BUGH
Frans menghajar pria yang berada dihadapannya dan berkata tidak enak, entah kenapa dirinya tidak bisa membayangkan Indira bersama dengan pria lain. Menatap tajam pada pria tersebut yang sudah jatuh saat Frans menghajatnya, tangan Frans dipegang Indira dengan menggelengkan kepalanya.
“Dave, jangan keterlaluan.” Indira menatap tajam membuat Frans tersenyum kecil.
Frans tanpa menunggu waktu lama menarik Indira menjauh dari pria itu, pria yang pernah bertaruh dengannya dan membuat dirinya membayar mahal, merelakan kendaraan yang baru dibelinya. Langkah mereka semakin menjauh dari kerumunan pria itu, membuat Indira dan Rifan yang ada dibelakangnya cukup susah mengikuti langkah Frans.
“Bro, lo nggak kasihan sama Indira?” suara Rifan membuat Frans berhenti dan menatap Indira dengan tatapan khawatir, hal ini membuat Rifan menatap tidak percaya atas pemandangan yang ada dihadapannya.
“Kamu nggak papa?” Frans membuka
Joe terdiam mendengar perkataan Dave yang memang benar adanya, Budi akan melakukan segala macam cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Sentuhan lembut pada tangannya membuat Joe menatap Indira, tatapan hangat yang membuat jantungnya berdebar kencang.“Aku memang nggak bisa menjamin apapun kalau pria itu melakukan hal gila, tapi setidaknya aku akan melakukan segala macam cara untuk apa yang kita takutkan tidak terjadi.” Joe berkata dengan tegas dan menatap kedua mata Dave.“Lo tahu apa yang terjadi antara dia dengan tunanganmu itu?” Rifan membuka suara membuat Joe menatap bingung, “bukannya lo sudah tahu?” kali ini Rifan yang memandang bingung, “wanita gila itu mengamuk saat lo mutusin hubungan.”Joe memaki dalam hati bagaimana dirinya tidak tahu hal penting, siapa yang membuat keputusan bagus dan menyenangkan seperti ini. Seharusnya dari dulu sudah dilakukan dengan memutuskan hubungan, bodohnya sang pemilik tu
Terkejut, hanya satu kata tapi membuat Joe tidak bisa berkata apa-apa. Saling menatap satu sama lain, tatapan yang berbeda diberikan satu sama lain. Alasan ini yang ternyata membuat dirinya tidak nyaman daritadi, Joe benar-benar tidak bisa berbuat atau bereaksi apapun atas apa yang dikatakan Dave.“Aku tahu karena mengamati kamu, perubahan dalam dirimu membuat aku penasaran.” Dave membuka suaranya terlebih dahulu.“Nggak mungkin kamu tahu begitu saja.” Joe mengatakan langsung.Dave mengangguk setuju, “salah satu dari kalian pernah bercerita walaupun tidak langsung.”Joe terdiam, tidak mungkin Frans atau pemilik tubuh ini yang bercerita ke pria yang ada dihadapannya, pastinya yang memiliki jiwa menggoda adalah Silvi terutama jika berdekatan dengan pria. Joe menatap Dave dan seketika bergidik ngeri membayangkan apa yang Silvi lakukan, tidak pernah dalam pikirannya menyentuh atau bermesraan dengan pria.“Jadi
Memilih langsung pulang, otak Joe tidak bisa berpikir lagi membahas mengenai kecurigaan tentang dirinya yang berubah-ubah. Joe tidak percaya jika Indira mencurigai dirinya, curiga dengan apa yang terjadi pada dirinya. Sudut pandang Joe adalah Indira tidak jauh berbeda dengan Mariska yang tidak pernah sadar atau bisa dikatakan tidak peduli dengan perubahan pada diri kekasihnya, tersenyum miris mengingat kata-kata yang Dave ucapkan mengenai Mariska, jika memang benar adanya berarti kasihan sekali dirinya atau lebih tepatnya pemilik tubuh ini.“Sudah datang ternyata.” Joe menatap malas pada Budi yang duduk disalah satu sofa ruang tamu.Mencoba tidak peduli dengan melangkah masuk kedalam, Joe tahu jika Budi mengikuti langkahnya melalui tatapan mata. Lagi-lagi mencoba untuk tidak peduli atau menganggap kehadiran pria itu, mengambil air di dapur untuk dibawanya kedalam kamar. Langkahnya terhenti saat melihat Budi berdiri dekat meja dengan melipat kedua tangannya
Joe tahu jika mereka akan susah berkomunikasi nantinya, entah kenapa pemikiran Joe kearah sana. Indira benar-benar merusak sesuatu yang sudah disusun sedemikian rupa, menatap sekitar tempat aman untuk mereka bisa komunikasi, kecuali dengan si pemilik tubuh ini.Mencatat beberapa hal di ponselnya, Joe akhirnya memutuskan mencatat di ponsel. Berbeda dengan Silvi yang lebih suka dengan laptop, mencatat semua yang dia ketahui secara rinci tanpa ada yang terlewatkan. Hembusan nafas panjang dikeluarkan Joe, beberapa hal masih menjadi misteri salah satunya adalah kehadiran mereka setiap bersama dengan Indira.“Apa kamu memikirkan apa yang aku pikirkan?” tanya Joe pada Frans yang memilih diam, “kamu suka kalau Indira ada disamping kita?”“Dia bisa memberikan rasa nyaman,” jawab Frans yang diangguki Silvi.Joe mencerna kembali, tidak mungkin hanya rasa nyaman saja yang membuat mereka bisa dengan mudah berganti setiap bersama den
Rencana dan rencana yang ada dalam isi kepala Joe dari bangun tidur, tersenyum kecil saat tidak ada perubahan pada dirinya yang artinya bisa mencari banyak informasi. Joe tidak akan mendatangi pakar ahli untuk menyelesaikan masalahnya, dalam otaknya adalah mampu menyelesaikan semuanya dengan terkendali.Masuk kedalam ruangan kantornya, semua memandang dengan hormat dan beberapa ada yang menundukkan kepala. Bersikap sebagaimana Fajar biasanya, secara pribadi Joe tidak menyukai semua sikap mereka pada dirinya, tapi kembali lagi saat ini Fajar yang mereka kenal. Pria dengan tidak memiliki perasaan dan dingin, andaikan mereka tahu siapa yang ada dalam tubuh Fajar saat ini pasti akan berubah sikapnya, menggelengkan kepalanya membayangkan jika memang itu terjadi.“Pagi, Pak.” Kunto berdiri dan menyapa Fajar dengan menundukkan kepala singkat.Satu kebiasaan Kunto adalah mengikuti Fajar dari belakang, membacakan kegiatan seharian ini. Joe berharap tidak bany
Menatap tidak percaya siapa yang masuk, seingatnya wanita ini dilarang masuk. Hembusan nafas dikeluarkannya saat wanita itu mendekat, Joe menahan nafas ketika wanita itu membuka pakaiannya perlahan. Mariska telah sempurna tanpa busana dihadapan Joe, membuat miliknya yang ada dibawah membutuhkan kepuasan secepatnya, berjalan mendekati dirinya yang masih terdiam membuat Joe tidak bisa berpikir apapun.“Aku tahu kalau telah melakukan dengan pria tua itu, kamu tidak mempercayaiku kalau aku diperkosa olehnya. Kamu bukan melindungiku malah membuangku, kita telah bersama dalam waktu yang lama dan kamu tidak mempertimbangkannya.” Mariska berdiri depan Fajar menundukkan kepalanya.Joe menatap mata Mariska, tangannya yang diam diambil Mariska menyentuh bukit kembarnya. Joe menahan nafas saat merasakan bukit kembar milik wanita ini, selama ini dirinya selalu mencari cara tidak melakukan hubungan intim dengan wanita ini dan sekarang tidak bisa bergerak sama sekali. Joe
Kejadian barusan membuat Joe kesal, bukan mendapatkan sesuatu yang menyenangkan selayaknya setelah bercinta, melainkan jijik pada dirinya. Joe tahu jika tubuh ini bukan pertama kali melakukannya dengan Mariska, tapi dirinya adalah yang pertama melakukan dengan wanita. Hembusan nafas kasar dikeluarkannya saat mengingat kejadian beberapa saat yang lalu, tidak bisa mengendalikan dirinya saat melihat apa yang Mariska lakukan.Jam sudah menunjukkan waktu pulang beberapa menit yang lalu, Kunto sudah berpamitan setelah Mariska keluar dari ruangan, ruangan ini berbau perbuatan mereka yang semakin membuat Joe kesal. Ketukan pintu membuat Joe menatap curiga, memilih menyuruh orang itu masuk daripada akan mengetuk pintunya terus.“Lo masih di ruangan, gue kira udah pulang. Uh...bau banget, lo habis bercinta sama Mariska? Kebiasaan nggak tahu tempat.” Rifan mengatakan sambil menutup hidungnya “Gue kayaknya pergi aja lah, mau pulang bareng?”Joe memut
Merayakan ulang tahunya membuat Silvi merasa diperhatikan dan disayangi, selama ini tidak pernah mengalami ini semua sepanjang hidupnya. Bersikap biasa saja seperti layaknya Fajar selama ini pada Rifan, sesekali pandangan tidak nyaman mengarah pada Dave yang memandang seakan menilai dirinya.“Saudara kamu buat nggak nyaman,” bisik Silvi pada Indira membuatnya menatap kearah Dave.“Nggak usah dipedulikan, dia masih kesal sama kamu yang ambil motor taruhannya.” Indira menjawab dengan berbisik pada Silvi, jawaban Indira membuat Silvi terkejut dan menatap tidak percaya.“Bajingan itu melakukan dengan sangat baik.” Silvi menggelengkan kepalanya menatap Dave dengan senyum sinisnya. “Memang apa yang kamu lakukan?” tanya Silvi penasaran dengan menatap Indira.“Rahasia saudara,” bisik Indira sebagai jawabannya.Silvi menatap tidak percaya dengan jawaban Indira, wanita disampingnya memang berbeda de
Masalah yang selama ini menghantuinya telah hilang, meninggalnya mereka berdua membuat kehidupan Fajar menjadi tenang. Tidak ada yang datang secara tiba-tiba ke kantor untuk meminta uang dengan cara mengancam dan lain-lain, tidak ada lagi yang melakukan kekerasan tanpa sebab. Kehidupan baru sudah tampak didepan mata, membangun kehidupan baru bersama dengan Indira dan anak-anak mereka nantinya.“Sayang, ini Silvi kayaknya pipis.” Fajar yang menggendong Silvi mendatangi Indira.“Kamu belum bisa gantiin popok ya?” Fajar menggeleng kepala lemah.Indira mengambil Silvi setelah mencuci tangan terlebih dahulu, Fajar mengikutinya dari belakang. Melihat dan mendengar apa yang Indira katakan selama mengganti popok Silvi, menganggukkan kepalanya paham saat Indira selesai. Mengambil alih Silvi setelah selesai diganti popoknya, mencium wajahnya yang membuat Silvi tertawa.“Dia persis aku banget ya.” Fajar mengatakan tanpa menatap Indira.“Ya, aku cuman buat tempat penitipan.”Fajar memberikan tata
Malas, itu yang Fajar rasakan saat ini. Indira menyuruh untuk mengurus pemakaman mereka berdua, demi rasa cintanya Fajar akhirnya mendatangi pemakaman mereka dengan menggunakan kaca mata hitam yang ditemani oleh Rifan. Pemakaman mereka dilakukan secara bersamaan atas permintaan Fajar yang disampaikan oleh Dave ke temannya, Fajar tidak ingin muncul secara langsung saat proses.“Harusnya aku ada dirumah bukan membantumu.” Rifan mengatakan dengan nada kesalnya.“Aku nggak mungkin meminta Dave, dia harus menemani mereka berdua.” Fajar hanya datang dan tidak terlibat terlalu dalam dengan apa yang mereka semua lakukan, kepergian mereka tidak memberikan rasa sedih pada diri Fajar dimana hanya rasa lega yang lebih mendominasi. Mereka berdua tidak memiliki keluarga atau teman lagi, Fajar sendiri selama bersama dengan Mariska tidak pernah ada teman yang diajaknya keluar.“Mereka berdua sudah kaya belahan jiwa.” Rifan menggelengkan kepalanya “Aku sa
Kabar dari rumah sakit membuat Rifan dan Fajar langsung kesana, dalam pikiran Fajar terjadi sesuatu yang berhubungan dengan Mariska. Berjalan bersama dengan sedikit cepat saat mereka sampai di rumah sakit, menurut informasi Mariska sudah berada didalam ruang penanganan. Fajar tidak paham dengan maksud mereka yang membawa ke ruang penanganan, tidak lama dokter mendatangi mereka berdua.“Siapa keluarganya?” “Kami hanya teman, dia sudah tidak memiliki keluarga.” Rifan menjawab langsung sebelum Fajar membuka suaranya.“Saya harus bicara dengan keluarganya.” Dokter tetap dengan pendiriannya.“Suaminya berada di penjara, sudah tidak memiliki orang tua dan saudara. Anak-anaknya masih kecil, apa perlu kami bawa anak-anaknya dan dokter menjelaskan ke mereka?” tanya Rifan yang sudah tampak kesal.“Baiklah, Ibu Mariska sudah berada di stadium empat. Hidupnya sudah tidak bisa bertahan dalam waktu lama, kami juga tidak bisa melakukan sesuat
Melakukan perjanjian dengan Mariska, harapan Fajar hanya satu yaitu Mariska menerimanya. Mengingat semua sikap Mariska membuat harapannya sedikit hilang, wanita itu tidak terlalu pintar berbeda dengan Indira. Bisa saja Mariska pintar, tapi tampaknya kemampuannya itu benar-benar tidak bisa diharapkan sama sekali. Kemampuan Mariska hanya berada di ranjang, pantas saja memilih pekerjaan seperti itu.“Kamu ragu dia menerima itu?” suara Rifan membuyarkan lamunannya.“Sedikit, otak dia kadang tidak terlalu berfungsi.” Fajar mengatakan apa yang ada didalam pikirannya.“Apa yang aku lakukan benar, membuat tulisan nol dalam jumlah banyak.” Rifan mengatakan dengan nada bangga membuat Fajar memutar bola matanya dan mengalihkan pandangan kearah lain.Tidak ada lagi pembicaraan diantara mereka berdua, Rifan fokua menyetir dengan menatap kendaraan yang ada dihadapannya, tidak hanya itu beberapa kali jalanan tampak berhenti dalam waktu yang tidak sebenta
Kunto menyebutkan apa saja adegan Fajar satu hari ini, mendengarkan dengan memberikan tatapan datar, tangannya bergerak diatas meja dengan pelan. Fokusnya adalah apa yang dikatakan Kunto tentang kegiatannya pagi ini.“Mariska datang kesini tadi pagi?” Fajar mengulanginya untuk memastikan.“Ya, Pak.” Kunto menjawab ragu.“Kemana dia sekarang?” “Kita mengusirnya atas permintaan bapak dulu.”Fajar menganggukkan kepalanya, keputusan dirinya bertemu dengan Mariska ternyata sesuai dengan apa yang mereka semua katakan. Fajar tidak tahu bagaimana jika nanti bertemu dengan pamannya Budi, orang yang pernah menyakiti dan membuatnya mengalami masa sulit. Menatap bingung Kunto yang masih ada dihadapannya, mengerutkan keningnya tanda jika bertanya-tanya tentang maksud Kunto yang masih berada di ruangannya.“Apa lagi?” tanya Fajar datar.“Mariska tadi mengatakan akan tetap menunggu bapak sampai pulang.”Fajar
“GILA!” Rifan menggelengkan kepalanya saat Fajar mengatakan apa yang ingin dilakukannya, Dave menatap bingung melihat reaksi Rifan, mengalihkan pandangan kearah Fajar yang tampak tidak peduli, tatapan Dave beralih pada Indira yang fokus dengan ponselnya. Rifan yang melihat kebingungan Dave langsung menceritakan apa yang terjadi, pertemuannya dengan Mariska yang membuat Dave menatap horor pada Fajar.“Aku curiga dia udah sembuh, belum?” tanya Rifan menunjuk Fajar.“Buat apa bertemu dia?” tanya Budi tidak menghiraukan pertanyaan Rifan. “Aku bilang kalau kejiwaannya terganggu,” jawab Indira yang mendapatkan tatapan tajam dari Dave.“Kapan kamu ketemu dia?” tanya Fajar yang membuat Dave mengalihkan pandangan ke Fajar.“Waktu kesini, mungkin tiga kali kunjungan. Aku penasaran tentang kondisi dia, padahal seharusnya mendapatkan penanganan dari kejiwaan tapi tidak sama sekali.” Dave menjawab dengan jelas.“Kamu
“Kamu melakukan apa semalaman?” Fajar mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Indira “Kamu mencurigaiku?”Indira mengangkat bahunya “Entah hanya perasaan saja, kalau salah maaf.”“Aku bertemu Mariska,” ucap Fajar akhirnya membuat Indira menghentikan kegiatannya “Aku memang ingin bertemu dengan dia, ingin tahu keadaannya.”“Lalu?” tanya Indira penasaran “Kamu mendapatkan sesuatu?” Fajar menceritakan semuanya pada Indira setelah menyuruhnya duduk dekat dirinya, meminta mendengarkan tanpa memotong cerita yang diberikan. Fajar menggenggam tangan Indira seakan untuk tenang terlebih dahulu sampai cerita selesai, selama cerita tidak melepaskan tatapan sama sekali. Salah satu yang membuat Fajar menggenggam tangan Indira dan menatap kedua matanya tidak lain karena takut wanita dihadapannya meninggalkan dirinya lagi, mendapatkan Indira kembali tidak mudah dan sekarang melakukan kesalahan dengan menemui Mariska, wanita yang memang tida
“Serius?!” Fajar menganggukkan kepalanya “Aku mau minta kamu temani.”“Indira bagaimana?” tanya Rifan penuh selidik “Kamu akan bohongi dia?”“Apa aku harus terus terang?” Fajar meletakkan jemarinya di dagu.“GILA! Nggak gitu juga.” Rifan menepuk keningnya pelan “Kamu yakin mau tahu keadaan dia? Gimana kalau foto aja?”“Kamu sudah kasih, aku mau lihat langsung.”“Jangan mengulang kesalahan yang sama.” Rifan memberikan peringatan dengan nada seriusnya “Kamu pikirkan dulu baiknya, kalau sudah dipikirkan baru aku temani.”Fajar terdiam, kata-kata Rifan memang benar. Keinginannya melihat keadaan Mariska sudah sangat besar, melihat foto-foto yang diberikan tidak cukup membuat perasaannya tenang. Mariska adalah wanita pertama yang dikenalnya dan menemani dirinya saat tidak ada yang mau dengannya. Fajar bukan merasa bersalah, tapi lebih pada mengasihani. Fajar tahu bagaimana kehidupan Mariska selama ini yang selal
Indira mengikuti perkataan Fajar, keputusan yang dibuat semua karena Silvi. Rumah baru yang dicarinya didapat dengan sangat cepat, Indira tahu kekuatan uang bisa membuat segalanya mudah. Tidak hanya itu Fajar membuat kamar khusus untuk Silvi, rumah baru mereka terdapat beberapa kamar. Kamar utama adalah kamar mereka, kamar Silvi, kamar tamu dan dua kamar yang masih kosong.“Memang buat siapa kamarnya?” tanya Indira penasaran.“Adiknya Silvi.” Fajar menjawab santai.“Silvi masih baru berapa bulan, kamu sudah mikirin adiknya.” Indira menggelengkan kepalanya.Masuk kedalam kamar Silvi, menatap sekeliling membuat Indira tersenyum. Fajar mengikuti keinginannya membuat kamar Silvi, tidak ada satupun yang berkurang karena semua sesuai pada tempatnya. Meletakkan Silvi di ranjang, putri kecilnya masih tidur dengan nyenyak.“Jam tidurnya sudah dijadwal?” Indira menganggukkan kepalanya “Malah dengan begini aku jadi punya banyak