"Apa?!" teriak Rizal pada Hesti lawan bicaranya di telepon. Aku terkejut, mungkinkah ada terjadi sesuatu di galeri.
"Oke Hes, aku segera kembali ke galeri sekarang juga!" ucap Rizal lalu mematikan panggilan.
"Mbak aku harus kembali ke galeri sekarang!"
"Ada apa Zal?" tanyaku penasaran.
"Nanti aku ceritakan via telepon ya, Mbak! Assalamualaikum," ucap Rizal dan buru-buru pergi meninggalkan kami.
Rizki yang sedang asyik dengan es krimnya seketika melongo melihat tingkah Rizal yang pergi begitu saja tanpa berpamitan dengannya.
"Om Rizal kenapa, Mah? Kok tiba-tiba pergi?"
"Nggak ada apa-apa, Sayang! Om Rizal ada urusan mendadak jadi harus buru-buru pergi, udah habis belum es krimnya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Belum Mah, ini dikit lagi," jawabnya sambil tangannya mengumpulkan sisa-sisa es krim yang tinggal sedikit.
"Habiskan terus kita pulang ya, Sayang!"
Rizki mengangguk pelan.
*********
Kami tiba di rumah menjelang tengah hari, Rizki langsung masuk ke kamarnya dan ganti baju sendiri, meskipun baju seragamnya masih tergeletak di sisi ranjang, aku membereskan semua. Usai ganti baju Rizki langsung ke berlari ke ruang tengah dan sibuk dengan mainanya.
Aku berjalan menuju ke dapur, sudah waktunya Rizki makan siang.
Plak, Prang!
Suara benda jatuh dan pecah, aku terkejut seketika membalikkan badanku, ternyata tak sengaja saat berjalan tubuhku menyenggol bingkai foto yang terpajang di meja ruang tengah. Aku berjongkok dan mengambil bingkai foto yang sudah retak bahkan pecahan belingnya sudah berserakan, sebuah Foto pernikahanku dengan Mas Yudi.
Pandanganku menerawang, Foto ini terjatuh di saat bersamaan dengan retaknya rumah tanggaku, apa ini sebuah firasat buruk Ya Allah, akankah rumah tanggaku juga akan hancur seperti bingkai ini. Tak terasa kedua netraku mulai meremang dan tak mampu lagi membendung bulir bening yang menyesak keluar.
"Mah, Mamah kenapa?" seru Rizki yang berlari menghampiriku.
"Mamah nggak apa-apa, Sayang! Aauu!" sahutku menoleh ke arah Rizki, tapi naas, tak sengaja pecahan beling itu menggores jari telunjukku.
"Mamah,tangan mamah berdarah Mah!" teriak Rizki yang melihat darah segar mengalir dari jariku.
kemudian ia berlari ke dapur mengambil sesuatu di laci dapur.
"Ini Mah, pake obat Mah!" Rizki menyerahkan kotak P3K padaku, segera kubuka dan meneteskan betadine pada lukaku, kemudan Rizki menyerahkan sebuah han*saplast untuk membalut jariku yang terluka.
"Mamah nggak apa-apa,Sayang! Makasih ya, Rizki pinter," ucapku tersenyum pada jagoan kecilku.
"Iya, Mah! Rizki sayang sama Mamah!" ucapnya polosnya membuat hati ini terharu. Aku memeluknya, terimakasih Ya Allah, Kau telah memberikan aku kekuatan lewat putraku, untuk menghadapi cobaan ini.
"Mamah juga sayang sama Rizki, jadi anak yang baik ya, Nak! Sekarang ambilkan sapu sama pengki di samping ya!" ucapku saat melepaskan pelukan. Ia mengangguk dan sekejap kemudian berlari memenuhi perintahku.
Tak berapa lama datang dengan membawa apa yang aku minta. Aku menutup bingkai foto yang tanpa kaca itu di meja, dan membersihkan pecahan kaca yang berserakan di lantai. Setelah semua selesai aku mengajak Rizki untuk makan siang.
"Rizki! Makan dulu, yuk!" Ia berlari menuju meja makan tempatku berada. Nasi dan sayur serta lauknya sudah aku hidangkan.
"Berdoa dulu sayang," ucapku saat melihatnya sudah bersiap menyendok nasi.
"Oh iya,Rizki lupa," jawabnya terkekeh, kemudian dengan lancar ia lafalkan doa sebelum makan.
Aku termenung melihat anakku begitu lahap makan, Rizki anak yang ceria, apakah nanti ia akan kehilangan kasih sayang dari seorang ayah, jika nanti rumah tangga ini tak bisa di pertahankan, sungguh kasihan kamu, Nak! Maafkan Mamah, jika mamah tak bisa lagi bertahan dengan ayahmu, Nak! Aku masih menatap Rizki sendu.
"Mamah, ko sedih? Mamah mau aku suapin?" tanya Rizki menatapku, sebisa mungkin kutahan bulir ini agar tak jatuh. Rizki kau memang malaikat kecilku, pelipur laraku.
"Nggak Sayang, Mamah nggak apa-apa." Aku menggeleng, dan kulihat piringnya sudah kosong.
"Rizki mau tambah lagi?" tanyaku lagi.
"Nggak, ah! Rizki udah kenyang," jawabnya sambil menggeleng kemudian mencuci tangannya di wastafel. Aku memandangi punggungnya yang menjauh kembali pada mainan mobil-mobilan miliknya.
Tiba-tiba terdengar suara motor berhenti di depan rumah, itu suara motornya Mas Yudi, tumben dia sudah pulang jam segini, gumamku. Tanpa pikir panjang, aku ke depan, baru saja aku melenggang di ruang tengah, Mas Yudi sudah masuk.
"Sintya! Kamu tadi siang ke galeri?
"Bisa nggak sih Mas, kalo masuk rumah itu Salam dulu! Iya, Tadi aku ke galery, tapi kamu nggak ada, kamu kemana, Mas?" tanyaku serius.
"Aku tadi ada urusan di luar, sama klien." Kilahnya.
"Urusan sama Klien atau sama perempuan lain, Mas!" teriakku penuh penekanan. Mas Yudi terlihat sedikit kaget mendengar ucapanku.
"Sama klien, Sin! Dan kebetulan kliennya perempuan," jawab Mas Yudi, ia terlihat gugup.
"Lagian kamu tumben sih datang ke geleri, ada apa?" tambahnya lagi balik bertanya.
Aku masih menatapnya dengan melipat tanganku. Menandakan bahwa aku sedang tidak baik-baik saja, namun Mas Yudi bersikap biasa seakan berusaha menepis rasa kecurigaanku.
Hello! Aku bukan anak kecil yang gampang kamu bodoh-bodohin ya, Mas! Aku udah tau semuaya dan sampai detik ini kamu masih terus membohongiku Mas, Aku menggeleng pelan.
"Bukankah galeri itu milikku juga, jadi aku bebas donk datang ke sana kapanpun aku mau, kenapa kamu bingung? Bukankah dulu juga aku hampir setiap hari ke sana?" sungutku.
"Iya Mas tau, tapi kamu kan bisa kabarin Mas dulu sebelum ke sana, jadi Mas kan nggak kemana-mana," ujarnya dengan mengulas senyum yang terlihat dipaksakan.
Aku mencebik, mendengar alasan Mas Yudi, bilang biar kamu nggak ketahuan selingkuh di galeri Mas, Aku akan ikuti permainan kamu Mas, dan kita akan lihat siapa yang akan jatuh lebih dulu, aku atau kamu dengan jalangmu itu!
"Sintya kamu kenapa, Sih! Nggak kaya biasanya," ucapnya lagi.
"Ayah!" Teriak Rizki tiba-tiba dan langsung menghampiri ayahnya.
"Rizki, lagi ngapain?" tanyanya mensejajarkan tubuhnya dengan bocah Lima tahun itu.
"Ayo Yah, main sama aku," rengek Rizki pada ayahnya. Aku melengos meninggalkan mereka, tak kuhiraukan pertanyaan dari Mas Yudi itu.
Aku melanjutkan mencuci piring yang sempat aku tinggalkan tadi, dan kuliihat Rizki masih bergelayut sama Mas Yudi,
"Rizki, Ayah maem dulu ya, nanti baru main sama Rizki," ujar Mas Yudi saat sampai meja makan.
"Masih ada makanan kan, Sin?" tanya Mas Yudi menoleh ke arahku yang sedang mencuci tangan.
"Tuh masih ada!" jawabku singkat dengan menunjuk meja dengan daguku.
"Rizki, sekarang waktunya bobok siang, yuk!" ujarku meraih tangan mungilnya, dan kulihat Mas Yudi membuka tudung saji, dan kemudian melirikku.
"Kenapa, Mas? Itu masih ada makanan, kan?"
"Iya kali Mas cuma makan nasi putih doank, Sin!" jawabnya sedikit kesal.
"Kalau kamu mau lauk, goreng aja telor tuh di kulkas ada? Kamu kan biasanya makan siang di galeri, jadi aku nggak sisain lauk buat kamu lah!" Jawabku lalu melenggang pergi ke kamar Rizki.
Terdengar ia membuka kulkas dan menggoreng telur untuk makan dirinya sendiri.
Rizki merebahkan tubuhnya di ranjang kamarnya, dan aku duduk di sampingnya, tak berapa lama ia pun terlelap karena ia sudah biasa tidur siang.
Baru saja aku ingin beranjak, ponsel di saku gamisku bergetar. Segera aku merogoh benda pipih kesayanganku itu, dan membukanya.
Sebuah pesan masuk itu mampu membuat mataku membulat sempurna melihat isi pesan itu.
Bersambung .
Baru saja aku ingin beranjak, ponsel di saku gamisku bergetar. Segera aku merogoh benda pipih kesayanganku itu, dan membukanya.Sebuah pesan masuk itu mampu membuat mataku membulat sempurna melihat isi pesan itu.Pesan itu adalah sebuah potongan video yang di kirim Rizal, pada video terlihat jelas Mas Yudi berjalan mesra dengan seorang wanita, aku yakin dia wanita yang bernama Eva. Di video itu terlihat jelas Eva sedang bergelayut manja di pundak Mas Yudi, Mas Yudi pun tampak senang dengan sikap Eva, terlihat sesekali ia mencubit hidung wanita dengan rambut sebahu dan perparas cantik itu.Melihat video itu, hatiku semakin geram, rasanya ingin aku cakar muka perempuan penggoda itu. "Sintya! Aku pergi ke galeri lagi ya!" teriak Mas Yudi, yang sepertinya suaranya dari ruang tamu. Aku tak menjawab, biarlah ia mengira aku tidur siang bersama Rizki, dan seperti kemarin-kemarin ia pergi seperti tak ada beban. Biarlah ia menikmati semua ini, tapi saatnya nanti aku bertindak, kau pasti akan m
Suara seseorang mengetuk pintu, itu pasti Hana pikirku. Segera aku melangkahkan kaki menuju pintu depan, kusingkap sedikit gorden jendela untuk memastikan apakah benar Hana atau bukan. Ternyata benar itu Hana.Hana sudah berada di ambang pintu saat pintu terbuka."Sintya!" teriaknya memelukku dengan hangat, sudah agak lama memang aku kami jarang bertemu, sejak aku mulai sibuk mengurus rumah tanggaku, dan Hana sibuk dengan karirnya."Hana! Masuk, Han!" ucapku tersnyum pada wanita berhijab yang masih betah melajang ini. "Sintya, Rizki lagi tidur?" tanyanya melihat suasana rumahku yang sunyi. Yah, jika ada Rizki suasana rumah selalu ramai oleh tingkahnya. Aku mengangguk. "Ayo kita ngobrol di dalam, Han!" ajakku, dan di angguki olehnya.Kami duduk di sofa ruang tengah, aku melenggang ke dapur untuk mengambil minuman dingin dan beberapa camilan untuk sahabatku ini."Sin, nggak perlu repot-repot lah, kaya sama siapa aja, aku kan udah biasa main kesini. Selalu saja kau merepotkan dirimu se
POV YudiSetelah pulang kerja nanti, aku berniat akan mengunjungi rumah kekasihku Eva. Wanita cantik yang sudah sebulan ini menjalin hubungan denganku.Tak lupa aku mengirim pesan pada istriku Sintya kalau hari ini aku akan pulang malam, dengan alasan ada urusan pekerjaan.Entah mengapa kehidupanku aku merasa hidupku dengan Sintya yang itu-itu saja membuatku sedikit merasa jenuh dan hambar. Dan semuanya terasa berwarna saat dua bulan lalu Eva menjalin kerjasama dengan bisnis dekorku. Eva yang terus menggodaku dengan sikap manis dan manjanya membuat aku terlena dan menjalin hubungan dengannya, dia pun tau aku sudah beristri, tapi itu tak menjadi masalah baginya. Bahkan bersedia menjadi istri keduaku.Satu-satunya orang yang mengetahui kedekatanku dengan Eva adalah Rizal, dia orang kepercayaanku, yang sering mewakiliku dalam urusan pekerjaan. Aku yakin ia akan diam dan tutup mulut dari siapapun dan tak kan mengkhianati kepercayaanku. Aku dan Eva semakin sering bertemu di luar urusan pe
Aku duduk santai di sofa ruang tamunya. Eva memang tinggal sendirian, kedua orangtuanya tinggal di luar kota. Tanpa terasa aku terlelap, dan di kagetkan saat Eva sudah duduk di sampingku."Mas, kamu tidur? Capek ya? Sini aku pijitin," ucapnya lalu tangannya memijit lengan kananku."Makasih ya, Sayang! Kamu tau aja kalau aku lagi capek!" ujarku melirik ke arah wanita cantik di sampingku."Iya donk, aku kan sayang kamu." Eva menggoda dengan senyum manisnya, telihat deretan rapi gigi putihnya."Kamu udah makan?" tanyaku."Belum, Mas! Aku kan nungguin kamu, biar bisa dinner sama kamu, Mas!" ucapnya manja. Aku senang dengan tingkah manjanya."Ya udah nanti kita makan di luar ya!" sahutku mencubit hidungnya.Eva terlihat tersipu malu, dengan kedua pipinya merona dan menyandarkan kepalanya di dada bidangku. Aku mengelus rambut hitamnya dan kukecup pucuk kepalanya. Dia pun memejamkan matanya, menikmati perlakuanku. Kecupanku berpindah di kedua pipinya, hingga membuat hasratku meningkat, dan i
POV Sintya"Kamu ada ide Brilian apa, Han?" tanyaku cepat dengan rasa penasaran. Dan Hana kembali tersenyum."Kita akan menangkap Basah mereka, Sin!" ujarnya menatapku."Caranya?" tukasku yang masih bingung dengan ide nya Hana."Mas Yudi biasanya pulang Dari Galeri jam berapa?""Sekitar jam lima sore," jawabku"Jam lima sore nanti kita akan ke galeri, dan kita akan mengikuti kemana Mas Yudi pergi, jika benar ia akan bertemu dengan Eva, kita akan menangkap basah mereka. Hingga mereka tak akan bisa berkelit."Aku mengangguk menyetujui ide Hana."Tapi bagaimana dengan Rizki, tak mungkin kan aku bawa Rizki untuk ikut serta melihat kelakuan ayahnya," ucapku. Hana terlihat berpikir, bola matanya sesekali memutar ke atas mencari solusi.Aku memang tak punya sanak saudara di sini, aku asli dari Jawa tengah, dan ikut sama Mas Yudi ke sini, di kota Surabaya, sedangkan kedua orang tua Mas Yudi sudah lama meninggal."Hmm, Rizki kita titipkan dulu aja dulu, Gimana?" ucapnya saat menemukan solusi.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu, kenapa aku tidak terpikirkan samasekali untuk datang ke alamat rumah Eva. Aku menepuk jidatku merutuki kelalaianku sendiri. Aku mencekal lengan Hana yang mulai beranjak usai memakai sepatunya."Tunggu Han! Kenapa kita nggak terpikirkan untuk datang ke rumah Eva, kan aku ada alamatnya info dari Rizal kemarin!" ucapku pada Hana, dia sontak menjitak pelan kepalaku. Aku hanya nyengir.Saat kami berjalan menuju motor yang terparkir, tiba-tiba ponselku berdering, tertera nama Rizal di layar ponselku. Segera aku geser tombol warna hijau."Halo Assalamualaikum Zal!""Waalaikumsalam, Mbak Sintya! Segera buka pesan dari aku Mbak!" ucapnya langsung tanpa basa basi.Seketika aku melihat tirai layar ponselku, ah benar ternyata Rizal telah mengirimkan pesan sepuluh menit yang lalu."Oke Zal! Mbak segera buka pesan darimu ya!" "Oke, Mbak!" Rizal mengakhiri panggilan usai berpamitan. Segera aku buka pesan dari Rizal, ternyata isi pesannya sebuah gambar, dengan capti
Tanpa pikir panjang aku raih daun pintu dan membukanya dengan kasar, beruntung pintu itu tak terkunci, entah apa yang ada pikiran mereka sampai lupa mengunci pintu depan dan pintu kamar, atau mungkin ini cara Allah tunjukkan padaku untuk menangkap basah perbuatan hina mereka.Braak!Pintu kamar itu terbuka lebar dengan sekali hentak.Seketika mataku membulat sempurna seakan mau lompat dari tempatnya, darahku seakan naik dengan cepat hingga ke ubun-ubun, melihat pemandangan yang ada di hadapanku, disertai napas naik turun.Lidahku rasanya kelu menyaksikan orang yang masih sah menjadi suamiku kini sedang melakukan hubungan layaknya suami istri dengan wanita lain yang jelas-jelas bukan muhrimnya.Aku menutup mulut ini rapat-rapat dengan jari tanganku. Melihat dua manusia tak ada akhlak itu."S–Sintya!" Mas Yudi terlonjak dari ranjang, ucapanya terbata, saat melihatku membuka pintu kamar itu dengan kasar, ia pasti kaget tentunya. Mungkin ia tak pernah menyangka aku bisa berdiri di sini se
Aku beringsut mundur dan menarik tangan Hana untuk keluar dari rumah itu, terlihat Mas Yudi gusar duduk di tepi ranjang, menyugar rambutnya, dan menutup wajah dengan kedua tangannya. Aku dan Hana keluar, dan aku tutup kembali pintu kamar dengan keras, tak peduli jika pintu itu rusak atau jebol, biar sama dengan penghuninya yang rusak.Dengan langkah cepat aku dan Hana keluar rumah itu."Sin, tunggu!" Tiba-tiba Mas Yudi mencekal pergelangan tanganku. Aku hempasan dengan kasar, dengan sekali hentak tangan Mas Yudi terlepas dan melanjutkan langkahku tanpa menoleh Mas Yudi yang masih terpaku, menyusul Hana yang sudah duduk menunggu di motor."Ayo Han!" ucapku saat sudah duduk di jok belakang Hana. Hana melajukan motorku membelai jalanan yang mulai sepi karena kegelapan malam, Sepanjang perjalanan kami saling diam, mungkin Hana ingin memberiku waktu untuk menenangkan diri setelah peristiwa tadi. Aku melirik jam tanganku, waktu sudah menunjukkan jam sembilan malam.Ah Rizki, ini sudah wak
Aku tertunduk dalam, lidahku terasa kelu, seolah tak mampu lagi untuk bicara, degup jantungku terasa semakin cepat, ada rasa malu, ada rasa bahagia bersua dengannya, ada rasa takut aku ditolak, semuanya campur aduk jadi satu di dalam sini. Aku hirup udara banyak-banyak, kemudian Perlahan mengangkat wajahku, tampak Hesti masih setia menunggu aku melanjutkan kata-kataku."Mas, semua yang sudah terjadi biarlah terjadi, jadikan itu semua sebagai pelajaran berharga untuk menapaki kehidupan masa depan, agar tak terulang kembali." Pelan Hesti bicara, seolah mengerti apa yang kini kurasakan.Aku mengangguk setuju dengan perkataannya."Beberapa bulan terakhir, kita semakin dekat, dan kurasa tidak ada lagi yang harus kita tunggu, aku berniat ingin meminangmu, jika kau bersedia, aku ingin kau menjadi istriku, tapi ...."Mendengar ucapanku yang menggantung, keningnya mengerenyit, namun ia tak bertanya apapun."Ta–Tapi, aku seperti ini kondisinya, mungkin, bisa dibilang aku lelaki tak tahu malu,
Satu Minggu sudah kepergian Mbak Siska, segala tetek bengek keperluan administrasi saat di rumah sakit, Dhani banyak membantu, bahkan tak segan membantu biaya administrasi untuk membawa pulang jenazah Mbak Sintya.Selama tujuh hari kemarin, aku memang mengadakan acara tahlil di rumah, walaupun rumah kecil, aku mengundang tetangga dekat untuk hadir dalam acara tahlil kepergian Mbak Siska, tak lain harapanku hanyalah Doa kebaikan untuk Mbak Siska, semoga Doa dari semua jamaah tahlil bisa mengiringi kepergian Mbak Siska ke alam sana dengan kedamaian.Dua hari acara tahlil, Sintya ikut datang kemari, dan hari ke tiga hingga selesai tujuh hari, Dhani datang berdua dengan Rizki. Karena Sintya kurang enak badan katanya.Tiga hari Mbak Siska berpulang, aku memang izin tak masuk kerja, dan hari keempat hingga tujuh hari aku masuk kerja tapi hanya sampai siang, tak sampai sore, karena aku harus mengurus keperluan acara tahlil, beruntung tetangga di sini semuanya baik dan mau membantu untuk semu
Aku lebih dulu ke bagian administrasi untuk mengurus semuanya, setelah semuanya selesai aku melenggang ke Musala rumah sakit ini. Setelah selesai aku kembali ke depan ruang UGD, tapi mereka semua sudah tidak ada di sana. Aku pun langsung masuk ke tempat dimana Mbak Siska terbaring. Kosong. "Maaf Pak, cari pasien atas nama Bu Siska ya?" tanya seorang perawat yang sedang jaga. "I–Iya Sus." "Tadi Dokter memutuskan untuk memindahkan ke ruang ICU Pak, Karen kondisinya Bu Siska terus menurun, ruang ICU ada di sebelah sana Pak," ucap perawat itu sambil menunjuk ke arah dimana ruang ICU itu berada. Degh. Mbak Siska semakin menurun. Sintya dan Dhani pasti sudah ikut ke ruang ICU tadi. "Terimakasih, Sus," ucapku kemudian setengah berlari aku menelusuri lorong rumah sakit menuju ruang ICU. Terlihat Sintya dan Dhani berdiri di depan sebuah ruangan berdinding kaca tebal. Juga ada Rizki diantara mereka. "Sintya, Dhani!" sapaku sembari mengatur napas. "Mbak Siska di dalam, Dokter masih men
Sintya membersihkan tangan Mbak Siska. Sedangkan Mbak Siska terlihat begitu lemas."Mas kita bawa Mbak Siska ke rumah sakit sekarang," tegas Sintya."I–Iya Sin.""Ayo Mas cepat, bawa dengan mobilku," ucap Dhani.Dengan sigap aku mengangkat tubuh Mbak Siska, Sintya pun mengekor di belakangku.Dhani yang sudah lebih dulu di depan, segera membuka pintu mobilnya, kemudian duduk di belakang kemudi, tak berapa lama Sintya dan Rizki, muncul dari dalam rumah, dan masuk ke dalam mobil, dengan langkah cepat, aku kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil dompet dan ponselku, juga mengunci pintu.Setelah itu aku pun ikut masuk mobil dan duduk di samping Dhani. Dhani mulai melajukan mobilnya. Aku menoleh ke belakang, tampak Mbak Siska terkulai lemah tak berdaya.Aku mohon Mbak, bertahanlah.Dhani mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, kami yang berada di dalam mobil, terdiam dengan pikiran masing-masing, Sintya menggenggam erat jemari Mbak Siska, seolah menyalurkan kekuatan d
"Cukup Mbak! Maaf saya bukan lelaki seperti itu. Jika Mbak Mau, silahkan cari orang lain, tapi bukan saya! Permisi!" Aku melenggang masuk usai mengucapkan itu, kemudian membuka pintu dan menutup serta mengunci pintunya, masih jelas kulihat bibirnya mencebik seperti tak suka dengan penolakan yang tadi aku katakan. Ada yah, wanita semurahan itu, bahkan menawarkan diri seperti itu. Memang awal aku tinggal di sini, dan berkenalan dengan Susi, kami sempat ngobrol dan Dia bertanya apa tidak ada niat untuk menikah lagi, dan waktu itu aku jawab belum ingin menikah lagi, karena memang aku belum menemukan sosok yang pas untuk mengisi ruang hati ini. Tapi bukan berarti aku mau menikah dengan Susi, Dia bukan wanita yang aku idamkan menjadi istri. Aku menarik napas panjang dan menghembuskanya perlahan, usai menutup rapat pintu rumah ini, tak kuperdulikan Susi yang masih berdiri di halaman rumah.Bergegas aku masuk untuk menengok kondisi Mbak Siska, Ia masih terbaring di tempat tidur, kemudian m
Pagi ini seperti biasa aku akan bekerja, sebelum berangkat aku siapkan makanan untuk aku dan Mbak Siska sarapan, juga untuk Mbak Siska makan siang, semenjak Dia sakit aku memang harus ekstra melakukan ini dan itu agar Mbak Siska tidak perlu repot memasak untuk makan siangnya.Setelah semuanya siap, aku mengajaknya sarapan, aku tatap wajah yang kian hari kian pucat itu."Mbak hari ini kita ke rumah sakit aja yuk," ajakku."Ah, tak perlu lah Yud, kamu juga kan harus kerja, lagian obat Mbak yang dari klinik juga masih ada," tolaknya."Mbak, soal kerjaan gampang, aku bisa ijin datang siang hari setelah mengantar Mbak dari rumah sakit." Lagi aku berusaha meyakinkan Mbak Siska, apapun alasannya kesehatannya adalah jauh lebih penting."Gampang nanti saja Yud, nunggu obat yang sekarang ini habis aja, ya!" "Hm, baiklah kalau begitu Mbak. Yudi cuma pengin Mbak bisa segera sembuh," pungkasku.Usai sarapan aku langsung berangkat ke tempat kerjaku. Entah mengapa aku merasa Mbak Siska seolah pasra
Aku tersenyum dan kembali mendaratkan bobotku di sampingnya."Iya, Mbak. Aku baru pulang. Maaf ya Mbak, Yudi pulang malam karena memang baru selesai." Mbak Siska mengangguk."Mbak sudah makan? Obatnya sudah di minum?" tanyaku."Sudah, kamu sendiri sudah makan?" "Sudah Mbak, tadi makan di sana.""Gimana keadaan Mbak? Apa kita ke rumah sakit aja besok?" tawarku sesungguhnya aku tak tega melihat kondisinya yang semakin menurun. Tubuhnya kurus, kelopak matanya cekung, dengan bibir memucat, di tambah lagi batuk yang tak kunjung sembuh."Tak perlu lah Yud, lagi pula ke rumah sakit kan biayanya mahal, kita ndak punya banyak uang, Mbak nggak mau di sisa umur Mbak hanya merepotkan dan menjadi beban kamu," ucapnya lirih."Tapi Mbak, kondisi Mbak Siska makin menurun, Yudi nggak tega Mbak."Walaupun uang yang kupunya masih belum banyak tapi setidaknya cukup untuk berobat Mbak Siska.Namun, lagi-lagi Mbak Siska menolak untuk berobat ke rumah sakit. "Ya sudah sekarang sudah malam, Mbak istirahat
Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tak pernah lepas dari ketentuan-Nya. Manusia di ciptakan dengan karakter dan watak yang berbeda, pun dengan nasib yang berbeda-beda, jika saat ini nasib kami seperti ini, mungkin ini adalah akibat dari perbuatan buruk di masa lalu.Setiap orang pasti akan menuai apa yang ditanamnya, hanya dengan Doa yang tulus aku persembahkan, agar Allah berkenan mengampuni semua dosa khilafku di masa lalu itu, karena kini aku hanya ingin hidup tenang dan tentram, dengan lembaran baru. Aku hanya ingin hidupku ke depan, lebih baik, dan lebih bermakna.Hari terus berganti hingga kini satu bulan sudah aku melewati waktu, kondisi kesehatan Mbak Siska makin menurun, badannya pun kurus, saat aku ajak untuk berobat ke rumah sakit, Ia selalu menolak, dengan berbagai alasan. Aku paham Mbak Siska mungkin berpikir seribu kali untuk berobat ke rumah sakit karena memikirkan biaya, kami berdua, untuk hidup dan makan saja pas-pasan. Penghasilanku bekerja di tempat fotokopi,
Hingga adzan Maghrib berkumandang, Pakde Mul mengajakku untuk salat berjamaah di masjid tak jauh dari rumah ini. Aku merasa seolah memiliki keluarga baru di sini, walaupun aku bukan siapa-siapa Mereka.Selepas Maghrib Ibunya Hesti mempersilahkan kami untuk makan bersama di ruang tengah, ada pula Bude Ning dan suaminya, Ibunya Hesti dan Hesti. Kami semua makan lesehan di ruang tengah, makanan yang tersaji bukanlah makanan mewah, tapi sangat enak dan dinikmati bersama. Beberapa kali aku melirik ke arah wanita cantik yang duduk di depanku, entah kenapa senyuman itu membuatku ingin selalu meliriknya.Setelah selesai makan, aku ngobrol-ngobrol santai dengan Pakde Mul, yang merupakan Suaminya Bude Ning, beliau seorang petani. Melihat perawakannya aku jadi teringat Pak Imran ayahnya Sintya. Jujur masih terselip di dalam sini rasa bersalah yang begitu besar terhadap Beliau. "Sudah mulai larut, saya pamit dulu Pakde," pamitku.Melihatku ngobrol dengan Pakde Mul, Hesti lebih banyak di dalam. K