Angelo mendekati Walikota Alonzo dengan ketenangan yang mengagumkan, setelahnya ia berbisik di telinga pria itu.
"Bagian mana dari tubuhmu yang ingin merasakan tajamnya pisau terlebih dahulu, Walikota Alonzo?"
Sang walikota bergidik ngeri mendengar suara Angelo bak iblis yang turun ke bumi menebar teror pada umat manusia.
"Apakah telingamu?" desis Angelo seraya memainkan pisau kecil yang dipegangnya ditelinga Walikota Alonzo.
"Ja-jangan, tuan. Aku mohon… j-jangan..," rengek Walikota Alonzo dengan tubuh gemetar ketakutan.
"Kalau bukan telinga, lalu bagian mana yang harus merasakan pisauku ini duluan, Walikota Alonzo?" Angelo kembali mengulang pertanyaannya dengan sikap mengancam.
"Kau tunggu disini saja, sayang. Biar aku dan Angelo yang pergi," ucap Juan pada Celeste."Tapi, Juan. Aku juga ingin ikut," balas Celeste."Sebaiknya jangan, sayang. Aku khawatir ini akan membahayakanmu. Kita tak tahu apa yang akan dilakukan Armando dalam keadaan terdesak.""Tapi…""Sayang, dengarkan aku," potong Juan seraya memegang kedua lengan Celeste."Kau sangat berharga bagiku. Aku tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk padamu. Jadi, tolong tetaplah disini," ucap Juan seraya menatap manik mata Celeste.Rasa haru seketika menyelimuti hati Celeste. "Juan… ternyata kau begitu perhatian padaku," batin Celeste."B
Armando spontan mengangkat kedua tangan untuk melindungi tubuhnya. Dengan menelan ludah ia menatap nanar bagaimana pintu gerbang yang terbuat dari besi kualitas nomor satu itu hancur begitu saja.Tubuhnya yang tiba-tiba gemetar dilanda ketakutan membuat kakinya tak mampu bergerak, walau otaknya telah memerintahkan dirinya untuk segera lari dari sana.Rombongan mobil Juan masuk dengan leluasa kedalam halaman kediaman Ferrari. Dan mobil yang ditumpangi Juan serta Angelo berhenti tepat di depan sang pemilik rumah yang berwajah pucat."Tuan Ferrari!" teriak Domenico dari dalam rumah.Armando menoleh ke arah Domenico dengan tatapan putus asa. Sementara itu, Angelo telah turun dari mobil disusul Juan dengan ekspresi berwibawa.Alan
Dengan jantung berdetak kencang serta rasa penasaran yang teramat sangat, Armando membuka kotak yang diberikan Juan.Setelah melihat isinya, spontan Armando melepaskan kotak tersebut dari tangannya dengan wajah mengerut jijik serta ngeri.Juan tersenyum miring melihat reaksi Armando Ferrari, tanpa banyak bicara ia memungut kotak yang dijatuhkan Armando lalu menunjukkannya jelas-jelas pada semua orang yang hadir disana."Ada apa, tuan Armando? Mengapa reaksimu seperti itu?" ejek Juan."Ja-jari siapa itu? Jari siapa yang ada didalam situ?" tanya Armando tergagap."Apakah kau tidak mengenalinya? Coba lihat baik-baik," jawab Juan seraya mendekatkan kotak berisi sepotong jari bercincin itu pada Armando.
"Apakah kau yakin kedatanganku kemari hanya karena sebuah kesalahpahaman, Domenico?" bisik Juan di wajah pria itu."Sejujurnya aku tidak begitu yakin, tuan. Tapi, aku rasa kita bisa menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin," jawab Domenico berani."Mari kita duduk dan mencari jalan keluarnya, bukankah itu lebih baik?" usul Domenico.Dengan kasar Juan melepaskan cengkramannya pada Domenico. Perlahan emosinya mulai merangkak naik akibat kepolosan -atau kebodohan- pria di hadapannya ini.Juan mengambil napas panjang-panjang, berusaha menenangkan dirinya. Lalu dengan berkacak pinggang, ia kembali menatap Domenico dengan ekspresi kesal."Ku akui kau sangat pemberani. Kau sama sekali tak takut walaupun kau tahu siapa aku. Tap
Pria itu menarik napas panjang dengan mata memandang tuannya tanpa berkedip. Kemudian ia berkata, "silahkan bawa tuan Ferrari."Sebuah senyum kemenangan tersungging di wajah tampan Juan berbanding terbalik dengan ekspresi Armando Ferrari yang terkejut bukan main dengan ucapan Domenico."Ap-apa yang kau katakan, Domenico?!" seru Armando murka."Aku harus melakukannya karena kau telah membohongiku, tuan," jawab Domenico tanpa ekspresi."Kau sungguh kurang ajar! Apa kau tak ingat siapa yang telah membuatmu seperti ini?! Jika bukan karena aku memungutmu dari jalanan, selamanya kau akan menjadi pengemis!" maki Armando berang."Aku sangat berterima kasih dan akan selalu berhutang budi padamu, tuan Ferrari. Tapi maaf, aku tetap haru
Domenico menatap Juan dengan ekspresi yang tak bisa digambarkan. Ia cukup penasaran dengan apa yang telah diucapkan oleh Juan."Aku menawarkanmu untuk bergabung bersamaku, menjadi penasehat ku," ucap Juan ringan."Tentu saja kehidupanmu akan dijamin oleh Klan Maximo. Mengenai pekerjaanmu… kau hanya mendampingi diriku serta menjadi tempatku bertukar pikiran, baik mengenai bisnis ataupun yang lainnya," jelas Juan."Bagaimana? Apakah kau berminat?"Rasa terkejut tak mampu ditutupi dari raut wajah pria itu. Ia tak menduga akan ditawari menjadi pendamping dari pewaris tahta Maximo Yang Agung.Dengan tergagap Domenico menjawab, "te-terima kasih atas tawaran anda, tuan. Tapi… tapi aku merasa tidak pantas mendampi
Juan masih menciumnya untuk waktu yang cukup lama, setelah itu ia menatap Celeste dengan mata hazelnya yang teduh. "Sayang, aku punya kabar gembira untukmu," ucap Juan lembut. "Apakah itu?" tanya Celeste tak sabar. "Aku membawa Armando Ferrari untukmu. Sekarang dia ada dibawah menunggu kita," jawab Juan dengan senyum khasnya. Mata Celeste melebar mendengar jawaban Juan. Armando Ferrari! Pria bajingan yang sudah dianggap sebagai ayahnya sendiri, namun tega menjualnya ke pria tua gendut yang lebih pantas menjadi kakeknya. Emosi Celeste seketika tersulut. Tanpa banyak bicara ia menarik tangan Juan mengajaknya ke bawah untuk segera menemui Armando. "Tunggu sebentar, sayang!" ser
Tanpa kentara perlahan jari-jemari lentik Celeste menyelinap ke balik blusnya, mengambil sebuah pisau kecil yang ia sembunyikan di pinggang.Dengan pisau kecil terhunus ditangannya, Celeste berteriak marah maju hendak membunuh ayah angkatnya itu. Armando yang melihat Celeste dengan pisau di tangan terkejut bukan main.Ia tak mampu mengelak dengan posisinya yang masih tersungkur di lantai seperti ini.Dengan mata terpejam, Armando pasrah menantikan rasa sakit yang akan timbul akibat tusukan pisau di tubuhnya.Namun lama ia menunggu dengan mata terpejam, rasa sakit itu tak pernah datang. Dengan raut wajah keheranan, Armando membuka matanya dan mendapati Juan berada di depannya menerima hunusan pisau Celeste dengan sebelah tangan.
Juan dan Celeste tercengang menatap wanita yang tiba-tiba muncul dihadapan mereka. Wanita yang dibawa oleh Angelo yang dikenal dingin dan anti perempuan."Angelo?" ucap Celeste bingung."Perkenalkan, namanya Fiorella. Maafkan jika aku telah lancang mengajaknya untuk tinggal disini tanpa memberitahu kalian berdua terlebih dahulu. Tapi, ada alasan mengapa aku melakukan hal ini, tuan Juan, nona Celeste," jelas Angelo."Aku Fiorella, senang berkenalan dengan anda berdua," ucap Fiorella gugup."Ada apa ini, Angelo? Tidak biasanya kau membawa wanita seperti ini?" tanya Juan blak-blakkan didepan Fiorella."Dia adalah wanita yang diceritakan oleh Davidde tadi pagi, tuan Juan," jelas Angelo.
“A-apa maksudmu, Angelo? K-kau mengajakku tinggal bersamamu? Apakah tidak terlalu cepat? Kita berdua baru saja kenal,” ucap Fiorella dengan wajah merona merah karena malu.Menyadari kalau kalimat yang diucapkannya membuat Fiorella berpikiran macam-macam, Angelo cepat-cepat mengoreksinya dengan wajah sama merahnya dengan wanita itu.“Ah, ti-tidak! Maksudku bukan seperti itu! Maafkan aku jika ucapanku membuatmu berpikiran macam-macam!”“Maksudku, aku selama ini tinggal di hotel K bersama atasanku dan juga pacarnya. Mereka menyewa seluruh lantai, sehingga banyak kamar kosong. Jika kau mau, kau bisa mengisi salah satu kamar kosong di sana sampai kami menangkap pembunuh itu,” jelas Angelo cepat-cepat.“Oh, seperti itu,” ko
Angelo melesat bagai peluru meninggalkan ruangan itu langsung masuk kedalam mobil tanpa memperdulikan Juan yang meneriakkan namanya. Saat ini yang ada dipikirannya hanya satu. Fiorella.Ciri-ciri yang diceritakan oleh Davidde sangat cocok dengan Fiorella. Apalagi wanita itu membawa sekeranjang bunga, seingatnya Fiorella pernah bercerita padanya kalau ia sering membawa pulang bunga-bunga yang mulai layu untuk dikeringkan di rumahnya.“Pantas saja, dia tak membuka tokonya hari ini. Dia pasti syok dan ketakutan dengan kejadian semalam,” gumam Angelo.Tak sabar untuk segera bertemu dengan wanita itu, Angelo bagai kerasukan menekan pedal gas dalam-dalam. Membawa mobil dengan kecepatan penuh. Hampir semua lalulintas dilewatinya tanpa perduli apakah sedang merah atau hijau. Yang ada dipikirannya sekarang adalah
Pagi itu, Angelo kembali berjalan-jalan disekitar hotel hingga ke pasaraya yang letaknya tak jauh dari sana. Ia berniat mengenal Fiorella lebih jauh lagi. Setelah percakapan pertama keduanya, sudah sekitar 3 hari ia tak melihat wanita itu. Ia disibukkan dengan pembunuhan Domenico.Pagi ini sedikit senggang, sebelum mereka kembali ke markas Klan Maximo siang ini. Angelo menyempatkan menemui Fiorella untuk bercakap-cakap.Dengan bersemangat dan dada berdebar, Angelo berjalan menuju toko bunga Fiorella. Namun seketika ia mengernyit saat melihat toko wanita itu tutup. Tidak seperti biasanya, setahu Angelo Fiorella tidak pernah menutup tokonya.Dengan rasa penasaran ia lalu mendekati penjual tembikar yang letaknya persis di samping toko bunga Fiorella."Permisi, apa kau tahu
Angelo segera memasukkan memory card tersebut kedalam saku jasnya. Setelah itu keduanya bergegas mengembalikan barang-barang tersebut pada petugas. Dengan tergesa-gesa keduanya kembali ke mobil dan segera pergi dari sana."Ini, tuan Juan," ucap Angelo sambil memberikan memory card yang disimpannya tadi."Haruskah aku lihat sekarang?" tanya Juan meminta pendapat Angelo."Mengapa tidak? Lebih cepat kita tahu isi memory card itu bukankah lebih baik? Siapa tahu disana ada petunjuk yang kita inginkan," balas Angelo ringan.
Angelo kembali ke hotel dengan suasana hati yang lebih cerah. Pertemuannya dengan wanita pemilik toko bunga, Fiorella, sedikit mencerahkan hatinya yang cukup lama berkabut.Dengan bersenandung kecil, Angelo memasuki kamar hotelnya. Ia terus teringat akan Fiorella, dadanya berdebar kencang setiap kali ia teringat wanita itu. Apakah ia jatuh cinta lagi? Pada wanita yang sama namun sedikit berbeda? Angelo menggeleng, mengusir pikiran melantur itu."Apa yang kau pikirkan, Angelo? Dia bukan Carina, dia Fiorella. Walaupun wajah mereka sama, itu bukan dia. Carina mu tidak akan kembali, sadarlah," tegurnya pada dirinya sendiri.Walau begitu, Angelo tetap memikirkan Fiorella. Memikirkan wanita itu diluar dugaan memberikan ketenangan dalam hatinya.****
Menuruti perintah Juan, Angelo segera mengumpulkan anak buah Klan Maximo kemudian memberi mereka perintah untuk menyelidiki Alonzo. Serta berpatroli minimal 3 orang, agar menghindari penyerangan yang tidak diinginkan.Sementara Domenico telah pergi meninggalkan hotel dengan mengemban tugas menyelidiki bosnya sendiri, Armando Ferrari.Juan masuk kedalam kamar hotelnya dengan semangat baru, wajahnya kini berseri-seri tidak lagi murung seperti beberapa hari lalu. Celeste yang tengah duduk santai sambil membaca majalah mode merasa senang melihat perubahan itu."Darimana kau sayang? Aku mencarimu dari tadi," tanya Celeste sambil menurunkan majalah yang dibacanya."Aku tadi habis bertemu Domenico, sayang," jawab Juan sambil mencium pipi Celeste.
Ottavio masuk ke dalam lift hotel dengan Domenico mengekor di belakang. Ia memencet tombol 7 yang artinya mereka akan ke lantai 7, dimana semua kamar di lantai itu adalah milik Juan untuk sementara dirinya tinggal di hotel itu.Domenico mengikuti Ottavio dalam diam, hanya matanya yang memperhatikan sepanjang perjalanan menuju tempat bertemu Juan dan Angelo. Tibalah keduanya di lantai 7 dan Ottavio segera keluar lift terus berjalan menuju kamar bernomor 710 sesuai instruksi yang diberikan.TOK! TOK! TOK!Ottavio mengetuk pelan pintu kamar nomor 710. Tak butuh waktu lama pintu kamar terbuka dan muncullah sosok sempurna Angelo. Ottavio terdiam, terpesona sekaligus terintimidasi oleh kehadiran Angelo. Apalagi pria itu tepat berdiri dihadapannya.Dengan bibir gemetar, Ottavio
Angelo berjalan dengan terburu-buru meninggalkan pasaraya. Wajahnya pucat dengan keringat tak berhenti mengalir."Apa ini? Perasaan apa ini?" batin Angelo tak mengerti."Mengapa aku tak punya keberanian untuk bertanya pada wanita itu," batin Angelo lagi.Kenangan masa lalu sekilas berkelebat di pelupuk mata Angelo. Senyum manisnya, tawa renyahnya, mata hijau teduhnya tak pernah Angelo lupakan sekalipun.Angelo memijat keningnya yang tiba-tiba terasa pusing. Kenangan itu serta wanita yang dilihatnya di pasaraya tadi menyakitkan kepalanya.Angelo bergegas membuka pintu kamarnya lalu melempar dirinya ke atas tempat tidur. Ia memejamkan kedua matanya dengan sebelah tangan diatas kening.