Aku meletakkan makanan itu di meja makan, dan membukanya. Makanan bento ala Jepang dua porsi, lengkap dengan dua botol juice.Aku berjalan masuk ke dapur dan mengambil sesuatu, aku yakin dengan ini mereka akan merasa tidak nyaman duduk berduaan dalam waktu lama. hatiku tersenyum simpul. Dengan berjalan pelan aku keluar dari dapur dan menuju kembali ke ruang tamu, segera aku membuka bungkusan itu, dan membuka kotak mika bento, semua aku lakukan dengan hati-hati agar tak menimbulkan suara, kulirik Eva masih sibuk dengan gawainya dengan sesekali senyum-senyum macam orang gila. Enak saja kalian, datang kesini dan pamer kemesraan di depanku. Aku tidak bodoh, aku kerjain kamu Mas, dan calon istrimu itu, biar ngerti sopan santun. Gerutuku dalam hati sambil menaburkan bubuk obat pencuci perut ke dalam salad. Setelah selesai kulakukan aksiku, aku bungkus kembali seperti semula. Dan segera kumasukkan botol obat pencuci perut itu ke dalam saku gamisku.Mas Yudi juga keterlaluan, beli makanan
Sebenarnya bisa saja aku langsung menggugat cerai Mas Yudi saat ini, tapi itu akan membuat mereka merasa menang, terutama perempuan murahan itu, pasti ia akan tertawa bangga karena berhasil merebut Mas Yudi dariku dan Rizki. Tapi aku tak akan membiarkanya menang, aku harus bertahan sebentar lagi hingga melihat mereka menyesal telah menancapkan duri di hatiku.Cukup lama aku berdiam diri di dalam kamar ini, hingga terdengar olehku suara gaduh dari Mas Yudi dan Eva. Aku keluar kamar untuk melihat apa yang terjadi, terlihat Mas Yudi bejalan cepat masuk ke kamar mandi seperti menahan sesuatu yang ingin segera keluar dari bagian bawah pinggangnya."Kamu kenapa, Mas?" tanyaku sok polos padahal dalam hatiku tertawa, sepertinya obat pencuci perut yang aku taburkan di dalam makanannya sudah mulai bereaksi.Mas Yudi tidak menjawab, dan segera masuk ke kamar mandi. Kulihat Eva yang duduk di sofa ruang tamu tengah memegang perutnya, dengan ekspresi meringis dan terlihat sangat lucu menurutku."K
Aku tersentak, apa?! Enak saja perempuan yang sudah jelas-jelas mengambil separuh hatiku itu aku biarkan menginap di rumahku, No?! Jawaban Mas Yudi membuatku geram. Seketika napasku naik turun, seiring dengan luapan emosi yang siap meledak. Ingin rasanya aku telan bulat-bulat dua manusia tak ada akhlak ini."Tidak, Mas! Aku tak sudi dia menginap di sini! Cepat antarkan dia pulang!" ucapku tegas menolak permintaan Mas Yudi."Tapi Sin, apa kamu nggak kasihan sama Mas yang sudah lemes gini?" tanya Mas Yudi dengan raut memelas."Apa, kasihan? Saat kamu memutuskan untuk berselingkuh di belakangku apa kamu tidak merasa kasihan sama aku, Mas?" Mas Yudi terdiam."Aku akan mencari Rizki dan mengajaknya untuk pulang, aku harap saat aku dan Rizki tiba di rumah ini, Mas sudah membawa pergi wanita ini!" timpalku lagi."Sin, tunggu! Apa itu artinya kamu menerima Eva untuk menjadi madumu, aku janji kalian tidak akan tinggal satu atap." ucap Mas Yudi saat aku baru saja berbalik badan melangkah."Untu
"Sin! Mas perlu, bicara!" suara Mas Yudi mengetuk pintu kamar Rizki, pasti masalah niatnya menikah itu. Membuatku malas untuk menemuinya. "Ada apa sih Mas?" Aku keluar kamar dengan malas."Duduk Sin, kita perlu bicara!""Bicara apa lagi sih, Mas! Kamu pilih aku atau Dia?" ucapku dengan sedikit nada tinggi."Sintya, aku mencintai Eva, tapi aku tak mau melepaskan kamu, aku tak bisa jauh dari Rizki," ucapnya lirih namun masih jelas terdengar."Enak sekali mau kamu, Mas! Aku nggak bisa! Kalau kamu memilih dia, lepaskan aku!" ucapku dengan nada parau, tak terasa bulir bening ini menetes."Apa kurangnya aku selama ini Mas! Hingga kau menduakan aku?" tambahku lagi dengan tatapan sendu."Sintya ... Aku janji akan bersikap adil, dan kalian tak kan tinggal satu atap, kamu tetap di sini, dan Eva tetap di rumahnya. Toh juga rencananya aku dan Eva hanya akan menikah siri!" Mas Yudi nampaknya samasekali tidak menggubris ucapanku. Ia tetap kekeuh pada pendiriannya, yaitu beristri dua, mau secara s
Aku scrol semua chat mereka dari atas hingga ke bawah hingga seketika Mataku terbelalak, melihat sebuah gambar screenshot bukti transfer dari rekening Mas Yudi ke rekening wanita sialan itu, terpampang dengan jelas nominal angka yang fantastis, mampu membuatku terhenyak.Degh!Tiga puluh juta rupiah, angka yang tak sedikit bagiku, karena selama ini Mas Yudi hanya memberiku sebesar tiga juta rupiah setiap bulan.Dan aku selalu menerimanya dengan lapang dada, karena bagiku uang segitu sudah lebih dari cukup untuk makan kami bertiga. Mas Yudi pun selalu terbuka denganku perihal jumlah tabungan yang ada di rekeningnya, terakhir ia bilang tabungannya sudah cukup untuk membeli sebuah mobil, namun aku mencegahnya dengan alasan belum terlalu butuh, dari rumah ke galeri aja deket, hanya lima belas menit dengan mengendarai motor.Tapi aku tak menyangka dia memberikannya pada wanita sialan itu. Apa belum cukup beberapa waktu lalu ia memberikan sebuah kalung pada gundiknya itu. Untuk kedepannya
Waktu sudah menunjukkan tengah malam, aku langkahkan kaki menuju kamar tempat Mas Yudi berada, dan meletakkan kembali benda pipih itu ke tempat semula, dan berjalan keluar kamar dengan hati-hati menuju ke kamar Rizki.Kupejamkan mata sebentar, ku helakan napas panjang, dan mulai terlelap.*****Pagi ini Mas Yudi tidak gusar seperti kemarin, pagi ini ia terlihat pendiam, tidak lagi menanyakan pakaian kerjanya, dan juga sarapannya yang memang dari kemarin tidak kusiapkan. Nampaknya ia mengerti, selesai bersiap-siap Mas Yudi langsung berangkat ke galeri, bahkan tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Entahlah apa dia benar-benar langsung ke galeri atau ke rumah calon istri mudanya. Aku tak bertanya, hanya memperhatikan sikap laki-laki yang dulu sangat aku hormati, dulu ketika sikap dingin seperti ini, aku langsung menghampirinya dan meminta maaf jikalau aku ada salah, tapi mulai saat ini tak akan ada lagi seperti itu.Aku sibuk membangunkan Rizki, karena hari ini ia ada jadwal belaja
Aku mulai sibuk membuka laptop melihat laporan bulanan dan mulai mengamati pergerakan bisnis kami.Seketika mata ini membelalak, membuatku ingin mendekatkan wajahku sedikit lebih dekat dengan layar laptop, saat penglihatanku menyapu sebuah data laporan keuangan yang terlihat ganjal. ada dua waktu pengeluaran dana yang lumayan besar untuk keperluan yang sama sekali tidak masuk akal, dua waktu itu berjarak hanya beberapa hari. Tertulis pengeluaran untuk pembelian properti tambahan, dengan nilai barang tak sesuai dengan nominal uang yang di keluarkan."Rizal, pembelian properti tambahan ini siapa yang membuat anggaran? Kenapa banyak sekali? Padahal harga barang itu tidak begitu mahal," ucapku sambil memutar laptop ke arahnya agar terlihat oleh laki-laki di depanku."Yang membuat anggaran Pak Andi, Mbak! Beliau yang mengurusi dana keluar masuk." jawab Rizal."Tapi ... saya dengar Mas Yudi meminta revisi kembali anggaran itu, beliau meminta dana di tambahkan," tambahnya lagi membuat kenin
Aku akui ini kesalahan terbesarku, karena saat membeli dan mengurus surat-surat perizinan usaha dan sertifikat bangunan ini, aku menyerahkan sepenuhnya kepada Mas Yudi. Karena aku percaya sepenuhnya karena ketulusanku padanya tentunya.Bagiku mau pake namaku atau nama Mas Yudi itu sama saja, karena kita suami istri, tak pernah aku berpikir akan jadi seperti ini, sungguh aku menyesal begitu mempercayainya dulu.Dulu Mas Yudi terlihat begitu antusias membangun usaha di bidang ini, dan aku aku tak menyangka jika ia akan menyeleweng, kini aku menyesal telah menyetujui semua itu, itulah kenapa sertifikat bangunan ini atas nama Mas Yudi. Sebagai bentuk terimakasih karena aku telah mendukungnya, dan memberinya modal untuk berjalannya usaha ini, ia membeli sebuah rumah atas namaku, rumah yang kami tempati sekarang.Sekarang rasanya aku tak rela jika usaha yang kami rintis dari nol dan sudah berkembang ini akan di nikmati oleh mereka yang sudah menusukku. Yah, aku harus berpikir keras bagaima
Aku tertunduk dalam, lidahku terasa kelu, seolah tak mampu lagi untuk bicara, degup jantungku terasa semakin cepat, ada rasa malu, ada rasa bahagia bersua dengannya, ada rasa takut aku ditolak, semuanya campur aduk jadi satu di dalam sini. Aku hirup udara banyak-banyak, kemudian Perlahan mengangkat wajahku, tampak Hesti masih setia menunggu aku melanjutkan kata-kataku."Mas, semua yang sudah terjadi biarlah terjadi, jadikan itu semua sebagai pelajaran berharga untuk menapaki kehidupan masa depan, agar tak terulang kembali." Pelan Hesti bicara, seolah mengerti apa yang kini kurasakan.Aku mengangguk setuju dengan perkataannya."Beberapa bulan terakhir, kita semakin dekat, dan kurasa tidak ada lagi yang harus kita tunggu, aku berniat ingin meminangmu, jika kau bersedia, aku ingin kau menjadi istriku, tapi ...."Mendengar ucapanku yang menggantung, keningnya mengerenyit, namun ia tak bertanya apapun."Ta–Tapi, aku seperti ini kondisinya, mungkin, bisa dibilang aku lelaki tak tahu malu,
Satu Minggu sudah kepergian Mbak Siska, segala tetek bengek keperluan administrasi saat di rumah sakit, Dhani banyak membantu, bahkan tak segan membantu biaya administrasi untuk membawa pulang jenazah Mbak Sintya.Selama tujuh hari kemarin, aku memang mengadakan acara tahlil di rumah, walaupun rumah kecil, aku mengundang tetangga dekat untuk hadir dalam acara tahlil kepergian Mbak Siska, tak lain harapanku hanyalah Doa kebaikan untuk Mbak Siska, semoga Doa dari semua jamaah tahlil bisa mengiringi kepergian Mbak Siska ke alam sana dengan kedamaian.Dua hari acara tahlil, Sintya ikut datang kemari, dan hari ke tiga hingga selesai tujuh hari, Dhani datang berdua dengan Rizki. Karena Sintya kurang enak badan katanya.Tiga hari Mbak Siska berpulang, aku memang izin tak masuk kerja, dan hari keempat hingga tujuh hari aku masuk kerja tapi hanya sampai siang, tak sampai sore, karena aku harus mengurus keperluan acara tahlil, beruntung tetangga di sini semuanya baik dan mau membantu untuk semu
Aku lebih dulu ke bagian administrasi untuk mengurus semuanya, setelah semuanya selesai aku melenggang ke Musala rumah sakit ini. Setelah selesai aku kembali ke depan ruang UGD, tapi mereka semua sudah tidak ada di sana. Aku pun langsung masuk ke tempat dimana Mbak Siska terbaring. Kosong. "Maaf Pak, cari pasien atas nama Bu Siska ya?" tanya seorang perawat yang sedang jaga. "I–Iya Sus." "Tadi Dokter memutuskan untuk memindahkan ke ruang ICU Pak, Karen kondisinya Bu Siska terus menurun, ruang ICU ada di sebelah sana Pak," ucap perawat itu sambil menunjuk ke arah dimana ruang ICU itu berada. Degh. Mbak Siska semakin menurun. Sintya dan Dhani pasti sudah ikut ke ruang ICU tadi. "Terimakasih, Sus," ucapku kemudian setengah berlari aku menelusuri lorong rumah sakit menuju ruang ICU. Terlihat Sintya dan Dhani berdiri di depan sebuah ruangan berdinding kaca tebal. Juga ada Rizki diantara mereka. "Sintya, Dhani!" sapaku sembari mengatur napas. "Mbak Siska di dalam, Dokter masih men
Sintya membersihkan tangan Mbak Siska. Sedangkan Mbak Siska terlihat begitu lemas."Mas kita bawa Mbak Siska ke rumah sakit sekarang," tegas Sintya."I–Iya Sin.""Ayo Mas cepat, bawa dengan mobilku," ucap Dhani.Dengan sigap aku mengangkat tubuh Mbak Siska, Sintya pun mengekor di belakangku.Dhani yang sudah lebih dulu di depan, segera membuka pintu mobilnya, kemudian duduk di belakang kemudi, tak berapa lama Sintya dan Rizki, muncul dari dalam rumah, dan masuk ke dalam mobil, dengan langkah cepat, aku kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil dompet dan ponselku, juga mengunci pintu.Setelah itu aku pun ikut masuk mobil dan duduk di samping Dhani. Dhani mulai melajukan mobilnya. Aku menoleh ke belakang, tampak Mbak Siska terkulai lemah tak berdaya.Aku mohon Mbak, bertahanlah.Dhani mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, kami yang berada di dalam mobil, terdiam dengan pikiran masing-masing, Sintya menggenggam erat jemari Mbak Siska, seolah menyalurkan kekuatan d
"Cukup Mbak! Maaf saya bukan lelaki seperti itu. Jika Mbak Mau, silahkan cari orang lain, tapi bukan saya! Permisi!" Aku melenggang masuk usai mengucapkan itu, kemudian membuka pintu dan menutup serta mengunci pintunya, masih jelas kulihat bibirnya mencebik seperti tak suka dengan penolakan yang tadi aku katakan. Ada yah, wanita semurahan itu, bahkan menawarkan diri seperti itu. Memang awal aku tinggal di sini, dan berkenalan dengan Susi, kami sempat ngobrol dan Dia bertanya apa tidak ada niat untuk menikah lagi, dan waktu itu aku jawab belum ingin menikah lagi, karena memang aku belum menemukan sosok yang pas untuk mengisi ruang hati ini. Tapi bukan berarti aku mau menikah dengan Susi, Dia bukan wanita yang aku idamkan menjadi istri. Aku menarik napas panjang dan menghembuskanya perlahan, usai menutup rapat pintu rumah ini, tak kuperdulikan Susi yang masih berdiri di halaman rumah.Bergegas aku masuk untuk menengok kondisi Mbak Siska, Ia masih terbaring di tempat tidur, kemudian m
Pagi ini seperti biasa aku akan bekerja, sebelum berangkat aku siapkan makanan untuk aku dan Mbak Siska sarapan, juga untuk Mbak Siska makan siang, semenjak Dia sakit aku memang harus ekstra melakukan ini dan itu agar Mbak Siska tidak perlu repot memasak untuk makan siangnya.Setelah semuanya siap, aku mengajaknya sarapan, aku tatap wajah yang kian hari kian pucat itu."Mbak hari ini kita ke rumah sakit aja yuk," ajakku."Ah, tak perlu lah Yud, kamu juga kan harus kerja, lagian obat Mbak yang dari klinik juga masih ada," tolaknya."Mbak, soal kerjaan gampang, aku bisa ijin datang siang hari setelah mengantar Mbak dari rumah sakit." Lagi aku berusaha meyakinkan Mbak Siska, apapun alasannya kesehatannya adalah jauh lebih penting."Gampang nanti saja Yud, nunggu obat yang sekarang ini habis aja, ya!" "Hm, baiklah kalau begitu Mbak. Yudi cuma pengin Mbak bisa segera sembuh," pungkasku.Usai sarapan aku langsung berangkat ke tempat kerjaku. Entah mengapa aku merasa Mbak Siska seolah pasra
Aku tersenyum dan kembali mendaratkan bobotku di sampingnya."Iya, Mbak. Aku baru pulang. Maaf ya Mbak, Yudi pulang malam karena memang baru selesai." Mbak Siska mengangguk."Mbak sudah makan? Obatnya sudah di minum?" tanyaku."Sudah, kamu sendiri sudah makan?" "Sudah Mbak, tadi makan di sana.""Gimana keadaan Mbak? Apa kita ke rumah sakit aja besok?" tawarku sesungguhnya aku tak tega melihat kondisinya yang semakin menurun. Tubuhnya kurus, kelopak matanya cekung, dengan bibir memucat, di tambah lagi batuk yang tak kunjung sembuh."Tak perlu lah Yud, lagi pula ke rumah sakit kan biayanya mahal, kita ndak punya banyak uang, Mbak nggak mau di sisa umur Mbak hanya merepotkan dan menjadi beban kamu," ucapnya lirih."Tapi Mbak, kondisi Mbak Siska makin menurun, Yudi nggak tega Mbak."Walaupun uang yang kupunya masih belum banyak tapi setidaknya cukup untuk berobat Mbak Siska.Namun, lagi-lagi Mbak Siska menolak untuk berobat ke rumah sakit. "Ya sudah sekarang sudah malam, Mbak istirahat
Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tak pernah lepas dari ketentuan-Nya. Manusia di ciptakan dengan karakter dan watak yang berbeda, pun dengan nasib yang berbeda-beda, jika saat ini nasib kami seperti ini, mungkin ini adalah akibat dari perbuatan buruk di masa lalu.Setiap orang pasti akan menuai apa yang ditanamnya, hanya dengan Doa yang tulus aku persembahkan, agar Allah berkenan mengampuni semua dosa khilafku di masa lalu itu, karena kini aku hanya ingin hidup tenang dan tentram, dengan lembaran baru. Aku hanya ingin hidupku ke depan, lebih baik, dan lebih bermakna.Hari terus berganti hingga kini satu bulan sudah aku melewati waktu, kondisi kesehatan Mbak Siska makin menurun, badannya pun kurus, saat aku ajak untuk berobat ke rumah sakit, Ia selalu menolak, dengan berbagai alasan. Aku paham Mbak Siska mungkin berpikir seribu kali untuk berobat ke rumah sakit karena memikirkan biaya, kami berdua, untuk hidup dan makan saja pas-pasan. Penghasilanku bekerja di tempat fotokopi,
Hingga adzan Maghrib berkumandang, Pakde Mul mengajakku untuk salat berjamaah di masjid tak jauh dari rumah ini. Aku merasa seolah memiliki keluarga baru di sini, walaupun aku bukan siapa-siapa Mereka.Selepas Maghrib Ibunya Hesti mempersilahkan kami untuk makan bersama di ruang tengah, ada pula Bude Ning dan suaminya, Ibunya Hesti dan Hesti. Kami semua makan lesehan di ruang tengah, makanan yang tersaji bukanlah makanan mewah, tapi sangat enak dan dinikmati bersama. Beberapa kali aku melirik ke arah wanita cantik yang duduk di depanku, entah kenapa senyuman itu membuatku ingin selalu meliriknya.Setelah selesai makan, aku ngobrol-ngobrol santai dengan Pakde Mul, yang merupakan Suaminya Bude Ning, beliau seorang petani. Melihat perawakannya aku jadi teringat Pak Imran ayahnya Sintya. Jujur masih terselip di dalam sini rasa bersalah yang begitu besar terhadap Beliau. "Sudah mulai larut, saya pamit dulu Pakde," pamitku.Melihatku ngobrol dengan Pakde Mul, Hesti lebih banyak di dalam. K