Sungguh sangat berat beban yang dirasa oleh Rania saat ini. Dia benar-benar bingung bagaimana dia akan menghadapi sang ibu mertua yang sangat mempercayai dirinya akan berhasil. Dia sadar ini adalah kesalahannya yang sangat yakin akan berhasil sehingga dia pun memaksa sang ibu mertua untuk percaya kepadanya juga dan menghilangkan semua keraguan yang ada di dalam hatinya. Dia tidak tahu kalau selama ini dia tidak mengenal dengan baik bagaimana sifat dan tingkah laku keluarga dari suaminya itu. Dia hanya mengenal Ayah Ridho dan Ibu Tyas saja. Dia hanya meyakini sesuai dengan apa yang diajarkan oleh bunda Nayla, Ibu panti asuhan dimana selama ini ia tinggal bahwa semarah apapun setiap anggota keluarga, rasa kasih sayang diantara mereka tidak akan pernah menghilang.
Sekarang ia hanya bisa mematung di tempat ia berdiri, merasa bingung harus kemana lagi sekarang. Sebuah suara dering ponsel miliknya membuyarkan lamunan Rania saat itu. Dengan segera dia mengambil ponsel yang sedari tadi teronggok manis di dalam tas kecil miliknya. Ibu Tyas, nama itu yang muncul dari layar depan ponsel sederhana miliknya hadiah dari gaji pertama sang suami.
“Assalamualaikum,” sapa Rania mengangkat panggilan tersebut.
“Waalaikumsallam,” jawab suara serak dari sesorang paruh baya di balik telepon itu.
“Kamu dimana sayang?” tanya Ibu Tyas.
“Rania ini sudah mau pulang, Bu. Rania...” Belum sempat gadis itu menyelesaikan ucapannya, Ibu Tyas memotong dengan kata-kata yang seketika membuat Rania semakin hancur.
“Nak, cepat pulang, Yusuf semakin kritis. Dokter menyuruh keluarga untuk bisa datang semua,” ucap sang ibu mertua sambil menangis.
“Apa?”
Lemas, sakit, hancur, itulah yang sekarang dirasakan oleh Rania. Air matanya terus saja mengalir semakin deras, menghadapi ujian yang sangat bertubi-tubi ini.
“Apa yang terjadi dengan Yusuf, Bu? Apa yang terjadi?”
“Sudahlah Nak, pokoknya kamu cepat pulang saja. Ibu mohon.”
“Iya Bu, Rania segera pulang,” kata penutup dari gadis itu yang langsung menutup panggilan tersebut.
Rania kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas kecil yang sedari tadi tergantung asyik di bahunya. Kedua tangannya mengusap air yang terus jatuh dari kedua sudut matanya. Dia kembali melangkahkan kakinya yang sedari tadi terasa begitu berat melangkah namun kali ini berubah seperti melayang saking ingin sekali secepatnya pulang ke rumah.
Baru beberapa langkah saja Rania berjalan, tiba-tiba sebuah mobil mewah berwarna hitam menghadangnya, membuat gadis itu terpaksa menghentikan langkahnya kembali. Matanya terus menatap kaca mobil itu, ingin mengetahui siapakah gerangan seseorang yang sudah menghalanginya. Tak berapa lama, pintu mobil hitam itu pun terbuka, mengeluarkan sosok seorang laki-laki yang tentu saja Rania kenal. Siapa lagi kalau bukan Bian.
Rania menghembuskan nafas kasar. Dia tidak tahu apa lagi yang laki-laki ini inginkan darinya. Setelah apa yang sudah dia dan keluarganya lakukan, apakah itu masih belum cukup? Itulah beberapa pertanyaan yang terbesit di dalam pikiran Rania saat itu.
Bian berjalan perlahan, mendekat ke arah Rania. Membuka kacamata hitamnya dan menyimpannya di belahan dada kaos birunya hingga laki-laki itu pun kini sudah berdiri tepat di hadapan Rania. Kedua tangannya terlipat di depan perutnya. Senyum menyeringai yang penuh dengan nafsu dan ejekan kembali tersaji di mata Rania.
“Kamu mau apa lagi Bian?” tanya Rania. Entah mendapatkan keberanian darimana tapi kali ini, Rania berani menatap wajah Bian dan berbicara dengan nada yang sedikit tinggi.
“Waw, si kucing yang manis dalam sekejap berubah menjadi singa betina rupanya. Tapi aku semakin menyukainya,” oceh Bian tanpa menjawab pertanyaan Rania. Rania pun membalas dengan senyuman sinis.
“Hmm, suka? Bukannya tadi di depan Papih kesayanganmu itu kamu bilang kamu sudah tidak menyukaiku? Karena aku adalah barang bekas Yusuf?” ucap Rania dengan senyum mengejek. Namun hal itu malah membuat Bian ketawa.
Rania yang sudah sangat kesal dengan tingkah Bian, berusaha berjalan ke arah samping untuk melewati laki-laki itu. Di dalam pikirannya saat ini dirinya sedang tidak ada waktu untuk meladeni laki-laki gila itu. Dia harus segera pulang untuk menemui Yusuf. Sedangkan untuk sampai ke rumahnya memakan waktu hingga 5 jam perjalanan. Itu pun dengan menggunakan bus yang tidak setiap saat ada di terminal. Bus itu biasanya muncul setiap satu jam sekali. Jika Rania melewatkan bus yang sekarang, otomatis dia harus menunggu bus selanjutnya.
“Rania, aku akan memberikanmu uang untuk biaya operasi Yusuf,” Teriak Bian yang seketika menghentikan langkah Rania.
Menyadari gadis itu berhenti, laki-laki itu pun berjalan mendekatinya. Kembali berdiri di depan Rania dan melanjutkan kata-katanya.
“Iya, aku akan membantumu untuk bisa mengobati Yusuf,” ucap Bian kembali meyakinkan.
Rania terkejut sekaligus merasa aneh. Bagaiamana bisa Bian mau menolong Yusuf? Bagaimana bisa Bian bersedia menolong laki-laki yang selama ini sangat dia benci dan menjadi rivalnya untuk mendapatkan Rania dulu?
“Kenapa kaget?” tanya Bian sambil tersenyum, namun Rania masih saja diam mendengarkan.
“Aku tahu Papihku sangat keras. Dia tidak akan mau membantu Yusuf dan juga keluarganya. Tapi aku bisa membantu mereka, namun itu semua tidaklah gratis,” jelas Bian.
Sudah Rania duga, semuanya tidaklah segampang yang dia pikirkan. Bian tidak mungkin mau menolong Yusuf jika tidak ada maksud dibalik itu semua. Akan tetapi apa yang laki-laki itu inginkan dari Rania?
“Apa maumu Bian?” tanya Rania pelan. Bian kembali menyeringai.
“Sejak dari tadi aku melihatmu begitu kebingungan. Bahkan lihatlah sekarang, matamu saja sudah sangat bengkak akibat terlalu banyak menangis. Aku perhatikan demi uang itu kamu rela melakukan apa saja bahkan hingga berlutut dihadapan Papih dan Mamih.”
Bian menarik nafasnya sejenak sebelum dirinya kembali melanjutkan kata-katanya.
“Baiklah begini saja Rania, bagaimana kalau kita melakukan sebuah kesepakatan. Aku akan memberikanmu uang berapa pun yang kamu butuhkan tapi sebagai gantinya kamu harus menuruti apapun yang aku katakan.”
“Apa maksudmu?” tanya Rania masih tidak mengerti.
"Baiklah, singkatnya begini. Berapa jumlah uang yang kamu butuhkan saat ini? Aku akan memberikanmu, cash. Tapi sebagai gantinya, aku ingin kamu menemani aku tidur malam ini.”
DEG
Syarat apa itu? Bagaiamana bisa Bian berfikir sampai ke arah situ? Rania terkejut. Dia tidak pernah menyangka kalau Bian akan memberikan syarat yang begitu menjijikan. Dia masih bisa menerima ketika Paman Luki memintanya untuk berlutut di kakinya, dia masih bisa menuruti hal itu. Tapi tidur bersama Bian? Apa dia sudah gila? Rania tahu kalau dia sangat membutuhkan uang itu tapi dia tidak mau memberikan apa yang sudah menjadi milik suaminya kepada orang lain. Apalagi orang lain itu adalah Bian. Sampai kapanpun Rania tidak mau melakukan hal itu. Sampai kapan pun dia tidak mau mengkhianati cinta suaminya.
PLAK
Tangan kanan Rania melayang begitu saja, menampar pipi Bian dengan sangat keras, membuat laki-laki itu sedikit meringis kesakitan.
“Apa kamu gila? Aku memang butuh uang itu tapi aku tidak akan mau menjual diri ini kepada siapapun juga. Apalagi kepada laki-laki bejat sepertimu,” teriak Rania penuh emosi, namun lagi-lagi Bian hanya tersenyum.
“Baiklah. Aku sudah memberikan penawaran kepadamu tapi jika kamu menolak, ya terserah saja. sekarang kamu tinggal menunggu saja suami tercintamu itu terkubur di dalam tanah.”
“Aku akan terus berusaha untuk menyelamatkan suamiku. Dengan atau tanpa bantuan darimu.”
Rania yang emosi, pergi berjalan dengan sangat cepat meninggalkan Bian yang masih terus menatap gadis itu.
“Lihatlah Rania, aku tidak akan pernah membuat hidupmu tenang. Tamparan ini, rasa sakit di pipi ini akan selalu mengingatkan aku untuk terus merusak kehidupan bahagiamu. Dari dulu hingga sekarang, aku tidak rela melihatmu bahagia. Lihat saja apa yang bisa aku lakukan.”
***
Sore hari di rumah sakit tepat dimana Yusuf masih dirawat dengan sangat intensif oleh para dokter dan juga suster yang berjaga disana. Sambil menunggu keputusan keluarga tentang langkah selanjutnya kepada pasien, Yusuf pun dipindahkan terlebih dahulu ke ruang perawatan. Hanya Ibu Tyas saja yang selalu menjaganya, di sisinya dan tak sekali pun mau meninggalkan anak tersayangnya itu. Wajah Yusuf masih sangat pucat, dengan selang oksigen yang masih menempel di hidungnya dan jarum infus yang setia menusuk di tangannya. Kembali, melihat kondisi sang anak yang sangat mengkhawatirkan, Ibu Tyas kembali menangis. Ibu Tyas mendorong kursi rodanya untuk mendekat ke arah sang anak pas di samping kepala Yusuf. Tangannya yang sudah mulai mengerut tampak mengusap kepala sang anak. Hatinya benar-benar hancur melihat anak yang selama 9 bulan berada di dalam perutnya, seorang anak yang demi kelahirannya, ia ikhlas melawan hidup dan mati. Seorang anak yang tak pernah lupa disebut naman
Senja yang sangat cerah. Langit berwarana orange dengan angin bertiup sepoy-sepoy membuat beberapa orang sangat senang menghabiskan waktunya bermain di tempat terbuka. Di sebuah taman yang cukup luas, tampak banyak sekali anak-anak kecil berlarian, bermain dengan riangnya. Seolah tidak ada permasalahan sama sekali di dalam pikiran mereka. Namun bukankah memang demikian? Pikiran seorang anak kecil hanya terbebani dengan tugas sekolah saja. Mereka belum diberi beban untuk memikirkan permasalahan dunia yang begitu rumit dan terkadang membuat diri putus asa sampai-sampai ingin mengakhiri hidup.Pikiran seorang anak kecil begitu polos. Mereka belum mengenal permainan dunia yang sangat kejam, penuh intrik dan penuh dengan kebohongan serta kejahatan. Mereka belum mengenal orang-orang munafik yang selalu baik di depan namun buruk di belakang. Mereka hanyalah seorang anak kecil. Di dalam pikiran mereka hanya bermain, bermain, dan bermain.Tiba-tiba tampak sebuah bola berwarna b
Langit yang sedari tadi tampak mendung manahan daya serap awan yang semakin berat akhirnya merasa lelah juga. Menumpahkan titik-titik air hujan yang mulai membasahi jalanan ibu kota. Debu-debu yang semula menumpuk menutupi jalanan beraspal kini menghilang seolah tersapu oleh air hujan dan memunculkan bau yang terasa sangat menyengat di dalam hidung.Orang-orang yang semula berlalu-lalang di tengah jalan mulai menepi mencari tempat yang sekiranya nyaman untuk berteduh. Begitu juga beberapa motor yang sedang melaju, banyak diantaranya yang ikut menepi karena sang pengendara lupa tidak membawa jas hujan. Udara dingin mulai menyeruak menusuk ke sela-sela pori terdalam. Satu kesalahan lagi yang dilakukan oleh Rania kembali membuatnya menyesal. Sejak awal dia berangkat ke kota ini, dia lupa tidak membawa jaket ataupun payung. Rasa paniknya membuat dirinya tidak berfikir sampai ke arah situ.Alhasil Rania pun ikut berkumpul bersama orang-orang yang sedang menghindari air huja
“Halaaaahh, semua pencuri kalau sudah tertangkap pasti bilangnya terpaksa. Udah kita seret saja pencuri ini ke kantor polisi sekarang,” teriak laki-laki lainnya.Salah satu laki-laki yang posisinya paling dekat dengan Rania langsung menarik tangan gadis itu dengan kasar hendak menyeret tubuh Rania. Gadis itu pun memberontak, mencoba melepaskan tangannya dari genggaman laki-laki itu yang dirasa sangat menyakitkan. Bukan hanya rasa sakit di tangan saja, namun juga rasa sakit di dalam hatinya.“Ampun, Pak. Jangan bawa saya ke kantor polisi.”Rania terus saja memohon. Dia terus berusaha menggerakan tangannya agar bisa terlepas dari genggaman laki-laki itu. Air matanya pun sudah tak terbendung lagi. Tiba-tiba saja seorang ibu-ibu paruh baya berjalan mendekati wanita itu danPLAKIbu itu pun mendaratkan sebuah tamparan yang sangat keras kepada Rania, membuat bibir wanita ini sobek dan berdarah.“Pencuri wanita seperti
Beberap tahun yang lalu.Pada suatu malam yang sangat mencekam karena sang langit tengah menurunkan hujan yang sangat deras ditemani halilintar yang berbunyi berkali-kali. Di salah satu daerah di kota B, tepatnya di sebuah panti asuhan yang bernama Panti Asuhan Generasi Mandiri, semua anak sudah tertidur dengan sangat lelap sedari tadi. Bisingnya air hujan yang jatuh di atas genting nyatanya tidak membuat para anak-anak panti itu terbangun dari tidurnya. Mata mereka tetap saja tertutup seolah sedang asyik bermain di dunia mimpi sampai tidak sadar dengan apa yang terjadi di dunia nyata.Lain halnya para anak-anak, lain juga dengan orang dewasa. Di rumah panti itu kebetulan ada tiga orang manusia dewasa yang tinggal disana. Agung, sang pemilik rumah panti, Nayla istrinya, dan Reni adik dari Nayla. Usia Reni masih muda. semenjak orangtuanya meninggal gadis ini ikut tinggal bersana sang kakak dan kakak iparnya sambil mengurus anak-anak panti itu. Selain membantu sang kakak
“Ren, tolong jaga anak-anak ya! Mbak mau ke pasar dulu sebentar,” ucap Nayla kepada sang adik yang masih sedang sibuk menata makanan di atas meja makan. Iya, mereka baru saja selesai memasak sarapan untuk anak-anak semua. Sedangkan Agung sudah berangkat dari subuh ke tempat kerjanya karena sedang menyiapkan proyekan di luar pulau bersama atasannya.“Iya Mbak. Mbak hati-hati di jalan.”Dengan berbekal sebuah keranjang sayur yang dia pegang, Nayla pun berangkat ke arah pasar yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Seperti layaknya pasar-pasar tradisional lainnya, setiap pagi pasar itu pun selalu saja padat oleh para ibu-ibu yang hendak berbelanja bahan masakan.“Loh Mbak Nayla, si cantik gak diajak lagi?” tanya salah satu pedagang sayur langganan Nayla.“Gak Mbak. Anaknya gak mau ikut lagi katanya,” jawab Nayla sambil tersenyum.“Wah, susah ya Mbak mengurus anak yang tertutup seperti itu?&
“Minumlah.” Dimas menyodorkan sebuah minuman kepada Rania yang saat itu masih duduk sambil tertunduk. Badannya masih saja bergetar merasakan sakit akibat banyaknya luka di sekujur tubuhnya. Walaupun saat ini air matanya sudah tidak lagi mengalir, akan tetapi gadis ini terus saja terdiam tanpa bersuara, melamun, pikirannya terbang jauh entah kemana. Setelah kejadian itu, kejadian yang hampir saja membuat Rania diseret masuk ke kantor polisi dan akhirnya membuat Dimas harus membawanya ke klinik terdekat, kini mereka berdua pun duduk berdua di sebuah kafe and resto sederhana yang ada di sekitaran rumah sakit tersebut untuk menenangkan diri. Karena tidak mendapatkan respon dari wanita di hadapannya, Dimas pun menyimpan minuman itu di atas meja sedangkan dia mendudukkan badannya di kursi tepat di depan Rania. Sedikit meneguk minuman pesanannya lalu kembali menatap wajah ketakutan sahabat sekaligus cinta pertamanya itu. Cinta pertama? Iya, Dimas sudah berteman dengan
Malam itu hujan disertai angin dan juga petir menyambar sangat kencang. Malam itu langit benar-benar sangat gelap, tak ada setitik cahaya pun disana. Sinar rembulan ataupun gemerlap bintang seolah bersembunyi karena takut dengan garangnya awan hitam di malam hari. Semua pintu dan jendela di setiap rumah sudah terkunci dengan rapat. Para penghuninya pun lebih memilih untuk segera membaringkan badannya di atas tempat tidur dan memejamkan matanya, berharap saat mereka bangun, hujan deras itu sudah berhenti.Semua anak-anak di panti asuhan sudah tertidur. Bahkan Reni pun sudah berpetualang di alam mimpinya. Hanya Nayla saja yang masih terjaga. Dia duduk bersimpuh dengan balutan mukena berwarna putih dengan tangan yang terus memutar bulatan-bulatan tasbih. Bibirnya tak henti melafadzkan dzikir dan sholawat nabi. Mencoba mengetuk pintu langit ke tujuh untuk meminta keselamatan kepada Sang Maha Pemilik Kehidupan bagi sang suami yang kini sedang dalam perjalanan dinas ke luar pulau.
"Apa yang sedang kamu lakukan, sayang?" suara Dimas menginterupsi. Rania yang sedang mencari kalung tersebut langsung menoleh ke arah sang suami.Melihat raut panik di wajah sang istri, Dimas pun turun dari tempat tidurnya. Dia berjalan mendekati Rania lalu duduk di lantai di samping wanita itu."Ada apa sayang? Apa yang sedang kamu cari? Ini sudah malam loh," tanya Dimas dengan tangan yang membelai rambut sang istri."Aku… aku sedang mencari kalung, Kak," ucap Rania.Awalnya Rania memang berniat akan menghadapi segalanya sendiri tanpa harus melibatkan Dimas. Akan tetapi lambat laun dia juga berpikir bahwa apa yang dia lakukan ini tidak baik. Bagaimanapun juga Dimas adalah suaminya sekarang. Apapun yang terjadi kepadanya, sudah menjadi tanggung jawab Dimas. Lagipula Rania sendiri tak yakin apa dirinya sanggup untuk menghadapi kenyataan ini sendiri atau tidak. Oleh karena itu dia pun memutuskan untuk menceritakan semuanya saja kepada sang suami."Kalung? Kalung yang mana?" tanya Dimas m
"Nona, kita sudah sampai,” ucap Alman yang berhasil menyadarkan lamunan wanita itu. Pandangan Rania pun melihat ke arah luar. Ternyata benar, mereka telah sampai di tempat semula laki-laki itu menjemput Rania.Dengan sigap Alman langsung turun dari mobil tersebut dan membukakan pintu untuk nona besarnya itu. Perlahan Rania turun dan mulai melangkahkan kakinya untuk pulang menuju ke rumah kontrakanya.“Nona, tunggu sebentar!” ucap Alman dan berhasil membuat langkah Rania yang sudah beberapa meter menjauh darinya itu terhenti. Wanita itu pun kembali menoleh ke arah belakang.“Iya Tuan.,” ucap Rania.Alman langsung melangkahkan kakinya ke arah belakang mobil. Kedua tangannya membuka bagasi belakang mobil tersebut dan mulai mengeluarkan beberapa keresek besar berwarna putih. Laki-laki itu pun berjalan mendekati Rania dan memberikan semua bungkusan itu kepadanya.“Apa ini Tuan?” tanya Rania mengernyit keheranan.“Maaf nona. Tadi pagi
“Sebuah panti asuhan di sebuah kota kecil bernama Panti Asuhan Generasi Mandiri.”DEG...Panti Asuhan Generasi Mandiri? Bukankah itu adalah nama Panti Asuhan milik Umi Nayla dan Abi Agung. Tapi apa iya panti asuhan yang itu? Tidak! Nama Panti Asuhan Generasi Mandiri tidak hanya satu di kota ini kan? Pasti ada banyak panti asuhan yang memiliki nama yang sama. Pikiran Rania mulai dipenuhi dengan pertayaan-pertanyaan yang membuat kepalanya sedikit pusing.“Panti Asuhan Generasi Mandiri?” Rania yang sejak tadi hanya diam dan mendengarkan saja akhirnya mengeluarkan suara kecilnya. Kepala sang Kakek yang sejak tadi menunduk berubah terangkat ke atas dan menatap wajah Rania dengan sedikit tersenyum. Sang kakek pun kembali melanjutkan ceritanya.“Iya, Panti Asuhan Generasi Mandiri, milik Nyonya Nayla dan Tuan Agung,” tegas sang Kakek. Rania kembali terdiam di dalam kemelut hatinya sendiri.“Kakek tahu kalau kamu pasti berpikir kalau di negara ini atau bahkan mungkin di kota ini ada banyak se
“Nak, nama Kakek adalah Imam Sahara. Kamu bisa memanggil kakek dengan sebuatan Kakek Imam. Kakek adalah pemilik dari perusahaan besar di beberapa kota di negara ini juga di luar negeri, Perusahaan Sahara. Apa kamu pernah mendengarnya?” tanya sang Kakek sambil membalikkan badannya kembali menghadap Rania. Wanita itu menggelengkan kepalanya dan membuat sang Kakek tersenyum.Sang Kakek mengerti jika wanita di depannya itu belum pernah mendengarnya, karena selama ini Rania tinggal di sebuah kota terpencil dan selama kehidupannya dia tidak pernah berurusan dengan urusan bisnis. Sang Kakek pun kembali menjelaskan jika perusahaan Sahara adalah salah satu perusahaan raksasa yang ada di dalam negeri ini. Bahkan bisa dikatakan perusahaan nomor satu yang ada di negara ini.Walaupun Perusahaan Sahara adalah perusahaan ternama akan tetapi sang Kakek tidak pernah mengizinkan siapapun untuk meliput anggota keluarganya. Baginya apapun yang terjadi di dalam keluarganya adal
"Aku harus secepatnya pergi dari sini. Iya, aku harus secepatnya pergi dari tempat ini. Harus! Sebelum laki-laki itu datang dan berbuat yang tidak-tidak kepadaku," gumam Rania.Dengan cepat Rania bergerak menuju ke arah pintu. Namun sial saat tinggal beberapa langkah lagi menuju ke arah pintu, kedua mata Rania melihat gagang pintu yang bergerak dan sesaat kemudian pintu itu pun terbuka.Seorang laki-laki yang usianya sudah tidak muda lagi tampak sedang berdiri di depan pintu. Walaupun usianya sudah tua akan tetapi perawakannya masih tegap. Dengan berbalut kemeja putih dan jas hitam yang sangat bagus, laki-laki itu sungguh menunjukkan kalau dirinya memang bukan orang sembarang."Siapa laki-laki ini? Apa dia akan berbuat jahat kepadaku? Atau jangan-jangan dia adalah orang jahat yang suka menculik dan menjual wanita dan anak kecil untuk dijual ke luar negeri?" pikir Rania.Di dalam otak Rania terus berp
Setelah lama melaju, mobil itu pun berhenti di sebuah pelataran hotel mewah. Lamunan Rania kembali tersadar dan rasa takut itu pun kembali datang ke dalam tubuhnya saat dirinya melihat kalau mereka telah sampai di sebuah hotel. Sebenarnya siapa dia yang ingin bertemu dengan Rania? Dan kenapa harus di hotel?"Mari silahkan nona!" Ucapan Alman yang menyuruhnya untuk turun dari mobil berhasil membuat Rania membuyarkan lamunannya."I.. Iya.." Jawab Rania gugup.Dengan tangan yang masih menggendong sang anak Rizky, Rania pun perlahan turun dari mobil. Kedua bola matanya menatap sebuah gedung hotel yang begitu besar. Jujur saja ini adalah kali pertama dirinya menginjakkan kaki di tempat ini bahkan ini adalah kali pertamanya juga dia melihat tempat ini. Selama ini
Pagi itu, pagi-pagi sekali Dimas sudah pergi untuk kembali mencari sebuah pekerjaan. Semalam mungkin karena dirinya sangat lelah, laki-laki itu pun tidur dengan sangat nyenyaknya. Tanpa melakukan apapun bersama sang istri walaupun sebenarnya sebelumnya Dimas sempat menginginkannya. Akan tetapi rasa lelah dan juga kantuk ternyata bisa mengalahkan semuanya. Sepasang suami istri ini pun hanya bisa tidur sambil berpelukan saja.Di dalam setiap langkah yang diambil oleh sang suami dalam mengais rezeki dari Allah selalu ditemani oleh doa-doa dari sang istri. Rania selalu mendoakan suaminya ini yang terbaik. Dia tidak pernah memaksakan kehendaknya kepada Dimas karena dia menyerahkan segala keputusannya hanya kepada Allah SWT saja. Karena hanya Dia yang paling tahu apa yang terbaik bagi setiap hambanya.Pagi itu setelah suaminya
Mengapa terkadang ada beberapa orang tua yang selalu membeda-bedakan jenis kelamin anaknya sendiri. Kenapa terkadang mereka lebih menyukai anak laki-laki daripada anak perempuan. Mereka selalu berpikir jika anak laki-laki bisa menjadi penerus keluarga. Lalu apa anak perempuan tidak bisa dijadikan sebagai lambang kebanggaan dari sebuah keluarga?Di dalam sela waktu dirinya bercerita kepada sang kakak ipar, dengan tanpa disengaja Pingkan pun meneteskan air matanya. Sebenarnya di dalam hatinya yang paling dalam, dia selalu merasa iri melihat sang kakak Dimas yang selalu mendapatkan perhatian lebih dari kedua orang tuanya terutama sang ayah. Sedangkan dirinya hanya untuk meminta ditemani saja, mereka selalu menolak. Terkadang Pingkan juga selalu berpikir apa mungkin dirinya bukan anak kandung dari kedua orang tuanya?Mendengar semua perjuangan adik iparnya itu selama ini, membuat Rania pun ikut sedih. Dulu awalnya dia juga sering merasa sedih dan sangat kecewa kepada kedua
“Dan satu hal lagi. Bukankah Dimas menikah belum lama ini. Kalau tidak salah belum genap satu tahun lalu bagaimana mungkin dia memiliki anak berusia sekitar dua tahun? Apa kakak iparmu itu sudah menyerahkan semuanya kepada Dimas dari sebelum mereka menikah? Ohh, tidak. Jika seperti itu kejadiannya seharusnya anak itu masih berada di dalam kandungannya. Hmm, hanya satu yang sepertinya memang terjadi. Kakak iparmu itu berzinah dengan laki-laki lain sampai dia memiliki seorang anak. Dan karena membutuhkan banyak biaya maka wanita ini menggoda calon suamiku Dimas. Hmm.. tepat sekali. Iya, kakakmu Dimas, atau calon suamiku sudah terjebak leh wanita jalang seperti dia!” teriak Angela sambil menunjuk ke arah Rania.BUGH...Mendengar wanita gila itu terus menghina sang kakak ipar yang sangat dia sayangi dan juga dia hormati itu, benar-benar membuat Pingkan tak bisa menahan emosinya lagi. Sebuah gerakan cepat pun dilakukan oleh gadis muda itu. Saking cepatnya bahkan