Seketika pandanganku meremang, aku kaget bukan kepalang, mendengar suara seorang perempuan yang mengangkat panggilanku. Asupan oksigen dalam tubuhku seakan menipis, dengan dada naik turun. Aku mencoba tenang, kutarik napas panjang dan menghembuskannya pelan.
"Halo, Ini siapa? Kenapa ponsel suami saya ada sama kamu! Mana Mas Yudi?" ucapku terang tanpa basa-basi.
Tuuut.
Aku mendengkus kasar, Ck, dia mematikan sambungan teleponnya. Pasti Mas Yudi sedang bersama perempuan itu, batinku geram.
Waktu masih menunjukkan pukul 09.02 itu artinya masih ada waktu untukku sebelum menjemput Rizki. Tanpa pikir panjang lagi, aku raih kunci motor dan melajukan motorku menuju ke Galeri, berharap aku bisa menemui Mas Yudi dan perempuan bernama Eva itu di sana. Lima belas menit waktu yang kutempuh untuk sampai di galeri milik suamiku.
Aku langsung mengedarkan pandanganku begitu sampai di parkiran, Namun aku tak melihat motor mas Yudi terparkir di sana. Dengan langkah cepat aku memasuki galeri milik suamiku,yang mana untuk membangun gedung galeri ini tak sedikit perjuangan yang sudah aku korbankan untuk ia mencapai titik ini.
"Hesti, Pak Yudi ada di ruanganya?" tanyaku pada Hesti, salah seorang pegawai di bagian resepsionis. Wanita berparas ayu itu tersenyum, menampakkan deretan gigi putih yang tertata rapi.
"Selamat Pagi, Bu Sintya! Pak Yudi nya sedang keluar, Bu! Sekitar satu jam yang lalu," jawabnya dengan senyuman ramah tersungging di bibirnya.
"Mas Yudi keluar sama siapa, Hes? Dan pergi kemana?" tanyaku beruntun, karena diliputi perasaan yang makin tak menentu.
"Beliau keluar sendirian, Bu! Saya kurang tau, Bu! Beliau tak titip pesan apapun sama saya, Bu!" jawab Hesti antusias, sepertinya menangkap ada sedikit kegundahan pada ekspresiku.
"Terimakasih, Hesti!" Saya mau ke dalam sebentar."
"Iya, Bu Sintya, silahkan!"
Aku berjalan menuju ke ruang kerja Mas Yudi, kulihat kiri kanan, banyak aksesoris untuk dekor pelaminan. Sebagian lainya di simpan ruang belakang. Semuanya masih sama seperti dulu aku sering kesini. Sekarang memang aku lebih banyak waktu di rumah mengurus rumah dan Rizki.
"Mbak Sintya!" Seseorang memanggilku, seketika aku membalikkan badan mencari sumber suara.
"Rizal!" sahutku saat melihatnya tersenyum ke arahku.
"Lama nggak kesini Mbak! Gimana Mbak Sintya sehat?" tanya Rizal menghampiriku yang tengah berdiri di depan pintu ruangan Mas Yudi.
"Alhamdulillah Mbak sehat, kamu gimana sehat? Oh ya Emak di rumah gimana kabarnya?" tanyaku lelaki yang sudah ku anggap seperti adikku sendiri ini.
Rizal anaknya ibu Salma, beliau dulu tetanggaku saat masih tinggal di rumah kontrakan, sebelum Mas Yudi membeli rumah di komplek perumahan, kami dulu masih ngontrak, dan Bu Salma ini yang sudah aku anggap seperti ibuku sendiri, karena beliau begitu baik dan selalu memberikan nasehat layaknya anak sendiri, waktu itu Rizal masih duduk di bangku SMK. Setelah Rizal Lulus SMK ia ikut sama Mas Yudi bantu-bantu saat ia ada job dekor. Hingga kini Mas Yudi bisa mengembangkan sayap usahanya, Rizal menjadi orang kepercayaannya.
"Alhamdulillah Emak sehat, Mbak! Malah sering nanyain Mbak lho," ujarnya.
"Oh ya, nanti kapan-kapan Mbak main ke rumah Emak ya!" ucapku tersenyum, diangguki oleh Rizal.
"Mbak mau ke ruangan Mas Yudi?" tanya Rizal.
"Iya tadinya mau ketemu sama Mas Yudi, tapi kata Hesti Mas Yudi lagi keluar, jadi aku pengin masuk aja sebentar ke ruangan Mas Yudi, Eh kamu tau nggak, Mas Yudi pergi kemana?"
Ada sedikit kegelisahan terlihat dari raut wajah Rizal, aku yakin pasti dia mengetahui sesuatu tentang ini.
Rizal menarik napas panjang.
"Hmm, Mbak sejujurnya udah lama ada yang ingin aku sampaikan sama Mbak Sintya," ucapnya membuat keningku berkerut.
"Apa itu, Zal?" tanyaku serius.
"Kayanya nggak enak kalo kita bicara di sini Mbak, khawatir nanti ada yang mendengar pembicaraan kita," tukas Rizal. Sepertinya memang lebih baik aku dan Rizal bicara di luar.
"Oke, Zal! Kita bicara di luar ya, Mbak mohon kamu ceritakan semuanya sama, Mbak! Sekarang Mbak mau jemput Rizki dulu, Setengah jam lagi kita ketemu di Cafe Mawar, Ya!" ucapku saat melihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku sudah menunjukkan waktunya Rizki pulang dari bimba.
"Iya, Mbak!" sahut Rizal disertai anggukan kepalanya.
Aku melangkah keluar galeri, dan mengurungkan niatku untuk masuk ke ruangan Mas Yudi, karena waktu sudah mepet, aku tak ingin Rizki menungguku, kasihan jika dia harus menungguku lama, besok atau lusa bisa aku datang lagi kesini untuk mengecek ruangan Mas Yudi.
Aku kendarai motorku, menuju tempat anakku menimba ilmu. Sepanjang perjalanan pikiranku tak karuan, bukti apa lagi yang akan aku dapatkan dari Rizal kali ini. Biarlah Mas Yudi tak tahu, kalau aku istrinya yang kau anggap selalu penurut ini sebenarnya sudah tahu belangnya. Jika sudah tepat waktunya nanti, dan terbongkar semuanya, kau harus membayar mahal Mas!
"Mamah!" seru Rizki berlari keluar ruang kelasnya di sertai anak-anak lain berhamburan keluar menemui orangtuanya, saat aku baru saja sampai di halaman parkir dan belum sempat turun dari motorku.
Rizki tersenyum meraih tanganku dan mencium takzim punggung tanganku. Aku mengelus lembut rambut putra semata wayangku ini.
"Rizki, mau makan es krim nggak?" tanyaku.
"Rizki mau Mah!" jawabnya dengan penuh semangat.
"Oke, yuk kita makan es krim, Let's go!" tukasku memberi kode agar segera naik ke jok belakangku.
Kulajukan kuda besiku dengan kecepatan sedang menuju kafe mawar yang berjarak tak terlalu jauh dengan galeri. Aku menggandeng tangan mungil Rizki, memasuki kafe,dan melihat ke penjuru ruangan mencari meja yang kosong.
"Mbak Sintya! Rizki!" panggil seseorang yang sudah duduk di dekat sudut ruangan, seketika aku dan Rizki mencari sumber suara itu.
"Om Rizal! Mah itu Om Rizal!" ucap Rizki sembari menunjuk lelaki muda yang memang sudah menunggu kami.
"Ayo Mah kita duduk di sana aja sama Om Rizal!" Aku mengangguk dan berjalan ke arah Rizal berada.
"Halo, Rizki! Tos dulu donk! Ayo duduk sini!" Rizal menyambut hangat, Rizki terlihat antusias menepukkan telapak tangannya dan duduk di sampingku.
"Om Rizal lagi ngapain di sini, Om?" tanyanya pada Rizal.
"Om lagi ngopi aja di sini, Rizki pasti mau makan es krim ya? Kan di sini terkenal es krimnya yang enak banget." terlihat segelas kopi di depannya sepertinya masih utuh.
"Kok Om Rizal tau!"
"Ya jelas tau donk! Kan Om juga suka es krim, bentar ya, Om pesanin."
Aku hanya tersenyum melihat percakapan Rizki dengan Omnya, mencoba menyiapkan hati dengan apa akan aku dengar dari Rizal.
"Mbak!" seru Rizal mengagetkanku.
"Iya, Zal!" Aku melirik Rizki ternyata sedang sibuk dengan es krim di depannya. Ah, ternyata aku melamun tadi sampai-sampai aku tak melihat waiters membawakan es krim untukku dan Rizki.
"Gimana Zal! Apa yang ingin kamu ceritakan tentang Mas Yudi? Katakanlah dengan jujur, Zal!" ucapku lirih agar Rizki tak mendengar obrolan kami.
Rizki anak yang cerdas tak menutup kemungkinan, ia akan sedikit paham pembicaraan mengenai ayahnya ini. Rizki masih terlalu kecil, untuk mengetahui carut marut masalah orang dewasa.
Rizal menarik napas panjang.
"Mbak, aku sering melihat Mas Yudi pergi keluar galeri untuk menemui seorang perempuan," ucapnya hati-hati mungkin dia tak mau aku kaget atau marah.
"Seorang perempuan, yang bernama Eva itu?" jawabku balik bertanya, Rizal terlihat sedikit kaget mungkin karena aku mengetahuinya.
"M-Mbak, sudah tau?"
"Iya Zal, Mbak sudah tau semuanya, tapi Mbak masih ingin tau sejauh apa hubungan mereka, dan sampai detik ini Mbak masih pura-pura tidak tau di depan Mas Yudi," terangku.
"Siapa sebenarnya Eva Yulianti itu, Zal? Dan di mana mereka kenal?" tanyaku lagi.
"Eva Yulianti itu seorang tukang rias Mbak, sudah beberapa kali memang dia menjalin kerjasama pada jasa dekor kita, dan sejak pertama kali aku melihat Mbak Eva waktu datang ke galeri, dia memang terlihat cari perhatian pada Mas Yudi, Mbak! Bahkan aku yang masih jomblo malah nggak di ajak ngobrol sama sekali," ucapnya sedikit kesal.
Aku sedikit tersentak, mendengar penuturan Rizal. Kami masih berbicara pelan sambil sesekali memperhatikan Rizki, dia masih sibuk memakan es krim. Hatiku bergemuruh, dada ini terasa sesak satu lagi bukti perselingkuhan Mas Yudi.
"Lalu sejauh apa hubungan mereka, Zal? Di mana wanita itu tinggal?"
"Alamatnya nanti Rizal lihat di data klien Mbak, Mereka mulai dekat sekitar dua bulan ini Mbak!"
Tes, tak terasa bulir bening ini lolos begitu saja dari pelupuk mata.
"Lalu apa lagi yang kamu tau, Zal?" Seakan Aku tak ingin ada sedikitpun informasi dari Rizal yang terlewat.
"Dulu Mbak Eva sering kali datang ke galeri dengan alasan ingin membahas soal kerjasamanya, aku tau hubungan mereka semakin dekat, dan akhir-akhir ini mereka sering bertemu di luar, Mbak! Mungkin karena aku pernah memergoki mereka berci*man di ruangan Mas Yudi." ucap Rizal.
"Apa?!" Aku membekap mulutku sendiri saat mendengar penuturan Rizal kali ini, dada ini rasanya panas.
Sungguh menjijikkan, membayangkan lelaki yang dulu begitu aku banggakan, lelaki yang dulu begitu aku hormati itu bertukar saliva dengan perempuan lain, sungguh rasanya sakit, tapi aku harus tegar. Kau sudah bermain-main di belakangku Mas, Jika itu maumu, mari kita bermain ucapku dalam hati sembari mengusap lelehan embun yang hendak keluar dari ekor mata ini.
"Mbak, aku harap Mbak Sintya sabar, aku akan selalu ada kapanpun kau butuh bantuan, Mbak! Keluargaku banyak berhutang budi sama Mbak, aku pun tak rela jika Mbak di sakiti oleh Mas Yudi," ucap Rizal menenangkanku.
"Terimakasih, Zal!"
Kringg!
Terdengar dering suara panggilan telepon milik Rizal.
"Sebentar ya, Mbak!" Aku mengangguk.
"Halo, Hesti! Ada apa Hes!"
Sepertinya Hesti yang menelpon Rizal, aku lihat es krim
Rizki sudah tinggal seperempatnya. Aku pun mulai menyendok es krim dan memasukkan ke dalam mulutku, berharap dingin dan manisnya es krim ini bisa sedikit mendinginkan perasaanku.
"Apa?!" teriak Rizal pada Hesti lawan bicaranya di telepon. Aku terkejut, mungkinkah ada terjadi sesuatu di galeri.
"Oke Hes, aku segera kembali ke galeri sekarang juga!" ucap Rizal lalu mematikan panggilan.
"Mbak aku harus kembali ke galeri sekarang!"
"Ada apa Zal?" tanyaku penasaran.
"Nanti aku ceritakan via telepon ya, Mbak! Assalamualaikum," ucap Rizal dan buru-buru pergi meninggalkan kami.
Bersambung...
"Apa?!" teriak Rizal pada Hesti lawan bicaranya di telepon. Aku terkejut, mungkinkah ada terjadi sesuatu di galeri."Oke Hes, aku segera kembali ke galeri sekarang juga!" ucap Rizal lalu mematikan panggilan."Mbak aku harus kembali ke galeri sekarang!" "Ada apa Zal?" tanyaku penasaran."Nanti aku ceritakan via telepon ya, Mbak! Assalamualaikum," ucap Rizal dan buru-buru pergi meninggalkan kami.Rizki yang sedang asyik dengan es krimnya seketika melongo melihat tingkah Rizal yang pergi begitu saja tanpa berpamitan dengannya."Om Rizal kenapa, Mah? Kok tiba-tiba pergi?""Nggak ada apa-apa, Sayang! Om Rizal ada urusan mendadak jadi harus buru-buru pergi, udah habis belum es krimnya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan."Belum Mah, ini dikit lagi," jawabnya sambil tangannya mengumpulkan sisa-sisa es krim yang tinggal sedikit."Habiskan terus kita pulang ya, Sayang!"Rizki mengangguk pelan.*********Kami tiba di rumah menjelang tengah hari, Rizki langsung masuk ke kamarnya dan ganti baju se
Baru saja aku ingin beranjak, ponsel di saku gamisku bergetar. Segera aku merogoh benda pipih kesayanganku itu, dan membukanya.Sebuah pesan masuk itu mampu membuat mataku membulat sempurna melihat isi pesan itu.Pesan itu adalah sebuah potongan video yang di kirim Rizal, pada video terlihat jelas Mas Yudi berjalan mesra dengan seorang wanita, aku yakin dia wanita yang bernama Eva. Di video itu terlihat jelas Eva sedang bergelayut manja di pundak Mas Yudi, Mas Yudi pun tampak senang dengan sikap Eva, terlihat sesekali ia mencubit hidung wanita dengan rambut sebahu dan perparas cantik itu.Melihat video itu, hatiku semakin geram, rasanya ingin aku cakar muka perempuan penggoda itu. "Sintya! Aku pergi ke galeri lagi ya!" teriak Mas Yudi, yang sepertinya suaranya dari ruang tamu. Aku tak menjawab, biarlah ia mengira aku tidur siang bersama Rizki, dan seperti kemarin-kemarin ia pergi seperti tak ada beban. Biarlah ia menikmati semua ini, tapi saatnya nanti aku bertindak, kau pasti akan m
Suara seseorang mengetuk pintu, itu pasti Hana pikirku. Segera aku melangkahkan kaki menuju pintu depan, kusingkap sedikit gorden jendela untuk memastikan apakah benar Hana atau bukan. Ternyata benar itu Hana.Hana sudah berada di ambang pintu saat pintu terbuka."Sintya!" teriaknya memelukku dengan hangat, sudah agak lama memang aku kami jarang bertemu, sejak aku mulai sibuk mengurus rumah tanggaku, dan Hana sibuk dengan karirnya."Hana! Masuk, Han!" ucapku tersnyum pada wanita berhijab yang masih betah melajang ini. "Sintya, Rizki lagi tidur?" tanyanya melihat suasana rumahku yang sunyi. Yah, jika ada Rizki suasana rumah selalu ramai oleh tingkahnya. Aku mengangguk. "Ayo kita ngobrol di dalam, Han!" ajakku, dan di angguki olehnya.Kami duduk di sofa ruang tengah, aku melenggang ke dapur untuk mengambil minuman dingin dan beberapa camilan untuk sahabatku ini."Sin, nggak perlu repot-repot lah, kaya sama siapa aja, aku kan udah biasa main kesini. Selalu saja kau merepotkan dirimu se
POV YudiSetelah pulang kerja nanti, aku berniat akan mengunjungi rumah kekasihku Eva. Wanita cantik yang sudah sebulan ini menjalin hubungan denganku.Tak lupa aku mengirim pesan pada istriku Sintya kalau hari ini aku akan pulang malam, dengan alasan ada urusan pekerjaan.Entah mengapa kehidupanku aku merasa hidupku dengan Sintya yang itu-itu saja membuatku sedikit merasa jenuh dan hambar. Dan semuanya terasa berwarna saat dua bulan lalu Eva menjalin kerjasama dengan bisnis dekorku. Eva yang terus menggodaku dengan sikap manis dan manjanya membuat aku terlena dan menjalin hubungan dengannya, dia pun tau aku sudah beristri, tapi itu tak menjadi masalah baginya. Bahkan bersedia menjadi istri keduaku.Satu-satunya orang yang mengetahui kedekatanku dengan Eva adalah Rizal, dia orang kepercayaanku, yang sering mewakiliku dalam urusan pekerjaan. Aku yakin ia akan diam dan tutup mulut dari siapapun dan tak kan mengkhianati kepercayaanku. Aku dan Eva semakin sering bertemu di luar urusan pe
Aku duduk santai di sofa ruang tamunya. Eva memang tinggal sendirian, kedua orangtuanya tinggal di luar kota. Tanpa terasa aku terlelap, dan di kagetkan saat Eva sudah duduk di sampingku."Mas, kamu tidur? Capek ya? Sini aku pijitin," ucapnya lalu tangannya memijit lengan kananku."Makasih ya, Sayang! Kamu tau aja kalau aku lagi capek!" ujarku melirik ke arah wanita cantik di sampingku."Iya donk, aku kan sayang kamu." Eva menggoda dengan senyum manisnya, telihat deretan rapi gigi putihnya."Kamu udah makan?" tanyaku."Belum, Mas! Aku kan nungguin kamu, biar bisa dinner sama kamu, Mas!" ucapnya manja. Aku senang dengan tingkah manjanya."Ya udah nanti kita makan di luar ya!" sahutku mencubit hidungnya.Eva terlihat tersipu malu, dengan kedua pipinya merona dan menyandarkan kepalanya di dada bidangku. Aku mengelus rambut hitamnya dan kukecup pucuk kepalanya. Dia pun memejamkan matanya, menikmati perlakuanku. Kecupanku berpindah di kedua pipinya, hingga membuat hasratku meningkat, dan i
POV Sintya"Kamu ada ide Brilian apa, Han?" tanyaku cepat dengan rasa penasaran. Dan Hana kembali tersenyum."Kita akan menangkap Basah mereka, Sin!" ujarnya menatapku."Caranya?" tukasku yang masih bingung dengan ide nya Hana."Mas Yudi biasanya pulang Dari Galeri jam berapa?""Sekitar jam lima sore," jawabku"Jam lima sore nanti kita akan ke galeri, dan kita akan mengikuti kemana Mas Yudi pergi, jika benar ia akan bertemu dengan Eva, kita akan menangkap basah mereka. Hingga mereka tak akan bisa berkelit."Aku mengangguk menyetujui ide Hana."Tapi bagaimana dengan Rizki, tak mungkin kan aku bawa Rizki untuk ikut serta melihat kelakuan ayahnya," ucapku. Hana terlihat berpikir, bola matanya sesekali memutar ke atas mencari solusi.Aku memang tak punya sanak saudara di sini, aku asli dari Jawa tengah, dan ikut sama Mas Yudi ke sini, di kota Surabaya, sedangkan kedua orang tua Mas Yudi sudah lama meninggal."Hmm, Rizki kita titipkan dulu aja dulu, Gimana?" ucapnya saat menemukan solusi.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu, kenapa aku tidak terpikirkan samasekali untuk datang ke alamat rumah Eva. Aku menepuk jidatku merutuki kelalaianku sendiri. Aku mencekal lengan Hana yang mulai beranjak usai memakai sepatunya."Tunggu Han! Kenapa kita nggak terpikirkan untuk datang ke rumah Eva, kan aku ada alamatnya info dari Rizal kemarin!" ucapku pada Hana, dia sontak menjitak pelan kepalaku. Aku hanya nyengir.Saat kami berjalan menuju motor yang terparkir, tiba-tiba ponselku berdering, tertera nama Rizal di layar ponselku. Segera aku geser tombol warna hijau."Halo Assalamualaikum Zal!""Waalaikumsalam, Mbak Sintya! Segera buka pesan dari aku Mbak!" ucapnya langsung tanpa basa basi.Seketika aku melihat tirai layar ponselku, ah benar ternyata Rizal telah mengirimkan pesan sepuluh menit yang lalu."Oke Zal! Mbak segera buka pesan darimu ya!" "Oke, Mbak!" Rizal mengakhiri panggilan usai berpamitan. Segera aku buka pesan dari Rizal, ternyata isi pesannya sebuah gambar, dengan capti
Tanpa pikir panjang aku raih daun pintu dan membukanya dengan kasar, beruntung pintu itu tak terkunci, entah apa yang ada pikiran mereka sampai lupa mengunci pintu depan dan pintu kamar, atau mungkin ini cara Allah tunjukkan padaku untuk menangkap basah perbuatan hina mereka.Braak!Pintu kamar itu terbuka lebar dengan sekali hentak.Seketika mataku membulat sempurna seakan mau lompat dari tempatnya, darahku seakan naik dengan cepat hingga ke ubun-ubun, melihat pemandangan yang ada di hadapanku, disertai napas naik turun.Lidahku rasanya kelu menyaksikan orang yang masih sah menjadi suamiku kini sedang melakukan hubungan layaknya suami istri dengan wanita lain yang jelas-jelas bukan muhrimnya.Aku menutup mulut ini rapat-rapat dengan jari tanganku. Melihat dua manusia tak ada akhlak itu."S–Sintya!" Mas Yudi terlonjak dari ranjang, ucapanya terbata, saat melihatku membuka pintu kamar itu dengan kasar, ia pasti kaget tentunya. Mungkin ia tak pernah menyangka aku bisa berdiri di sini se
Aku tertunduk dalam, lidahku terasa kelu, seolah tak mampu lagi untuk bicara, degup jantungku terasa semakin cepat, ada rasa malu, ada rasa bahagia bersua dengannya, ada rasa takut aku ditolak, semuanya campur aduk jadi satu di dalam sini. Aku hirup udara banyak-banyak, kemudian Perlahan mengangkat wajahku, tampak Hesti masih setia menunggu aku melanjutkan kata-kataku."Mas, semua yang sudah terjadi biarlah terjadi, jadikan itu semua sebagai pelajaran berharga untuk menapaki kehidupan masa depan, agar tak terulang kembali." Pelan Hesti bicara, seolah mengerti apa yang kini kurasakan.Aku mengangguk setuju dengan perkataannya."Beberapa bulan terakhir, kita semakin dekat, dan kurasa tidak ada lagi yang harus kita tunggu, aku berniat ingin meminangmu, jika kau bersedia, aku ingin kau menjadi istriku, tapi ...."Mendengar ucapanku yang menggantung, keningnya mengerenyit, namun ia tak bertanya apapun."Ta–Tapi, aku seperti ini kondisinya, mungkin, bisa dibilang aku lelaki tak tahu malu,
Satu Minggu sudah kepergian Mbak Siska, segala tetek bengek keperluan administrasi saat di rumah sakit, Dhani banyak membantu, bahkan tak segan membantu biaya administrasi untuk membawa pulang jenazah Mbak Sintya.Selama tujuh hari kemarin, aku memang mengadakan acara tahlil di rumah, walaupun rumah kecil, aku mengundang tetangga dekat untuk hadir dalam acara tahlil kepergian Mbak Siska, tak lain harapanku hanyalah Doa kebaikan untuk Mbak Siska, semoga Doa dari semua jamaah tahlil bisa mengiringi kepergian Mbak Siska ke alam sana dengan kedamaian.Dua hari acara tahlil, Sintya ikut datang kemari, dan hari ke tiga hingga selesai tujuh hari, Dhani datang berdua dengan Rizki. Karena Sintya kurang enak badan katanya.Tiga hari Mbak Siska berpulang, aku memang izin tak masuk kerja, dan hari keempat hingga tujuh hari aku masuk kerja tapi hanya sampai siang, tak sampai sore, karena aku harus mengurus keperluan acara tahlil, beruntung tetangga di sini semuanya baik dan mau membantu untuk semu
Aku lebih dulu ke bagian administrasi untuk mengurus semuanya, setelah semuanya selesai aku melenggang ke Musala rumah sakit ini. Setelah selesai aku kembali ke depan ruang UGD, tapi mereka semua sudah tidak ada di sana. Aku pun langsung masuk ke tempat dimana Mbak Siska terbaring. Kosong. "Maaf Pak, cari pasien atas nama Bu Siska ya?" tanya seorang perawat yang sedang jaga. "I–Iya Sus." "Tadi Dokter memutuskan untuk memindahkan ke ruang ICU Pak, Karen kondisinya Bu Siska terus menurun, ruang ICU ada di sebelah sana Pak," ucap perawat itu sambil menunjuk ke arah dimana ruang ICU itu berada. Degh. Mbak Siska semakin menurun. Sintya dan Dhani pasti sudah ikut ke ruang ICU tadi. "Terimakasih, Sus," ucapku kemudian setengah berlari aku menelusuri lorong rumah sakit menuju ruang ICU. Terlihat Sintya dan Dhani berdiri di depan sebuah ruangan berdinding kaca tebal. Juga ada Rizki diantara mereka. "Sintya, Dhani!" sapaku sembari mengatur napas. "Mbak Siska di dalam, Dokter masih men
Sintya membersihkan tangan Mbak Siska. Sedangkan Mbak Siska terlihat begitu lemas."Mas kita bawa Mbak Siska ke rumah sakit sekarang," tegas Sintya."I–Iya Sin.""Ayo Mas cepat, bawa dengan mobilku," ucap Dhani.Dengan sigap aku mengangkat tubuh Mbak Siska, Sintya pun mengekor di belakangku.Dhani yang sudah lebih dulu di depan, segera membuka pintu mobilnya, kemudian duduk di belakang kemudi, tak berapa lama Sintya dan Rizki, muncul dari dalam rumah, dan masuk ke dalam mobil, dengan langkah cepat, aku kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil dompet dan ponselku, juga mengunci pintu.Setelah itu aku pun ikut masuk mobil dan duduk di samping Dhani. Dhani mulai melajukan mobilnya. Aku menoleh ke belakang, tampak Mbak Siska terkulai lemah tak berdaya.Aku mohon Mbak, bertahanlah.Dhani mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, kami yang berada di dalam mobil, terdiam dengan pikiran masing-masing, Sintya menggenggam erat jemari Mbak Siska, seolah menyalurkan kekuatan d
"Cukup Mbak! Maaf saya bukan lelaki seperti itu. Jika Mbak Mau, silahkan cari orang lain, tapi bukan saya! Permisi!" Aku melenggang masuk usai mengucapkan itu, kemudian membuka pintu dan menutup serta mengunci pintunya, masih jelas kulihat bibirnya mencebik seperti tak suka dengan penolakan yang tadi aku katakan. Ada yah, wanita semurahan itu, bahkan menawarkan diri seperti itu. Memang awal aku tinggal di sini, dan berkenalan dengan Susi, kami sempat ngobrol dan Dia bertanya apa tidak ada niat untuk menikah lagi, dan waktu itu aku jawab belum ingin menikah lagi, karena memang aku belum menemukan sosok yang pas untuk mengisi ruang hati ini. Tapi bukan berarti aku mau menikah dengan Susi, Dia bukan wanita yang aku idamkan menjadi istri. Aku menarik napas panjang dan menghembuskanya perlahan, usai menutup rapat pintu rumah ini, tak kuperdulikan Susi yang masih berdiri di halaman rumah.Bergegas aku masuk untuk menengok kondisi Mbak Siska, Ia masih terbaring di tempat tidur, kemudian m
Pagi ini seperti biasa aku akan bekerja, sebelum berangkat aku siapkan makanan untuk aku dan Mbak Siska sarapan, juga untuk Mbak Siska makan siang, semenjak Dia sakit aku memang harus ekstra melakukan ini dan itu agar Mbak Siska tidak perlu repot memasak untuk makan siangnya.Setelah semuanya siap, aku mengajaknya sarapan, aku tatap wajah yang kian hari kian pucat itu."Mbak hari ini kita ke rumah sakit aja yuk," ajakku."Ah, tak perlu lah Yud, kamu juga kan harus kerja, lagian obat Mbak yang dari klinik juga masih ada," tolaknya."Mbak, soal kerjaan gampang, aku bisa ijin datang siang hari setelah mengantar Mbak dari rumah sakit." Lagi aku berusaha meyakinkan Mbak Siska, apapun alasannya kesehatannya adalah jauh lebih penting."Gampang nanti saja Yud, nunggu obat yang sekarang ini habis aja, ya!" "Hm, baiklah kalau begitu Mbak. Yudi cuma pengin Mbak bisa segera sembuh," pungkasku.Usai sarapan aku langsung berangkat ke tempat kerjaku. Entah mengapa aku merasa Mbak Siska seolah pasra
Aku tersenyum dan kembali mendaratkan bobotku di sampingnya."Iya, Mbak. Aku baru pulang. Maaf ya Mbak, Yudi pulang malam karena memang baru selesai." Mbak Siska mengangguk."Mbak sudah makan? Obatnya sudah di minum?" tanyaku."Sudah, kamu sendiri sudah makan?" "Sudah Mbak, tadi makan di sana.""Gimana keadaan Mbak? Apa kita ke rumah sakit aja besok?" tawarku sesungguhnya aku tak tega melihat kondisinya yang semakin menurun. Tubuhnya kurus, kelopak matanya cekung, dengan bibir memucat, di tambah lagi batuk yang tak kunjung sembuh."Tak perlu lah Yud, lagi pula ke rumah sakit kan biayanya mahal, kita ndak punya banyak uang, Mbak nggak mau di sisa umur Mbak hanya merepotkan dan menjadi beban kamu," ucapnya lirih."Tapi Mbak, kondisi Mbak Siska makin menurun, Yudi nggak tega Mbak."Walaupun uang yang kupunya masih belum banyak tapi setidaknya cukup untuk berobat Mbak Siska.Namun, lagi-lagi Mbak Siska menolak untuk berobat ke rumah sakit. "Ya sudah sekarang sudah malam, Mbak istirahat
Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tak pernah lepas dari ketentuan-Nya. Manusia di ciptakan dengan karakter dan watak yang berbeda, pun dengan nasib yang berbeda-beda, jika saat ini nasib kami seperti ini, mungkin ini adalah akibat dari perbuatan buruk di masa lalu.Setiap orang pasti akan menuai apa yang ditanamnya, hanya dengan Doa yang tulus aku persembahkan, agar Allah berkenan mengampuni semua dosa khilafku di masa lalu itu, karena kini aku hanya ingin hidup tenang dan tentram, dengan lembaran baru. Aku hanya ingin hidupku ke depan, lebih baik, dan lebih bermakna.Hari terus berganti hingga kini satu bulan sudah aku melewati waktu, kondisi kesehatan Mbak Siska makin menurun, badannya pun kurus, saat aku ajak untuk berobat ke rumah sakit, Ia selalu menolak, dengan berbagai alasan. Aku paham Mbak Siska mungkin berpikir seribu kali untuk berobat ke rumah sakit karena memikirkan biaya, kami berdua, untuk hidup dan makan saja pas-pasan. Penghasilanku bekerja di tempat fotokopi,
Hingga adzan Maghrib berkumandang, Pakde Mul mengajakku untuk salat berjamaah di masjid tak jauh dari rumah ini. Aku merasa seolah memiliki keluarga baru di sini, walaupun aku bukan siapa-siapa Mereka.Selepas Maghrib Ibunya Hesti mempersilahkan kami untuk makan bersama di ruang tengah, ada pula Bude Ning dan suaminya, Ibunya Hesti dan Hesti. Kami semua makan lesehan di ruang tengah, makanan yang tersaji bukanlah makanan mewah, tapi sangat enak dan dinikmati bersama. Beberapa kali aku melirik ke arah wanita cantik yang duduk di depanku, entah kenapa senyuman itu membuatku ingin selalu meliriknya.Setelah selesai makan, aku ngobrol-ngobrol santai dengan Pakde Mul, yang merupakan Suaminya Bude Ning, beliau seorang petani. Melihat perawakannya aku jadi teringat Pak Imran ayahnya Sintya. Jujur masih terselip di dalam sini rasa bersalah yang begitu besar terhadap Beliau. "Sudah mulai larut, saya pamit dulu Pakde," pamitku.Melihatku ngobrol dengan Pakde Mul, Hesti lebih banyak di dalam. K