Ludwina masih belum dapat percaya bahwa ia akan menikah dengan Andrea. Mereka sudah kenal hampir setahun, tetapi baru menjadi dekat selama beberapa bulan terakhir, terutama sejak bertualang bersama di Eropa.
Ia mengambil foto jari manisnya yang berhiaskan cincin berlian dari Andrea dan cukup lama berpikir apakah ia akan mengupdate statusnya di media sosial atau tidak. Andrea yang melihatnya mengamat-amati jarinya sedari tadi akhirnya geleng-geleng kepala.
"Kenapa, Sayang?"
Duh... Kuping Ludwina seketika memerah. Sejak tadi siang Andrea hampir tidak pernah memanggil namanya, selalu diganti dengan panggilan "Sayang".
Rasanya geli karena Ludwina tidak terbiasa. Bahkan kepada kakaknya Johann yang lebih tua 6 tahun, Ludwina masih saling memanggil nama.
"Uhm... aku lagi menimbang-nimbang apakah aku perlu update status di media sosial atau tidak..." jawab Ludwina tersipu-sipu. "Menurutmu bagaimana?"
"Terserah kamu kalau mau update status. Tapi seba
Setelah makan malam, Ludwina mencuci piring makan mereka dan membersihkan meja makan. Dalam hati ia merasa sangat gembira dengan pembagian tugas seperti ini. Ia merasa seperti pasangan-pasangan modern yang hidup berdua tanpa pembantu dan berbagi tugas rumah tangga.Setelah semua rapi kembali ia duduk di samping Andrea yang sedang bersantai di sofa mendengarkan musik sambil membaca."Kalau besok kita pulang ke Jakarta, berarti Sabtu kamu ke rumahku dengan ibumu untuk melamar secara resmi?" tanya Ludwina sambil menyandarkan kepalanya ke bahu Andrea. Pemuda itu mengusap-usap kepala kekasihnya sambil terus membaca."Iya. Biar cepat beres.""Aku mau pernikahan yang sederhana," kata Ludwina dengan nada manja."Aku juga." kata Andrea."Tapi ibuku pasti akan meminta kita nikah besar-besaran, aku ini anak bungsu dan perempuan satu-satunya." Ludwina menghela napas panjang. Ia tahu benar sikap ibunya mengenai pernikahan. "Ibu pasti akan minta dia yang
Hari pernikahan tiba seperti mimpi. Rasanya baru kemarin Ludwina bertubrukan dengan Andrea di bandara, lalu bertualang bersama di Eropa, dan kemudian Andrea melamarnya... dan kini hari sakral itu tiba, saat mereka akhirnya akan menjadi suami istri.Laura dan Pierre terbang dari Paris karena Ludwina meminta Laura menjadi pengiring pengantin, sementara Johann mengambil posisi sebagai pendamping Andrea.Hotel Kanawa ditutup selama akhir pekan itu, tidak menerima tamu sama sekali, sehingga acara pernikahan Ludwina dan Andrea dapat berlangsung dengan khimad. Pantai pribadi di belakang hotel dihiasi dengan rangkaian bunga dan lilin-lilin yang syahdu, dan ketika matahari hampir terbenam di tepi barat, Andrea didampingi Johann dan Pierre, diiringi ibunya dan orang tua Ludwina masuk ke area prosesi.Pendeta sudah menunggu di depan altar dan menyambut kedatangan mereka dengan khimad. Para pemain musik di samping gazebo yang berhiaskan ribuan mawar memainkan A Midsummer Ni
Sejak malam pertama mereka, Andrea hampir tidak pernah lagi memanggil nama Ludwina. Ia selalu menggunakan kata "Sayang" saat memanggil gadis itu. Awalnya Ludwina masih merasa geli dipanggil demikian, karena ia terbiasa saling memanggil nama bahkan dengan kakaknya yang jauh lebih tua.Setelah beberapa hari ia akhirnya menjadi terbiasa dengan panggilan barunya, tetapi ia tetap memanggil Andrea dengan namanya. Keduanya sepakat mengungkapkan cinta dengan caranya sendiri dan mereka tidak mengatur satu sama lain, bagaimana mereka harus bersikap dan memanggil. Kemana pun mereka pergi, semua orang bisa melihat betapa mereka saling sangat mencintai.Andrea benar-benar memanjakan istrinya. Setiap mereka berdekatan, ia pasti selalu menggenggam tangan Ludwina, atau merangkul bahunya. Apa pun kata gadis itu diiyakan olehnya.Ia pun merasa hidupnya seperti dikelilingi permen kapas yang lembut dan berwarna-warni cerah. Ini membuat mereka selalu tersenyum dan wajah bahagia kedu
Pembicaraan Ludwina dan Andrea terdengar oleh pasangan suami istri separuh baya yang duduk di dekat mereka, dan keduanya segera menyapa pasangan muda itu dengan ramah."Selamat siang, kalian dari Indonesia juga?" tanya sang wanita separuh baya, "Mau ke Jakarta?""Oh, hallo, Ibu... selamat siang juga. Kami dari Indonesia, tapi pulangnya ke Singapura..." jawab Ludwina ramah sambil mengulurkan tangan untuk mengajak bersalaman. "Saya Ludwina dan ini suami saya, Andrea."Keduanya berjabatan tangan, diikuti oleh suami masing-masing."Saya Bu Lilik, dan ini suami saya Pak Irman. Beliau bekerja di Konsulat Jendral Indonesia di New York, kami sekarang lagi mau pulang kampung untuk liburan," kata Bu Lilik dengan ramah. "Kalian ke sini bulan madu?"Andrea dan Ludwina saling pandang dan tertawa."Uhm.. nggak kok... kami sudah menikah satu tahun. Kami ke New York untuk merayakan ulang tahun pernikahan," jawab Ludwina sambil tersipu."Oalah.. sudah
Ulang tahun pernikahan mereka yang ketiga, Andrea dan Ludwina kembali ke Paris. Laura dan Pierre sudah menjadi orang tua. Mereka memiliki sepasang bayi kembar laki-laki yang lucu sekali berumur dua tahun. Julien dan Francoise memiliki wajah persis seperti Laura, tetapi matanya berwarna hijau cemerlang seperti Pierre."Oh my, kalian beruntung sekali tidak punya anak," kata Laura dengan nada bercanda. "Monster-monster kecil ini mengambil semua waktu kami dan makannya juga banyak betul."Andrea membentangkan kain piknik di lapangan rumput dekat Menara Eiffel tempat mereka piknik dulu, lalu mengambil alih semua tugas mempersiapkan tempat piknik mereka dan mengatur makanan serta minuman karena melihat baik Pierre maupun Laura sama-sama kerepotan dengan bayi mereka. Ludwina dengan sigap membantunya.Setelah keempatnya duduk bersama dua bayi, mereka kembali asyik berbincang-bincang tentang kabar mereka. Laura dan Pierre tahu bahwa di antara Ludwina dan Andrea, Ludwina-
Ia harus mendapatkan opini dokter. Ia tak akan bisa merahasiakan kehamilannya dan memberi Andrea kejutan kalau suaminya ikut menemani ke dokter. Karena itulah ia menyuruh Andrea tetap berangkat ke kantor."Baiklah. Kamu jaga diri, Sayang. Aku telepon setiap jam ya. Aku sayang kamu." Akhirnya Andrea mencium Ludwina dan berangkat ke kantor.Ludwina merasa sedih sekaligus gembira. Ia gembira karena mengira ia sedang hamil, namun sedih karena ternyata seperti yang ditakutkannya, kehamilan itu sangat tidak enak. Tubuhnya terasa sakit, lemah, dan ia terus mual-mual. Ia tak sanggup membayangkan hidup seperti ini selama hampir 9 bulan.Setelah merasa agak baikan ia segera menuju ke Rumah Sakit Raffles dan meminta bertemu dengan dokter kandungan terbaik di Singapura. Dokter Lim memeriksanya dan mengajukan banyak pertanyaan yang menurut Ludwina tidak relevan, lalu kemudian ia diminta untuk tes darah dan melakukan serangkaian tes kesehatan yang mengambil waktu berjam-jam.
Kabar yang diterimanya hari ini sungguh mematahkan hati. Ludwina menangis terisak-isak di lobi rumah sakit selama setengah jam hingga air matanya kering. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya, berita yang diterimanya dari kedua dokternya tadi sangat mengejutkan.Setelah air matanya kering, ia membuka ponselnya dan memencet nomor telepon Andrea, tetapi ia tak sanggup untuk melanjutkan panggilan.Ia butuh istirahat...Ludwina akhirnya meminta resepsionis untuk memanggilkannya taksi dan pulang ke apartemen. Ia harus menenangkan diri dulu sebelum membagikan kabar buruk ini kepada Andrea. Di sepanjang perjalanan pulang, pikirannya memusing. Ia seolah tidak menyadari sekelilingnya.Saat ia turun dari taksi, Ludwina bergerak bagaikan robot, melangkah otomatis menuju ke apartemen mereka.Ketika ia tiba di depan gedung unit mereka, tanpa sengaja ia melihat Andrea duduk di balkon. Buru-buru Ludwina membersihkan wajahnya dari bekas-bekas airmata dan berusah
Ludwina hanya beralasan saat ia bilang ingin menenangkan diri dengan berbelanja. Sebenarnya ia kembali ke rumah sakit untuk mendapatkan pendapat kedua. Dokter onkologi kedua yang ditemuinya mengonfirmasi temuan Dr. Chou dan mereka memintanya untuk segera melakukan perawatan kemoterapi agar penyebaran sel kanker dapat diperlambat.Sayangnya menurut dokter tidak ada jaminan bahwa kemoterapi akan menyembuhkannya dari kanker, hanya memperlambat pertumbuhannya. Sementara efek samping dari kemo akan membuat Ludwina lemah, kesakitan, dan rambutnya rontok..Ia bergidik saat melihat beberapa pasien kanker yang didorong dengan kursi roda sehabis melakukan kemo... Mereka semua lebih terlihat seperti mayat hidup daripada manusia....Ludwina tidak mau menyerah begitu saja. Ia segera memesan tiket ke Amerika dari ponselnya dan segera menghubungi beberapa rumah sakit di Amerika untuk mengadakan janji temu dengan dokter onkologi terbaik.Sesampainya di rumah Ludwina sege