Realita, liburan telah selesai dan itu artinya mereka harus kembali bekerja. Indira tidak mungkin berbuat seenaknya di kantor, bagaimanapun tidak ada yang tahu pernikahan yang mereka berdua lakukan.
“Selama beberapa hari ini mereka nggak keluar.” Fajar membuka suaranya sambil menatap Indira “Apa bisa dikatakan berhasil?”Indira mengangkat bahunya “Permasalahan utama pada Budi tidak lain pamanmu, mereka keluar saat kamu tidak bisa menahan diri atas apa yang dilakukan pamanmu itu.”Fajar membenarkan perkataan Indira, sepulang mereka dari liburan langsung membaca catatan yang ditulis kepribadian lain. Mereka berdua sama-sama membaca buku itu, setiap waktu mereka tulis didalam buku. Kenyataan yang membuat mereka terkejut adalah perlakuan Budi pada Fajar, dalam catatan mereka dimana sempat dibawa ke rumah sakit untuk mengobati luka-lukanya.Luka fisik bisa dengan mudah disembuhkan, tapi tidak dengan batin dan terbukti dengan keluarnya tiga keprPerasaan tidak tenang, tangan keringat dingin sejak memasuki ruang kerjanya. Kunto yang mengikuti menatap bingung, Indira sendiri memilih berada di ruangannya bersama dengan Rifan, alasan yang diberikan adalah agar Fajar belajar menghadapi semuanya sendiri dan tidak melarikan diri.“Jadwal.” Fajar berkata dengan nada datarnya.Diam, mendengarkan Kunto yang membaca jadwalnya untuk hari ini. Pekerjaan yang ditinggalkan karena masalah pribadi, secara perlahan akhirnya selesai dengan bantuan Rifan dan juga tim. Tidak fokus mendengarkan perkataan Kunto, pikiran Fajar berjalan kemana-mana terutama kedatangan Mariska nantinya.“Mariska akan datang kesini.” Fajar membuka suaranya setelah Kunto berhenti.“Bukankah ada larangan datang kesini?” tanya Kunto bingung.Fajar terdiam, mencoba mengingat dan tampaknya itu tertulis di buku. Fajar melupakan itu semua, pikirannya kembali mengarah pada cara Mariska memasuki kantornya. Menatap Kunto y
Kedatangan Mariska membuat perasaannya tidak menentu, jantungnya berdetak sangat kencang dengan emosinya yang keluar dengan sangat mudah. Menarik dan menghembuskan nafas panjangnya, metode atau cara yang diajarkan Indira dan Dave ketika dirinya emosi tinggi.Indira mengatakan jika teknik itu bisa membuat dirinya tenang, tidak hanya itu pastinya kepribadian lain tidak akan keluar dan sebagai bentuk latihannya dalam menghadapi semua permasalahan yang terjadi. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Indira saat memasuki ruangannya.“Berhasil,” jawab Fajar membuat Indira mengerutkan keningnya “Berhasil mengendalikan diri, menarik dan menghembuskan nafas perlahan dan panjang, semua berjalan sesuai dengan apa yang kamu katakan.”Indira menganggukkan kepalanya “Aku paham, bagus kamu bisa mengatasinya. Aku sekarang tanya tentang pertemuan kamu dengan Mariska.”“Cemburu?” Fajar menaik turunkan alisnya.Indira membuka dan menutup mulutny
Fajar mengundang Rifan dan Dave datang ke rumah barunya, Indira terkejut dengan rencana Fajar tapi tidak bisa membantah sama sekali. Tidak tahu apa yang akan dibicarakan dan rencanakan, tapi tetap mendukung semua yang Fajar lakukan.“Ini semua sudah siap, kalau nanti sudah selesai seperti biasanya saja.” Awang membuka suara setelah semua sudah pada tempatnya.“Terima kasih.” Indira tersenyum menatap pasangan suami istri yang menjaga rumah Fajar.Mendatangi ketiga pria yang ada di ruang menonton film, mereka sedang melihat film menggunakan layar besar yang baru saja datang beberapa hari lalu. Memasuki ruangan mendapati ketiga pria itu tampak serius, memilih duduk disamping Fajar yang langsung menariknya menjadi dekat dengan dirinya.Film yang mereka lihat adalah aksi, Indira hanya melihat tidak seperti ketiga pria yang ada di ruangan dimana mereka selalu berisik setiap adegan, lebih tepatnya setiap adegan diberikan komentar. Tidak lama film
“Sudah berpikir dalam?” tanya Indira saat mereka berada didalam kamar “Pendapat mereka tidak salah sama sekali, setidaknya banyak hal yang harus kamu pikirkan sebelum melakukan tindakan pada pamanmu.” “Apa aku bicara sama mereka? Sudah lama tidak berbicara dengan mereka.” Fajar menatap Indira meminta persetujuan.“Kamu berhasil melewati semuanya sampai sekarang, apa mereka masih ada?”Fajar mengangkat bahu “Aku tidak tahu, bisa jadi mereka keluar tapi kamu nggak sadar.”Indira menggelengkan kepalanya “Nggak mungkin, kalau yang keluar Silvi pasti aku tahu.”“Anggap mereka tidak keluar sejak pembicaraan pertama dan terakhir, apa perlu aku berbicara dengan mereka? Mereka keluar lagi seperti sebelumnya?” tanya Fajar lagi dengan menghentikan perdebatan mereka.“Menurutmu? Tapi aku nggak yakin mereka masih ada, sejak kalian berbicara kamu tidak mengalami perubahan. Aku setiap saat selalu tanya tentang siapa kamu, makanya k
Belum adanya keputusan tentang apa yang harus dilakukan membuat Fajar beberapa kali memikirkan jalan yang terbaik, Indira hanya bisa memberikan beberapa saran yang bisa digunakan Fajar, tidak tahu akan digunakan atau tidak.“Mau kemana?” tanya Indira saat melihat Fajar menekan tombol “Mau ngapain ke bawah? Bukannya sudah dibuat agar kamu bisa melihat langsung disini? Ada yang kamu sembunyikan?”Fajar menggelengkan kepalanya “Aku rasa tidak ada, hanya saja ada sesuatu yang membuatku harus melihat kebawah.”Indira mengerutkan keningnya “Apa suatu hal yang sangat penting bagi seseorang?”Fajar mengangkat bahu “Aku tidak tahu, ada sesuatu yang harus aku lihat di CCTV.”Indira masih mengerutkan keningnya mendengar jawaban Fajar “CCTV siapa? Mariska dan pamanmu?” Fajar mengangguk ragu “Bagian mana yang kamu lihat? Memang kamu punya? Apa ada yang kamu rekam dan pelajari nantinya.”Indira hanya menggelengkan kepalanya mendeng
“Pak,” panggil Kunto membuat Fajar mengangkat kepalanya.“Ada apa?” “Paman anda ada disini.” Kunto mengatakan langsung dalam satu kali tarikan nafas.Diam, mencerna kata-kata yang keluar dari bibir Kunto, mencoba mengartikan perkataannya dengan pelan. Membelalakkan matanya mendengar kata-kata yang disampaikan Kunto, berdiri dari kursinya dan seketika keringat dingin memenuhi tubuhnya.“Dimana dia?” tanya Fajar setelah berhasil mengendalikan dirinya.“Lobby, bersama dengan Ibu Mariska.” Kunto melanjutkan kata-katanya.Fajar membelalakkan matanya “Mariska juga ikut?” Kunto menganggukkan kepalanya.Tubuhnya semakin penuh dengan keringat dingin mendengar kata-kata Kunto, menarik dan menghembuskan nafas panjang yang membuat Kunto menatap bingung. Fajar menatap Kunto yang sedang memandang bingung, melakukan pernafasan lagi untuk menenangkan dirinya. “Panggil Rifan dan Indira sekarang!” Fajar memberik
Kedatangan Budi di kantor Fajar mengejutkannya, duduk di lobby kantor dengan tatapan tidak bersahabat dan siap melakukan apapun untuk Fajar. Indira yang datang terlebih dahulu dan melewati lobby seketika berbalik mendatangi Fajar di tempat parkir, ketakutannya memang berlebih tapi pertemuan mereka kemarin pastinya membuat Budi tidak terima.“Apa kamu akan menghadapi dia?” tanya Indira hati-hati didalam mobil.“Bukankah kamu bilang siap tidak siap harus dihadapi?” tanya Fajar kembali “Dia tidak akan melakukan apapun di depan banyak orang lagian ini cara agar menangkap dia.” Indira menatap Fajar dalam, ada satu perbedaan dari tatapan Fajar sekarang dengan sebelumnya. Indira merasa jika ini bukan Fajar, tidak mungkin mereka sudah menjadi satu kesatuan. Selama ini mereka belum keluar sama sekali, bahkan Indira berpikir jika kepribadian yang lain telah hilang dan menjadi satu dengan Fajar.“Kamu tidak yakin ini aku? Fajar? Kamu menganggap sala
“Kamu yakin membawa dia kesana?” tanya Rifan sekali lagi yang tidak bisa dihitung berapa kali.“Aku sudah jawab yakin, kamu masih mau tanya berapa kali lagi?” “Permisi ada Ibu Mariska di bawah.” Kunto memberitahukan keberadaan Mariska.“Suruh masuk dan kalian berdua tetap disini.” Fajar menatap Rifan dan Indira yang akan beranjak.“Kalian perlu bicara berdua.” Indira memberikan penjelasan yang diangguki Rifan.“Tidak ada pembicaraan berdua dengan dia, kalian harus tetap ada disini agar aku tidak hilang kendali terutama kamu.” Fajar menatap Indira penuh permohonan.Suara ketukan pintu terdengar dengan cepat Fajar menyuruh masuk, Kunto masuk bersama dengan Mariska yang menunjukkan wajah sedihnya. Berjalan kearah Fajar dan langsung duduk dibawah kakinya, tindakan Mariska membuat mereka sedikit terkejut tapi dengan cepat berusaha untuk biasa saja.“Apa harus melakukan itu? Bagaimanapun dia pamanmu.” Mariska me
Masalah yang selama ini menghantuinya telah hilang, meninggalnya mereka berdua membuat kehidupan Fajar menjadi tenang. Tidak ada yang datang secara tiba-tiba ke kantor untuk meminta uang dengan cara mengancam dan lain-lain, tidak ada lagi yang melakukan kekerasan tanpa sebab. Kehidupan baru sudah tampak didepan mata, membangun kehidupan baru bersama dengan Indira dan anak-anak mereka nantinya.“Sayang, ini Silvi kayaknya pipis.” Fajar yang menggendong Silvi mendatangi Indira.“Kamu belum bisa gantiin popok ya?” Fajar menggeleng kepala lemah.Indira mengambil Silvi setelah mencuci tangan terlebih dahulu, Fajar mengikutinya dari belakang. Melihat dan mendengar apa yang Indira katakan selama mengganti popok Silvi, menganggukkan kepalanya paham saat Indira selesai. Mengambil alih Silvi setelah selesai diganti popoknya, mencium wajahnya yang membuat Silvi tertawa.“Dia persis aku banget ya.” Fajar mengatakan tanpa menatap Indira.“Ya, aku cuman buat tempat penitipan.”Fajar memberikan tata
Malas, itu yang Fajar rasakan saat ini. Indira menyuruh untuk mengurus pemakaman mereka berdua, demi rasa cintanya Fajar akhirnya mendatangi pemakaman mereka dengan menggunakan kaca mata hitam yang ditemani oleh Rifan. Pemakaman mereka dilakukan secara bersamaan atas permintaan Fajar yang disampaikan oleh Dave ke temannya, Fajar tidak ingin muncul secara langsung saat proses.“Harusnya aku ada dirumah bukan membantumu.” Rifan mengatakan dengan nada kesalnya.“Aku nggak mungkin meminta Dave, dia harus menemani mereka berdua.” Fajar hanya datang dan tidak terlibat terlalu dalam dengan apa yang mereka semua lakukan, kepergian mereka tidak memberikan rasa sedih pada diri Fajar dimana hanya rasa lega yang lebih mendominasi. Mereka berdua tidak memiliki keluarga atau teman lagi, Fajar sendiri selama bersama dengan Mariska tidak pernah ada teman yang diajaknya keluar.“Mereka berdua sudah kaya belahan jiwa.” Rifan menggelengkan kepalanya “Aku sa
Kabar dari rumah sakit membuat Rifan dan Fajar langsung kesana, dalam pikiran Fajar terjadi sesuatu yang berhubungan dengan Mariska. Berjalan bersama dengan sedikit cepat saat mereka sampai di rumah sakit, menurut informasi Mariska sudah berada didalam ruang penanganan. Fajar tidak paham dengan maksud mereka yang membawa ke ruang penanganan, tidak lama dokter mendatangi mereka berdua.“Siapa keluarganya?” “Kami hanya teman, dia sudah tidak memiliki keluarga.” Rifan menjawab langsung sebelum Fajar membuka suaranya.“Saya harus bicara dengan keluarganya.” Dokter tetap dengan pendiriannya.“Suaminya berada di penjara, sudah tidak memiliki orang tua dan saudara. Anak-anaknya masih kecil, apa perlu kami bawa anak-anaknya dan dokter menjelaskan ke mereka?” tanya Rifan yang sudah tampak kesal.“Baiklah, Ibu Mariska sudah berada di stadium empat. Hidupnya sudah tidak bisa bertahan dalam waktu lama, kami juga tidak bisa melakukan sesuat
Melakukan perjanjian dengan Mariska, harapan Fajar hanya satu yaitu Mariska menerimanya. Mengingat semua sikap Mariska membuat harapannya sedikit hilang, wanita itu tidak terlalu pintar berbeda dengan Indira. Bisa saja Mariska pintar, tapi tampaknya kemampuannya itu benar-benar tidak bisa diharapkan sama sekali. Kemampuan Mariska hanya berada di ranjang, pantas saja memilih pekerjaan seperti itu.“Kamu ragu dia menerima itu?” suara Rifan membuyarkan lamunannya.“Sedikit, otak dia kadang tidak terlalu berfungsi.” Fajar mengatakan apa yang ada didalam pikirannya.“Apa yang aku lakukan benar, membuat tulisan nol dalam jumlah banyak.” Rifan mengatakan dengan nada bangga membuat Fajar memutar bola matanya dan mengalihkan pandangan kearah lain.Tidak ada lagi pembicaraan diantara mereka berdua, Rifan fokua menyetir dengan menatap kendaraan yang ada dihadapannya, tidak hanya itu beberapa kali jalanan tampak berhenti dalam waktu yang tidak sebenta
Kunto menyebutkan apa saja adegan Fajar satu hari ini, mendengarkan dengan memberikan tatapan datar, tangannya bergerak diatas meja dengan pelan. Fokusnya adalah apa yang dikatakan Kunto tentang kegiatannya pagi ini.“Mariska datang kesini tadi pagi?” Fajar mengulanginya untuk memastikan.“Ya, Pak.” Kunto menjawab ragu.“Kemana dia sekarang?” “Kita mengusirnya atas permintaan bapak dulu.”Fajar menganggukkan kepalanya, keputusan dirinya bertemu dengan Mariska ternyata sesuai dengan apa yang mereka semua katakan. Fajar tidak tahu bagaimana jika nanti bertemu dengan pamannya Budi, orang yang pernah menyakiti dan membuatnya mengalami masa sulit. Menatap bingung Kunto yang masih ada dihadapannya, mengerutkan keningnya tanda jika bertanya-tanya tentang maksud Kunto yang masih berada di ruangannya.“Apa lagi?” tanya Fajar datar.“Mariska tadi mengatakan akan tetap menunggu bapak sampai pulang.”Fajar
“GILA!” Rifan menggelengkan kepalanya saat Fajar mengatakan apa yang ingin dilakukannya, Dave menatap bingung melihat reaksi Rifan, mengalihkan pandangan kearah Fajar yang tampak tidak peduli, tatapan Dave beralih pada Indira yang fokus dengan ponselnya. Rifan yang melihat kebingungan Dave langsung menceritakan apa yang terjadi, pertemuannya dengan Mariska yang membuat Dave menatap horor pada Fajar.“Aku curiga dia udah sembuh, belum?” tanya Rifan menunjuk Fajar.“Buat apa bertemu dia?” tanya Budi tidak menghiraukan pertanyaan Rifan. “Aku bilang kalau kejiwaannya terganggu,” jawab Indira yang mendapatkan tatapan tajam dari Dave.“Kapan kamu ketemu dia?” tanya Fajar yang membuat Dave mengalihkan pandangan ke Fajar.“Waktu kesini, mungkin tiga kali kunjungan. Aku penasaran tentang kondisi dia, padahal seharusnya mendapatkan penanganan dari kejiwaan tapi tidak sama sekali.” Dave menjawab dengan jelas.“Kamu
“Kamu melakukan apa semalaman?” Fajar mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Indira “Kamu mencurigaiku?”Indira mengangkat bahunya “Entah hanya perasaan saja, kalau salah maaf.”“Aku bertemu Mariska,” ucap Fajar akhirnya membuat Indira menghentikan kegiatannya “Aku memang ingin bertemu dengan dia, ingin tahu keadaannya.”“Lalu?” tanya Indira penasaran “Kamu mendapatkan sesuatu?” Fajar menceritakan semuanya pada Indira setelah menyuruhnya duduk dekat dirinya, meminta mendengarkan tanpa memotong cerita yang diberikan. Fajar menggenggam tangan Indira seakan untuk tenang terlebih dahulu sampai cerita selesai, selama cerita tidak melepaskan tatapan sama sekali. Salah satu yang membuat Fajar menggenggam tangan Indira dan menatap kedua matanya tidak lain karena takut wanita dihadapannya meninggalkan dirinya lagi, mendapatkan Indira kembali tidak mudah dan sekarang melakukan kesalahan dengan menemui Mariska, wanita yang memang tida
“Serius?!” Fajar menganggukkan kepalanya “Aku mau minta kamu temani.”“Indira bagaimana?” tanya Rifan penuh selidik “Kamu akan bohongi dia?”“Apa aku harus terus terang?” Fajar meletakkan jemarinya di dagu.“GILA! Nggak gitu juga.” Rifan menepuk keningnya pelan “Kamu yakin mau tahu keadaan dia? Gimana kalau foto aja?”“Kamu sudah kasih, aku mau lihat langsung.”“Jangan mengulang kesalahan yang sama.” Rifan memberikan peringatan dengan nada seriusnya “Kamu pikirkan dulu baiknya, kalau sudah dipikirkan baru aku temani.”Fajar terdiam, kata-kata Rifan memang benar. Keinginannya melihat keadaan Mariska sudah sangat besar, melihat foto-foto yang diberikan tidak cukup membuat perasaannya tenang. Mariska adalah wanita pertama yang dikenalnya dan menemani dirinya saat tidak ada yang mau dengannya. Fajar bukan merasa bersalah, tapi lebih pada mengasihani. Fajar tahu bagaimana kehidupan Mariska selama ini yang selal
Indira mengikuti perkataan Fajar, keputusan yang dibuat semua karena Silvi. Rumah baru yang dicarinya didapat dengan sangat cepat, Indira tahu kekuatan uang bisa membuat segalanya mudah. Tidak hanya itu Fajar membuat kamar khusus untuk Silvi, rumah baru mereka terdapat beberapa kamar. Kamar utama adalah kamar mereka, kamar Silvi, kamar tamu dan dua kamar yang masih kosong.“Memang buat siapa kamarnya?” tanya Indira penasaran.“Adiknya Silvi.” Fajar menjawab santai.“Silvi masih baru berapa bulan, kamu sudah mikirin adiknya.” Indira menggelengkan kepalanya.Masuk kedalam kamar Silvi, menatap sekeliling membuat Indira tersenyum. Fajar mengikuti keinginannya membuat kamar Silvi, tidak ada satupun yang berkurang karena semua sesuai pada tempatnya. Meletakkan Silvi di ranjang, putri kecilnya masih tidur dengan nyenyak.“Jam tidurnya sudah dijadwal?” Indira menganggukkan kepalanya “Malah dengan begini aku jadi punya banyak