Rena merasa dunianya dibalikan dengan paksa saat Luke memberikan dua pilihan padanya. Pilihan yang sulit karena keduanya adalah sesuatu yang begitu berarti. Pendidikan dan bayinya, kehidupan dan napasnya. Tapi Luke memberikan pilihan sulit itu dengan terlalu tiba-tiba.
Pendidikan adalah apa yang selalu dikejarnya, alasan yang membuatnya menerima banyak rasa sakit. Pendidikan yang membuatnya menerima segalanya dengan ketulusan. Tapi sekarang sesuatu yang lain telah hadir, seorang bayi, bayinya. Buah cinta yang hadir berkat kebesaran hatinya untuk menyerahkan dirinya pada calon suaminya malam itu. Sesuatu yang terjadi karena tatapan keseriusan Luke serta rasa cinta yang tiba-tiba memenuhi dada.
Jujur dari dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia benar-benar menginginkan bayi ini. Ia ingin bayi ini hadir dan mengisi kekosongan hatinya. Tapi ia juga tidak ingin kehilangan pendidikannya. Perkataan Luke benar-benar menusuknya, membuatnya merasa petir menyambarnya
Luke berjalan cepat saat merasa ia telah terlalu lama membiarkan Rena sendiri. Ia cukup cemas, tapi meyakinkan Jeffrey adalah hal yang harus ia lakukan. Ia menyayangi pria itu seperti seorang adik yang telah tumbuh bersamanya. Mereka adalah keluarga. Keluarga yang sebenarnya akan selalu saling melindungi. Jeffrey mencintai Riana, maka keselamatan Riana juga adalah tanggung jawabnya."Kamu meninggalkannya cukup lama." Suara terdengar saat Luke baru memasuki ruangan itu. Seorang itu, Wei Hongli."Aku memiliki beberapa urusan." Luke langsung melangkah ke daerah ruang periksa Hongli dan pria itu hanya mengikutinya.Luke hanya diam saat menemukan Rena yang tidak lagi kesakitan. Calon istrinya itu tengah tertidur dengan wajah damai yang pucat. Tidak lagi ada raut kesakitan di sana. Tapi sisa dari tangisnya masih terlihat dengan jelas."Aku membiarkannya tidur setelah aku memeriksanya." Hongli sedikit tersenyum saat Luke menatap Rena dengan cukup l
"Ya, Jane. Maafkan aku, aku benar-benar tidak bisa." Luke berucap dengan suara yang penuh sesal, tapi wajahnya hanya tanpa raut. Dia ingin membatalkan janjinya dan menemani Rena"Ku pastikan untuk lain kali." Kemudian Luke menjauhkan benda persegi panjang dari telinganya.Luke menghela napas lelah. Ia telah membuat sebuah kebohongan hari ini. Luke mengusap wajah lalu berbalik untuk kembali menemani Rena sebelum ia melihat Ben dan Bella menghampirinya. Luke menyapa lebih dulu. Ia tengah berusaha terlihat baik meski tidak sepenuhnya."Kami datang untuk menjenguk Rena." Ben tersenyum."Menjenguknya? Rena tengah tidur." Luke rasa ini tidak memungkinkan untuk mereka menemui Rena. Rena harus beristirahat dan ia sangat tahu kalau Bella adalah seorang yang tidak bisa diminta untuk tidak bertingkah berlebihan. Rena mungkin akan terganggu."Baiklah. Kami akan datang lain waktu." Ben mengangguk-angguk kecil, tahu apa yang Luke maksud dan ia bern
Tidur yang lelap, Rena seakan membayar seluruh kelelahannya dengan kesempatan tidur nyenyak di ruang tempat ia dirawat. Luke menutup pintu dan berjalan sangat pelan, seakan di setiap langkahnya, dia dapat mengusik seseorang di sana. "Tidurmu sangat lelap, apa yang sedang kamu lihat?" Luke mengusap rambut Rena dengan sentuhan yang terlalu lembut. Rena sangat cantik, ia tampak damai dalam tidur. "Mungkinkah kamu melihat bayi kita? Dia masih bersamamu, maaf karena aku hampir menyakitinya." Luke mengecup lembut dahi Rena, menyampaikan jutaan rasa bersalah yang tidak mampu ia sampaikan. Namun sentuhan selembut kapas itu tetap mengusik Rena. Mata cokelatnya yang bersinar tampak terbuka dengan pelan dan itu membuat Luke merasa sedikit rasa sesal menghampirinya. Ia tidak bermaksud untuk membuat Rena bangun. Namun Rena rupanya bisa terbangun hanya karena sebuah sentuhan lembut. "L-Luke." Suara Rena yang serak terdengar terbata. Itu adalah satu-satunya sifat manusiawi yang ia miliki sejak ha
"Tempatnya begitu indah, Rena. Kamu harus ke sana sesekali, itu baik untuk dirimu. Apapun yang terjadi, cobalah untuk selalu bahagia karena bayimu membutuhkannya." Saat Luke masuk, suara Alexa menyambutnya. Ia tersenyum karena melihat seberapa besar usaha Alexa untuk menjadi dekat dengan Rena yang masih sedikit kaku."Membicarakan sesuatu?" Luke bersuara, menyadarkan kedua orang itu akan kehadirannya. Mereka terlihat hanya memasuki dunia mereka sendiri hingga tidak menyadarinya yang sudah bergerak sedari tadi di ruangan itu."Ya, tentang villamu. Rena harus mengunjunginya." Luke tersenyum saat mendengar sahutan Alexa. Perihal berlibur, Luke bahkan tidak sempat memikirkan hal itu."Ya, saran yang bagus." Luke menanggapi dengan suara yang terdengar ringan. Ia seperti benar-benar menganggap itu ide yang bagus."Kamu membawa sesuatu?" Alexa melihat sebuah bungkusan di tangan Luke hingga itu berhasil menarik sedikit perhatiannya."Ya, nutr
"Bos! Mereka telah menyerang hingga ke dalam!" Seorang pengawal berlari tergopoh menghampiri mobil yang berhenti dengan bunyi decitan yang nyaring. Pengawal itu memegang sebuah senjata, tampak tertekan dan berkeringat banyak. Luke menajamkan mata dan napasnya terdengar memburu, amarah mulai memenuhinya. Sebenarnya ada satu yang ia takutkan, Riana. Perempuan itu ada di rumah sejak pagi dan tidak pergi ke manapun. Jeffrey meninggalkannya sebentar, Luke khawatir Riana terluka karena ketidakadaan mereka tadi. Ia terlambat dan ia khawatir kalau Jeffrey juga datang sedikit terlambat meski Jeffrey datang lebih cepat daripada dirinya. Suara tembakan yang nyaring sedikit menyentak Luke, menyadarkannya dari pemikiran yang mulai kacau. Ia mendesis dengan marah. Hal sialan ini terjadi di saat yang sangat tidak tepat. "Dimana Jeffrey?" Luke bertanya dengan teriakan. Ia telah menembakkan satu peluru pada salah seorang musuh yang mencoba melompat ke arahnya.
Luke mengendarai mobil dengan kesulitan, terluka karena tertembak mulai membuatnya merasa kewalahan. Ia sedang mencoba untuk fokus di antara rasa sakit. Tapi sebenarnya ini bukan hanya tentang rasa sakit, juga karena darahnya yang tidak berhenti keluar. Peluru itu tidak begitu dalam, tapi melukai pembuluh darah dan jaringan otot di lengan atasnya. Ia merasa kepalanya berputar. Luke berkendara dengan kecepatan tinggi saat merasakan rasa sakit semakin menyengat. Ia harus segera tiba di rumah sakit untuk perawatan luka-lukanya. Ia tidak ingin sesuatu menjadi lebih memburuk lebih dari ini. Sebenarnya ia tidak boleh runtuh. "Sial!" Luke berteriak. Ia sering terluka sebelumnya, tapi luka ini terasa berbeda. Apa musuhnya melumuri sesuatu pada peluru itu? Hingga kepalanya terasa memberat dan pandangannya memburam? Sial! Luke sudah tahu kalau pria itu adalah orang gila, tapi ia tidak tahu kalau pria itu bisa segila ini. Napas Luke terdengar putus-putus dan ia tidak menyadari kalau ia menginj
Hari telah mulai gelap saat Bella menghampiri Rena yang berdiam di ruangannya dengan masih duduk di kursi roda. Ruangannya gelap dan hanya diguyuri cahaya dari jendela yang tidak ditutup. Rena yang malang, ia semakin pendiam saat mengetahui kabar mengenai calon suaminya. Ia tidak menangis tersedu, tapi semua orang tahu ia begitu terluka. Ia memiliki sebuah kehidupan di dalam tubuhnya. Ia memiliki seorang bayi yang tumbuh dan berkembang di rahimnya. Bayi itu hidup dan bernapas di pelukannya. Ia harus tetap bahagia, itu yang orang-orang katakan karena itu untuk bayinya. Tapi apa lagi yang harus ia lakukan untuk menyelamatkan kebahagiaan hatinya saat ayah dari bayinya berjuang melawan maut? Ia khawatir dan lebih dari itu, ia terluka. Memikirkan jika kemungkinan terburuk yang terjadi, ia tidak sanggup. Anaknya akan tumbuh tanpa hangatnya kehadiran seorang ayah. Anaknya akan mengalami hal yang sama seperti yang ia rasakan. Rena bernapas dalam sesak, tanpa sengaja mengulang lagi ingatan te
Amora memeluk tubuh gemetar Rena, mengusap bagian belakang kepala yang dilesakkan di perutnya. Berusaha menghentikan tangis yang masih sama keras seperti sejak seperempat jam tadi. "Luke akan baik-baik saja." Hendry yang tadi hanya berdiam kini berbicara, mencoba menenangkan kekasih sahabatnya. "Tapi kamu sendiri lihat ia seperti itu. Ia tidak membuka matanya. Luke terluka." Rena menjawab dengan suara yang teredam. "Ia baik-baik saja. Ia akan bangun." Sekali lagi Hendry berbicara, nada suaranya terdengar lebih yakin. "Bagaimana kamu bisa berbicara seperti itu, Hendry? Kamu tahu ia memiliki kemungkinan besar untuk pergi. Dengan cara bicaramu, apakah kamu bisa menjamin keselamatannya?" Rena menarik tubuh dan menatap Hendry dengan tatapan yang asing. Ia menjadi keras kepala. Tapi sebenarnya ia masih Rena yang sama. Hanya saja ia tidak mempercayai apa yang harus dihadapinya. Ia hanya lelah saat derita dengan tidak tahu diri terus membelenggu. Sedangkan Hendry berbicara dengan mudah, s
Rena bergerak ke dalam pelukan suaminya. Kulit mereka yang sama polosnya menyentuh satu sama lain. Ini adalah malam hari jadi pernikahan tahun kelima mereka. Riana dan Jeffrey membawa Edrick untuk menginap di rumah Hendry untuk bermain bersama putri Hendry dan Amora, Liliana Lewis. Mereka bermaksud memberikan waktu berdua pada Luke dan Rena untuk menikmati waktu mereka. Hingga mereka sekarang berada di atas tempat tidur, memutuskan untuk mengakhiri hari jadi pernikahan untuk saling menghangatkan.Rena tersenyum samar dan perlahan menangkup wajah suaminya. Luke terlihat tampan meski keringat mulai membasahi wajah. Menatap Luke seperti ini perlahan membuat Rena mengingat lagi tentang masa lalu mereka. Ia kembali mengingat bagaimana Luke saat dulu pertama kali menyentuhnya. Ia juga kembali mengingat bagaimana raut wajah yang ia tunjukkan. Dahulu wajah tampan itu terisi dengan belas kasihan dan sedikit rasa peduli. Tapi sekarang wajah itu menunjukkan cinta dan kebah
Rena hampir menangis karena air susunya tidak cukup untuk menyusui Edrick. Untung saja ibu mertuanya ikut ke rumah Ploy dan mengambil air susu di lemari pendingin. Ia sempat memerah air susunya sesaat sebelum ia berangkat untuk menyelamatkan Luke.“Sudah, tidak apa-apa. Kamu harus lebih tenang agar produksi susumu baik untuk menyusui Edrick selanjutnya. Air susu perah ini hanya cukup untuk menyusuinya sekali ini saja.” Ibu Luke yang menggendong Edrick dan membantunya meminum susunya, membiarkan Rena menenangkan dirinya sendiri.“Baik, Ibu. Aku mengerti.” Rena menyahut setelah menghela napas panjang untuk sedikit menenangkan diri. Sebenarnya ia tidak bisa tenang saat Luke harus menghadapi bahaya. Tapi ia akan berusaha karena bahkan Ibu Luke sekalipun menunjukkan sikap tubuh penuh ketenangan.“Bagus. Kamu harus tenang. Sebenarnya bukan hanya untuk Edrick tapi juga dirimu sendiri. Kalau kamu terlalu stress dan kelelahan k
Orang-orang itu memasuki sebuah ruangan dengan tenang, mengabaikan wajah terkejut banyak laki-laki di sana. Mereka adalah tamu yang tidak disangka akan datang. Mereka adalah Phoenix dan King. Mereka orang-orang terkejam yang sanggup membunuh untuk menunjukkan eksistensi dan kekuatan mereka. Terlebih, mereka datang setelah musibah yang menghampiri Phoenix dan terlihat sama sekali tidak terpengaruh oleh itu.“Ini wilayahku dan kalian masuk tanpa persetujuanku. Apa yang kalian lakukan di sini?” Suara Mark yang geram menyambut keduanya.“Bukankah kamu juga melakukan hal yang sama? Aku hanya melakukan apa yang kamu lakukan sebelumnya. Hanya saja aku lebih bermoral karena tidak memasuki wilayahmu dengan menyelundup.” Luke menyahut dengan tenang sementara matanya berpendar mencari seseorang lagi pembuat masalah. Hingga ia menemukannya, Jane yang mendekati Mark setelah keluar dari sebuah ruangan,“Sialan. Apa yang ingin kamu l
“Aku tidak bangun untuk melihatmu menangis, Rena.” Suara laki-laki yang masih terdengar lemah itu berisi dengan rasa khawatir. Ia baru saja terbangun lalu menemukan Rena yang langsung menangis.Sedangkan Rena malah menangis semakin keras karena Luke yang berupaya menenangkannya. Rasa lega yang menerjangnya terasa terlalu keras hingga ia sendiri kelimpungan dalam menanggapi. Ia hanya terlalu lega hingga kini membuat Luke yang berubah khawatir padanya.“Apa yang harus dikhawatirkan? Lihatlah! Aku baik-baik saja.” Jawaban Luke membuat ibunya menghela napas jengah.“Kamu membuatku khawatir, Luke. Kamu kehilangan kesadaran di depan wajahku. Saat tenaga medis berusaha menyelamatkanmu, kamu dalam kondisi tidak stabil karena kekurangan darah. Sedangkan di rumah sakit ini hanya tersisa satu kantong darah untukmu dan itu tidak banyak membantu. Aku panik sekali.” Kini Rena yang berbicara, nada suaranya terdengar sedikit kes
Luke tengah berada di ruang operasi. Tenaga medis tengah melakukan operasi kecil untuk mengeluarkan peluru yang bersarang di tubuhnya. Tapi operasi itu berjalan lama karena kondisi Luke yang tidak stabil. Ia kehilangan banyak darah, sehingga penanganannya harus sangat hati-hati.“Rena, aku tahu kamu cemas. Tapi aku mohon duduklah sebentar, kamu sudah berdiri terlalu lama. Aku tidak mau kamu pingsan saat nanti Edrick harus kau susui.” Itu Alexa yang berbicara. Ia cerewet hari ini karena melihat Rena yang terlalu ceroboh untuk dirinya sendiri. Sebenarnya ia lebih cerewet sebelumnya saat ia menyuruh Rena mengganti baju dengan baju yang Riana bawa. Ia memang sengaja meminta Riana untuk segera menyusul ke rumah sakit dengan bantuan Ben dan membawa setelan baju yang seukuran dengan tubuh kurus Rena. Ia hanya khawatir saat melihat tubuh Rena berbalut darah. Ia juga seseorang yang rela untuk sangat direpotkan saat membantu Rena untuk menghapus noda-noda dara
Alexa masuk bersama Hendry, Jeffrey, Joseph dan Rena. Sebenarnya Hendry, Jeffrey dan Joseph sudah meminta Alexa untuk tinggal. Tapi mereka berakhir berada di tempat itu karena Rena ingin ikut, membuat Alexa ingin menemaninya. Alexa hanya tidak ingin Rena kehilangan pengendalian diri karena ia mungkin saja masih mengingat kejadian mengerikan yang ia dan Bella hadapi hari itu.“Pelacur sialan! Bagaimana kamu bisa berada di sini?” Jane berteriak marah. Rencananya ia hanya mengundang Rena, tapi pelacur sialan ini malah ikut.“Aku tidak hanya pintar untuk menjajakan tubuhku, tapi juga menggunakan otakku. Itu yang disebut dengan pelacur yang cerdas. Tidak murahan yang memperkosa seorang laki-laki.” Alexa menjawab dengan kesombongan di nada bicaranya. Ia murka, ia tidak terima seorang teman dekat sekaligus suami sahabatnya diperlakukan sebegitu rendah.Sebenarnya tidak hanya Alexa yang merasa amarah membakarnya, terlebih lagi Rena.
Meronta saat merasakan kulitnya dicengkram erat begitu tali-tali di tubuhnya dilepaskan. Ia berencana untuk melepaskan diri, tapi efek obat bius masih membuat ia cukup lemas. Sedangkan Jane hanya diam saat melihat Luke mulai berteriak frustasi. Ia memang mencintai Luke, namun ia tidak bisa diam saat rasa sakit menggigit hatinya. “Apa yang kamu rencanakan? Apa yang ingin kamu lakukan?!” Luke berteriak marah lalu mencoba memberontak. BUG! “Sialan!” Luke berteriak marah pada Mark yang tiba-tiba memukulnya. Ia benar-benar marah pada mereka serta tubuhnya yang terasa seperti bukan tubuhnya sendiri. “Kamu hanya perlu diam dan nikmati apa yang kami berikan padamu. Saatnya kamu yang kalah, Phoenix. Saatnya kau yang merasakan dipermalukan. Saatnya kamu yang merasakan perasaan tidak berdaya.” Mark tertawa setelah itu, merasa puas melihat ketidakmampuan Luke membalas pukulannya. “Hentikan ini sekarang juga! Kamu pikir apa yang akan kamu la
Tubuh laki-laki itu terlihat lemas bersandar pada sebuah kursi di ruangan yang kumuh. Ia terikat oleh seutas tali tambang yang kasar. Posisi tubuhnya terlihat benar-benar tidak nyaman. Sementara orang-orang di sana hanya memandangnya dan menunjukkan wajah yang tenang. “Seberapa banyak dosis obat bius yang kamu berikan?” Seorang laki-laki bertanya pada seorang perempuan di sana. Nada suaranya mulai terdengar tidak sabar. “Bukan aku yang memberikannya, aku meminta dokter pribadiku. Kenapa kamu tidak bersabar sedikit?” Perempuan itu menyahut dengan kesal. “Jane, aku ke sini tidak untuk membuang banyak waktu. Jika aku tahu akan jadi sebegini terlambat, aku akan menunda untuk datang lebih dulu.” Tapi si laki-laki menyahut tidak kalah kesal. Ia memiliki banyak hal yang ingin ia jadikan pencapaian hingga menunggu seperti ini benar-benar terasa tidak berguna. “Lalu apa? Bukankah ini adalah apa yang juga kamu tunggu, Mark? Kamu ingin melihat dia
Cahaya bintang terlihat redup saat ditatap dari taman belakang yang berisi bunga-bunga yang ditanam seorang perempuan cantik belakangan hari saat ia masih mengandung. Udara mendinging dan suara menyepi. Hari telah berubah semakin larut tapi Luke masih terjaga. Rasa rindu pada Rena semakin tidak tertahankan sedangkan ia masih harus bertahan pada kesunyian yang sama demi meluluskan diri dari ujian kesabaran yang ia buat sendiri. Rena selalu pandai bersabar, maka ia juga harus bisa. Memiliki cinta seorang malaikat membuatnya harus merubah diri walau terasa menyakitkan.“Rena, bagaimana kabarmu? Aku merindukanmu. Tidakkah kamu juga merasakan hal yang sama?” Tangan Luke terangkat untuk mencengkram dadanya sendiri. Ia telah sekarat karena rindu yang mulai berkarat.Rasa rindu teramat dalam ini seperti akan merenggut kewarasannya. Oh Tuhan, jika iblis sepertinya boleh memohon. Maka ia memohon jika saat waktu memaksa mereka untuk berpisah, ia ingin ia