"Siapa...?"
Sang perawat tadi diam, sambil mengingat ciri-ciri wanita muda yang tadi datang kerumah, dan membawa pergi majikan perempuannya.
"Wanita itu cantik, Pak. Mata bulat, kulit putih bersih, dan dia memperkenalkan diri sebagai, Elisa," jawab perawat itu begitu yakin.
"Elisa, siapa. Apa dia teman ibu?" Wahyu Aditama masih bingung. Seingatnya kalau sang istri tidak mempunyai teman bernama Elisa, apalagi wanita muda seperti yang di ceritan perawat tadi.
"Saya kira bukan, Pak. Maaf, saya hanya mendengar itu."
Karena tidak menemukan petunjuk apapun selain nama wanita yang membawa istrinya tadi, Wahyu Aditama akhirnya menghubungi Alex yang sekarang masih lembur di perusahaan tempat dia bekerja.
"Ibumu pergi dengan seorang wanita muda, dan Ayah tidak bisa mencegahnya."
Yang di seberang sana seketika panik, bahkan pekerjaan yang sedikit lagi hampir selesai terpaksa ia tinggalkan begitu saja.
*****
"Nak, sebenarnya kita mau kemana?" Bu Lastri menatap heran Elisa. Mungkin perempuan itu berpikir akan di ajak ke rumah wanita itu, tapi nyatanya Elisa tidak membawanya kesana."Tenang, Bu. Kita akan menemui Kak Roy," Elisa tersenyum, lalu melanjutkan lagi langkahnya menyusuri lorong apartemen tempat Roy tinggal. Setelah sampai di depan pintu kamar, Elisa mengeluarkan kunci lantas segera membukanya."Lho, kalian tinggal disini?" tanya perempuan paruh baya itu lagi, matanya meneliti seluruh ruangan yang ada di depannya."Maaf, Bu. El nggak bisa kasih tau sekarang, Ibu tunggu disini sebentar ya?"Elisa meninggalkan Bu Lastri di ruang tamu sendirian, sedangkan dirinya menerobos masuk begitu saja mencari keberadaan tuan rumah yang sedari tadi belum terlihat."Kak...!" Elisa memekik keras saat ia melihat laki-laki itu baru saja keluar dari kamar mandi. Dengan menggunakan handuk sebatas pinggang, Roy yang semula santai tak kalah terkejut saat tiba-tiba me
Untung tidak dapat di raih, malang tidak bisa di tolak. Elisa terpaksa pergi meninggalkan parkiran apartemen, dan melajukan mobilnya kembali menuju rumah.Sudah beberapa hari ini ia berusaha mendatangi kantor Roy, tapi tidak pernah sekalipun bisa menemui laki-laki itu disana. Sedangkan malam ini, ia yang semula berniat hanya ingin menemui ibu kandung dari suaminya, harus menelan pil pahit karena lagi-lagi bukan kata maaf yang ia dapatkan, melainkan penolakan dan amarah dari suaminya yang semakin tidak bisa ia pahami. Setelah ia membawa perempuan paruh baya yang kini menjadi mertuanya itu menemuinya di apartemen.Sebenci itu kah Roy kepadanya, hingga ia begitu tega mengusirnya dari apartemennya sendiri. Bahkan sebelum pertengkaran itu terjadi, Roy masih bisa menerima sikapnya yang sejak dulu memang seperti itu.Apa ini mengenai kepergiaannya yang tidak ia ketahui?Jika memang ia, seharusnya Roy menyelidikinya lebih dulu. Atau setidaknya ia menuntut a
Airin panik. Ingin sekali ia mengejar dan membantu temannya yang sekarang masih di paksa oleh laki-laki asing keluar dari cafe. Tapi melihat tatapan tajamnya tadi, ia jadi ngeri sendiri dan memutuskan mencari bantuan lain untuk bisa menyelamatkan Elisa."Jangan-jangan laki-laki itu sindikat penculikan wanita. Nanti Elisa....? Astaga," Airin membekap mulutnya sendiri, membayangkan nasib temannya yang kurang beruntung.Pikiran gadis itu sudah melayang kemana-mana, memikirkan hal terburuk yang akan terjadi nanti."Tapi kalau dia penculik, kenapa tampan begitu....?"Astaga, kenapa ia bisa tidak setau diri ini..."Apa yang harus aku lakukan?" Airin mondar-mandir di depan cafe, sembari terus memutar otak, mencari cara agar ia bisa secepatkan menyelamatkan wanita itu."Nggak mungkin aku kasih tau Kak Roy, nanti malah semakin kacau." Ia menggeleng cepat, dan kembali mencari solusi yang lain.Jika ia perhatikan, tidak mungkin laki-laki i
"Hei, kamu mau aku kemana?" Kini Elisa gantian yang terlihat panik, saat menyadari mobil milik Alex perlahan bergerak meninggalkan parkiran.Laki-laki itu diam, tanpa menghiraukan teriakan Elisa. Ia terus membawa mobilnya pergi meninggalkan cafe itu."Alex...! Sebenarnya kau mau bawa aku kemana?" Pertanyaan itu kembali ia lontarkan. Berharap mendapatkan jawaban yang bisa membuatnya tenang.Hufffff...Meski merasa frustasi karena tidak mendapatkan jawaban akan pertanyaannya, tapi ia yakin laki-laki yang ada di sampingnya ini tidak akan melakukan sesuatu yang buruk pada dirinya.Beberapa saat kemudian, mobil terlihat menepi. Alex segera mematikan mesin mobil dan kembali fokus pada Elisa yang ada di sampingnya.Syukurlah...Elisa lega, setidaknya ia tahu keberadaannya sekarang tidak terlalu jauh dari cafe. Jadi ia masih bisa kembali ke tempat itu, setelah urusannya dengan Alex nanti selesai ."Cepat katakan," ucap Alex tenang. Pan
Di dalam mobil mereka hanya diam, tak satu pun dari Alex atau Elisa mencoba membuka percakapan lagi. Hingga Alex teringat sesuatu yang sejak tadi ingin sekali ia tanyakan."Apa kalian tinggal terpisah?" Alex akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, ia baru tau kalau Roy ternyata tidak tinggal di rumah Keluarga Andreas, tapi malah berada di apartemen pribadinya."Em..., Iya."Sudahlah. Untuk apa di tutupi, toh mereka tidak akan bertemu setiap hari, jadi Elisa tidak akan merasa malu."Kenapa. Bukankah kalian suami istri, kenapa harus...?""Ck. Kenapa banyak sekali pertanyaanmu?" Elisa mendengus kesal. Pikirannya sudah kacau, di tambah lagi celotehan tidak penting dari Alex, membuatnya semakin malas untuk berlama-lama satu mobil dengan laki-laki itu."Maaf, aku tidak bermaksud...?" sadar, mungkin pertanyaannya menyinggung. Laki-laki itu dapat menangkap raut wajah Elisa yang mulai berubah.Telihat sendu,tapi wanita itu mencoba bersikap
Roy urung mengatakan keinginannya lagi karena melihat wajah Tuan Andreas yang sudah merah padam. Jelas sekali jika pria paruh baya itu sangat emosi, apalagi saat dia menyinggung perihal hak asuh Rey yang sempat dia sampaikan tadi."Pi, minum dulu." Mami Sintia menyodorkan segelas air putih ke hadapan sang suami, lalu ekor matanya melirik Elisa yang tengah berdiri tidak jauh dari mereka.Kembali ke kamarmu. Mungkin itu yang ingin Mami Sintia ucapkan, tapi ia tak sampai hati mengatakannya langsung.Meneguk habis isi gelas, lalu menyerahkan kembali pada sang istri."Papi harus bisa jaga emosi, ingat 'kan apa kata Dokter kemarin?"Tuan Andres mengangguk mengiyakan ucapan sang istri, sembari mengatur napasnya yang masih tidak beraturan, dia menatap ke arah Elisa yang sejak tadi masih bungkam."Apa ada yang ingin kamu jelaskan, El?"Sekuat tenaga Tuan Andreas menahan emosinya yang tadi hampir meledak, jika saja Mami Sintia tidak masuk ke ru
Ternyata di sana terdapat foto-foto Elisa bersama seorang Pria. Terlihat sekali pria itu menggandeng tangan Elisa di depan sebuah cafe, lalu ada juga foto yang berada di dalam mobil. Entah apa yang mereka berdua lakukan, yang pasti saat ini foto Elisa dan pria itu tengah menjadi perbincangan hangat di medsos. Roy mendadak bungkam, tapi tangannya mengepal kuat."Roy....?" Alina mengambil alih hpnya, sembari memperhatikan ekspresi wajah laki-laki itu yang tidak bisa di tebak, "Kamu nggak apa-apa, 'kan?" tanya Alina lagi."Aku baik-baik saja.""Kamu kenal siapa pria itu? Dia kelihatan akrab sekali dengan istrimu."Roy tidak menggubris, dia masih fokus pada foto-foto yang tengah ia pegang, lalu tangannya meraih handphone di atas meja."Kau bereskan. Satu jam dari sekarang!" pintanya pada seseorang di seberang sana.Roy menutup panggilan dan meletakkan handphone kembali di atas meja kerjanya, namun tak lama benda pipih itu berdering.
Aditya duduk melamun di sebuah kontrakan kecil, hanya ada sedikit barang dan beberapa lembar baju yang tergantung di lemari. Kini hidup Aditya kembali dari nol lagi. Rumah mewah, kendaraan bagus, serta istri cantiknya semua telah menghilang dan sekarang ia hanya bisa membayar kontrakan sepetak untuk tempat tinggalnya. Aditya malu jika harus tinggal bersama Ibu, apa kata tetangga nanti? Jika tiba-tiba ia tinggal disana dan menetap. Pasti akan menyebabkan masalah untuk ibunya karena statusnya sekarang.Meskipun sang ibu tidak keberatan, jika dirinya harus mendapatkan cemoohan dari orang-orang karena menerima mantan narapidana. Nyatanya Aditya tetap putranya yang selalu ia banggakan."Ternyata kamu benar-benar mengurus perceraian kita, Lin?" Adit berbisik pelan sembari menatap lembar putih di tangan.Tadi pagi Alina menghubunginya untuk bertemu. Aditya kira perempuan itu telah memaafkan dan mau menerimanya kembali. Dengan penampilan rapi dan langkah mantap, Aditya
"jadi, maksud Anda istri saya sedang hamil?" Roy mengulangi pertanyaan untuk yang ke sekian kalinya. Menatap tak percaya pada Elisa yang ada di sebelahnya dengan pandangan sama-sama bingung."Iya, Tuan, istri Anda sedang hamil, dan usia kandungannya baru berumur empat minggu.""Apa, Dok? Saya hamil?" Elisa terlambat merespon, di raihnya hasil USG yang ia sendiri tidak paham dengan apa yang tertulis di dalamnya, "Ini beneran kan, Dokter?""Benar, Nona." Dokter pun meyakinkan sekali lagi, bahwa hasil test itu memang benar adanya."Tapi, kenapa usia kandungannya berjalan empat minggu?" Roy kembali menyahut, seingatnya ia berdamai dengan Elisa dan baru melakukan hubungan badan sekitar tiga minggu yang lalu, tapi....?Roy menatap bingung dengan penjelasan Dokter tadi, sempat ada rasa curiga dari pancaran mata lelaki itu. Bagaimana bisa?"Tidak mungkin Dokter, kami melakukannya baru tiga minggu yang lalu, ini kenapa bisa? Atau jangan-jangan----...
"Jangan lupa Kak, belikan aku somay." Isi pesan dari istrinya, membuat Roy mengernyit heran, sejak kapan Elisa suka dengan makanan itu? Bukankah yang ia tahu Elisa kurang suka dengan makanan apa saja yang berbahan ikan. Lelaki itu tidak membalasnya, tapi ia tetap membelikannya untuk Elisa.Roy memacu mobilnya kembali setelah mendapatkan apa yang di minta istrinya. Lelaki itu tiba di halaman depan dan bergegas mencari di mana keberadaan wanita itu."Bik, di mana Elisa?"Bibik yang sedang berada di dapur langsung berbalik, menatap heran sang majikan yang biasanya masih ada di kantor."Nona ada di taman belakang, Tuan.""Oh ya Bik, tolong pindahkan ini ke piring, lalu antarkan segera ke taman." Roy menyerahkan sebungkus somay yang ia bawa, lalu melangkah menuju taman belakang."Kak, kamu udah sampai?" Elisa terlihat berbinar, di letakkan ponsel yang ia pegang, lalu matanya menyipit ke arah kedua tangan suaminya. "Mana pesananku? Tidak ada kah?"
Hari-hari selanjutnya di lalui Elisa dengan sangat manis. Mereka mencoba saling memperbaiki diri dan memulainya kembali dari awal. Pernikahan mereka yang semula hanya status kini benar-benar layaknya pernikahan normal seperti biasa. Keduanya sama-sama menerima apapun kelebihan atau kekurangan dari diri mereka masing-masing."Kak, kapan kita mau jemput Rey?" tanya Elisa suatu pagi. Ini kali ketiganya wanita itu menanyakan, setelah beberapa hari yang lalu selalu Roy abaikan."Iya nanti. Kamu sabar dulu ya? Aku masih ada kerjaan penting yang nggak bisa di tinggalin." Selalu saja jawaban itu yang suaminya berikan. Sabar, sabar. Sampai kapan?"Kalau Kakak memang nggak bisa ninggalin kerjaan, bagaimana kalau aku aja yang jemput Rey sendiri?" Elisa mencoba bernegosiasi. Jika ia harus menjemput putranya sendiri, sebenarnya tidak masalah. Tapi lelaki itu yang selalu menghalanginya."Tunggu aku, El? Nanti kita pergi sama-sama." Lelaki itu terlihat sudah rapi. Di pe
"Ayo, Nak? Katanya mau ketemu Mama?" Aditya mengingatkan pada gadis kecil tentang tujuannya datang ke sini, lagi pula pria itu merasa tidak enak sendiri saat menyadari kalau ada wanita cantik di sebelah sana yang sejak tadi terabaikan keberadaannya."Tapi Alya masih pengen sama Ayah Roy," rengek bocah itu manja. Alya benar-benar terlihat enggan melepaskan lelaki itu yang sejak tadi menggendongnya."Sini sama Ayah Adit gantian, kasiah tuh Ayah Roy capek, kan sejak tadi udah gendong Alya."Gadis itu memandang wajah Roy sejenak, lalu segera bergerak turun dari gendongan lelaki itu. "Tapi Ayah janji kan, mau nengokin Mama lagi?"Roy hanya mengangguk setuju menjawab pertanyaan Alya. Sejujurnya ia kasihan dengan gadis kecil itu, tapi mau bagaimana lagi, Alina memang harus di rawat agar bisa segera sembuh.Aditya dan Alya kembali menyusuri lorong menuju kamar di mana tempat rawat untuk Alina. Keduanya sama-sama terlihat sedih melihat seorang yang sangat d
Elisa melangkah mendekati keduanya, lalu melipat kedua tangannya santai. "Sudah, nostalgianya?" ucap wanita itu sinis. Pandangannya masih tidak bersahabat pada sosok lelaki yang baru saja kemarin menyatakan cinta padanya."Kenapa kalian tidak balikan saja? Kalian cocok kok, yang satu penggoda dan satunya lagi..... PENGHIANAT!""El...!""Apa!!" Emosi wanita itu sudah memuncak, hingga ia tanpa sadar berteriak dan mengundang perhatian para penghuni tempat itu."Apa Kak Roy sengaja, ngajak aku ke sini untuk melihat keromantisan kalian berdua?""El, ini tidak seperti apa yang kamu lihat. Percayalah." Roy mendekati Elisa, meraih tangan wanita itu, namun segera di tepisnya dengan kasar."Lihat apa? Aku bukan anak kecil, Kak? Jika kalian ingin berbalikan, kenapa mengajakku kemari?" Elisa juga terlihat menangis. Bagaimana ia tidak sakit hati mendengar ungkapan Alina tadi yang menunjukkan betapa dekatnya mereka berdua."El, kumohon, berhentilah
Tiga hari berlalu, luka di tangan Rengganis sudah membaik dan hari ini dokter mengijinkannya untuk pulang. Perempuan itu bersiap-siap di bantu Arya yang sudah sejak pagi tadi datang menjemputnya untuk membereskan semua barang yang sudah di pakai selama berada di rumah sakit."Apa ada yang tertinggal?" tanya Arya saat keduanya hendak melangkah keluar. Di tatapnya wajah sang istri yang terlihat bahagia karena sebentar lagi akan bertemu dengan kedua anaknya yang selama tiga hari ini jarang ia temui."Ada."Langkah Arya terhenti, sejenak menatap ke belakang menyapu seisi ruangan yang sudah kosong. "Apa?" tanya lelaki itu bingung."Hatiku yang tertinggal. Di sini." Rengganis menyentuh dada bidang Arya, membuat sang pemilik tersenyum senang mendengarnya."Tiga hari di rumah sakit, kenapa kamu jadi pintar merayau?""Memangnya salah, merayu suami sendiri?" Perempuan itu mengerlingkan sebelah matanya, membuat sang suami gemas dan mendadak mende
"Tan-te....?""Kamu...! Wanita tidak tau malu!" maki Mama Anggi seketika saat melihat siapa orang yang tiba-tiba saja masuk. Perempuan itu mengurungkan niatnya untuk keluar dan lebih tertarik untuk melampiaskan emosinya kepada wanita yang menjadi sumber semua masalah."Tan-te, maaf....?" ucap Elisa menunduk. Wanita itu meremas ujung kain yang membalut tubuhnya dan menyiapkan hati untuk menerima apapun yang akan perempuan itu ucapkan."Mau apa kamu datang kesini! Belum puas menyakiti menantuku?" Pandangannya menajam, seakan sebuah belati yang siap menguliti tubuh wanita itu."Ak-aku hanya ingin minta maaf, Tante.""Minta maaf? Cih, lalu nanti kamu akan mengulanginya lagi? Setelah semua yang kamu lakukan pada mereka, apa menurutmu masih pantas mendapatkan maaf?""Ma...? Tolong jangan berbicara seperti itu?" cegah Papa Pratama dari arah belakang, pria itu menghampiri istrinya dan menahan tubuh perempuan itu agar tidak semakin menyudutkan Elisa.
"Jelaskan semuanya ke aku, Kak?" Elisa masih saja menghujani Roy dengan berbagai pertanyaan,, terutama mengenai ucapan Alina yang sukses membuatnya malu di depan umum.Bagaimana tidak, setelah Alina mengatakannya, tatapan semua orang langsung mengarah padanya. Meski setengah berbisik, tapi Elisa sedikit bisa mendengar gunjingan dari orang-orang yang menyaksikan perdebatan tadi."Kak...!" Entah sudah keberapa kali wanita itu berteriak, namun Roy masih saja bungkam dan tidak sama sekali memberi jawaban. Seharusnya Elisa tau kalau semua juga berawal dari dirinya yang membuat jarak begitu jauh dengan suaminya sendiri. Bahkan ia tidak mau sedikitpun di sentuh oleh lelaki itu.Kini Elisa dan Roy tengah berada di sebuah ruang perawatan. setelah Dokter memeriksanya tadi, beruntung tidak ada sedikitpun luka yang di temukan di tubuh wanita itu, Dokter pun memutuskan untuk meninggalkan mereka berdua."Kak...!""Stttt....! Jangan berisik, El? Nanti mengganggu yang
Sementara di dalam toilet, antara Elisa dan Rengganis tengah terjadi ketengangan. Semua terjadi bukan berasal dua wanita cantik ini, tapi karena seorang perempuan yang tiba-tiba saja muncul dan hendak melukai Elisa."Lepas! Kau gila ya!" Elisa memaki, menahan garpu yang hampir saja melukai wajahnya."Ya, aku gila! Aku memang gila, kau mau apa, hahh!" Perempuan itu sudah seperti kerasukan iblis, ia menempelkan garpu runcing itu tepat di leher Elisa setelah tadi gagal melukai wajah wanita itu."Lepas!"Saat itu Rengganis juga tengah berada di salah satu bilik toilet, ia yang mendengar ke gaduhan langsung mengintip keluar, tubuhnya bergetar, detak jantungnya berpacu dengan cepat saat melihat pemandangan dari balik pintu."El-lisa...?"Rengganis kebingungan. Jika ditanya apa dia masih membenci wanita itu? Tentu saja masih, tapi melihat keadaannya sekarang sangatlah berbeda. Kini yang ada di depannya bukan perkara soal Elisa yang dulu hendak mere