Elisa terbangun setelah dirinya tadi kelelahan dan sempat tertidur di ruangan Dokter.Saat itu hari sudah menjelang siang,terlihat dari jendela kamar yang di biarkan terbuka begitu saja.
Elisa mendengar suara kedua orang tuanya,yang sepertinya tengah mengobrol di depan pintu.Mereka seperti membicarakan dirinya,tapi entah soal apa yang mereka bicarakan.
Ia ingin beranjak,tapi tubuhnya sedikit lemas.
Elisa memaksa untuk duduk,dengan kepala yang sedikit pusing.
"Mi...."
Seketika pintu terbuka,menampilkan wajah Mami Sintia yang terlihat kecewa.
"Kamu sudah bangun,El..?"
Mami Sintia mendekat dan duduk di samping ranjang Elisa.
"Papi di mana,Mi?"
Elisa melihat ke arah pintu yang terbuka,tapi sejak tadi Papi Andreas belum juga masuk menemuinya.
"Papi sedang keluar sebentar,El.Ada yang harus Papi urus."
Lantas Mami Sintia mengambil minuman yang be
Sehari Menjelang Pernikahan Elisa.Roy masih asik berkutat di atas meja kerjanya tanpa mempedulikan suara dering ponsel yang terus berbunyi.Sepertinya laki-laki itu sama sekali tidak terganggu,bahkan Roy sama sekali tidak melirik atau sekedar penasaran untuk melihat siapa yang menghubungi.Ya,saat panggilan pertama Roy sudah menebak bahwa yang menghubunginya pasti Elisa,siapa lagi?Roy hanya tidak ingin gadis itu kembali merengek perihal pernikahannya yang akan di adakan besok pagi.Walaupun sebenarnya Roy tidak terlalu menginginkan pernikahan ini,tapi ia tetap harus memastikan anak yang ada di dalam kandungan Elisa mempunyai keluarga yang utuh.Ia tidak ingin anak itu bernasib sama seperti dirinya.Sedangkan di seberang sana,seorang gadis terus memaki sambil berusaha menghubungi laki-laki itu lagi,namun nihil...Roy sama sekali tidak menjawab.Kesal,Elisa segera melempar ponsel milikny
Kediaman Andreas.Sedari pagi pelayan terlihat sibuk menghias ruang tengah yang akan di jadikan tempat pernikahan antara Elisa dan Roy.Terlihat juga beberapa orang tengah memasang bunga segar di setiap sudut ruangan seperti permintaan Nyonya Andreas.Meski pernikahan Elisa akan di adakan dengan sederhana,tapi Nyonya Andreas berusaha memberikan yang terbaik untuk putri satu-satu nya itu.Terlihat Elisa di kamar pengantin tengah di rias oleh MUA yang sengaja Mami Sintia sewa secara langsung.Ia ingin melihat putrinya tampil cantik di hari pernikahannya.Elisa hanya bisa pasrah membiarkan wajahnya di rias di depan cermin,sambil sesekali ia melirik tidak suka akan penampilannya sendiri.Kenapa harus ada acara di rias,ini kan cuma pernikahan sederhana.Gadis itu hanya mendengus kesal,melihat penampilan dirinya yang memang terlihat sangat cantik.Harusnya ia bahagia kan,namun Elisa sama sekali
"Roy...?"Panggilan Tuan Andreas menghentikan langkah kaki laki-laki itu yang hendak menuju kamar tamu."Iya,Pi..?"jawab Roy setenang mungkin,ia tidak ingin Tuan Andreas tau Elisa mengusirnya dari kamar,karena pasti gadis itu akan terkena masalah."Kamu belum tidur?"Tuan Andreas menghampiri menantunya yang terlihat menuruni anak tangga,kebetulan ia tengah dari dapur mengambil air minum dan tidak sengaja berpapasan dengan Roy."Aku ingin ke dapur Pi,mengambil minum."Lantas Roy terpaksa melangkah menuju dapur,mengambil sebotol air mineral lalu membawanya ke arah sofa ruang tengah.Tempat dimana tadi ia melangsungkan pernikahan,tapi kini sudah terlihat seperti semula karena para pelayan langsung membereskan sisa-sisa acara tadi siang.Tuan Andreas menggeleng samar,meski Roy berusaha menutupi tapi sebagai orang tua,ia paham betul dengan sifat kedua anak dan menantunya ini.Roy yang selalu berusaha m
HAPPY READING...Pernikahan bagi sebagian orang adalah momen berharga yang mungkin tidak akan terlupakan seumur hidup.Banyak pula dari mereka yang sengaja mengabadikan momen penting itu dan berharap pernikahannya akan langgeng selamanya.Begitu pun dengan Elisa,gadis cantik putri satu-satu nya keluarga Andreas ini juga menginginkan pernikahan bahagia,menikah dengan orang yang di cintai menjadi impiannya sejak dulu.Tapi sayang nya karena suatu kesalahan,Elisa harus menikah dengan Roy,orang yang sama sekali tidak ia cintai.Elisa harus rela menikah dengan Roy demi mengembalikan nama baik keluarga,akibat ia yang sudah hamil duluan.Dia juga harus melepas rasa cintanya pada Arya,laki-laki yang sedari dulu amat ia cintai.Mungkin seiring berjalan nya waktu,pernikahan yang ia jalani bisa menumbuhkan benih-benih cinta yang selama ini tidak mereka miliki,itu lah yang selalu Roy harapkan.
"Rengganis sudah melahirkan?Kapan...?"tanya Elisa pada Roy yang memberitahunya kabar itu. "Sudah seminggu." "Oh....?"Elisa hanya menjawab santai lalu kembali menatap majalah yang sedang ia baca. "Apa kau tidak ingin menjenguknya?"yang di tanya masih asik dengan majalah di tangan,hingga Roy geram dam merampas majalah itu dari tangan Elisa. "Apa sih 'Kak...?"Elisa bangkit,ingin meraih kembali majalah yang ada di tangan suaminya,namun tetap saja ia tidak berhasil. "Kembalikan majalah ku."Elisa masih terus meraih majalah itu,meski terlihat kesusahan dengan perutnya yang membuncit. "Katakan...!Kau akan ikut bersamaku besok."Roy mencoba berbicara baik-baik dengan Elisa agar mau pergi bersama ke rumah Rengganis. "Tidak akan...!"Elisa menolak,ia melipat kedua tangannya di depan dada. "Kita akan
2 Bulan berlalu..."Kak Roy kemana sih Mbok,aku udah nggak kuat lagi."Ronta Elisa dengan peluh yang sudah bercucuran,semua Dokter bahkan para perawat di buat bingung sendiri dengan tingkah gadis itu,ia terus berteriak sakit dan meminta pulang,bahkan terkadang Elisa marah_marah sendiri melihat semua orang di ruangan itu hanya diam saja."Sabar Nona,mungkin Tua Roy terjebak macet."Ujar Mbok Nah mencoba menenangkan,ia juga sudah berkali_kali melihat ke arah pintu.Padahal sudah dari satu jam yang lalu Mbok Nah menghubungi Roy untuk segera menyusulnya ke rumah sakit,karena Elisa akan melahirkan.Namun sampai sekarang laki_laki itu belum juga menampakkan batang hidungnya."Akh...sakit Mbok."Elisa kembali berteriak saat kontraksi tiba_tiba datang,kali ini dengan air mata yang terlihat mengalir di kedua pipinya.Mbok Nah bingung harus bagaimana,melihat kondisi Elisa yang seperti ini,wanita itu hanya bisa menenangkan sambil
Roy menatap cemas ruangan yang ada di depannya ini,setengah jam yang lalu Roy mengantar Elisa sampai di depan ruangan dan mencoba menguatkan gadis itu yang terlihat sangat ketakutan.Ingin sekali Roy menemaninya ke dalam,tapi itu tidak mungkin karena Dokter melarang siapa pun untuk masuk sebelum proses operasi sesar selesai.Kenapa lama sekali...Roy terus mondar_mandir,tak peduli dengan penampilannya yang acak_acakn dan perut yang sudah keroncongan karena dari tadi siang ia memang belum sempat makan.Membuat Mbok Nah yang melihat merasa tidak tega,Mbok Nah mendekat dan mencoba berbicara perlahan dengan laki_laki itu."Tuan,sebaik nya Anda makan lebih dulu,biar saya dan Pak Kasim yang bergantian menunggu di sini."Ucap Mbok Nah,wanita paruh baya itu berusaha membujuk Roy pelan_pelan agar mau beristirahat sejenak dan mengisi perutnya yang pasti sangat lapar.Roy hanya menggeleng samar,sungguh ia tidak ingin beranjak sedetik pun sebelum melihat Elisa keluar da
"Jadi,kalian ingin menamai nya siapa?"tanya Papi Andreas pada keduanya.Mereka masih sama_sama diam dengan pendiriannya masing_masing,satu pun dari mereka bahkan tidak ingin yang mengalah."Aku ibunya,jadi aku yang lebih berhak memberinya nama."Ucap Elisa kembali membuka suara."Kamu pikir aku siapa...?"Suara nya sudah mulai meninggi."Aku juga ayahnya,aku lebih berhak memberikan nama untuk anak ku."Roy tidak ingin kalah dari Elisa,bagaimana pun memang dia berhak atas anak itu.maksudnya sama_sama berhak.(author)"Sudah_sudah...!Kalian apa_apaan sih,malah asik berdebat sendiri.Lihat anak kalian jadi terbangun karena suara kalian yang berisik."Ucap Mami Sintia geram,karena keduanya sama keras kepalanya,tidak ingin yang mau mengalah.Wanita itu segera mendekati box bayi lalu menggendongnya agar kembali tenang."Oke...oke!Kalian berdua memang berhak memberikan nama apa pun untuk anak kalian,tapi tidak harus berdebat seperti ini 'k
"jadi, maksud Anda istri saya sedang hamil?" Roy mengulangi pertanyaan untuk yang ke sekian kalinya. Menatap tak percaya pada Elisa yang ada di sebelahnya dengan pandangan sama-sama bingung."Iya, Tuan, istri Anda sedang hamil, dan usia kandungannya baru berumur empat minggu.""Apa, Dok? Saya hamil?" Elisa terlambat merespon, di raihnya hasil USG yang ia sendiri tidak paham dengan apa yang tertulis di dalamnya, "Ini beneran kan, Dokter?""Benar, Nona." Dokter pun meyakinkan sekali lagi, bahwa hasil test itu memang benar adanya."Tapi, kenapa usia kandungannya berjalan empat minggu?" Roy kembali menyahut, seingatnya ia berdamai dengan Elisa dan baru melakukan hubungan badan sekitar tiga minggu yang lalu, tapi....?Roy menatap bingung dengan penjelasan Dokter tadi, sempat ada rasa curiga dari pancaran mata lelaki itu. Bagaimana bisa?"Tidak mungkin Dokter, kami melakukannya baru tiga minggu yang lalu, ini kenapa bisa? Atau jangan-jangan----...
"Jangan lupa Kak, belikan aku somay." Isi pesan dari istrinya, membuat Roy mengernyit heran, sejak kapan Elisa suka dengan makanan itu? Bukankah yang ia tahu Elisa kurang suka dengan makanan apa saja yang berbahan ikan. Lelaki itu tidak membalasnya, tapi ia tetap membelikannya untuk Elisa.Roy memacu mobilnya kembali setelah mendapatkan apa yang di minta istrinya. Lelaki itu tiba di halaman depan dan bergegas mencari di mana keberadaan wanita itu."Bik, di mana Elisa?"Bibik yang sedang berada di dapur langsung berbalik, menatap heran sang majikan yang biasanya masih ada di kantor."Nona ada di taman belakang, Tuan.""Oh ya Bik, tolong pindahkan ini ke piring, lalu antarkan segera ke taman." Roy menyerahkan sebungkus somay yang ia bawa, lalu melangkah menuju taman belakang."Kak, kamu udah sampai?" Elisa terlihat berbinar, di letakkan ponsel yang ia pegang, lalu matanya menyipit ke arah kedua tangan suaminya. "Mana pesananku? Tidak ada kah?"
Hari-hari selanjutnya di lalui Elisa dengan sangat manis. Mereka mencoba saling memperbaiki diri dan memulainya kembali dari awal. Pernikahan mereka yang semula hanya status kini benar-benar layaknya pernikahan normal seperti biasa. Keduanya sama-sama menerima apapun kelebihan atau kekurangan dari diri mereka masing-masing."Kak, kapan kita mau jemput Rey?" tanya Elisa suatu pagi. Ini kali ketiganya wanita itu menanyakan, setelah beberapa hari yang lalu selalu Roy abaikan."Iya nanti. Kamu sabar dulu ya? Aku masih ada kerjaan penting yang nggak bisa di tinggalin." Selalu saja jawaban itu yang suaminya berikan. Sabar, sabar. Sampai kapan?"Kalau Kakak memang nggak bisa ninggalin kerjaan, bagaimana kalau aku aja yang jemput Rey sendiri?" Elisa mencoba bernegosiasi. Jika ia harus menjemput putranya sendiri, sebenarnya tidak masalah. Tapi lelaki itu yang selalu menghalanginya."Tunggu aku, El? Nanti kita pergi sama-sama." Lelaki itu terlihat sudah rapi. Di pe
"Ayo, Nak? Katanya mau ketemu Mama?" Aditya mengingatkan pada gadis kecil tentang tujuannya datang ke sini, lagi pula pria itu merasa tidak enak sendiri saat menyadari kalau ada wanita cantik di sebelah sana yang sejak tadi terabaikan keberadaannya."Tapi Alya masih pengen sama Ayah Roy," rengek bocah itu manja. Alya benar-benar terlihat enggan melepaskan lelaki itu yang sejak tadi menggendongnya."Sini sama Ayah Adit gantian, kasiah tuh Ayah Roy capek, kan sejak tadi udah gendong Alya."Gadis itu memandang wajah Roy sejenak, lalu segera bergerak turun dari gendongan lelaki itu. "Tapi Ayah janji kan, mau nengokin Mama lagi?"Roy hanya mengangguk setuju menjawab pertanyaan Alya. Sejujurnya ia kasihan dengan gadis kecil itu, tapi mau bagaimana lagi, Alina memang harus di rawat agar bisa segera sembuh.Aditya dan Alya kembali menyusuri lorong menuju kamar di mana tempat rawat untuk Alina. Keduanya sama-sama terlihat sedih melihat seorang yang sangat d
Elisa melangkah mendekati keduanya, lalu melipat kedua tangannya santai. "Sudah, nostalgianya?" ucap wanita itu sinis. Pandangannya masih tidak bersahabat pada sosok lelaki yang baru saja kemarin menyatakan cinta padanya."Kenapa kalian tidak balikan saja? Kalian cocok kok, yang satu penggoda dan satunya lagi..... PENGHIANAT!""El...!""Apa!!" Emosi wanita itu sudah memuncak, hingga ia tanpa sadar berteriak dan mengundang perhatian para penghuni tempat itu."Apa Kak Roy sengaja, ngajak aku ke sini untuk melihat keromantisan kalian berdua?""El, ini tidak seperti apa yang kamu lihat. Percayalah." Roy mendekati Elisa, meraih tangan wanita itu, namun segera di tepisnya dengan kasar."Lihat apa? Aku bukan anak kecil, Kak? Jika kalian ingin berbalikan, kenapa mengajakku kemari?" Elisa juga terlihat menangis. Bagaimana ia tidak sakit hati mendengar ungkapan Alina tadi yang menunjukkan betapa dekatnya mereka berdua."El, kumohon, berhentilah
Tiga hari berlalu, luka di tangan Rengganis sudah membaik dan hari ini dokter mengijinkannya untuk pulang. Perempuan itu bersiap-siap di bantu Arya yang sudah sejak pagi tadi datang menjemputnya untuk membereskan semua barang yang sudah di pakai selama berada di rumah sakit."Apa ada yang tertinggal?" tanya Arya saat keduanya hendak melangkah keluar. Di tatapnya wajah sang istri yang terlihat bahagia karena sebentar lagi akan bertemu dengan kedua anaknya yang selama tiga hari ini jarang ia temui."Ada."Langkah Arya terhenti, sejenak menatap ke belakang menyapu seisi ruangan yang sudah kosong. "Apa?" tanya lelaki itu bingung."Hatiku yang tertinggal. Di sini." Rengganis menyentuh dada bidang Arya, membuat sang pemilik tersenyum senang mendengarnya."Tiga hari di rumah sakit, kenapa kamu jadi pintar merayau?""Memangnya salah, merayu suami sendiri?" Perempuan itu mengerlingkan sebelah matanya, membuat sang suami gemas dan mendadak mende
"Tan-te....?""Kamu...! Wanita tidak tau malu!" maki Mama Anggi seketika saat melihat siapa orang yang tiba-tiba saja masuk. Perempuan itu mengurungkan niatnya untuk keluar dan lebih tertarik untuk melampiaskan emosinya kepada wanita yang menjadi sumber semua masalah."Tan-te, maaf....?" ucap Elisa menunduk. Wanita itu meremas ujung kain yang membalut tubuhnya dan menyiapkan hati untuk menerima apapun yang akan perempuan itu ucapkan."Mau apa kamu datang kesini! Belum puas menyakiti menantuku?" Pandangannya menajam, seakan sebuah belati yang siap menguliti tubuh wanita itu."Ak-aku hanya ingin minta maaf, Tante.""Minta maaf? Cih, lalu nanti kamu akan mengulanginya lagi? Setelah semua yang kamu lakukan pada mereka, apa menurutmu masih pantas mendapatkan maaf?""Ma...? Tolong jangan berbicara seperti itu?" cegah Papa Pratama dari arah belakang, pria itu menghampiri istrinya dan menahan tubuh perempuan itu agar tidak semakin menyudutkan Elisa.
"Jelaskan semuanya ke aku, Kak?" Elisa masih saja menghujani Roy dengan berbagai pertanyaan,, terutama mengenai ucapan Alina yang sukses membuatnya malu di depan umum.Bagaimana tidak, setelah Alina mengatakannya, tatapan semua orang langsung mengarah padanya. Meski setengah berbisik, tapi Elisa sedikit bisa mendengar gunjingan dari orang-orang yang menyaksikan perdebatan tadi."Kak...!" Entah sudah keberapa kali wanita itu berteriak, namun Roy masih saja bungkam dan tidak sama sekali memberi jawaban. Seharusnya Elisa tau kalau semua juga berawal dari dirinya yang membuat jarak begitu jauh dengan suaminya sendiri. Bahkan ia tidak mau sedikitpun di sentuh oleh lelaki itu.Kini Elisa dan Roy tengah berada di sebuah ruang perawatan. setelah Dokter memeriksanya tadi, beruntung tidak ada sedikitpun luka yang di temukan di tubuh wanita itu, Dokter pun memutuskan untuk meninggalkan mereka berdua."Kak...!""Stttt....! Jangan berisik, El? Nanti mengganggu yang
Sementara di dalam toilet, antara Elisa dan Rengganis tengah terjadi ketengangan. Semua terjadi bukan berasal dua wanita cantik ini, tapi karena seorang perempuan yang tiba-tiba saja muncul dan hendak melukai Elisa."Lepas! Kau gila ya!" Elisa memaki, menahan garpu yang hampir saja melukai wajahnya."Ya, aku gila! Aku memang gila, kau mau apa, hahh!" Perempuan itu sudah seperti kerasukan iblis, ia menempelkan garpu runcing itu tepat di leher Elisa setelah tadi gagal melukai wajah wanita itu."Lepas!"Saat itu Rengganis juga tengah berada di salah satu bilik toilet, ia yang mendengar ke gaduhan langsung mengintip keluar, tubuhnya bergetar, detak jantungnya berpacu dengan cepat saat melihat pemandangan dari balik pintu."El-lisa...?"Rengganis kebingungan. Jika ditanya apa dia masih membenci wanita itu? Tentu saja masih, tapi melihat keadaannya sekarang sangatlah berbeda. Kini yang ada di depannya bukan perkara soal Elisa yang dulu hendak mere