Pagi ini, tepatnya sebulan setelah hubungan antara Roy dan Elisa retak, keduanya tengah bersiap menuju pengadilan untuk putusan sidang yang terakhir. Roy yang sudah sejak pagi sudah bersiap diri di dampingi Alina selaku sekertaris pribadinya, lelaki itu mengendarai mobil mewah berwarna hitam menuju tempat persidangan.
Roy ingin di saat yang terakhir kalinya bisa menjumpai wanita itu, wanita yang selama tiga tahun belakangan ini menjadi istrinya, namun hari ini, mungkin moment terakhir bagi keduanya sebagai pasangan suami istri.
"Kamu udah siap kan, Roy?" Alina tersenyum sumringah, menuju tempat lelaki itu yang menunggunya di samping mobil. Hari ini, Roy sengaja meliburkan semua karyawan kantor, dan menunda semua pekerjaan yang sebenarnya sangat menumpuk demi acara yang nantinya akan merubah hidup atau masa depannya kelak. Roy meyakini inilah yang terbaik, bagi dirinya, Elisa, dan juga Rey, sang putra yang saat ini masih berada di luar negeri.
"Kamu yakin, mau da
Roy memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, menyalip sana-sini di antara kemacetan yang saat ini semakin mengular. Lelaki itu hanya ingin cepat sampai dan menemui Elisa yang mungkin saja saat ini tengah bersedih.Ya Tuhan, apa yang aku lakukan. Kenapa aku bodoh sekali sampai tidak menyadari sikap istriku yang berubah. Aku sudah gelap mata hingga menganggap apa yang selama ini terjadi karena kesalahannya, bahkan aku tidak berpikir apa Elisa juga merasakan kesakitan yang aku alami...Ia memukul kemudinya sendiri, merasa menjadi lelaki paling bodoh hanya karena sikap manis perempuan itu. Perempuan yang datang dari masa lalu dan mengacaukan segalanya.Hingga mobil memasuki pekarangan rumah, Roy sudah tidak sabar untuk segera masuk dan menuju kamar Elisa."Pak, apa Elisa sudah pulang?"Pak Kasim yang saat itu tengah berbincang dengan Satpam sangat terkejut melihat kedatangan Roy ke rumah, padahal sudah lebih dari sebulan lelaki itu tidak pernah menyamb
"Apa kamu perlu bukti?" Roy langsung mencari handphone dan menghubungi pengacara yang menangani kasus perceraiannya dengan Elisa."Hallo, Tuan? Ahhh, akhirnya Anda menjawab." Terdengar suara seorang pria dari seberang sana yang Elisa yakini adalah pengacara yang di sewa lelaki itu."Tuan, bagaimana dengan kelanjutan sidang? Emm maksud saya apa Anda akan melanjutkan gugatan ini pada No----...?""Maaf, saya putuskan untuk membatalkan gugatan untuk istri saya.""Apa!!"Singkat, padat, namun jelas. Setelah mengatakan itu Roy langsung menutup telepon kembali. Tidak peduli dengan apa yang yang akan di sampaikan oleh pengacaranya, saat ini yang ia inginkan hanya satu, wanitanya. Pandangannya ia alihkan pada wajah Elisa yang saat ini tepat berada di depannya."Sekarang, apa kamu percaya?"Wanita itu masih diam mencerna semua ucapan Roy. Jujur saja ia sangat senang, tapi Elisa juga butuh alasan kenapa sampai Roy membatalkan gugatan pada diriny
Akhhhhhh....!Alina memaki dan berteriak setelah membanting pintu dengan sangat keras. Wanita itu menangis sejadi-jadinya, merasa bodoh dengan kelakuannya selama ini. Bagaimana bisa ia begitu percaya dengan Anton, padahal jelas-jelas lelaki itu hanya memanfaatkannya.Alina tau jika Anton hanya mau uang dan tubuhnya saja. Tapi anehnya, Alina selalu menuruti apa yang lelaki itu minta, bahkan sampai rela menguras semua isi ATM nya sendiri demi bisa membelikan lelaki itu apartemen."Sial! Keterlaluan kamu, ANTON!!" teriaknya geram. Alina membanting apapun yang ada di dekatnya, membuat aparteman seketika berantakan layaknya kapal pecah."Bre******! Bodoh, bodoh!" Ia membenturkan kepalanya sendiri ke dinding ruangan. Sakit, tapi tidak sebanding dengan apa yang saat ini hatinya rasakan.Kini ia hancur, ia berantakan. Dan sialnya kini Alina harus menghadapi semua akibatnya sendiri. Akibat perbuatan yang selama ini ia lakukan pada Roy dan istrinya."
Pak Kasim meninggalkan kamar majikannya dengan wajah merah padam. Pria paruh baya itu merasa malu dan juga kesal secara bersamaan. Bagaimana ia bisa langsung berlari dan mengetuk pintu kamar, sedangkan ia tau kedua majikannya tengah ada di dalam. Dan yang paling membuatnya kesal, kenapa juga gadis itu mengatakan jika di kamar majikannya tengah terjadi ketegangan yang akhirnya membuat pria itu salah sangka.Namun setelah di pikir lagi, mungkin dirinya lah yang kurang teliti. Airin tidak lah salah mengatakan ada ketegangan, gadis itu hanya mengatakan kebenaran namun penyampaiannya saja yang kurang pas.Ah, sudahlah. Semoga Tuan Roy dan Nona Elisa segera berbaikan. Itulah yang selalu dirinya harapkan.Pak kasim melanjutkan langkahnya menuju teras depan, menghampiri Pak Satpam yang sedang berjaga di pos, lalu melanjutkan lagi perbincangan yang tadi sempat tertunda.Sementara di dalam kamar, Roy langsung menutup pintu
Lagi dan lagi, lelaki itu mengulang kegiatan panas mereka dengan penuh semangat dan tanpa henti. Elisa sudah merasakan remuk di sekujur tubuhnya, tapi sepertinya Roy masih enggan melepaskan dan membebaskannya begitu saja."Kak, cukup." Elisa menahan tubuh lelaki itu yang hendak mengungkungnya lagi, mendorong dengan pelan, lalu meraih selimut untuk menutupi tubuh polosnya."Satu kali lagi ya?" Roy mengiba, di tatapnya wajah cantik wanita itu yang terlihat semakin menggoda, membuat hasratnya semakin melambung tinggi dan memaksa untuk segera di tuntaskan."No...! Aku lapar, kak?"Jam yang tergantung di tembok kamar menunjukkan pukul tiga sore, menandakan waktu makan siang sudah terlewat. Wanita itu bangkit dan meraih pakaian yang sudah tidak berbentuk lagi.Lemas, tenaganya benar-benar terkuras habis oleh kelakuan lelaki itu. Ingin sekali ia mengumpat dan memakinya, tapi Elisa juga sadar kalau ia juga begitu menikmati permainan tadi.Bu hu"El..
Sementara di dalam toilet, antara Elisa dan Rengganis tengah terjadi ketengangan. Semua terjadi bukan berasal dua wanita cantik ini, tapi karena seorang perempuan yang tiba-tiba saja muncul dan hendak melukai Elisa."Lepas! Kau gila ya!" Elisa memaki, menahan garpu yang hampir saja melukai wajahnya."Ya, aku gila! Aku memang gila, kau mau apa, hahh!" Perempuan itu sudah seperti kerasukan iblis, ia menempelkan garpu runcing itu tepat di leher Elisa setelah tadi gagal melukai wajah wanita itu."Lepas!"Saat itu Rengganis juga tengah berada di salah satu bilik toilet, ia yang mendengar ke gaduhan langsung mengintip keluar, tubuhnya bergetar, detak jantungnya berpacu dengan cepat saat melihat pemandangan dari balik pintu."El-lisa...?"Rengganis kebingungan. Jika ditanya apa dia masih membenci wanita itu? Tentu saja masih, tapi melihat keadaannya sekarang sangatlah berbeda. Kini yang ada di depannya bukan perkara soal Elisa yang dulu hendak mere
"Jelaskan semuanya ke aku, Kak?" Elisa masih saja menghujani Roy dengan berbagai pertanyaan,, terutama mengenai ucapan Alina yang sukses membuatnya malu di depan umum.Bagaimana tidak, setelah Alina mengatakannya, tatapan semua orang langsung mengarah padanya. Meski setengah berbisik, tapi Elisa sedikit bisa mendengar gunjingan dari orang-orang yang menyaksikan perdebatan tadi."Kak...!" Entah sudah keberapa kali wanita itu berteriak, namun Roy masih saja bungkam dan tidak sama sekali memberi jawaban. Seharusnya Elisa tau kalau semua juga berawal dari dirinya yang membuat jarak begitu jauh dengan suaminya sendiri. Bahkan ia tidak mau sedikitpun di sentuh oleh lelaki itu.Kini Elisa dan Roy tengah berada di sebuah ruang perawatan. setelah Dokter memeriksanya tadi, beruntung tidak ada sedikitpun luka yang di temukan di tubuh wanita itu, Dokter pun memutuskan untuk meninggalkan mereka berdua."Kak...!""Stttt....! Jangan berisik, El? Nanti mengganggu yang
"Tan-te....?""Kamu...! Wanita tidak tau malu!" maki Mama Anggi seketika saat melihat siapa orang yang tiba-tiba saja masuk. Perempuan itu mengurungkan niatnya untuk keluar dan lebih tertarik untuk melampiaskan emosinya kepada wanita yang menjadi sumber semua masalah."Tan-te, maaf....?" ucap Elisa menunduk. Wanita itu meremas ujung kain yang membalut tubuhnya dan menyiapkan hati untuk menerima apapun yang akan perempuan itu ucapkan."Mau apa kamu datang kesini! Belum puas menyakiti menantuku?" Pandangannya menajam, seakan sebuah belati yang siap menguliti tubuh wanita itu."Ak-aku hanya ingin minta maaf, Tante.""Minta maaf? Cih, lalu nanti kamu akan mengulanginya lagi? Setelah semua yang kamu lakukan pada mereka, apa menurutmu masih pantas mendapatkan maaf?""Ma...? Tolong jangan berbicara seperti itu?" cegah Papa Pratama dari arah belakang, pria itu menghampiri istrinya dan menahan tubuh perempuan itu agar tidak semakin menyudutkan Elisa.