Share

Bab 50

Author: Tifa Nurfa
last update Last Updated: 2022-07-25 15:20:22

Ting!

Sebuah notifikasi pesan masuk, aku melirik jarum jam menunjukkan angka dua dini hari. Siapa yang mengirim pesan dini hari begini, apa Mas Yudi, membalas pesanku tadi malam.

[Oke, Sin! Mas pulang besok]

Sebuah pesan dari Mas Yudi.

Hari ini hari Minggu, jadi aku dan Rizki santai di rumah, mungkin sekarang sudah saatnya aku bicara pada Mas Yudi kalau aku menginginkan bercerai.

"Assalamualaikum," Suara Mas Yudi memasuki rumah ini, Rizki nampak asyik menonton serial kartun bus kecil yang berwarna warni.

"Ayah!" teriaknya menghambur ke pelukan Mas Yudi.

"Anak Ayah udah sehat nih," ucap Mas Yudi, di gendongnya Rizki, sambil mencium pipi gembil putranya.

Terpancar rona bahagia di wajah mereka, terselip rasa rindu dengan kehangatan keluargaku dulu, tapi mengingat goresan luka yang telah mereka torehkan di hatiku, rasanya begitu sesak di dada.

"Rizki, lanjutkan nonton televisinya, ya! Ayah mau bicara sebentar sama Mamah." Mas Yudi menurunkan tubuh Rizki. Bocah lima tahun itu menganggu
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 51

    "Aku licik? Untuk menghadapi orang sepertimu yang sudah berani bermain api denganku, memang harus dengan cara licik, Mas!" ucapku tak mau kalah."Setelah semua uang tabunganku kamu ambil, sekarang galeri juga kau ambil! Apa maumu Sintya?" Mas Yudi tampak gusar."Aku mau melihatmu dan jalangmu menderita, Mas! Sama seperti apa yang kamu lakukan padaku, itu sangat menyakitkan.""Benar-benar kau sudah gila, Sintya!" Mas Yudi tampak begitu marah. Raut wajahnya merah padam."Kau yang mengajariku, Mas! Kau yang memulai bermain gila, jadi aku mengikuti permainanmu," jawabku santai.Aargghh! Brak!Mas Yudi terlihat begitu frustasi, dan menggebrak meja."Ayah! Mah, Ayah kenapa, Mah?" tiba-tiba Rizki berlari menghampiri kami, mungkin mendengar suara ayahnya barusan."Ayah nggak apa-apa, Sayang! Rizki main ke luar dulu, ya! Mamah sama Ayah masih ingin bicara," titahku, ia pun menurutinya dengan wajah tertunduk, ia berjalan pelan keluar."Aku sudah memasukkan berkas perceraian kita, kita tinggal t

    Last Updated : 2022-07-25
  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 52

    Aku masuk ke kamar Rizki dan menutup pintu dengan kasar. Kali ini benar-benar membuatku sebal. Meskipun status mereka sudah suami istri, tapi tetap saja hati ini terasa sesak saat melihat mereka bersama, rasanya aku ingin cepat-cepat mengakhiri ini, agar lebih tenang.Aku meraih ponsel pintarku, dan menghubungi Budi pengacara yang menangani kasus perceraianku.Beberapa kali aku mencoba menghubungi beliau tapi tidak tersambung, saat melihat date di layar ponselku, seketika membuatku menepuk jidat, hari ini hari minggu, sudah pasti Budi sedang menikmati hari liburnya, pantas saja ia tak menjawab panggilan teleponku."Sin, Mas pergi dulu, ya!" Suara Mas Yudi, di balik pintu kamar. Mau pergi, mau kemana, aku tak peduli, tak kuhiraukan pamitnya."Udah lah, Mas! Ngapain juga sih kamu pamit sama Mbak Sintya, lagian kan kamu udah mau ceraikan dia." Ucapan perempuan itu, membuatku geram, aku bangkit dan membuka pintu kamar."Heh, perempuan jalang, tutup mulutmu! Silahkan kalian pergi dari sin

    Last Updated : 2022-07-25
  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 53

    Aku helakan napas panjang, mencoba lebih tenang agar aku bisa menceritakan semuanya sama Ayah."Cucu Ayah baik-baik saja, Yah," jawabku dengan suara parau, dan sesegukan."Sintya dengarkan Ayah, kamu tenang. Ceritakan pelan-pelan sama Ayah, ada apa?"Aku menarik napas panjang, dan menghembuskanya perlahan."Mas Yudi, Yah. Dia selingkuh, sekarang dia sudah menikah siri dengan wanita itu." Tangisku kembali pecah usai mengatakan itu, entah mengapa ada rasa malu mengatakan ini, teringat dulu ayah sempat tak setuju dengan hubunganku dan Mas Yudi, tapi karena ingin melihatku bahagia dengan pilihanku, Ayah akhirnya mengalah."Apa?! Kurang aj*r! Berani-beraninya dia nyakitin kamu. Terus sekarang apa keputusanmu?"Aku ceritakan semua hal yang membuat dada ini sesak, seperti seorang anak kecil yang sedang mengadu pada ayahnya, itu lah yang aku rasakan, dengan sabar Ayah mendengarkan keluh kesahku.Setelah aku curahkan semuanya, hati ini terasa lega, meskipun masalah belum selesai, tapi setidak

    Last Updated : 2022-07-25
  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 54

    Aku ke dapur, dan memasak bahan makanan seadanya di kulkas, hanya ada sayur bayam dan jagung, akhirnya aku masak sayur bening dan bakwan jagung. Tak butuh waktu lama kegiatan masakku selesai. Aku bergegas keluar rumah hendak memanggil Rizki.Baru saja aku melangkah keluar pagar, terlihat seseorang berjalan ke arahku.Aku terdiam sejenak memperhatikan orang itu, semakin dekat dan terlihat wajahnya. Mbak Siska–Kakak iparku.Ada apa dia datang kemari, aku baru teringat tempo hari aku melihat dia berjumpa dengan Eva, ada hubungan apa sebenarnya dia dengan Eva."Sintya!" panggilnya saat kaki ini hendak melangkah."Mbak Siska!" balasku."Kamu mau kemana, masa Mbak baru datang, kamu malah mau pergi," ucapnya melihat gerak gerikku hendak keluar."Nggak kemana-mana kok, Mbak! Tadinya mau panggil Rizki yang masih main di rumah tetangga, Mbak sendiri kok tumben kesini, ada apa?" tanyaku."Yudi mana? Mbak mau ketemu Yudi," cetusnya. Bukanya menjawab pertanyaanku malah dia menanyakan Mas Yudi."Ma

    Last Updated : 2022-07-25
  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 55

    "Apa? Maksud kamu?""Nggak, enggak ada maksud apa-apa, sekarang Mbak udah selesai kan makannya, jadi sekarang gantian aku sama Rizki yang makan, silahkan Mbak hubungi Mas Yudi lagi, jangan ganggu kami lagi makan," jawabku ketus. Terlihat piring Mbak Siska sudah kosong dan masih duduk memainkan gawainya."Jangan lupa di cuci sendiri tuh piringnya, Mbak," ucapku lagi.Mbak Siska langsung menoleh ke arahku, sepertinya tersinggung dengan ucapanku."Kamu nyuruh Mbak? Sintya! Mbak di sini itu tamu, masa di suruh nyuci piring!" sahutnya."Kalo tamu ya harus tau diri donk! Udah numpang makan, ya tau diri cuci sendiri piring bekas makannya, aku nggak nyuruh nyuci semua piring kok!" jawabku tak mau kalah.Mbak Siska berdecak kesal, ia bangkit dan menghentakkan kakinya."Awas ya kamu, Sin! Aku aduin sama Yudi biar kamu di semprot sama dia!" tukasnya."Aduin aja sana! Memangnya aku takut," ucapku sambil memasukkan makanan ke mulutku.Rizki hanya diam menikmati makanannya, sepertinya dia juga sud

    Last Updated : 2022-07-25
  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 56

    Deru suara mobil berhenti di depan rumahku, aku yang memang sudah menunggu kedatangannya, bergegas bangkit untuk membuka pintu. Jam dinding menunjukkan pukul 03.00 dini hari, aku hanya tidur sebentar selepas isya tadi, dan terbangun jam dua belas malam, karena Ayah akan tiba dini hari, jadi mata ini enggan terpejam lagi sampai sekarang.Aku masukkan anak kunci dan memutarnya ke kanan, meraih daun pintu kemudian membukanya.Sosok yang sangat kurindukan, kini ada di hadapanku, ialah pahlawanku, superhero yang selalu aku kagumi, yah beliau ayahku, Imran nama ayahku, datang bersama Nuri adikku yang masih kuliah. Kami dua bersaudara."Ayah!" Teriakku, sedetik kemudian menghambur ke arahnya dan memeluk beliau yang sudah memasuki pagar rumahku, terlihat Nuri masih membayar taksi online itu. Beliau melepaskan Tas travel bag yang ada di tangannya, dan menyambut hangat pelukanku.Aku meraih tangannya dan mencium takzim tangan yang mulai keriput, dengan pembuluh yang timbul di sekitarnya."Kamu

    Last Updated : 2022-07-25
  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 57

    "Rizki di sini aja dulu ya sama Mamah sama Bulek, Mbah mau bicara sama Ayah," titah Ayah pada cucunya yang secara otomatis juga berlaku padaku dan Nuri agar tidak ke depan dulu.Tempe sudah matang, aku segera mengangkatnya dan mematikan kompor."Rizki di sini aja dulu sama Bulek Nuri ya! Nuri, Mbak ke depan dulu ya! Tolong temani Rizki," ucapku, Nuri mengangguk paham.Dengan langkah cepat aku menyusul Ayah yang sudah lebih dulu di depan."A–Ayah!" ucap Mas Yudi dengan ekspresi kaget saat Ayah membuka pintu depan, langkahku terhenti di ambang pintu antara ruang tamu dan ruang tengah."Ayah, kapan datang?" tanya Mas Yudi seraya berjalan mendekat bermaksud hendak meraih tangan Ayah. Wajahnya terlihat pucat.Plak!Namun, bukanya Ayah memberikan tangannya untuk di cium oleh menantunya, justru dengan cepat tangan itu mengayun dan mendarat di pipi kiri Mas Yudi. Wajahnya yang pias kini memerah karena tamparan yang cukup keras.Mas Yudi tertunduk, mungkin ia menyadari apa sebab Ayah menamparn

    Last Updated : 2022-07-25
  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 58

    "Semuanya sudah terlambat Mas! Maaf aku akan tetap melanjutkan gugatan cerai, sebaiknya Mas bersiap, sampai ketemu di pengadilan Mas!" ucapku mantap.Mas Yudi tampak menggelengkan kepalanya, perlahan ia lepaskan genggaman tangannya."Sudah jelas kan Yudi? Niat Sintya sudah bulat," ucap Ayah yang tengah memperhatikan kami."Ayah!" suara Rizki membuat pandangan kami beralih ke arahnya yang tengah berlari ke arah kami."Rizki! Maafkan Ayah ya Nak!" Mas Yudi menyambut hangat, dan mendekap erat tubuh kecilnya.Rizki hanya mengangguk, entah ia paham atau tidak perkataan maaf yang di maksud ayahnya."Ayah Ayo kota makan sama-sama! Sama Mbah Kakung, sama Bulek Nuri juga," ucap anakku pada ayahnya.Mas Yudi mengangguk, akhirnya kami semua duduk dan sarapan bersama, Suasana di meja makan hening, tak ada yang bersuara, hanya ada suara dentingan sendok dan piring yang terdengar bersahutan. "Mah hari ini aku berangkat ke Bimba di antar sama Ayah boleh nggak?" ucapnya tiba-tiba saat baru saja sele

    Last Updated : 2022-07-25

Latest chapter

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 150 (ending)

    Aku tertunduk dalam, lidahku terasa kelu, seolah tak mampu lagi untuk bicara, degup jantungku terasa semakin cepat, ada rasa malu, ada rasa bahagia bersua dengannya, ada rasa takut aku ditolak, semuanya campur aduk jadi satu di dalam sini. Aku hirup udara banyak-banyak, kemudian Perlahan mengangkat wajahku, tampak Hesti masih setia menunggu aku melanjutkan kata-kataku."Mas, semua yang sudah terjadi biarlah terjadi, jadikan itu semua sebagai pelajaran berharga untuk menapaki kehidupan masa depan, agar tak terulang kembali." Pelan Hesti bicara, seolah mengerti apa yang kini kurasakan.Aku mengangguk setuju dengan perkataannya."Beberapa bulan terakhir, kita semakin dekat, dan kurasa tidak ada lagi yang harus kita tunggu, aku berniat ingin meminangmu, jika kau bersedia, aku ingin kau menjadi istriku, tapi ...."Mendengar ucapanku yang menggantung, keningnya mengerenyit, namun ia tak bertanya apapun."Ta–Tapi, aku seperti ini kondisinya, mungkin, bisa dibilang aku lelaki tak tahu malu,

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 149

    Satu Minggu sudah kepergian Mbak Siska, segala tetek bengek keperluan administrasi saat di rumah sakit, Dhani banyak membantu, bahkan tak segan membantu biaya administrasi untuk membawa pulang jenazah Mbak Sintya.Selama tujuh hari kemarin, aku memang mengadakan acara tahlil di rumah, walaupun rumah kecil, aku mengundang tetangga dekat untuk hadir dalam acara tahlil kepergian Mbak Siska, tak lain harapanku hanyalah Doa kebaikan untuk Mbak Siska, semoga Doa dari semua jamaah tahlil bisa mengiringi kepergian Mbak Siska ke alam sana dengan kedamaian.Dua hari acara tahlil, Sintya ikut datang kemari, dan hari ke tiga hingga selesai tujuh hari, Dhani datang berdua dengan Rizki. Karena Sintya kurang enak badan katanya.Tiga hari Mbak Siska berpulang, aku memang izin tak masuk kerja, dan hari keempat hingga tujuh hari aku masuk kerja tapi hanya sampai siang, tak sampai sore, karena aku harus mengurus keperluan acara tahlil, beruntung tetangga di sini semuanya baik dan mau membantu untuk semu

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 148

    Aku lebih dulu ke bagian administrasi untuk mengurus semuanya, setelah semuanya selesai aku melenggang ke Musala rumah sakit ini. Setelah selesai aku kembali ke depan ruang UGD, tapi mereka semua sudah tidak ada di sana. Aku pun langsung masuk ke tempat dimana Mbak Siska terbaring. Kosong. "Maaf Pak, cari pasien atas nama Bu Siska ya?" tanya seorang perawat yang sedang jaga. "I–Iya Sus." "Tadi Dokter memutuskan untuk memindahkan ke ruang ICU Pak, Karen kondisinya Bu Siska terus menurun, ruang ICU ada di sebelah sana Pak," ucap perawat itu sambil menunjuk ke arah dimana ruang ICU itu berada. Degh. Mbak Siska semakin menurun. Sintya dan Dhani pasti sudah ikut ke ruang ICU tadi. "Terimakasih, Sus," ucapku kemudian setengah berlari aku menelusuri lorong rumah sakit menuju ruang ICU. Terlihat Sintya dan Dhani berdiri di depan sebuah ruangan berdinding kaca tebal. Juga ada Rizki diantara mereka. "Sintya, Dhani!" sapaku sembari mengatur napas. "Mbak Siska di dalam, Dokter masih men

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 147

    Sintya membersihkan tangan Mbak Siska. Sedangkan Mbak Siska terlihat begitu lemas."Mas kita bawa Mbak Siska ke rumah sakit sekarang," tegas Sintya."I–Iya Sin.""Ayo Mas cepat, bawa dengan mobilku," ucap Dhani.Dengan sigap aku mengangkat tubuh Mbak Siska, Sintya pun mengekor di belakangku.Dhani yang sudah lebih dulu di depan, segera membuka pintu mobilnya, kemudian duduk di belakang kemudi, tak berapa lama Sintya dan Rizki, muncul dari dalam rumah, dan masuk ke dalam mobil, dengan langkah cepat, aku kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil dompet dan ponselku, juga mengunci pintu.Setelah itu aku pun ikut masuk mobil dan duduk di samping Dhani. Dhani mulai melajukan mobilnya. Aku menoleh ke belakang, tampak Mbak Siska terkulai lemah tak berdaya.Aku mohon Mbak, bertahanlah.Dhani mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, kami yang berada di dalam mobil, terdiam dengan pikiran masing-masing, Sintya menggenggam erat jemari Mbak Siska, seolah menyalurkan kekuatan d

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 146

    "Cukup Mbak! Maaf saya bukan lelaki seperti itu. Jika Mbak Mau, silahkan cari orang lain, tapi bukan saya! Permisi!" Aku melenggang masuk usai mengucapkan itu, kemudian membuka pintu dan menutup serta mengunci pintunya, masih jelas kulihat bibirnya mencebik seperti tak suka dengan penolakan yang tadi aku katakan. Ada yah, wanita semurahan itu, bahkan menawarkan diri seperti itu. Memang awal aku tinggal di sini, dan berkenalan dengan Susi, kami sempat ngobrol dan Dia bertanya apa tidak ada niat untuk menikah lagi, dan waktu itu aku jawab belum ingin menikah lagi, karena memang aku belum menemukan sosok yang pas untuk mengisi ruang hati ini. Tapi bukan berarti aku mau menikah dengan Susi, Dia bukan wanita yang aku idamkan menjadi istri. Aku menarik napas panjang dan menghembuskanya perlahan, usai menutup rapat pintu rumah ini, tak kuperdulikan Susi yang masih berdiri di halaman rumah.Bergegas aku masuk untuk menengok kondisi Mbak Siska, Ia masih terbaring di tempat tidur, kemudian m

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 145

    Pagi ini seperti biasa aku akan bekerja, sebelum berangkat aku siapkan makanan untuk aku dan Mbak Siska sarapan, juga untuk Mbak Siska makan siang, semenjak Dia sakit aku memang harus ekstra melakukan ini dan itu agar Mbak Siska tidak perlu repot memasak untuk makan siangnya.Setelah semuanya siap, aku mengajaknya sarapan, aku tatap wajah yang kian hari kian pucat itu."Mbak hari ini kita ke rumah sakit aja yuk," ajakku."Ah, tak perlu lah Yud, kamu juga kan harus kerja, lagian obat Mbak yang dari klinik juga masih ada," tolaknya."Mbak, soal kerjaan gampang, aku bisa ijin datang siang hari setelah mengantar Mbak dari rumah sakit." Lagi aku berusaha meyakinkan Mbak Siska, apapun alasannya kesehatannya adalah jauh lebih penting."Gampang nanti saja Yud, nunggu obat yang sekarang ini habis aja, ya!" "Hm, baiklah kalau begitu Mbak. Yudi cuma pengin Mbak bisa segera sembuh," pungkasku.Usai sarapan aku langsung berangkat ke tempat kerjaku. Entah mengapa aku merasa Mbak Siska seolah pasra

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 144

    Aku tersenyum dan kembali mendaratkan bobotku di sampingnya."Iya, Mbak. Aku baru pulang. Maaf ya Mbak, Yudi pulang malam karena memang baru selesai." Mbak Siska mengangguk."Mbak sudah makan? Obatnya sudah di minum?" tanyaku."Sudah, kamu sendiri sudah makan?" "Sudah Mbak, tadi makan di sana.""Gimana keadaan Mbak? Apa kita ke rumah sakit aja besok?" tawarku sesungguhnya aku tak tega melihat kondisinya yang semakin menurun. Tubuhnya kurus, kelopak matanya cekung, dengan bibir memucat, di tambah lagi batuk yang tak kunjung sembuh."Tak perlu lah Yud, lagi pula ke rumah sakit kan biayanya mahal, kita ndak punya banyak uang, Mbak nggak mau di sisa umur Mbak hanya merepotkan dan menjadi beban kamu," ucapnya lirih."Tapi Mbak, kondisi Mbak Siska makin menurun, Yudi nggak tega Mbak."Walaupun uang yang kupunya masih belum banyak tapi setidaknya cukup untuk berobat Mbak Siska.Namun, lagi-lagi Mbak Siska menolak untuk berobat ke rumah sakit. "Ya sudah sekarang sudah malam, Mbak istirahat

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 143

    Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tak pernah lepas dari ketentuan-Nya. Manusia di ciptakan dengan karakter dan watak yang berbeda, pun dengan nasib yang berbeda-beda, jika saat ini nasib kami seperti ini, mungkin ini adalah akibat dari perbuatan buruk di masa lalu.Setiap orang pasti akan menuai apa yang ditanamnya, hanya dengan Doa yang tulus aku persembahkan, agar Allah berkenan mengampuni semua dosa khilafku di masa lalu itu, karena kini aku hanya ingin hidup tenang dan tentram, dengan lembaran baru. Aku hanya ingin hidupku ke depan, lebih baik, dan lebih bermakna.Hari terus berganti hingga kini satu bulan sudah aku melewati waktu, kondisi kesehatan Mbak Siska makin menurun, badannya pun kurus, saat aku ajak untuk berobat ke rumah sakit, Ia selalu menolak, dengan berbagai alasan. Aku paham Mbak Siska mungkin berpikir seribu kali untuk berobat ke rumah sakit karena memikirkan biaya, kami berdua, untuk hidup dan makan saja pas-pasan. Penghasilanku bekerja di tempat fotokopi,

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 142

    Hingga adzan Maghrib berkumandang, Pakde Mul mengajakku untuk salat berjamaah di masjid tak jauh dari rumah ini. Aku merasa seolah memiliki keluarga baru di sini, walaupun aku bukan siapa-siapa Mereka.Selepas Maghrib Ibunya Hesti mempersilahkan kami untuk makan bersama di ruang tengah, ada pula Bude Ning dan suaminya, Ibunya Hesti dan Hesti. Kami semua makan lesehan di ruang tengah, makanan yang tersaji bukanlah makanan mewah, tapi sangat enak dan dinikmati bersama. Beberapa kali aku melirik ke arah wanita cantik yang duduk di depanku, entah kenapa senyuman itu membuatku ingin selalu meliriknya.Setelah selesai makan, aku ngobrol-ngobrol santai dengan Pakde Mul, yang merupakan Suaminya Bude Ning, beliau seorang petani. Melihat perawakannya aku jadi teringat Pak Imran ayahnya Sintya. Jujur masih terselip di dalam sini rasa bersalah yang begitu besar terhadap Beliau. "Sudah mulai larut, saya pamit dulu Pakde," pamitku.Melihatku ngobrol dengan Pakde Mul, Hesti lebih banyak di dalam. K

DMCA.com Protection Status