Kejadian barusan membuat Joe kesal, bukan mendapatkan sesuatu yang menyenangkan selayaknya setelah bercinta, melainkan jijik pada dirinya. Joe tahu jika tubuh ini bukan pertama kali melakukannya dengan Mariska, tapi dirinya adalah yang pertama melakukan dengan wanita. Hembusan nafas kasar dikeluarkannya saat mengingat kejadian beberapa saat yang lalu, tidak bisa mengendalikan dirinya saat melihat apa yang Mariska lakukan.
Jam sudah menunjukkan waktu pulang beberapa menit yang lalu, Kunto sudah berpamitan setelah Mariska keluar dari ruangan, ruangan ini berbau perbuatan mereka yang semakin membuat Joe kesal. Ketukan pintu membuat Joe menatap curiga, memilih menyuruh orang itu masuk daripada akan mengetuk pintunya terus.
“Lo masih di ruangan, gue kira udah pulang. Uh...bau banget, lo habis bercinta sama Mariska? Kebiasaan nggak tahu tempat.” Rifan mengatakan sambil menutup hidungnya “Gue kayaknya pergi aja lah, mau pulang bareng?”
Joe memut
Merayakan ulang tahunya membuat Silvi merasa diperhatikan dan disayangi, selama ini tidak pernah mengalami ini semua sepanjang hidupnya. Bersikap biasa saja seperti layaknya Fajar selama ini pada Rifan, sesekali pandangan tidak nyaman mengarah pada Dave yang memandang seakan menilai dirinya.“Saudara kamu buat nggak nyaman,” bisik Silvi pada Indira membuatnya menatap kearah Dave.“Nggak usah dipedulikan, dia masih kesal sama kamu yang ambil motor taruhannya.” Indira menjawab dengan berbisik pada Silvi, jawaban Indira membuat Silvi terkejut dan menatap tidak percaya.“Bajingan itu melakukan dengan sangat baik.” Silvi menggelengkan kepalanya menatap Dave dengan senyum sinisnya. “Memang apa yang kamu lakukan?” tanya Silvi penasaran dengan menatap Indira.“Rahasia saudara,” bisik Indira sebagai jawabannya.Silvi menatap tidak percaya dengan jawaban Indira, wanita disampingnya memang berbeda de
Dave menatap tajam atas jawaban yang diberikan Fajar, melihat itu membuat Silvi tersenyum puas. Indira sendiri langsung menatap Dave dengan tatapan takut, seakan tidak peduli langsung menarik Indira semakin dekat dengan dirinya. Rifan yang merasakan suasana tidak enak memilih memainkan ponselnya, tanpa berani menatap ketiga orang yang ada di ruangan. Silvi melihat itu hanya bisa mengutuk pria yang dicintainya dalam hati, Rifan benar-benar sosok pria yang menjadi tolak ukur dalam mendapatkan pria yang baik dan keren.“Kalian selalu tinggal bersama?” tanya Dave dengan nada datarnya.“Kami nggak melakukan apapun.” Indira menjawab tanpa berani menatap kearah Dave “Aku masih bisa jaga diri, Dave.”“Kamu bisa jaga diri, tapi dia?” Dave menunjuk Fajar yang hanya mengangkat alisnya “Kamu tahu seperti apa dia?” Indira menganggukkan kepala membuat Dave menatap tidak percaya “Sudah berapa lama kalian tinggal
Indira dan Rifan saling menatap satu sama lain mendengar pertanyaan Dave, langkahnya yang mendekati mereka bertiga terutama Fajar semakin membuat mereka bingung. Dave berdiri dihadapan Fajar dengan tatapan penuh selidik, sedangkan Fajar hanya diam dan membalas tatapannya dengan datar.“Apa kamu Fajar yang asli?” tanya Dave sekali lagi.Fajar memberikan tatapan datar untuk menutupi kebingungannya atas pertanyaan pria diahadapannya “Kalau saya bukan Fajar lalu siapa?”“Kamu ingat kita dimana? Kita melakukan apa? Siapa aku sebenarnya?” tiga macam pertanyaan diberikan Dave tanpa melepaskan tatapan pada Fajar.“Kita ada...” Fajar menatap sekitar.Tatapannya bertemu dengan Rifan yang menunggu jawaban darinya, membuat Fajar semakin bingung dengan situasi saat ini. Mengalihkan pandangan kearah lain mendapati Indira, wanita yang membuat Fajar sering bertemu dengannya terutama dalam rumahnya, Fajar sendiri seak
Fajar menggelengkan kepalanya, menatap Indira dan Dave bergantian. Tatapan mereka tidak ada yang membohongi dirinya, mereka mengatakan sebenarnya yang semakin membuat perasaan Fajar tidak menentu.“Itu nggak mungkin, kan?” tanya Fajar menatap Indira.“Siapa yang saat itu melakukan taruhan dan juga balapan?” tanya Dave yang membuat Fajar terdiam “Dira, apa kamu merasakan perbedaan saat bersama dengan Fajar?”“Aku nggak tahu ini perbedaan atau apa, tapi memang ada hal berbeda setiap kami tidur bersama.” Indira menjawab dengan mencoba mengingat setiap kejadian.“Berapa kali kamu tidur bersama Fajar?” tanya Dave yang dijawab Indira dengan mengangkat bahu “Kayaknya lebih dari sepuluh?”“Mungkin atau mau mendekati sepuluh,” jawab Indira yang membuat Fajar membelalakkan matanya.Fajar hanya mengingat mereka bersama dua kali, lalu sisanya berada dimana. Fajar benar-benar tidak ingat sama sekali tentang kejadian yang selama in
Indira memeluk Fajar yang sudah tidak sadarkan diri, perbuatan Dave dan Rifan sudah tidak bisa di benarkan, memberikan suntikan pada Fajar yang tidak tahu apa-apa.“Bagaimana bisa kalian berdua tega melakukan ini sama dia?” Indira menatap mereka tidak percaya.“Kamu nggak lihat perubahannya? Dia berbicara dengan kepribadian lain, kita nggak tahu seperti apa yang lain. Kamu pernah tahu?” Dave menatap Rifan yang hanya diam menatap Fajar.“Tapi nggak harus melakukan ini, lagipula kamu itu siapa?” Indira menatap tajam pada Dave.“Aku siapa? Aku psikiater.” Dave menatap tajam balik pada Indira “Memang kamu nggak merasa perubahan pada dia?”Indira terdiam mencoba mengingat, pandangannya beralih pada Rifan yang masih menatap Fajar dengan tatapan tidak percaya dan terkejut. Indira tidak tahu apa yang ada didalam isi kepala Rifan, mengalihkan pandangan kearah Fajar setelah melepaskan pelukan. Indira mengerutkan keningnya saat melihat Faj
Indira membelalakkan matanya mendengar perkataan Fajar atau Frans itu, mereka tidak melakukan apa-apa kecuali tidur bersama dalam keadaan telanjang. Mengalihkan pandangan kearah Dave yang masih tenang dan tidak terpancing dengan kata-kata yang keluar dari bibir Frans, beda dengan Rifan yang menutup mulutnya dan memandang mereka berdua bergantian.“Aku mengenal Indira lebih baik darimu, jadi kalaupun kalian melakukan itu juga bukan urusanku.” Dave membuka suaranya “Restu? Lakukan sendiri depan orang tua Indira bukan aku.”“Baiklah, berarti tidak ada hal yang harus dibuka.” Frans mengangkat kedua tangannya.“Aku yakin kamu tidak mencintai Indira, apa karena Indira bisa membuat mereka keluar jadinya kamu meminta aku merestui kalian?” tembak Dave yang membuat Frans terkejut, senyum kecil diberikan “Tebakan dan reaksi yang sangat cepat, apa Indira yang membuat mereka keluar dan salah satu dari kalian masih penasaran?”Indira dan Rifan menatap k
Dave tersenyum mendengar kata-kata yang keluar dari Frans, Indira menatap ada perbedaan dibandingkan sebelumnya. Mengalihkan pandangan kearah Dave yang tampak tersenyum puas, Rifan sendiri hanya diam dengan ekspresi terkejutnya tanpa henti.‘Kamu keluar tiba-tiba, seharusnya kasih kode begitu.’ Frans berkata dengan tidak terima.‘DIAM! Kamu tidak bisa menyelesaikan ini.’“Apa yang mau kamu ingin tahu?” Dave mengangkat alisnya mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir Frans atau siapa itu. “Joe, itu namaku.”“Joe, nama yang bagus. Apa tugasmu?” tanya Dave langsung dan tertarik.“Aku yang mengendalikan mereka, menganalisa segala macam masalah yang menghampiri kami dan menyelesaikan dengan kepala dingin.” Joe menjawab santai.Dave mengangguk paham “Kamu adalah otak tubuh ini?”“Benar.” “Siapa yang membuat Fajar menjadi seperti sekarang?” pertanyaan awal yang ingin diketahui Dave.“Aku.
Pengakuan yang diberikan Joe membuat mereka terdiam, tidak membuka suara sama sekali dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Joe menatap mereka bertiga seakan menunggu jawaban dari semua yang dirinya katakan, tatapannya saat ini fokus pada Indira seakan menantikan perubahan pada dirinya.“Apa yang membuatmu ingin menjadi satu dengan pemilik tubuh ini? Biasanya beberapa seperti kamu akan dengan sangat egois, ingin menguasai tubuh ini dan menghilangkan yang asli karena dianggap tidak bisa menghadapi masalah atau tidak berguna.” Dave membuka suaranya membuat Joe mengalihkan pandangan kearahnya.“Memang, Frans yang ingin menguasai tubuh ini agar tidak kembali pada wanita itu. Aku selalu meyakinkan Frans jika kita tetap berada di tubuh ini, walaupun tidak bisa keluar seperti sebelumnya.” Joe menjawab santai. “Apa ada yang salah dengan kata-kataku?”“Tidak.” Dave menjawab singkat.“Aku akan tidur dimana?” Joe menatap sekeliling dari rumah ini “T
Masalah yang selama ini menghantuinya telah hilang, meninggalnya mereka berdua membuat kehidupan Fajar menjadi tenang. Tidak ada yang datang secara tiba-tiba ke kantor untuk meminta uang dengan cara mengancam dan lain-lain, tidak ada lagi yang melakukan kekerasan tanpa sebab. Kehidupan baru sudah tampak didepan mata, membangun kehidupan baru bersama dengan Indira dan anak-anak mereka nantinya.“Sayang, ini Silvi kayaknya pipis.” Fajar yang menggendong Silvi mendatangi Indira.“Kamu belum bisa gantiin popok ya?” Fajar menggeleng kepala lemah.Indira mengambil Silvi setelah mencuci tangan terlebih dahulu, Fajar mengikutinya dari belakang. Melihat dan mendengar apa yang Indira katakan selama mengganti popok Silvi, menganggukkan kepalanya paham saat Indira selesai. Mengambil alih Silvi setelah selesai diganti popoknya, mencium wajahnya yang membuat Silvi tertawa.“Dia persis aku banget ya.” Fajar mengatakan tanpa menatap Indira.“Ya, aku cuman buat tempat penitipan.”Fajar memberikan tata
Malas, itu yang Fajar rasakan saat ini. Indira menyuruh untuk mengurus pemakaman mereka berdua, demi rasa cintanya Fajar akhirnya mendatangi pemakaman mereka dengan menggunakan kaca mata hitam yang ditemani oleh Rifan. Pemakaman mereka dilakukan secara bersamaan atas permintaan Fajar yang disampaikan oleh Dave ke temannya, Fajar tidak ingin muncul secara langsung saat proses.“Harusnya aku ada dirumah bukan membantumu.” Rifan mengatakan dengan nada kesalnya.“Aku nggak mungkin meminta Dave, dia harus menemani mereka berdua.” Fajar hanya datang dan tidak terlibat terlalu dalam dengan apa yang mereka semua lakukan, kepergian mereka tidak memberikan rasa sedih pada diri Fajar dimana hanya rasa lega yang lebih mendominasi. Mereka berdua tidak memiliki keluarga atau teman lagi, Fajar sendiri selama bersama dengan Mariska tidak pernah ada teman yang diajaknya keluar.“Mereka berdua sudah kaya belahan jiwa.” Rifan menggelengkan kepalanya “Aku sa
Kabar dari rumah sakit membuat Rifan dan Fajar langsung kesana, dalam pikiran Fajar terjadi sesuatu yang berhubungan dengan Mariska. Berjalan bersama dengan sedikit cepat saat mereka sampai di rumah sakit, menurut informasi Mariska sudah berada didalam ruang penanganan. Fajar tidak paham dengan maksud mereka yang membawa ke ruang penanganan, tidak lama dokter mendatangi mereka berdua.“Siapa keluarganya?” “Kami hanya teman, dia sudah tidak memiliki keluarga.” Rifan menjawab langsung sebelum Fajar membuka suaranya.“Saya harus bicara dengan keluarganya.” Dokter tetap dengan pendiriannya.“Suaminya berada di penjara, sudah tidak memiliki orang tua dan saudara. Anak-anaknya masih kecil, apa perlu kami bawa anak-anaknya dan dokter menjelaskan ke mereka?” tanya Rifan yang sudah tampak kesal.“Baiklah, Ibu Mariska sudah berada di stadium empat. Hidupnya sudah tidak bisa bertahan dalam waktu lama, kami juga tidak bisa melakukan sesuat
Melakukan perjanjian dengan Mariska, harapan Fajar hanya satu yaitu Mariska menerimanya. Mengingat semua sikap Mariska membuat harapannya sedikit hilang, wanita itu tidak terlalu pintar berbeda dengan Indira. Bisa saja Mariska pintar, tapi tampaknya kemampuannya itu benar-benar tidak bisa diharapkan sama sekali. Kemampuan Mariska hanya berada di ranjang, pantas saja memilih pekerjaan seperti itu.“Kamu ragu dia menerima itu?” suara Rifan membuyarkan lamunannya.“Sedikit, otak dia kadang tidak terlalu berfungsi.” Fajar mengatakan apa yang ada didalam pikirannya.“Apa yang aku lakukan benar, membuat tulisan nol dalam jumlah banyak.” Rifan mengatakan dengan nada bangga membuat Fajar memutar bola matanya dan mengalihkan pandangan kearah lain.Tidak ada lagi pembicaraan diantara mereka berdua, Rifan fokua menyetir dengan menatap kendaraan yang ada dihadapannya, tidak hanya itu beberapa kali jalanan tampak berhenti dalam waktu yang tidak sebenta
Kunto menyebutkan apa saja adegan Fajar satu hari ini, mendengarkan dengan memberikan tatapan datar, tangannya bergerak diatas meja dengan pelan. Fokusnya adalah apa yang dikatakan Kunto tentang kegiatannya pagi ini.“Mariska datang kesini tadi pagi?” Fajar mengulanginya untuk memastikan.“Ya, Pak.” Kunto menjawab ragu.“Kemana dia sekarang?” “Kita mengusirnya atas permintaan bapak dulu.”Fajar menganggukkan kepalanya, keputusan dirinya bertemu dengan Mariska ternyata sesuai dengan apa yang mereka semua katakan. Fajar tidak tahu bagaimana jika nanti bertemu dengan pamannya Budi, orang yang pernah menyakiti dan membuatnya mengalami masa sulit. Menatap bingung Kunto yang masih ada dihadapannya, mengerutkan keningnya tanda jika bertanya-tanya tentang maksud Kunto yang masih berada di ruangannya.“Apa lagi?” tanya Fajar datar.“Mariska tadi mengatakan akan tetap menunggu bapak sampai pulang.”Fajar
“GILA!” Rifan menggelengkan kepalanya saat Fajar mengatakan apa yang ingin dilakukannya, Dave menatap bingung melihat reaksi Rifan, mengalihkan pandangan kearah Fajar yang tampak tidak peduli, tatapan Dave beralih pada Indira yang fokus dengan ponselnya. Rifan yang melihat kebingungan Dave langsung menceritakan apa yang terjadi, pertemuannya dengan Mariska yang membuat Dave menatap horor pada Fajar.“Aku curiga dia udah sembuh, belum?” tanya Rifan menunjuk Fajar.“Buat apa bertemu dia?” tanya Budi tidak menghiraukan pertanyaan Rifan. “Aku bilang kalau kejiwaannya terganggu,” jawab Indira yang mendapatkan tatapan tajam dari Dave.“Kapan kamu ketemu dia?” tanya Fajar yang membuat Dave mengalihkan pandangan ke Fajar.“Waktu kesini, mungkin tiga kali kunjungan. Aku penasaran tentang kondisi dia, padahal seharusnya mendapatkan penanganan dari kejiwaan tapi tidak sama sekali.” Dave menjawab dengan jelas.“Kamu
“Kamu melakukan apa semalaman?” Fajar mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Indira “Kamu mencurigaiku?”Indira mengangkat bahunya “Entah hanya perasaan saja, kalau salah maaf.”“Aku bertemu Mariska,” ucap Fajar akhirnya membuat Indira menghentikan kegiatannya “Aku memang ingin bertemu dengan dia, ingin tahu keadaannya.”“Lalu?” tanya Indira penasaran “Kamu mendapatkan sesuatu?” Fajar menceritakan semuanya pada Indira setelah menyuruhnya duduk dekat dirinya, meminta mendengarkan tanpa memotong cerita yang diberikan. Fajar menggenggam tangan Indira seakan untuk tenang terlebih dahulu sampai cerita selesai, selama cerita tidak melepaskan tatapan sama sekali. Salah satu yang membuat Fajar menggenggam tangan Indira dan menatap kedua matanya tidak lain karena takut wanita dihadapannya meninggalkan dirinya lagi, mendapatkan Indira kembali tidak mudah dan sekarang melakukan kesalahan dengan menemui Mariska, wanita yang memang tida
“Serius?!” Fajar menganggukkan kepalanya “Aku mau minta kamu temani.”“Indira bagaimana?” tanya Rifan penuh selidik “Kamu akan bohongi dia?”“Apa aku harus terus terang?” Fajar meletakkan jemarinya di dagu.“GILA! Nggak gitu juga.” Rifan menepuk keningnya pelan “Kamu yakin mau tahu keadaan dia? Gimana kalau foto aja?”“Kamu sudah kasih, aku mau lihat langsung.”“Jangan mengulang kesalahan yang sama.” Rifan memberikan peringatan dengan nada seriusnya “Kamu pikirkan dulu baiknya, kalau sudah dipikirkan baru aku temani.”Fajar terdiam, kata-kata Rifan memang benar. Keinginannya melihat keadaan Mariska sudah sangat besar, melihat foto-foto yang diberikan tidak cukup membuat perasaannya tenang. Mariska adalah wanita pertama yang dikenalnya dan menemani dirinya saat tidak ada yang mau dengannya. Fajar bukan merasa bersalah, tapi lebih pada mengasihani. Fajar tahu bagaimana kehidupan Mariska selama ini yang selal
Indira mengikuti perkataan Fajar, keputusan yang dibuat semua karena Silvi. Rumah baru yang dicarinya didapat dengan sangat cepat, Indira tahu kekuatan uang bisa membuat segalanya mudah. Tidak hanya itu Fajar membuat kamar khusus untuk Silvi, rumah baru mereka terdapat beberapa kamar. Kamar utama adalah kamar mereka, kamar Silvi, kamar tamu dan dua kamar yang masih kosong.“Memang buat siapa kamarnya?” tanya Indira penasaran.“Adiknya Silvi.” Fajar menjawab santai.“Silvi masih baru berapa bulan, kamu sudah mikirin adiknya.” Indira menggelengkan kepalanya.Masuk kedalam kamar Silvi, menatap sekeliling membuat Indira tersenyum. Fajar mengikuti keinginannya membuat kamar Silvi, tidak ada satupun yang berkurang karena semua sesuai pada tempatnya. Meletakkan Silvi di ranjang, putri kecilnya masih tidur dengan nyenyak.“Jam tidurnya sudah dijadwal?” Indira menganggukkan kepalanya “Malah dengan begini aku jadi punya banyak