Pembicaraan Ludwina dan Andrea terdengar oleh pasangan suami istri separuh baya yang duduk di dekat mereka, dan keduanya segera menyapa pasangan muda itu dengan ramah.
"Selamat siang, kalian dari Indonesia juga?" tanya sang wanita separuh baya, "Mau ke Jakarta?"
"Oh, hallo, Ibu... selamat siang juga. Kami dari Indonesia, tapi pulangnya ke Singapura..." jawab Ludwina ramah sambil mengulurkan tangan untuk mengajak bersalaman. "Saya Ludwina dan ini suami saya, Andrea."
Keduanya berjabatan tangan, diikuti oleh suami masing-masing.
"Saya Bu Lilik, dan ini suami saya Pak Irman. Beliau bekerja di Konsulat Jendral Indonesia di New York, kami sekarang lagi mau pulang kampung untuk liburan," kata Bu Lilik dengan ramah. "Kalian ke sini bulan madu?"
Andrea dan Ludwina saling pandang dan tertawa.
"Uhm.. nggak kok... kami sudah menikah satu tahun. Kami ke New York untuk merayakan ulang tahun pernikahan," jawab Ludwina sambil tersipu.
"Oalah.. sudah
Ulang tahun pernikahan mereka yang ketiga, Andrea dan Ludwina kembali ke Paris. Laura dan Pierre sudah menjadi orang tua. Mereka memiliki sepasang bayi kembar laki-laki yang lucu sekali berumur dua tahun. Julien dan Francoise memiliki wajah persis seperti Laura, tetapi matanya berwarna hijau cemerlang seperti Pierre."Oh my, kalian beruntung sekali tidak punya anak," kata Laura dengan nada bercanda. "Monster-monster kecil ini mengambil semua waktu kami dan makannya juga banyak betul."Andrea membentangkan kain piknik di lapangan rumput dekat Menara Eiffel tempat mereka piknik dulu, lalu mengambil alih semua tugas mempersiapkan tempat piknik mereka dan mengatur makanan serta minuman karena melihat baik Pierre maupun Laura sama-sama kerepotan dengan bayi mereka. Ludwina dengan sigap membantunya.Setelah keempatnya duduk bersama dua bayi, mereka kembali asyik berbincang-bincang tentang kabar mereka. Laura dan Pierre tahu bahwa di antara Ludwina dan Andrea, Ludwina-
Ia harus mendapatkan opini dokter. Ia tak akan bisa merahasiakan kehamilannya dan memberi Andrea kejutan kalau suaminya ikut menemani ke dokter. Karena itulah ia menyuruh Andrea tetap berangkat ke kantor."Baiklah. Kamu jaga diri, Sayang. Aku telepon setiap jam ya. Aku sayang kamu." Akhirnya Andrea mencium Ludwina dan berangkat ke kantor.Ludwina merasa sedih sekaligus gembira. Ia gembira karena mengira ia sedang hamil, namun sedih karena ternyata seperti yang ditakutkannya, kehamilan itu sangat tidak enak. Tubuhnya terasa sakit, lemah, dan ia terus mual-mual. Ia tak sanggup membayangkan hidup seperti ini selama hampir 9 bulan.Setelah merasa agak baikan ia segera menuju ke Rumah Sakit Raffles dan meminta bertemu dengan dokter kandungan terbaik di Singapura. Dokter Lim memeriksanya dan mengajukan banyak pertanyaan yang menurut Ludwina tidak relevan, lalu kemudian ia diminta untuk tes darah dan melakukan serangkaian tes kesehatan yang mengambil waktu berjam-jam.
Kabar yang diterimanya hari ini sungguh mematahkan hati. Ludwina menangis terisak-isak di lobi rumah sakit selama setengah jam hingga air matanya kering. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya, berita yang diterimanya dari kedua dokternya tadi sangat mengejutkan.Setelah air matanya kering, ia membuka ponselnya dan memencet nomor telepon Andrea, tetapi ia tak sanggup untuk melanjutkan panggilan.Ia butuh istirahat...Ludwina akhirnya meminta resepsionis untuk memanggilkannya taksi dan pulang ke apartemen. Ia harus menenangkan diri dulu sebelum membagikan kabar buruk ini kepada Andrea. Di sepanjang perjalanan pulang, pikirannya memusing. Ia seolah tidak menyadari sekelilingnya.Saat ia turun dari taksi, Ludwina bergerak bagaikan robot, melangkah otomatis menuju ke apartemen mereka.Ketika ia tiba di depan gedung unit mereka, tanpa sengaja ia melihat Andrea duduk di balkon. Buru-buru Ludwina membersihkan wajahnya dari bekas-bekas airmata dan berusah
Ludwina hanya beralasan saat ia bilang ingin menenangkan diri dengan berbelanja. Sebenarnya ia kembali ke rumah sakit untuk mendapatkan pendapat kedua. Dokter onkologi kedua yang ditemuinya mengonfirmasi temuan Dr. Chou dan mereka memintanya untuk segera melakukan perawatan kemoterapi agar penyebaran sel kanker dapat diperlambat.Sayangnya menurut dokter tidak ada jaminan bahwa kemoterapi akan menyembuhkannya dari kanker, hanya memperlambat pertumbuhannya. Sementara efek samping dari kemo akan membuat Ludwina lemah, kesakitan, dan rambutnya rontok..Ia bergidik saat melihat beberapa pasien kanker yang didorong dengan kursi roda sehabis melakukan kemo... Mereka semua lebih terlihat seperti mayat hidup daripada manusia....Ludwina tidak mau menyerah begitu saja. Ia segera memesan tiket ke Amerika dari ponselnya dan segera menghubungi beberapa rumah sakit di Amerika untuk mengadakan janji temu dengan dokter onkologi terbaik.Sesampainya di rumah Ludwina sege
Andrea mengajukanresigndari perusahaannya sekarang dan segera mengurus proses untuk masuk ke perusahaan baru yang didirikan Joe. Dalam waktu dua minggu semuanya siap dan mereka tinggal memilih tanggal keberangkatan.Ia tidak pernah menyangka, setelah semua prosesnya hampir selesai, ternyata Ludwina menyatakan tidak bersedia ikut dengannya ke London."Kenapa kau tidak mau ikut, Sayang? Kau bilang aku boleh mengambil pekerjaan yang ditawarkan Joe...." tanyanya dengan nada putus asa. "Kalau kau bilang dari awal bahwa kau tidak mau ikut ke London, aku tidak akan menerima tawaran pekerjaan ini..."Ludwina yang sedang menyesap wine-nya hanya mengangkat bahu. Sikapnya kembali terlihat dingin."Aku tidak pernah mengatakan bahwa aku mau ikut ke London," jawabnya dengan nada datar, "Kau yang mengambil kesimpulan sendiri..."Andrea terduduk lemas di sofa di samping Ludwina. Ia menatap istrinya dengan pandangan tidak percaya.Ludwin
Andrea sangat terkejut ketika ia mendarat di Heathrow, London dan mencoba menelepon Ludwina, tetapi panggilannya sama sekali tidak diangkat oleh istrinya itu. Ia mencoba lagi ketika tiba di hotel, dan tetap tidak diangkat.Ia mengirim banyak SMS dan email tetapi tidak satu pun yang dibalas. Ia sangat takut terjadi apa-apa dengan Ludwina, sehingga akhirnya ia menelepon Johann.Dari Johann ia mengetahui bahwa ternyata Ludwina sedang berada di Sumba bersamanya.Ludwina mengurung diri sejak tiba dan terlihat sangat sedih, kata Johann.Andrea sadar bahwa Ludwina masih belum memaafkannya dan sengaja tidak mau menerima panggilan teleponnya ataupun membalas semua SMS atau emailnya.Ia hanya bisa terduduk sedih di kursi kamar hotelnya dan menangis pelan-pelan sambil membayangkan wajah perempuan yang selama empat tahun ini setia mendampinginya dan kini telah ia sakiti...Besar sekali keinginan Andrea untuk segera pulang ke Indonesia dan menjemput Ludw
Ketika Johann tiba, Andrea segera memperkenalkannya kepada Adelina dan Ronan."Adelina, perkenalkan ini Johann, kakak iparku. Dia seorang dokter spesialis penyakit dalam dan sedang ikut konferensi di sini." Andrea lalu beralih kepada Johann, "Ini Adelina, ibu dari anakku Ronan. Dan ini Ronan, anakku."Keduanya saling berjabat tangan. Suasana makan malam di antara ketiga orang dewasa dan seorang anak kecil itu berlangsung hangat dan cair. Tidak ada yang membicarakan tentang kesalahan masa lalu ataupun rasa sakit hati.Adelina bekerja di sebuah majalah lifestyle sebagai redaktur mode dan ia memang terlihat sangat modis dalam pilihannya berpakaian. Selain memiliki kecantikan alami yang sangat menonjol, ia juga tampil sangat elegan. Selera mode sang ibu juga terlihat pada Ronan yang terlihat mengenakan pakaian bermerek terbaik di Inggris.Dari penjelasan Adelina, Johann segera mengetahui bahwa gadis itu tidak menikah sampai saat ini karena ia fokus pada karie
Ludwina tidak mengira bahwa novel sejarah yang ditulisnya mendapatkan sambutan sangat baik. Ini membuatnya sedikit terhibur. Ia sudah tidak memiliki akun di media sosial, tetapi ia banyak membaca review positif di internet dan berbagai artikel yang memuji ceritanya. Hal ini membuatnya semakin bersemangat menulis.Setelah menenangkan diri di Italia, Ludwina memutuskan untuk ke Belanda untuk meneliti sumber-sumber sejarah untuk novel lain yang sedang ditulisnya. Ia sangat tertarik mengeksplor sejarah Indonesia pasca Perang Dunia 2 saat orang-orang keturunan Belanda, atau indo, dipaksa pergi dari Indonesia karena dianggap sebagai keturunan penjajah, padahal banyak dari mereka lahir dan besar di Indonesia, dan tak pernah mengenal negeri Belanda.Ludwina meminum banyak obat tetapi ia masih menolak kemoterapi karena ia tidak mau keluarganya mengetahui penyakitnya. Penampilannya setelah kemo akan sangat kentara dan ia tidak ingin mereka curiga karena tubuhnya akan menjadi san