"Jadi,kalian ingin menamai nya siapa?"tanya Papi Andreas pada keduanya.
Mereka masih sama_sama diam dengan pendiriannya masing_masing,satu pun dari mereka bahkan tidak ingin yang mengalah.
"Aku ibunya,jadi aku yang lebih berhak memberinya nama."Ucap Elisa kembali membuka suara.
"Kamu pikir aku siapa...?"Suara nya sudah mulai meninggi.
"Aku juga ayahnya,aku lebih berhak memberikan nama untuk anak ku."Roy tidak ingin kalah dari Elisa,bagaimana pun memang dia berhak atas anak itu.maksudnya sama_sama berhak.(author)"Sudah_sudah...!Kalian apa_apaan sih,malah asik berdebat sendiri.Lihat anak kalian jadi terbangun karena suara kalian yang berisik."Ucap Mami Sintia geram,karena keduanya sama keras kepalanya,tidak ingin yang mau mengalah.
Wanita itu segera mendekati box bayi lalu menggendongnya agar kembali tenang."Oke...oke!Kalian berdua memang berhak memberikan nama apa pun untuk anak kalian,tapi tidak harus berdebat seperti ini 'k
Elisa mengeram kesal saat mengetahui banyaknya tanda merah yang ada di leher,apalagi kalau bukan ulah suaminya yang keterlaluan.Sedangkan laki_laki itu kemana?Entahlah,mungkin sudah kabur lebih dulu karena tidak ingin menerima amukan sang istri.Apalagi di kamar ada Rey yang tengah tertidur pulas,Roy memilih untuk pergi keluar kamar menghindari Elisa yang sebentar lagi pasti akan mengusirnya."Nasip punya istri bocah."Roy mengumpat sendiri sambil meraih air dingin di dalam kulkas lantas meneguknya hingga tandas.Sedangkan Elisa yang masih kesal mulai menyadari bahwa selama ini yang ia rasakan setiap malam bukanlah minpi,melainkan nyata.Saat ia merasakan tangan kekar memeluknya,dan ciuman lembut yang selama ini ia anggap hanya mimpi.Dan untuk malam_malam selanjutnya Elisa mulai waspada,ia tidak ingin lagi kecolongan,apalagi sampai membiarkan Roy kembali menyentuhnya.*****"El....?"terd
"Ja_jadi....?"suara Elisa tercekat hanya sampai di tenggorokan,wajahnya yang tadi tampak menantang kini berubah merah padam karena tengah menahan malu."Apa Kak Roy mu itu tidak mengatakan,kalau keranjang bayi ini hadiah pernikahan dari kami."Ucap Rengganis lagi,kali ini dengan senyuman yang mengejek."Hadiah pernikahan...?""Ya...?Aku dan Mas Arya sengaja memberikan hadiah itu untuk pernikahan kalian,dan ternyata kamu menyukainya.""Tidak....!!!"Jawab Elisa cepat.Membuat Rengganis mengernyit,menatap ke arah gadis itu."Sungguh...?Kamu tidak menyukainya...?"tanya Rengganis sekali lagi."Aku akan menyuruh Kak Roy membuangnya nanti.Lagi pula aku bisa membeli yang lebih bagus dari ini."Ucap Elisa sombong."Baik lah,aku tau kalian bisa membeli yang lebih bagus dari itu.Bahkan satu toko pun bisa kalian miliki."Rengganis b
3 tahun Kemudian...Pagi ini seperti biasanya Roy berangkat ke kantor dengan mengendarai mobilnya sendiri.Namun kali ini Roy berangkat lebih pagi,untuk pertama kalinya hari ini ia menjabat menjadi CEO di perusahaan AG menggantikan Tuan Andreas yang telah terbang ke luar negeri seminggu yang lalu.Kedua mertuanya itu memilih mengurus bisnisnya yang ada di luar negeri dan menyerahkan semua tanggung jawab perusahaan pada Roy sampai Reymond dewasa dan sanggup memimpin perusahaan itu.Tuan Andreas memang sengaja melimpahkan sebagian aset pribadi miliknya untuk Roy agar ia punya kekuasaan di perusahan,di samping Elisa tidak akan mampu jika mengurusinya sendiri,Tuan Andreas juga takut jika suatu saat keduanya terjadi perselisihan dan akan berakhir hancur.Tuan Andreas telah memikir 'kannya matang_matang, berharap rumah tangga putrinya akan langgeng dan bahagia hingga akhir hayat.*****Sedangkan di sebuah ruangan HRD tampa
Pagi itu seorang mahasiswi cantik tengah duduk seorang diri di sebuah taman kampus tempat ia menimba ilmu,sesekali ia melihat ke arah jalan menuju ke arahnya demi memastikan seseorang yang ia tunggu sejak tadi.Tak lama kemudian datang lah seorang laki_laki muda dengan pakaian sederhana terlihat berjalan ke arahnya,dengan menenteng tumpukan buku di tangan kiri Roy tersenyum ke arah gadis cantik yang mungkin sudah lama menunggu."Maaf aku terlambat."Roy duduk di samping Alina sembari mengusap puncak rambut gadis itu,lalu menyodorkan sebuah minuman kemasan yang tadi sempat ia bawa.Gadis cantik itu terlihat biasa saja,bahkan ia sama sekali tidak membalas sapaan dari laki_laki itu.Alina mengambil minuman yang sudah lebih dulu di buka oleh Roy, lalu meminumnya beberapa teguk.Matahari begitu terik,membuat suasana sedikit panas hingga terlihat butiran keringat yang hampir menetes di kening gadis itu.Bagaimana ini?Alina melirik lak
"Jadi kamu hanya seorang manager keuangan di perusahaan besar itu?"selidik Alina pada seorang pemuda yang tengah duduk di seberang sana.Raut muka gadis itu sama sekali tidak menunjukkan kebahagiaan,padahal kemarin ia sudah menyetujui pernikahan ini sebelum mengetahui jabatan calon suaminya itu."Lin."Herdarto mencubit tangan putrinya lirih,berusaha menghentikan sikap Alina yang terlihat akan mulai berulah."Apa sih,Yah?Aku 'kan hanya ingin memastikan,apa dia sanggup bahagia'in aku.Seharusnya Ayah mecari'kan laki_laki yang lebih kaya dari dia,kalau bisa bos,Yah.Itu baru namanya keren."Gadis itu terus berceloteh di hadapan sang Pria yang terlihat bingung.Yang ia tau saat Tuan Hendarto menawarinya untuk di jodohkan dengan putri satu_satunya,laki_laki paruh baya itu mengatakan kalau putrinya seorang gadis yang sopan dan berpendidikan,tapi yang di lihatnya sekarang bisa di bilang kebalikannya."Tapi saya akan berusaha membagiakanmu."Akhirnya Aditya beru
"Aku hamil...?"Alina menjatuhkan tespack yang baru saja ia gunakan,ia tidak menyangka akan secepat ini hamil,seusai tidak lagi mengkomsumsi obat itu.Tok,tok..."Lin...?"Aditya menggedor pintu kamar mandi dengan kencang,membuat Alina terperanjat kaget dan cepat-cepat mengambil alat itu di lantai."Buka,Lin."Baru saja Aditya akan mendobrak pintu itu,Alina terlihat keluar dengan raut wajah yang masam."Lihat,aku hamil 'kan."Alina menyerahkan alat itu ke tangan suaminya dengan kasar,lantas ia berjalan melewati Aditya begitu saja."Hamil....?"Aditya melongo tak percaya,di amatinya alat itu lagi dan seketika matanya berbinar."Kamu beneran hamil,Lin?"Ia menghampiri sang istri ke arah tempat tidur,lalu memeluk wanita itu dengan perasaan yang tidak bisa di ungkapkan."Mas,lepas.""Aku bahagia,Lin.Akhirnya kamu hamil,makasih sayang,"Laki-aki itu mengecup kening Alina benerapa kali,membuat wanita itu mencebik tidak suka."Kalau a
"Yah...?"Rey berjalan cepat menyambut kepulangan Roy di depan pintu dengan senyum yang mengembang,apalagi saat melihat dua paper bag menggantung di salah satu tangan laki-laki muda itu,membuatnya semakin tidak sabar ingin melihat apa yang ada di dalamnya."Maaf,Ayah sedikit terlambat,"balasnya sambil meraih bocah kecil itu dan membawanya ke dalam pelukan."Ayah bawain pesanan aku 'kan?"mata polosnya menatap wajah sang Ayah yang sedari tadi asik menatap sosok wanita yang tengah berdiri di samping tangga.Entah ada angin apa hari ini Elisa tiba-tiba menyambut kepulangannya,padahal biasanya wanita itu akan selalu berdiam diri sambil terus sibuk dengan sosial medianya.Roy menatap kembali wajah anaknya yang sedari tadi menunggu jawaban darinya."Lihat,bahkan Ayah bawakan dua kado sekaligus untukmu.""Makasih,Yah.Tadi juga Mama udah kasih kado ke Rey,nanti malam Ayah sama Mama jadi kan,temani Rey tidur?"ada-ada saja kelakuan bocah satu ini,jika kebanyakan anak a
Ayah...?Roy menatap sekeliling,namun ia tidak melihat siapa 'pun laki-laki selain dirinya yang kini masih ada di dalam mobil. Lalu, siapa yang di panggil Ayah oleh gadis kecil itu?"Ayah...?" ulang Alya sekali lagi,kali ini sambil menggedor kaca mobil yang sedikit bisa ia capai. Wajah cantiknya mencoba menerobos kaca hitam untuk bisa melihat seperti apa laki-laki yang ada di dalam sana."Ma, itu Ayah 'kan? teriaknya kemudian. Alina hanya terpaku tanpa tau harus menjelaskan dari mana, haruskah ia berbohong dan mengatakan bahwa laki-laki itu adalah ayahnya?Ah, rasanya ia begitu malu pada Roy. Ia teringat dulu saat mencampakkan laki-laki itu begitu saja, dan sekarang justru keadaan berbanding terbalik untuknya dirinya sendiri."Sayang, Alya," Alina menghampiri putri semata wayangnya yang masih setia berdiri di samping mobil, ia rengkuh tubuh mungil itu dan membawanya ke dalam pelukan."Nak,""Mama udah janji 'kan, mau bawa Ayah pulang?
"jadi, maksud Anda istri saya sedang hamil?" Roy mengulangi pertanyaan untuk yang ke sekian kalinya. Menatap tak percaya pada Elisa yang ada di sebelahnya dengan pandangan sama-sama bingung."Iya, Tuan, istri Anda sedang hamil, dan usia kandungannya baru berumur empat minggu.""Apa, Dok? Saya hamil?" Elisa terlambat merespon, di raihnya hasil USG yang ia sendiri tidak paham dengan apa yang tertulis di dalamnya, "Ini beneran kan, Dokter?""Benar, Nona." Dokter pun meyakinkan sekali lagi, bahwa hasil test itu memang benar adanya."Tapi, kenapa usia kandungannya berjalan empat minggu?" Roy kembali menyahut, seingatnya ia berdamai dengan Elisa dan baru melakukan hubungan badan sekitar tiga minggu yang lalu, tapi....?Roy menatap bingung dengan penjelasan Dokter tadi, sempat ada rasa curiga dari pancaran mata lelaki itu. Bagaimana bisa?"Tidak mungkin Dokter, kami melakukannya baru tiga minggu yang lalu, ini kenapa bisa? Atau jangan-jangan----...
"Jangan lupa Kak, belikan aku somay." Isi pesan dari istrinya, membuat Roy mengernyit heran, sejak kapan Elisa suka dengan makanan itu? Bukankah yang ia tahu Elisa kurang suka dengan makanan apa saja yang berbahan ikan. Lelaki itu tidak membalasnya, tapi ia tetap membelikannya untuk Elisa.Roy memacu mobilnya kembali setelah mendapatkan apa yang di minta istrinya. Lelaki itu tiba di halaman depan dan bergegas mencari di mana keberadaan wanita itu."Bik, di mana Elisa?"Bibik yang sedang berada di dapur langsung berbalik, menatap heran sang majikan yang biasanya masih ada di kantor."Nona ada di taman belakang, Tuan.""Oh ya Bik, tolong pindahkan ini ke piring, lalu antarkan segera ke taman." Roy menyerahkan sebungkus somay yang ia bawa, lalu melangkah menuju taman belakang."Kak, kamu udah sampai?" Elisa terlihat berbinar, di letakkan ponsel yang ia pegang, lalu matanya menyipit ke arah kedua tangan suaminya. "Mana pesananku? Tidak ada kah?"
Hari-hari selanjutnya di lalui Elisa dengan sangat manis. Mereka mencoba saling memperbaiki diri dan memulainya kembali dari awal. Pernikahan mereka yang semula hanya status kini benar-benar layaknya pernikahan normal seperti biasa. Keduanya sama-sama menerima apapun kelebihan atau kekurangan dari diri mereka masing-masing."Kak, kapan kita mau jemput Rey?" tanya Elisa suatu pagi. Ini kali ketiganya wanita itu menanyakan, setelah beberapa hari yang lalu selalu Roy abaikan."Iya nanti. Kamu sabar dulu ya? Aku masih ada kerjaan penting yang nggak bisa di tinggalin." Selalu saja jawaban itu yang suaminya berikan. Sabar, sabar. Sampai kapan?"Kalau Kakak memang nggak bisa ninggalin kerjaan, bagaimana kalau aku aja yang jemput Rey sendiri?" Elisa mencoba bernegosiasi. Jika ia harus menjemput putranya sendiri, sebenarnya tidak masalah. Tapi lelaki itu yang selalu menghalanginya."Tunggu aku, El? Nanti kita pergi sama-sama." Lelaki itu terlihat sudah rapi. Di pe
"Ayo, Nak? Katanya mau ketemu Mama?" Aditya mengingatkan pada gadis kecil tentang tujuannya datang ke sini, lagi pula pria itu merasa tidak enak sendiri saat menyadari kalau ada wanita cantik di sebelah sana yang sejak tadi terabaikan keberadaannya."Tapi Alya masih pengen sama Ayah Roy," rengek bocah itu manja. Alya benar-benar terlihat enggan melepaskan lelaki itu yang sejak tadi menggendongnya."Sini sama Ayah Adit gantian, kasiah tuh Ayah Roy capek, kan sejak tadi udah gendong Alya."Gadis itu memandang wajah Roy sejenak, lalu segera bergerak turun dari gendongan lelaki itu. "Tapi Ayah janji kan, mau nengokin Mama lagi?"Roy hanya mengangguk setuju menjawab pertanyaan Alya. Sejujurnya ia kasihan dengan gadis kecil itu, tapi mau bagaimana lagi, Alina memang harus di rawat agar bisa segera sembuh.Aditya dan Alya kembali menyusuri lorong menuju kamar di mana tempat rawat untuk Alina. Keduanya sama-sama terlihat sedih melihat seorang yang sangat d
Elisa melangkah mendekati keduanya, lalu melipat kedua tangannya santai. "Sudah, nostalgianya?" ucap wanita itu sinis. Pandangannya masih tidak bersahabat pada sosok lelaki yang baru saja kemarin menyatakan cinta padanya."Kenapa kalian tidak balikan saja? Kalian cocok kok, yang satu penggoda dan satunya lagi..... PENGHIANAT!""El...!""Apa!!" Emosi wanita itu sudah memuncak, hingga ia tanpa sadar berteriak dan mengundang perhatian para penghuni tempat itu."Apa Kak Roy sengaja, ngajak aku ke sini untuk melihat keromantisan kalian berdua?""El, ini tidak seperti apa yang kamu lihat. Percayalah." Roy mendekati Elisa, meraih tangan wanita itu, namun segera di tepisnya dengan kasar."Lihat apa? Aku bukan anak kecil, Kak? Jika kalian ingin berbalikan, kenapa mengajakku kemari?" Elisa juga terlihat menangis. Bagaimana ia tidak sakit hati mendengar ungkapan Alina tadi yang menunjukkan betapa dekatnya mereka berdua."El, kumohon, berhentilah
Tiga hari berlalu, luka di tangan Rengganis sudah membaik dan hari ini dokter mengijinkannya untuk pulang. Perempuan itu bersiap-siap di bantu Arya yang sudah sejak pagi tadi datang menjemputnya untuk membereskan semua barang yang sudah di pakai selama berada di rumah sakit."Apa ada yang tertinggal?" tanya Arya saat keduanya hendak melangkah keluar. Di tatapnya wajah sang istri yang terlihat bahagia karena sebentar lagi akan bertemu dengan kedua anaknya yang selama tiga hari ini jarang ia temui."Ada."Langkah Arya terhenti, sejenak menatap ke belakang menyapu seisi ruangan yang sudah kosong. "Apa?" tanya lelaki itu bingung."Hatiku yang tertinggal. Di sini." Rengganis menyentuh dada bidang Arya, membuat sang pemilik tersenyum senang mendengarnya."Tiga hari di rumah sakit, kenapa kamu jadi pintar merayau?""Memangnya salah, merayu suami sendiri?" Perempuan itu mengerlingkan sebelah matanya, membuat sang suami gemas dan mendadak mende
"Tan-te....?""Kamu...! Wanita tidak tau malu!" maki Mama Anggi seketika saat melihat siapa orang yang tiba-tiba saja masuk. Perempuan itu mengurungkan niatnya untuk keluar dan lebih tertarik untuk melampiaskan emosinya kepada wanita yang menjadi sumber semua masalah."Tan-te, maaf....?" ucap Elisa menunduk. Wanita itu meremas ujung kain yang membalut tubuhnya dan menyiapkan hati untuk menerima apapun yang akan perempuan itu ucapkan."Mau apa kamu datang kesini! Belum puas menyakiti menantuku?" Pandangannya menajam, seakan sebuah belati yang siap menguliti tubuh wanita itu."Ak-aku hanya ingin minta maaf, Tante.""Minta maaf? Cih, lalu nanti kamu akan mengulanginya lagi? Setelah semua yang kamu lakukan pada mereka, apa menurutmu masih pantas mendapatkan maaf?""Ma...? Tolong jangan berbicara seperti itu?" cegah Papa Pratama dari arah belakang, pria itu menghampiri istrinya dan menahan tubuh perempuan itu agar tidak semakin menyudutkan Elisa.
"Jelaskan semuanya ke aku, Kak?" Elisa masih saja menghujani Roy dengan berbagai pertanyaan,, terutama mengenai ucapan Alina yang sukses membuatnya malu di depan umum.Bagaimana tidak, setelah Alina mengatakannya, tatapan semua orang langsung mengarah padanya. Meski setengah berbisik, tapi Elisa sedikit bisa mendengar gunjingan dari orang-orang yang menyaksikan perdebatan tadi."Kak...!" Entah sudah keberapa kali wanita itu berteriak, namun Roy masih saja bungkam dan tidak sama sekali memberi jawaban. Seharusnya Elisa tau kalau semua juga berawal dari dirinya yang membuat jarak begitu jauh dengan suaminya sendiri. Bahkan ia tidak mau sedikitpun di sentuh oleh lelaki itu.Kini Elisa dan Roy tengah berada di sebuah ruang perawatan. setelah Dokter memeriksanya tadi, beruntung tidak ada sedikitpun luka yang di temukan di tubuh wanita itu, Dokter pun memutuskan untuk meninggalkan mereka berdua."Kak...!""Stttt....! Jangan berisik, El? Nanti mengganggu yang
Sementara di dalam toilet, antara Elisa dan Rengganis tengah terjadi ketengangan. Semua terjadi bukan berasal dua wanita cantik ini, tapi karena seorang perempuan yang tiba-tiba saja muncul dan hendak melukai Elisa."Lepas! Kau gila ya!" Elisa memaki, menahan garpu yang hampir saja melukai wajahnya."Ya, aku gila! Aku memang gila, kau mau apa, hahh!" Perempuan itu sudah seperti kerasukan iblis, ia menempelkan garpu runcing itu tepat di leher Elisa setelah tadi gagal melukai wajah wanita itu."Lepas!"Saat itu Rengganis juga tengah berada di salah satu bilik toilet, ia yang mendengar ke gaduhan langsung mengintip keluar, tubuhnya bergetar, detak jantungnya berpacu dengan cepat saat melihat pemandangan dari balik pintu."El-lisa...?"Rengganis kebingungan. Jika ditanya apa dia masih membenci wanita itu? Tentu saja masih, tapi melihat keadaannya sekarang sangatlah berbeda. Kini yang ada di depannya bukan perkara soal Elisa yang dulu hendak mere