Franco menarik nafas panjang, raut wajahnya kelihatan cukup kesal dengan sikap Luciano tadi. Orazio yang sedari tadi memperhatikan keributan antara ayah dan anak itu tak berkomentar sama sekali.
"Dia terlalu dimanja. Salahku," sesal Franco pada dirinya sendiri.q
Kemudian ia kembali ke tempat duduknya semula, namun wajahnya murung. Minatnya untuk melanjutkan percakapan bisnis dengan Orazio telah hilang.
"Jika anda ingin menunda pembicaraan bisnis kita, tidak mengapa, tuan Franco. Anda kelihatan lelah," ucap Orazio berempati.
"Tidak. Aku tidak apa-apa, Orazio. Hanya… aku tak tahu lagi bagaimana cara mengendalikan putraku satu-satunya itu," keluh Franco murung.
"Semenjak kematian ibunya, aku selalu memanjakannya. Ap
"Jika bukan karena mama dan mafioso Klan Maximo, aku tidak akan pernah ingin kembali!" ketus Juan."Kau adalah pemimpin klan ini papa. Klan terbesar di negara kita! Lantas, mengapa kau seperti ini?! Apakah ada sesuatu yang tidak aku ketahui, papa?" selidik Juan menatap tajam sang ayah.Dominica menarik nafas dalam-dalam lalu berkata, "tidak, nak. Tidak ada satupun yang papa sembunyikan darimu.""Alasanku tidak memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi pada mamamu, adalah karena… permintaan mamamu sendiri," lanjut Dominica.Ekspresi Juan seketika berubah, "apa maksud perkataanmu, papa?" tanyanya tak mengerti."Sebelum meninggal, mama
Franco keluar dari mobilnya dengan raut wajah bimbang. Selama beberapa detik pria yang sudah mulai berumur namun tubuhnya masih sangat tegap itu berdiri menatap rumah mewah milik Dominica Maximo dengan tatapan ragu."Selamat pagi, tuan Marchetti. Selamat datang di kediaman tuan Maximo."Angelo muncul dari dalam rumah dengan senyum hangat menyambut Franco Marchetti."Oh, Angelo. Terima kasih atas sambutanmu" balas Franco tersenyum.Ia lalu melangkah mendekati Angelo dan menyambut uluran tangan pria itu. Keduanya bersalaman hangat, seolah tak ada ketegangan di antara keduanya."Silahkan, tuan Marchetti. Tuan Maximo telah menunggu anda di ruang kerjanya," ajak Angelo ramah."Apakah a
"Cobalah. Aku ingin melihatnya," tantang Dominica dengan santai. Ia sama sekali tidak terintimidasi oleh ancaman Franco.Sebab ia sendiri tidak menganggap Franco sebagai musuhnya. Ia selalu menganggap Franco sebagai keluarganya, adik iparnya. Walau apapun yang dilakukan pria itu.Franco menatapnya dengan mata penuh kebencian. Ia muak melihat bagaimana pria itu bersikap sangat tenang, seolah-olah tidak ada rasa bersalah sedikitpun."Baiklah. Aku akan menunjukkan padamu bahwa Angelo dapat berpihak padaku," putus Franco geram.Atmosfir ruangan itu mulai terasa panas oleh sikap Franco yang sangat memusuhi Dominica. Namun saat Franco hendak membuka mulutnya kembali, terdengar suara ketukan di pintu yang mengurungkan niatnya.
Juan yang mulai mencium tanda bahaya segera memerintahkan Angelo dengan isyarat wajahnya untuk menenangkan sang ayah, sementara dirinya terus berusaha membujuk sang paman."Paman Franco, ayolah… aku ingin sekali berbincang-bincang dengan paman. Sebab sudah cukup lama kita tidak bertemu," bujuk Juan lagi.Sementara itu, Angelo telah berada di belakang Dominica membisikkan sesuatu ke telinga pemimpin Klan Maximo itu. Entah apa yang dibisikkan Angelo, tapi sepertinya cukup ampuh.Setelah terlihat berpikir sejenak, akhirnya ekspresi Dominica melembut. Sorot matanya tak lagi tajam menatap Franco Marchetti."Juan, tolong kau temani pamanmu. Papa ingin istirahat di kamar," ucap Dominica tiba-tiba seraya bangkit dari duduknya.
Dominica berdiri mematung dengan gigi gemeretak. Ia menahan dirinya agar tidak melontarkan makian atau kalimat yang dapat memperburuk keadaan.Tapi tentu saja Dominica tidak bisa hanya diam saja sementara Juan menelan bulat-bulat apa yang disampaikan sang paman. Tidak hanya itu, Angelo yang berdiri di depannya pun sama shocknya dengan Juan."Pembelaan apalagi yang akan kau ucapkan, Dominica?" tanya Franco dengan nada sinis. "Kali ini tidak akan kubiarkan kau lolos. Aku akan segera merebut Klan Maximo dan menyingkirkanmu selamanya!" ancam Franco berapi-api.Setelah itu tanpa berpamitan pada Juan, Franco berlalu dengan langkah panjang-panjang meninggalkan ruang kerja Dominica.Sepeninggal Franco, atmosfir ruangan terasa sangat tegang sekaligus panas. Dominica berdiri memat
Dominica berhenti, kemudian tanpa menoleh ia berkata sedih, "selama kau belum memiliki kepercayaan padaku, akan sia-sia semua ucapanku."Kemudian ia melanjutkan langkahnya meninggalkan ruangan tersebut dengan rasa perih di dada.Angelo yang sedang duduk seketika bangkit begitu melihat Dominica keluar dari pintu yang terbuka. Ia berdiri namun tak berkata apa-apa. Hanya matanya yang menyiratkan pertanyaan."Angelo, aku ingin istirahat. Aku sangat lelah," ucap Dominica pelan."Baik, tuan. Aku dan Sanzio akan mengurus bisnis hari ini. Silahkan anda beristirahat dengan tenang," balas Angelo.Dominica berjalan dengan langkah diseret. Pria itu terlihat sangat lelah dan sangat tua. Angelo tiba-tiba merasa iba melihat sang pemimpin Kl
Celeste menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Ia mencoba menghilangkan pikiran-pikiran jahat dari benaknya."Jika aku biarkan pikiran seperti itu bercokol di kepalaku, lama-lama aku bisa menjadi next Armando Ferrari," gumamnya ngeri."Dan aku tidak ingin hal itu terjadi," Celeste bergidik membayangkan dirinya berubah menjadi tamak akan kekayaan.Ia segera menggeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat, lalu menatap bayangannya kembali di cermin. Disana ia melihat seorang wanita cantik anggun dan terhormat balas menatapnya."Celeste, kau tidak boleh merusak semuanya. Kau adalah wanita yang sangat dicintai oleh Juan. Hanya tinggal menunggu waktu, Juan pasti akan melamarmu.
Celeste melenggang masuk ke ruang makan mencari Juan, namun ia tak mendapati pria itu disana. Lalu ia berjalan lagi mencari ke ruang kerja Dominica, biasanya Juan ada disana. Namun kali ini pun kekasihnya tidak ada.Kening Celeste berkerut, "dimana dia? Apa dia pergi tanpa memberitahuku?" tanyanya dengan bergumam.Ia lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju ruangan lain, masih sama. Batang hidung Juan sama sekali tak tampak. Hingga ia tiba di bar pribadi rumah. Dengan kesal, Celeste menghempaskan tubuhnya ke sofa lalu memesan minuman untuknya."Kemana dia? Aku sama sekali tidak bisa menemukannya," keluh Celeste dengan wajah cemberut.Ia meraih gelas minumannya dan langsung menenggak habis cairan berwarna coklat bening itu. Tak berhenti sampai situ, tangannya deng
Juan dan Celeste tercengang menatap wanita yang tiba-tiba muncul dihadapan mereka. Wanita yang dibawa oleh Angelo yang dikenal dingin dan anti perempuan."Angelo?" ucap Celeste bingung."Perkenalkan, namanya Fiorella. Maafkan jika aku telah lancang mengajaknya untuk tinggal disini tanpa memberitahu kalian berdua terlebih dahulu. Tapi, ada alasan mengapa aku melakukan hal ini, tuan Juan, nona Celeste," jelas Angelo."Aku Fiorella, senang berkenalan dengan anda berdua," ucap Fiorella gugup."Ada apa ini, Angelo? Tidak biasanya kau membawa wanita seperti ini?" tanya Juan blak-blakkan didepan Fiorella."Dia adalah wanita yang diceritakan oleh Davidde tadi pagi, tuan Juan," jelas Angelo.
“A-apa maksudmu, Angelo? K-kau mengajakku tinggal bersamamu? Apakah tidak terlalu cepat? Kita berdua baru saja kenal,” ucap Fiorella dengan wajah merona merah karena malu.Menyadari kalau kalimat yang diucapkannya membuat Fiorella berpikiran macam-macam, Angelo cepat-cepat mengoreksinya dengan wajah sama merahnya dengan wanita itu.“Ah, ti-tidak! Maksudku bukan seperti itu! Maafkan aku jika ucapanku membuatmu berpikiran macam-macam!”“Maksudku, aku selama ini tinggal di hotel K bersama atasanku dan juga pacarnya. Mereka menyewa seluruh lantai, sehingga banyak kamar kosong. Jika kau mau, kau bisa mengisi salah satu kamar kosong di sana sampai kami menangkap pembunuh itu,” jelas Angelo cepat-cepat.“Oh, seperti itu,” ko
Angelo melesat bagai peluru meninggalkan ruangan itu langsung masuk kedalam mobil tanpa memperdulikan Juan yang meneriakkan namanya. Saat ini yang ada dipikirannya hanya satu. Fiorella.Ciri-ciri yang diceritakan oleh Davidde sangat cocok dengan Fiorella. Apalagi wanita itu membawa sekeranjang bunga, seingatnya Fiorella pernah bercerita padanya kalau ia sering membawa pulang bunga-bunga yang mulai layu untuk dikeringkan di rumahnya.“Pantas saja, dia tak membuka tokonya hari ini. Dia pasti syok dan ketakutan dengan kejadian semalam,” gumam Angelo.Tak sabar untuk segera bertemu dengan wanita itu, Angelo bagai kerasukan menekan pedal gas dalam-dalam. Membawa mobil dengan kecepatan penuh. Hampir semua lalulintas dilewatinya tanpa perduli apakah sedang merah atau hijau. Yang ada dipikirannya sekarang adalah
Pagi itu, Angelo kembali berjalan-jalan disekitar hotel hingga ke pasaraya yang letaknya tak jauh dari sana. Ia berniat mengenal Fiorella lebih jauh lagi. Setelah percakapan pertama keduanya, sudah sekitar 3 hari ia tak melihat wanita itu. Ia disibukkan dengan pembunuhan Domenico.Pagi ini sedikit senggang, sebelum mereka kembali ke markas Klan Maximo siang ini. Angelo menyempatkan menemui Fiorella untuk bercakap-cakap.Dengan bersemangat dan dada berdebar, Angelo berjalan menuju toko bunga Fiorella. Namun seketika ia mengernyit saat melihat toko wanita itu tutup. Tidak seperti biasanya, setahu Angelo Fiorella tidak pernah menutup tokonya.Dengan rasa penasaran ia lalu mendekati penjual tembikar yang letaknya persis di samping toko bunga Fiorella."Permisi, apa kau tahu
Angelo segera memasukkan memory card tersebut kedalam saku jasnya. Setelah itu keduanya bergegas mengembalikan barang-barang tersebut pada petugas. Dengan tergesa-gesa keduanya kembali ke mobil dan segera pergi dari sana."Ini, tuan Juan," ucap Angelo sambil memberikan memory card yang disimpannya tadi."Haruskah aku lihat sekarang?" tanya Juan meminta pendapat Angelo."Mengapa tidak? Lebih cepat kita tahu isi memory card itu bukankah lebih baik? Siapa tahu disana ada petunjuk yang kita inginkan," balas Angelo ringan.
Angelo kembali ke hotel dengan suasana hati yang lebih cerah. Pertemuannya dengan wanita pemilik toko bunga, Fiorella, sedikit mencerahkan hatinya yang cukup lama berkabut.Dengan bersenandung kecil, Angelo memasuki kamar hotelnya. Ia terus teringat akan Fiorella, dadanya berdebar kencang setiap kali ia teringat wanita itu. Apakah ia jatuh cinta lagi? Pada wanita yang sama namun sedikit berbeda? Angelo menggeleng, mengusir pikiran melantur itu."Apa yang kau pikirkan, Angelo? Dia bukan Carina, dia Fiorella. Walaupun wajah mereka sama, itu bukan dia. Carina mu tidak akan kembali, sadarlah," tegurnya pada dirinya sendiri.Walau begitu, Angelo tetap memikirkan Fiorella. Memikirkan wanita itu diluar dugaan memberikan ketenangan dalam hatinya.****
Menuruti perintah Juan, Angelo segera mengumpulkan anak buah Klan Maximo kemudian memberi mereka perintah untuk menyelidiki Alonzo. Serta berpatroli minimal 3 orang, agar menghindari penyerangan yang tidak diinginkan.Sementara Domenico telah pergi meninggalkan hotel dengan mengemban tugas menyelidiki bosnya sendiri, Armando Ferrari.Juan masuk kedalam kamar hotelnya dengan semangat baru, wajahnya kini berseri-seri tidak lagi murung seperti beberapa hari lalu. Celeste yang tengah duduk santai sambil membaca majalah mode merasa senang melihat perubahan itu."Darimana kau sayang? Aku mencarimu dari tadi," tanya Celeste sambil menurunkan majalah yang dibacanya."Aku tadi habis bertemu Domenico, sayang," jawab Juan sambil mencium pipi Celeste.
Ottavio masuk ke dalam lift hotel dengan Domenico mengekor di belakang. Ia memencet tombol 7 yang artinya mereka akan ke lantai 7, dimana semua kamar di lantai itu adalah milik Juan untuk sementara dirinya tinggal di hotel itu.Domenico mengikuti Ottavio dalam diam, hanya matanya yang memperhatikan sepanjang perjalanan menuju tempat bertemu Juan dan Angelo. Tibalah keduanya di lantai 7 dan Ottavio segera keluar lift terus berjalan menuju kamar bernomor 710 sesuai instruksi yang diberikan.TOK! TOK! TOK!Ottavio mengetuk pelan pintu kamar nomor 710. Tak butuh waktu lama pintu kamar terbuka dan muncullah sosok sempurna Angelo. Ottavio terdiam, terpesona sekaligus terintimidasi oleh kehadiran Angelo. Apalagi pria itu tepat berdiri dihadapannya.Dengan bibir gemetar, Ottavio
Angelo berjalan dengan terburu-buru meninggalkan pasaraya. Wajahnya pucat dengan keringat tak berhenti mengalir."Apa ini? Perasaan apa ini?" batin Angelo tak mengerti."Mengapa aku tak punya keberanian untuk bertanya pada wanita itu," batin Angelo lagi.Kenangan masa lalu sekilas berkelebat di pelupuk mata Angelo. Senyum manisnya, tawa renyahnya, mata hijau teduhnya tak pernah Angelo lupakan sekalipun.Angelo memijat keningnya yang tiba-tiba terasa pusing. Kenangan itu serta wanita yang dilihatnya di pasaraya tadi menyakitkan kepalanya.Angelo bergegas membuka pintu kamarnya lalu melempar dirinya ke atas tempat tidur. Ia memejamkan kedua matanya dengan sebelah tangan diatas kening.