak sama dengan robot-robot humanoid itu," ujar Profesor Munir ke hadirin. Dia lalu kembali mengirim pesan singkat kepada Andy untuk melanjutkan videonya. "Dila, kaburkan wajah Mom and Dad di dalam video!" kata Andy di ruang studionya. Serta-merta Dila memasukkan perintah ke dalam aplikasi untuk mengaburkan wajah cantik Mom. Profesor Munir mengomentari setiap video dari Andy yang memenuhi layar di depan ruang rapat. Sang profesor harus menahan kecewanya ketika mendapati bagian wajah suspek pengidap virus Z—dalam hal ini ibu Andy—, dibuat kabur. Bagaimanapun, dia tahu bahwa Undang-Undang Informasi