Tengah malam aku terbangun oleh kemelut perasaan sakit. Sementara Diran tampak pulas tertidur memelukku dari belakang. Laki-laki berengsek itu bahkan tidak terganggu sama sekali oleh isak tangisku.
Sesaat, aku teringat pesan Reen untuk memeriksa ponsel Diran. Karena ada kemungkinan Diran merahasiakan selingkuhannya itu di sana dengan nama lain. Mereka tidak mungkin bisa saling bertemu begitu saja, jika tidak lewat ponsel.
Perlahan-lahan aku beranjak melepaskan diri dari pelukan Diran. Lalu menghampiri ponsel milik Diran di atas nakas yang tampak dicas. Dengan hati-hati aku meraih ponsel yang kebetulan sekali tidak dalam mode mati. Namun, sayangnya aku tidak bisa membuka layarnya yang dikunci dengan kata sandi.
Aku mengembuskan napas sesal. Ada penyelasan, kenapa aku tidak pernah sekali pun ingin tahu dengan isi ponselnya dari dulu. Bahkan hanya untuk sekadar mengetahui kata sandinya pun aku tidak tahu.
Aku memutuskan ke kamar mandi untuk membasuh wajahku yang rasanya panas oleh tangis. Ditambah lagi, aku tidak mungkin menunjukkan mata sembabku akibat menangis esok hari.
Keluar dari kamar mandi, aku melihat layar ponsel Diran menyala dengan notif panggilan masuk. Ya. Hanya menyala. Tanpa suara maupun getaran. Aku yakin, itu adalah salah satu permainannya bermain-main di belakangku.
Aku mendekat untuk melihat nama si pemanggil tersebut. Tampak nama Pak Prana terpampang di sana.
Pak Prana adalah atasan Diran di kantor e commerce bidang digital marketing. Namun, untuk apa Pak Prana telepon pada tengah malam? Kalaupun ada kepentingan pekerjaan, apakah wajar menelepon tengah malam? Bukankah Diran mengajukan cuti seminggu? Bukankah juga dia bisa berpikir, jika panggilan teleponnya akan sangat menganggu malam pertama kami?
Ya. Meski kenyataannya aku tidak sudi melakukan malam pertama dengan Diran. Kecurigaaku semakin menjadi tatkala panggilan dari Pak Prana terus berlangsung hingga 5 kali.
Cih! Sangat tidak wajar bukan?
Ya. Aku bisa pastikan, jika kontak tersebut bukanlah Pak Prana yang asli. Sudah pasti nama tersebut hanyalah alibi untuk menutupi kontak yang sebenarnya.
Seketika aku teringat banyak kejadian ke belakang. Di mana Diran sering kali menerima telepon dari Pak Prana dengan alasan pekerjaan. Bahkan pada saat-saat kami sedang guality time sekaligus.
Usai panggilan tersebut berakhir, aku menatap nyalang laki-laki berwajah tanpa dosa di hadapanku.
Berengsek! Sudah berapa lama kalian bermain di belakangku? Kalian pikir, kalian bisa terus membodohiku? Akan aku balas kalian.
“Ada apa, Sayang?” tanya Diran menggeliat.
Aku berusaha tersenyum. “Nggak papa, Sayang. Kebangun karena kebelet pipis aku.”
“Sini.” Diran kembali merentangkan tangan, memintaku untuk tenggelam dalam pelukannya. “Aku kedinginan gara-gara kamu nggak bisa malam pertama,” pintanya manja.
Aku kemudian kembali ke ranjang dan menenggelamkan diri ke pelukannya.
“Besok, kalau kamu udah selesai datang bulan, langsung bilang, ya. Aku udah nggak sabar pengen ngeperawanin kamu.”
“Lihat aja besok.” Aku tersenyum penuh tersirat.
“Kamu juga lihat aja besok, gimana aku akan begitu garang di ranjang.”
Tapi Aku mendongak menatapnya, “kira-kira piton kamu masih perjaka nggak?”
“Masih, dong,” jawabnya cepat.
“Buktinya mana kalau masih perjaka?”
tanyaku memancing.
“Buktinya dia selalu memberontak kalau deket
kamu.”
Aku tergelak. Dasar, otak selangkangan.“Kamu nggak percaya kalau aku masih
perjaka?” tanyanya menyelisik.
Lagi-lagi aku berusaha tersenyum. “Cuma
pengen mastiin aja. Kan nggak adil, kalau aku masihperawan, tapi kamunya udah nggak perjaka.”
“Buktinya mana kalau masih perjaka?”
tanyaku memancing.
“Buktinya dia selalu memberontak kalau deket kamu.”
Aku tergelak. Dasar, otak selangkangan.
“Kamu nggak percaya kalau aku masih perjaka?” tanyanya menyelisik.
Lagi-lagi aku berusaha tersenyum. “Cuma pengen mastiin aja. Kan nggak adil, kalau aku masih perawan, tapi kamunya udah nggak perjaka.”
“Sayang, kamu sarapan duluan, ya. Aku angkat telepon dulu dari Pak Prana.” Diranmenunjukkan layar ponselnya yang terpampang tulisan Pak Prana tengah memanggil. Aku mengangguk dan berusaha tersenyum. Sepeninggal Diran, Reen melambaikan tangan ke arahku, memintaku untuk menghampiri mejanya. Kulihat beberapa meja lainnya dihuni oleh beberapa kerabat yang masih ikut bermalam di hotel usai acara resepsi. “Mau ke mana tuh suami lo?” tanya Reen, tepat setelah aku duduk di hadapannya. “Katanya mau ngangkat teleponnya Pak Prana. Nggak tahu Pak Prana yang asli apa Pak Prana Pak Prana-an,” kataku mendengkus kesal. “Maksud lo ?” Reen mengernyit. “Gue yakin nama kontak selingkuhannya itu dikasih nama Pak Prana. Masak iya urusan kerjaan sampai telepon berkali-kali tengah malam?” Reen menganga. “Terus kenapa nggak Io ikutin aja dia?” “Males gue. Mending gue ngisi perut di sini.” Aku menyendok creamy ravioli milik R
“Kamu nggak papa “kan, kita nggak bisa honeymoon? Ada projek baru yang harus lounchingsecepatnya di perusahaan. Jadi aku harus urus secepatnya sama Pak Prana.” Diran menggenggam tanganku di atas meja makan.Lagi-lagi tersenyum menjadi andalanku.“Nggak papa. Aku bisa ngertiin, kok.”Ya. Tentu saja aku harus bisa mengerti. Sebab laki-laki berengsek di hadapanku itu harus menguras otak untuk bisa bermain-main di belakangku. Lagi pula, tidak akan ada gunanya juga melakukan honeymoon. Toh aku tidak akan pernah sudi memberikan keperawananku.“Makasih ya, Sayang. Kamu mau ngertiin aku.“Makasih doang, nih? Nggak mau ngasih aku ciuman, nih?” godaku dengan sengaja, tatkal mendapati sosok Jonna yang duduk di meja belakangDiran tampak curi-curi pandang ke maja kami.“Sini, aku kasih ciuman.” Diran kemudian mengecup lembut keningku.Sedetik itu aku bisa melihat, bagaimana
Sepeninggal dari hotel, aku dan Diran kemudian menempati rumah yang memang sudah Diran persiapkan untuk berkeluarga—rumah minimalis seperti impianku. Membuatku cukup tersentuh dengan usahanya mempersiapkan rumah.Sayangnya, rumah itu tidak akan pernah menjadi milikku. Karena suatu saat nanti, sudah aku pastikan akan keluar dari sana.Malam kedua berikutnya akan menjadi permainan berikutnya untuk membuat Diran kesakitan.Lingerie merah pemberian Jonna memang cukup menggoda memperlihatkan lekuk tubuhku.Tidak lupa juga rambut panjangku yang aku cepol untuk memperlihatkan leher jenjang polosku.Keluar dari kamar mandi, Diran langsung memeluk tubuhku dari belakang. “Kamu sengajamancing aku “kan?” tanyanya dengan embusan napas tak beraturan. Seperti birahi yang sudah terbakar.Aku tersenyum kecut. “Siapa bilang aku mau mancing kamu? Aku cuma pengen pamerin lingerie seksi pemberian Jonna ke kamu.”K
“Mbak Gee Andhra?” Seorang laki-laki memakai t-shirt berpadu jacket, celana jeans, sneakers hitam putih dan balck cap menghampiri mejaku.“Iya,” jawabku ragu-ragu menyelisik wajah rupawannya.“Saya Adirajada. Orang kiriman dari XO ekpress.” Laki-laki tersebut mengulurkan tangan padaku.“Oh, iya, Mas. Halo.” Aku kemudian membalas uluran tangannya.“Silakan, duduk,” ucapku mempersilakan kursi di hadapanku.Seperti yang sudah aku rencanakan, bahwa aku akan mengunakan mata-mata untuk membantuku mempermainkan Diran dan Jonna. Berkat otak intel Reen, aku berhasil menemukan jasa mata-mata yang juga merangkap sebagai kurir.“Sebelum kita memulai kerja samanya, boleh saya tahu detail permasalahannya?” tanyanya usai menyeruput es teh leci soda.Jujur, aku ragu untuk menceritakan detail permasalahan. Ada rasa tidak nyaman untuk terbuka dengan orang baru.“Anggap
Pukul 8 malam lewat 15 menit ponselku menampilkan notif pesan. Tampak sebuah foto Jonna tengah membuka pintu kamar hotel bernomor B606.A : Suami Mbak katanya pulang jam berapa?Reply : Katanya malam. Ada rapat.15 menit kemudian Adira mengirimkan fotoDiran yang tengah membuka pintu kamar hotel B606.A : Rapatnya kayaknya penting banget sampai ke hotel, Mbak.Berengsek! Mataku memanas memandang foto tersebut.A : Jangan nunggu suami Mbak pulang. Dia lagi sibuk sama ceweknya sekarang. Kemungkinan pulangnya besok pagi, bukan malam.Aku langsung beranjak dari ranjang. Kakiku rasanya begitu gatal untuk melangkah menghampiri mereka berdua. Ingin sekali aku melabrak untuk melontarkan segala macam kata binatang dan sumpah serapah tepat di wajah mereka. Namun ... aku harus menahannya.Ya, menahan. Jika aku melabrak mereka sekarang, maka permainan yang aku buat telah selesai. Sementara permainan ini masih baru dimulai.Mela
Aku menyapukan eyeshadow cokelat pada bagian crease dan kelopak mata. Setelah itu membubuhkan eyeshadow glitter gold di bagian tengah mata. Tak lupa blush on peach dan lipstick dusty pink.Sempurna sudah penampilanku di malam ketiga ini untuk membuat Diran mengerang kesakitan di ranjang.“Sayang, aku pulang!” seru sebuah suara lengkap dengan suara langkahnya menghampiri kamar.Aku menatap jam dinding yang menunjukkan setengah 10 malam. Waktu kepulangannya lebih cepat dari dugaanku ternyata.“Hai,” sapanya usai membuka pintu dan mendapati sosokku yang sudah siap di pinggir ranjang menyambut kadatangannya.“Hai, Sayang,” balasku beranjak dari ranjang untuk menghampirinya dengan senyum menggoda.“Wow. Cantik banget, Sayang,” sanjungnya mengusap lembut pipiku.“Demi menyambut kamu pulang,” kataku manja.Diran kemudian merengkuh tubuhku untuk menikmati wangi mawar yang meng
Suara shower air mengucur menguyur tubuh tegap Diran yang tengah membersihkan diri. Tampak perut berototnya begitu menggoda. Belum lagi lengan kekarnya ketika menggosok rambutnya dengan sampo. Lalu ... jangan ditanya lagi bagaimana pusat kepemilikannya. Sudah pasti keras dan tegak menunggu pelepasan.Sementara aku?Aku hanya melipat tangan di ambang pintu menyaksikan suamiku berengsekku itu mandi. Sebabbisa dipastikan, jika tubuh menggoda itu sudah dijamah oleh tangan perempuan murahan itu sebelum pulang.Ya. Aku tak mau dan tak akan sudi menerima sesuatu yang bekas. Tubuh itu, bibir itu dan tangan itu bisa aku pastikan menyisahkan kotoran sebelum pulang ke rumah.Apa aku tidak tergoda dengan tubuh indah itu?Tentu saja aku tergoda. Namun, tubuh itu adalah tubuh murahan yang dijamah oleh lebih darisatu perempuan. Lalu pusat kepemilikannya yang ... cukup wow itu ... sudah pasti berkali-kalimendapatkan perlabuhan ternikmatnya pada t
“Jadwal konsultasi saya udah selesai semua“kan, Mbak?” tanyaku pada penjaga meja resepsionis.“Masih ada 1 lagi yang belum, Bu.”Aku mengernyit. “Bukannya hari ini saya hanya terima 11 orang?”“Masnya bilangnya sudah janjian sama Bu Gee.” Perempuan di hadapanku menunjuk kursi tunggu di belakangku dengan matanya.Ketika aku berbalik badan, aku menemukan laki-laki berkaus hitam berpadu jaket denim dan celana denim, lengkap dengan waist bag menatapku dengan pongah. Membuatku cukup terkejut dengan kedatangannya yang tanpa berkabar.“Suruh ke ruangan saya sekarang, Mbak,” kataku pada petugas resepsionis. Kemudian melangkah kembali ke ruanganku.“Mari, Mas. Saya antar ke ruangan dokternya.” Salah satu petugas lain kemudian mengarahkan laki-laki tersebut menuju ruanganku.“Kok masnya nggak ngabarin dulu kalau mau ke sini?” tanyaku langsung usai pi
3 bulan kemudian.Usai ketukan palu di pengadilan, maka selesai sudah hubunganku dengan Diran Diran dalam tali pernikahan. Selama proses berlangsung, Diran tampak kooperatif, meski tak mengatakan apa pun.Ya. Aku rasa Diran memang tidak bisa berbuat banyak, usai menyadari kesalahannya. Bahkan dia tak menggunakan pengacara selama proses persidangan. Meski dia tak pernah mangkir setiap kali sidang mediasi, sayangnya aku tak sudi barang satu kali pun untuk datang ke sidang mediasi.Keluar dari ruang pengadilan, kulihat Diranberjalan menunduk dengan wajah ditekuk. Sementara aku berjalan bersama Om Riwan selalu mendampingiku selama prosesnya."Gee."Aku menghentikan langkah dan menoleh. Tampak Diran berjalan menghampiriku. Lalu mengulurkan tangan dengan wajah penuh penyesalan padaku.“Sekali lagi aku minta maaf. Aku harap kita masih bisa berjabat tangan untuk terakhir kalinya,” ucap Diran.Aku cukup tertegun, tetapi juga masihdipenuhikebencian. Namun, memperlihatkanketangguhan di hadapan se
Sebuah makan malam di bistro milik Reen menjadi akhir rencanaku. Aku sengaja menggagas makan malam bersama dengan 2 keluarga besar untuk mengungkapkan akhir rumah tanggaku dengan Diran. Karena aku tidak ingin bertele-tele untuk mengakhiri semuanya. Hidangan sirloin steak rendang sauce, egg and avocado salad in jar dan prawn bruchetta lengkap dengan wine merah menghuni meja panjang di ruangan privat room. Tampak penghuninya begitu menikmati hindangan sembari bercengkerama hangat. Kecuali aku dan Diran pastinya. Ya. Diran tampak menunduk tak mengeluarkan satu kata pun. Bahkan terlihat ogah-ogahan menikmati hidangan. Sementara aku ... tetap menyantap makanan begitu lahap, sebagai amunisi, sebelum memberitahukan hal yang mengejutkan. “Kamu tambah cantik setelah nikah, Gee,” puji Bu Rini—ibu mertuaku. Aku tersenyum sebagai balasan. Tentu saja aku harus tampil cantik malam ini. Jumpsuit polka dot vintage look berkerah lebar memang cukup membuat penampilanku rimeless. Ditambah make up
Usai keluar dari kamar laknat itu, aku berjalan gontai dengan air mata tak berhenti mengucur dari kedua mataku. Kepedihan begitu sangat terasa di hatiku saat ini. Meski begitu, aku harus kuat sekuat-kuatnya menerima kenyataan yang terjadi. Dunia tidak akan hancur hanya karena laki-laki yang aku cintai berselingkuh dengan temanku sendiri “kan?Aku merogoh kunci mobil di dalam tas dengan susah payah karena pandanganku yang terus kabur oleh genangan air mata. Sampai kemudian berhasil menemuka kunci, kunci tersebut malah terjatuh begitu saja dari tanganku. Membuatku semakin kesulitan untuk mencari.Sebuah tangan samar-samar kulihat meraih sesuatu di bawah kakiku. “Biar saya antar Mbak pulang.”Suara yang sangat familiar itu membuatku langsung mendongak pada pemiliknya. “Nggak usah Mas. Saya bisa pulang sendiri,” tolakku seraya mencoba meraih kunci mobilku di tanganku.Adira mengeratkan kunci mobilku dalam genggamannya. “Mba
Jonna melangkah membuka pintu. Lalu tak lama kemudian ....“Adira,” pekik Jonna.Aku dan Diran langsung menoleh ke arah pintu terbuka. Terlebih aku yang cukup terkejut dengan sosok Adira yang benar-benar muncul di sana.“Kamu kenapa bisa di sini?” tanya Jonna melangkah mundur.“Aku denger ada ribut-ribut di sini. Jadi aku datang,” ucap Adira melangkah masuk.“Apa maksud kamu?” tanya Jonna tak mengerti.“Cuma pengen tahu aja, laki-laki seperti apa yang ngebuat kamu sampai mengakhiri hubungan kita,” ucap Adira.Mendengar itu, aku langsung membulatkan mata.“Hubungan? Kamu punya hubungan sama Jonna?” tanyaku menatap laki-laki memakai jogger pants hitam berpadu t-shirt hitam, jaket hitam dan topi hitam.Adira menatapku dan mengangguk.“Maafkan saya, Mbak. Saya memanfaatkan keadaan Mbak untuk mencari tahu laki-laki yang udah ngebuat pacar say
Wajah Diran dan Jonna kembali tegang usai mendengar ucapanku. Sementara aku menyeringai penuh kemenangan. “Kenapa? Kalian terkejut lagi? Kalian pikir bisa terus membodohi aku?” tanyaku. “Sejak kapan lo tahu semua ini, Gee?” tanya Jonna. “Seminggu sebelum gue melangsungkan pernikahan,” jawabku menyeringai. “Apa?” pekik Diran. “Kenapa? Terkejut lagi?” tanyaku menatap laki-laki berkemeja oversized berpadu blue jeans dan sneakers. Diran kemudian berdiri. “Lalu kenapa kamu mau meneruskan pernikahan ini kalau kamu sudah tahu dari awal?” Aku tertawa. “Untuk mempermainkan kalian berdua, dong.” Diran mengeraskan rahang. Sementara Jonna menggeleng-geleng tidak percaya menatapku. “Jadi gimana sekarang rasanya dipermainkan?” tanyaku berdiri menatap Diran. “Menyenangkan dong pastinya. Apalagi bisa membuat kamu mengerang kesakitan tanpa kepuasan setiap malam,” sambungku menyeringai. “Jadi kamu
Adira : Mereka baru saja memasuki kamar hotel bersama.Pesan dari Adiran lengkap dengan foto Diran dan Jonna masuk ke sebuah kamar hotel membuatku bersiap-siap menyiapkan diri. Usai mendatangi pengadilan bersama Om Riwan tadi pagi untuk mendaftarkan gugatan perceraian, aku juga segera mengemasi barang-barangku dari rumah itu dan memutuskan singgah sementara di hotel.Ya. Malam ini adalah akhir dari semua kebusukan mereka di belakangku.Aku mengaplikasikan highlighter di pangkal dan ujung hidung, teardcut, dahi dan tulang pipi di hadapan cermin. Lalu menggambar sedikit arch pada alis mata menggunakan pensil alis cokelat muda. Tak lupa juga complexion yang flawless dan dewy yang menjadi kunci penting riasan malam ini. Kemudian terakhir, lipstick nude pink untuk menambah feminine dan attractive.Ya. Malam ini penampilanku harus paripurna di hadapan 2 pengkhianat itu. Akan kutunjukkan keanggunanku membalas perbuatan mereka malam ini.Jangan kalian piki
“Syukurlah, Tuhan,” lirihku terpejam di hadapan cermin kamar mandi usai mendapati diri tengah datang bulan sungguhan.Ya. Sepertinya Tuhan berpihak padaku untuk melindungi keperawananku malam ini.Tok! Tok! Tok!“Kamu masih lama di dalam?” tanya Diran di balik pintu kamar mandi.“Bentar,” sahutku.Usai membereskan diri, aku kemudian keluar kamar mandi dan mendapati Diran sudah bersedekap di samping pintu menungguku.“Kamu tahu janji kamu malam ini “kan?” tanyanya menggoda.Melihat wajah memuakkan itu, aku melewatinya begitu angkuh menuju meja rias.“Jangan bersandiwara lagi, Gee,” ucapnya. Langkahku seketika terhenti.“Ini udah seminggu aku menahan diri untuk mengikuti permainan kamu,” lanjutnya.Aku tergelak cukup terkejut. Lalu menoleh menatapnya yang masih bersedekap dan bersandar pada dinding dengan tatapan penuh tersirat padaku.
Aku menyeruput mango yogurt ice usai menjelaskan begitu gamblang pada laki-laki paruhbayah di hadapanku yang berprofesi sebagai pengacara, sekaligus orang tua kedua setelah kedua orang tuaku. “Kamu yakin memutuskan perceraian ini tanpa ngobrol dulu sama orang tua kamu, Gee?” tanya Om Riwan masih dengan membulatkan mata tidak percaya dengan nasib pernikahanku. “Aku ingin merahasiakan ini dari mereka,” kataku. “Rahasia kamu bilang? Nggak ada perceraian yang dilakukan dengan rahasia, Gee.” “Tolong Om rahasiakan dulu proses ini,” pintaku. “Om bener-bener nggak habis pikir sama keberengsekan Diran.” Om Riwan menggeleng-geleng. “Om yakin, kalau papamu tahu masalah ini, dia akan murka dan membenci keluarga Harsa,” sambungnya. “Aku nggak mau Mama dan Papa khawatir berkepanjangan karena masalah ini. Biarkan mereka tahu hasil akhirnya aja.” “Sejak kapan Diran selingkuh sama temen kamu itu?” “Kemungkinannya pasti s
Sebuah kecupan mendapat di pipiku lengkap dengan 2 lengan kekar yang memeluk hangat tubuhku dari belakang. “Katanya kangen. Nih aku udah pulang,” lirih Diran. Aku menyunggingkan senyum dingin membelakanginya seraya menyeruput kopi di tangan kananku. “Pengen main apa malam ini?” tanyanya memutar tubuhku menghadapnya. Aku pura-pura tersenyum dan melangkah meletakkan cangkir kopi di atas nakas. “Main apa ya, enaknya? Main tanya-tanyaan gimana?” Diran mengernyit menatapku. “Tanya apa?” “Tanya apa pun.” Aku kemudian duduk di pinggiran ranjang menyilangkan kaki jenjangku. Diran mengangguk ragu-ragu. Jelas sekali, bagaimana kekhawatiran tergambar di wajahnya. “Kamu ... beneran tadi sibuk sama kerjaan di kantor?” tanyaku to the point. Diran melangkah mendekat. “Kok kamu tanyanya begitu? Kamu nggak percaya?” “Hm” Aku mengangguk menatapnya. “Aku nggak percaya.” Lalu menggeleng. Diran