Rasa sakit di kepalanya membuat Joe harus memegangnya erat, menatap Indira yang tidur disampingnya membuat Joe harus bergerak hati-hati. Sejak tadi sebenarnya Joe menahan diri untuk tidak menyentuh atau melakukan hal lebih pada Indira, dirinya benar-benar menahan untuk tidak masuk dalam jebakan hawa nafsu.
Desisan pelan dikeluarkannya, takut mengganggu tidur wanita yang ada disampingnya. Rasa sakit yang parah dan belum pernah dirasakan sama sekali, memejamkan matanya berharap rasa itu tidak datang. Gerakan disampingnya membuat Joe berusaha untuk tidak bergerak lebih, sentuhan lembut di kepalanya membuat Joe membuka matanya, mendapati Indira menghadap kearahnya dengan melakukan pijatan pelan.
“Aku selalu merasa kamu berbeda setiap saat,” ucap Indira membuka suaranya tanpa melepaskan pijatan pada kepala Fajar, “aku nggak tahu saat ini kenapa, tapi aku berharap kamu baik-baik saja.”
Joe menatap kedua mata Indira, tatapan penuh dengan kelembu
Fajar menatap tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, kata-kata yang keluar dari bibir pria tua itu membuat dirinya tidak bisa melakukan apapun. Menghembuskan nafas panjang, menatap dalam pada Mariska yang berada dalam pelukan Budi.“Baiklah, kedatanganku sekarang untuk mengatakan hubungan kita berakhir. Kamu bisa bersama dengan dia, secara otomatis segala macam uang untuk keperluan kamu berhenti.” Fajar mengatakannya dengan nada datar.“Nggak papa nanti kita bisa mengancamnya untuk memberikan uang, dia bodoh jadi biarkan dia pergi. Setelah ini pasti dia akan lupa dengan apa yang dilihatnya, jadi biarkan dia pergi.” Budi membelai punggung telanjang Mariska dengan menarik dagunya dan mencium bibirnya depan Fajar.Melihat itu membuat Fajar ingin muntah, kejutan yang benar-benar tidak terduga sama sekali. Memejamkan matanya sebelum akhirnya menatap datar pada mereka berdua, mereka seakan tidak peduli dengan apa yang akan Fajar lakukan, bah
Menatap sekitar memastikan keberadaan dirinya, sentuhan disampingnya membuat Fajar menghembuskan nafas lega. Setidaknya dirinya tidak melupakan kejadian semalam, mengingat itu semua membuat Fajar menjadi dingin.“Kamu sudah bangun?” Indira bertanya dengan suara serak, khas bangun tidur.“Baru.” Fajar menjawab singkat.Menggeserkan badannya, membuat jarak diantara mereka berdua. Fajar dapat melihat wajah Indira yang baru bangun, sialnya membuat sesuatu dibawahnya ingin segera dipuaskan. Mengalihkan pandangan kearah lain, tidak ingin melakukan hubungan lebih dari ini. Indira bangkit dari ranjang, membuat Fajar menatap ke tubuhnya yang tanpa busana, memaki dalam hati atas apa yang dilakukan wanita itu. Seakan tidak peduli dengan apa yang dilakukannya saat ini, melangkah santai tanpa busana dihadapan Fajar, menggunakan pakaiannya yang hanya sekedar menggunakannya.“Aku masak dulu, kalau mau mandi duluan aja.” Indira berkata
Tersedak mendengar suara Mariska yang masuk kedalam ruangannya, menatap tidak percaya mengenai bagaimana wanita ini bisa memasuki ruangannya, atau tepatnya melewati lobby tanpa ketahuan mereka.“Bagaimana kamu....”“Pegawai kamu memang mudah ditipu.” Mariska memotong perkataan Fajar, “aku bilang kalau kamu pasti belum makan dan aku membawa bekal.” Mariska tersenyum kecil penuh kemenangan, tatapannya beralih pada apa yang ada dihadapan Fajar, “apa itu? Kamu makan apa? Makanan yang tidak mengandung gizi.”Menghentikan gerakan tangan Mariska saat berusaha mengambil kotak bekalnya, “apa mau kamu? Bukankah aku sudah mengakhiri semua semalam?”Mariska berjalan mendekati Fajar, duduk diatas mejanya membuat belahan bukit kembarnya terlihat dengan sangat jelas. Tidak hanya itu cara duduk Mariska dengan pakaian yang digunakannya, Fajar bisa melihat semua mulai dari bagian bawahnya sampai belahan bukit kemb
Perbuatan Mariska yang seenaknya membuat Fajar murka, mengembalikan pekerjaan resepsionis dan memastikan wanita itu tidak akan bisa memecat siapapun di perusahaannya. Fajar juga meminta Kunto agar semua yang berada di lobby jangan sampai percaya dengan kata-kata wanita itu lagi, Mariska itu wanita ular yang tidak bisa ditebak sama sekali.Beranjak dari tempatnya, melangkah menuju tempat dimana mobilnya berada. Tujuannya saat ini adalah rumah, entah mengapa Fajar menginginkan berada di rumahnya dan setelah itu melakukan sesuatu yang tidak diketahuinya.Kedatangan Fajar disambut langsung oleh security, masuk kedalam kamarnya untuk membersihkan dirinya. Menatap penampilannya saat ini dengan senyum lebar, Fajar akan menuju ke salah satu tempat dengan menggunakan kendaraan yang ada di garasi“Motor ini baru?” Fajar bertanya pada dirinya.Merasa keanehan yang tidak bisa dijawabnya sama sekali, Fajar merasa dirinya suka lupa pernah membeli bara
BUGHFrans menghajar pria yang berada dihadapannya dan berkata tidak enak, entah kenapa dirinya tidak bisa membayangkan Indira bersama dengan pria lain. Menatap tajam pada pria tersebut yang sudah jatuh saat Frans menghajatnya, tangan Frans dipegang Indira dengan menggelengkan kepalanya.“Dave, jangan keterlaluan.” Indira menatap tajam membuat Frans tersenyum kecil.Frans tanpa menunggu waktu lama menarik Indira menjauh dari pria itu, pria yang pernah bertaruh dengannya dan membuat dirinya membayar mahal, merelakan kendaraan yang baru dibelinya. Langkah mereka semakin menjauh dari kerumunan pria itu, membuat Indira dan Rifan yang ada dibelakangnya cukup susah mengikuti langkah Frans.“Bro, lo nggak kasihan sama Indira?” suara Rifan membuat Frans berhenti dan menatap Indira dengan tatapan khawatir, hal ini membuat Rifan menatap tidak percaya atas pemandangan yang ada dihadapannya.“Kamu nggak papa?” Frans membuka
Joe terdiam mendengar perkataan Dave yang memang benar adanya, Budi akan melakukan segala macam cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Sentuhan lembut pada tangannya membuat Joe menatap Indira, tatapan hangat yang membuat jantungnya berdebar kencang.“Aku memang nggak bisa menjamin apapun kalau pria itu melakukan hal gila, tapi setidaknya aku akan melakukan segala macam cara untuk apa yang kita takutkan tidak terjadi.” Joe berkata dengan tegas dan menatap kedua mata Dave.“Lo tahu apa yang terjadi antara dia dengan tunanganmu itu?” Rifan membuka suara membuat Joe menatap bingung, “bukannya lo sudah tahu?” kali ini Rifan yang memandang bingung, “wanita gila itu mengamuk saat lo mutusin hubungan.”Joe memaki dalam hati bagaimana dirinya tidak tahu hal penting, siapa yang membuat keputusan bagus dan menyenangkan seperti ini. Seharusnya dari dulu sudah dilakukan dengan memutuskan hubungan, bodohnya sang pemilik tu
Terkejut, hanya satu kata tapi membuat Joe tidak bisa berkata apa-apa. Saling menatap satu sama lain, tatapan yang berbeda diberikan satu sama lain. Alasan ini yang ternyata membuat dirinya tidak nyaman daritadi, Joe benar-benar tidak bisa berbuat atau bereaksi apapun atas apa yang dikatakan Dave.“Aku tahu karena mengamati kamu, perubahan dalam dirimu membuat aku penasaran.” Dave membuka suaranya terlebih dahulu.“Nggak mungkin kamu tahu begitu saja.” Joe mengatakan langsung.Dave mengangguk setuju, “salah satu dari kalian pernah bercerita walaupun tidak langsung.”Joe terdiam, tidak mungkin Frans atau pemilik tubuh ini yang bercerita ke pria yang ada dihadapannya, pastinya yang memiliki jiwa menggoda adalah Silvi terutama jika berdekatan dengan pria. Joe menatap Dave dan seketika bergidik ngeri membayangkan apa yang Silvi lakukan, tidak pernah dalam pikirannya menyentuh atau bermesraan dengan pria.“Jadi
Memilih langsung pulang, otak Joe tidak bisa berpikir lagi membahas mengenai kecurigaan tentang dirinya yang berubah-ubah. Joe tidak percaya jika Indira mencurigai dirinya, curiga dengan apa yang terjadi pada dirinya. Sudut pandang Joe adalah Indira tidak jauh berbeda dengan Mariska yang tidak pernah sadar atau bisa dikatakan tidak peduli dengan perubahan pada diri kekasihnya, tersenyum miris mengingat kata-kata yang Dave ucapkan mengenai Mariska, jika memang benar adanya berarti kasihan sekali dirinya atau lebih tepatnya pemilik tubuh ini.“Sudah datang ternyata.” Joe menatap malas pada Budi yang duduk disalah satu sofa ruang tamu.Mencoba tidak peduli dengan melangkah masuk kedalam, Joe tahu jika Budi mengikuti langkahnya melalui tatapan mata. Lagi-lagi mencoba untuk tidak peduli atau menganggap kehadiran pria itu, mengambil air di dapur untuk dibawanya kedalam kamar. Langkahnya terhenti saat melihat Budi berdiri dekat meja dengan melipat kedua tangannya
Masalah yang selama ini menghantuinya telah hilang, meninggalnya mereka berdua membuat kehidupan Fajar menjadi tenang. Tidak ada yang datang secara tiba-tiba ke kantor untuk meminta uang dengan cara mengancam dan lain-lain, tidak ada lagi yang melakukan kekerasan tanpa sebab. Kehidupan baru sudah tampak didepan mata, membangun kehidupan baru bersama dengan Indira dan anak-anak mereka nantinya.“Sayang, ini Silvi kayaknya pipis.” Fajar yang menggendong Silvi mendatangi Indira.“Kamu belum bisa gantiin popok ya?” Fajar menggeleng kepala lemah.Indira mengambil Silvi setelah mencuci tangan terlebih dahulu, Fajar mengikutinya dari belakang. Melihat dan mendengar apa yang Indira katakan selama mengganti popok Silvi, menganggukkan kepalanya paham saat Indira selesai. Mengambil alih Silvi setelah selesai diganti popoknya, mencium wajahnya yang membuat Silvi tertawa.“Dia persis aku banget ya.” Fajar mengatakan tanpa menatap Indira.“Ya, aku cuman buat tempat penitipan.”Fajar memberikan tata
Malas, itu yang Fajar rasakan saat ini. Indira menyuruh untuk mengurus pemakaman mereka berdua, demi rasa cintanya Fajar akhirnya mendatangi pemakaman mereka dengan menggunakan kaca mata hitam yang ditemani oleh Rifan. Pemakaman mereka dilakukan secara bersamaan atas permintaan Fajar yang disampaikan oleh Dave ke temannya, Fajar tidak ingin muncul secara langsung saat proses.“Harusnya aku ada dirumah bukan membantumu.” Rifan mengatakan dengan nada kesalnya.“Aku nggak mungkin meminta Dave, dia harus menemani mereka berdua.” Fajar hanya datang dan tidak terlibat terlalu dalam dengan apa yang mereka semua lakukan, kepergian mereka tidak memberikan rasa sedih pada diri Fajar dimana hanya rasa lega yang lebih mendominasi. Mereka berdua tidak memiliki keluarga atau teman lagi, Fajar sendiri selama bersama dengan Mariska tidak pernah ada teman yang diajaknya keluar.“Mereka berdua sudah kaya belahan jiwa.” Rifan menggelengkan kepalanya “Aku sa
Kabar dari rumah sakit membuat Rifan dan Fajar langsung kesana, dalam pikiran Fajar terjadi sesuatu yang berhubungan dengan Mariska. Berjalan bersama dengan sedikit cepat saat mereka sampai di rumah sakit, menurut informasi Mariska sudah berada didalam ruang penanganan. Fajar tidak paham dengan maksud mereka yang membawa ke ruang penanganan, tidak lama dokter mendatangi mereka berdua.“Siapa keluarganya?” “Kami hanya teman, dia sudah tidak memiliki keluarga.” Rifan menjawab langsung sebelum Fajar membuka suaranya.“Saya harus bicara dengan keluarganya.” Dokter tetap dengan pendiriannya.“Suaminya berada di penjara, sudah tidak memiliki orang tua dan saudara. Anak-anaknya masih kecil, apa perlu kami bawa anak-anaknya dan dokter menjelaskan ke mereka?” tanya Rifan yang sudah tampak kesal.“Baiklah, Ibu Mariska sudah berada di stadium empat. Hidupnya sudah tidak bisa bertahan dalam waktu lama, kami juga tidak bisa melakukan sesuat
Melakukan perjanjian dengan Mariska, harapan Fajar hanya satu yaitu Mariska menerimanya. Mengingat semua sikap Mariska membuat harapannya sedikit hilang, wanita itu tidak terlalu pintar berbeda dengan Indira. Bisa saja Mariska pintar, tapi tampaknya kemampuannya itu benar-benar tidak bisa diharapkan sama sekali. Kemampuan Mariska hanya berada di ranjang, pantas saja memilih pekerjaan seperti itu.“Kamu ragu dia menerima itu?” suara Rifan membuyarkan lamunannya.“Sedikit, otak dia kadang tidak terlalu berfungsi.” Fajar mengatakan apa yang ada didalam pikirannya.“Apa yang aku lakukan benar, membuat tulisan nol dalam jumlah banyak.” Rifan mengatakan dengan nada bangga membuat Fajar memutar bola matanya dan mengalihkan pandangan kearah lain.Tidak ada lagi pembicaraan diantara mereka berdua, Rifan fokua menyetir dengan menatap kendaraan yang ada dihadapannya, tidak hanya itu beberapa kali jalanan tampak berhenti dalam waktu yang tidak sebenta
Kunto menyebutkan apa saja adegan Fajar satu hari ini, mendengarkan dengan memberikan tatapan datar, tangannya bergerak diatas meja dengan pelan. Fokusnya adalah apa yang dikatakan Kunto tentang kegiatannya pagi ini.“Mariska datang kesini tadi pagi?” Fajar mengulanginya untuk memastikan.“Ya, Pak.” Kunto menjawab ragu.“Kemana dia sekarang?” “Kita mengusirnya atas permintaan bapak dulu.”Fajar menganggukkan kepalanya, keputusan dirinya bertemu dengan Mariska ternyata sesuai dengan apa yang mereka semua katakan. Fajar tidak tahu bagaimana jika nanti bertemu dengan pamannya Budi, orang yang pernah menyakiti dan membuatnya mengalami masa sulit. Menatap bingung Kunto yang masih ada dihadapannya, mengerutkan keningnya tanda jika bertanya-tanya tentang maksud Kunto yang masih berada di ruangannya.“Apa lagi?” tanya Fajar datar.“Mariska tadi mengatakan akan tetap menunggu bapak sampai pulang.”Fajar
“GILA!” Rifan menggelengkan kepalanya saat Fajar mengatakan apa yang ingin dilakukannya, Dave menatap bingung melihat reaksi Rifan, mengalihkan pandangan kearah Fajar yang tampak tidak peduli, tatapan Dave beralih pada Indira yang fokus dengan ponselnya. Rifan yang melihat kebingungan Dave langsung menceritakan apa yang terjadi, pertemuannya dengan Mariska yang membuat Dave menatap horor pada Fajar.“Aku curiga dia udah sembuh, belum?” tanya Rifan menunjuk Fajar.“Buat apa bertemu dia?” tanya Budi tidak menghiraukan pertanyaan Rifan. “Aku bilang kalau kejiwaannya terganggu,” jawab Indira yang mendapatkan tatapan tajam dari Dave.“Kapan kamu ketemu dia?” tanya Fajar yang membuat Dave mengalihkan pandangan ke Fajar.“Waktu kesini, mungkin tiga kali kunjungan. Aku penasaran tentang kondisi dia, padahal seharusnya mendapatkan penanganan dari kejiwaan tapi tidak sama sekali.” Dave menjawab dengan jelas.“Kamu
“Kamu melakukan apa semalaman?” Fajar mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Indira “Kamu mencurigaiku?”Indira mengangkat bahunya “Entah hanya perasaan saja, kalau salah maaf.”“Aku bertemu Mariska,” ucap Fajar akhirnya membuat Indira menghentikan kegiatannya “Aku memang ingin bertemu dengan dia, ingin tahu keadaannya.”“Lalu?” tanya Indira penasaran “Kamu mendapatkan sesuatu?” Fajar menceritakan semuanya pada Indira setelah menyuruhnya duduk dekat dirinya, meminta mendengarkan tanpa memotong cerita yang diberikan. Fajar menggenggam tangan Indira seakan untuk tenang terlebih dahulu sampai cerita selesai, selama cerita tidak melepaskan tatapan sama sekali. Salah satu yang membuat Fajar menggenggam tangan Indira dan menatap kedua matanya tidak lain karena takut wanita dihadapannya meninggalkan dirinya lagi, mendapatkan Indira kembali tidak mudah dan sekarang melakukan kesalahan dengan menemui Mariska, wanita yang memang tida
“Serius?!” Fajar menganggukkan kepalanya “Aku mau minta kamu temani.”“Indira bagaimana?” tanya Rifan penuh selidik “Kamu akan bohongi dia?”“Apa aku harus terus terang?” Fajar meletakkan jemarinya di dagu.“GILA! Nggak gitu juga.” Rifan menepuk keningnya pelan “Kamu yakin mau tahu keadaan dia? Gimana kalau foto aja?”“Kamu sudah kasih, aku mau lihat langsung.”“Jangan mengulang kesalahan yang sama.” Rifan memberikan peringatan dengan nada seriusnya “Kamu pikirkan dulu baiknya, kalau sudah dipikirkan baru aku temani.”Fajar terdiam, kata-kata Rifan memang benar. Keinginannya melihat keadaan Mariska sudah sangat besar, melihat foto-foto yang diberikan tidak cukup membuat perasaannya tenang. Mariska adalah wanita pertama yang dikenalnya dan menemani dirinya saat tidak ada yang mau dengannya. Fajar bukan merasa bersalah, tapi lebih pada mengasihani. Fajar tahu bagaimana kehidupan Mariska selama ini yang selal
Indira mengikuti perkataan Fajar, keputusan yang dibuat semua karena Silvi. Rumah baru yang dicarinya didapat dengan sangat cepat, Indira tahu kekuatan uang bisa membuat segalanya mudah. Tidak hanya itu Fajar membuat kamar khusus untuk Silvi, rumah baru mereka terdapat beberapa kamar. Kamar utama adalah kamar mereka, kamar Silvi, kamar tamu dan dua kamar yang masih kosong.“Memang buat siapa kamarnya?” tanya Indira penasaran.“Adiknya Silvi.” Fajar menjawab santai.“Silvi masih baru berapa bulan, kamu sudah mikirin adiknya.” Indira menggelengkan kepalanya.Masuk kedalam kamar Silvi, menatap sekeliling membuat Indira tersenyum. Fajar mengikuti keinginannya membuat kamar Silvi, tidak ada satupun yang berkurang karena semua sesuai pada tempatnya. Meletakkan Silvi di ranjang, putri kecilnya masih tidur dengan nyenyak.“Jam tidurnya sudah dijadwal?” Indira menganggukkan kepalanya “Malah dengan begini aku jadi punya banyak