Hari sudah beranjak sore. Jarum jam yang melingkar di tangan kiri Rania sudah menunjukkan pukul 3 sore. Rania pun menghela nafas panjang.
Hmm, tinggal beberapa jam lagi sebelum mengambil keputusan untuk Yusuf. Sedangkan sampai sekarang, aku belum tahu harus bagaimana? Aku belum tahu harus pergi ke mana? Ya Allah, hamba mohon berikan petunjuk-Mu. Apa yang harus hamba lakukan? Berilah keajaiban-Mu Ya Allah. Hamba mohon, ucap Rania di dalam hatinya.
Dia menangis merasakan saat ini dirinya begitu tidak berdaya, begitu lemah. Langit yang semula terlihat cerah kini tiba-tiba saja berubah menjadi mendung. Tidak tahu apa karena sudah masuk musim pancaroba ataukah sang langit juga ikut bersedih melihat apa yang sudah dialami oleh gadis itu, entahlah.
Langkah Rania terhenti di salah satu sudut jalan yang masih sepi dari ribuan kendaraan. Tentu saja karena kaki Rania masih berada di dalam sebuah perumahan elite. Jarak yang sebenarnya tidak terlalu jauh untuk sampai ke persimpangan jalan raya namun kali ini benar-benar menguras tenaganya tanpa sisa.
Dengan lesu, Rania menengadahkan wajahnya, menatap langit senja yang sudah diselimuti banyaknya awan hitam. Apakah akan segera turun hujan? Aahh, dia sungguh tidak peduli. Rasa semangat di dalam hati Rania kini sudah benar-benar mati.
Rania terduduk di samping trotoar. Wajahnya dia tenggelamkan di kedua kakinya. Hatinya merasa sangat sakit. Disaat dia sedang diterpa ujian yang begitu berat sedangkan dirinya tidak bisa berbuat apa-apa, disitulah Rania sadar kalau setiap manusia itu lemah. Setiap manusia itu tidak patut menyombongkan dirinya sendiri. Lagipula apa yang mesti disombongkan, bila bernafas saja masih meminta udara kepada Allah.
Pikiran Rania kini kembali ke kejadian tadi malam. Kejadian di Rumah Sakit saat sang dokter mengatakan sebuah lomba berlari melawan waktu.
***
“Saya harap Anda bisa mengambil keputusan secepatnya karena kondisi pasien benar-benar gawat. Kita harus segera melakukan operasi karena gumpalan darah di otak itu sangat berbahaya. Jika terlambat sedikit saja maka kita akan kehilangan pasien,” ucap dokter tegas.
“Tapi dokter, darimana kami bisa mendapatkan uang sebanyak itu?” tanya Ibu Tyas menangis. Setelah dirinya kehilangan suami, dia tidak mau jika harus kehilangan sang anak juga.
“Kami mohon maaf, Bu. Tapi kita semua harus menjalankan sesuai prosedur yang ada. Saya hanya bisa memberikan waktu 1 x 24 jam untuk kalian mencari biayanya. Jika lebih dari itu, saya tidak bisa menjamin. Saya permisi dulu karena masih ada pasien lain yang harus saya tangani,” ujar dokter itu sambil berjalan keluar ruangannya diikuti Rania dan juga Ibu Tyas.
Hancur sudah semangat di dalam diri Rania mendengar sosok sang suami yang selama ini selalu ada sebagai penyemangat, sebagai kekuatan di dalam dirinya kini sedang kritis. Yusuf sedang berada diantara hidup dan mati. Air matanya pun terjatuh sangat deras saat itu juga. Merasakan rasa pedih dan sakit di dalam hatinya yang seolah ditusuk oleh ribuan jarum.
Sepasang kaki yang selama ini sangat kuat menopang berat tubuhnya, kini mendadak lemas bagaikan tak ada tenaga sama sekali, membuatnya terjatuh, terduduk lemas di atas lantai rumah sakit yang teramat dingin. Begitu banyak pasang mata yang memperhatikan dirinya namun tidak dia pedulikan sama sekali. Ini tentang hidupnya, ini tentang nafasnya, ini tentang jantung kehidupannya.
Seperti hal nya Rania, sang ibu mertua pun menangis tak berdaya. Rasanya dia ingin sekali menjerit. Kedua wanita ini benar-benar merasa kehilangan satu-satunya lelaki yang selama ini telah menjadi penopang hidupnya, telah menjadi tulang punggung keluarga. Tidak! Bukan kehilangan tapi sedang diambang kehilangan. Bukankah kehilangan dan diambang kehilangan adalah dua kata yang berbeda? Itulah yang ada di dalam pikiran Rania saat itu. Dia akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa menyelamatkan sang suami yang begitu dia cintai itu.
Rania pun berdiri, berjalan mendekati Yusuf yang masih terbaring lemas tak sadarkan diri. Tangannya yang gemetar mengusap lembut pipi laki-laki yang selama ini selalu ada di dalam hatinya itu. Bibir yang bergetar maju mendekati wajah sang suami dan mendarat di atas kening laki-laki tersebut. Setelah menatap lekat wajah pucat sang suami, Rania kembali melangkahkan kakinya mendekati sang ibu mertua. Rania berjongkok untuk mensejajarkan badannya dengan sang ibu. Tangan kecilnya mengusap lembut buliran air mata yang sedari tadi tak berhenti mengalir dari kedua sudut kelopak mata tuanya.
“Bagaimana ini, Nak? Bagaimana ini?” ucap Ibu Tyas terus menangis.
“Ibu tenanglah dulu. Kita akan mencari jalan untuk bisa menyelamatkan Yusuf.”
“Ibu tidak mau kehilangan Yusuf, Nak. Ibu tidak mau.”
“Ibu, siapa yang ingin kehilangan Yusuf? Rania juga tak ingin kehilangan Yusuf, Bu. Rania juga sayang Yusuf. Dia suami Rania,” ucap Rania. Ibu Tyas pun memeluk sang menantu dan menangis di bahunya.
“Ibu tenanglah! Ibu percaya sama Rania. Yusuf kita pasti selamat,” ucap Rania dengan pasti. Dia ingin memberikan rasa semangat ke dalam tubuh sang ibu walaupun sebenarnya dia juga masih terus berusaha membangkitkan semangat itu sendiri di dalam tubuhnya. Namun dia tidak bisa terus terpuruk seperti ini. Kini hanya dia satu-satunya yang bisa menyelamatkan Yusuf. Dia yang harus berusaha mencari biaya agar sang suami bisa melaksanakan operasi secepatnya.
Rania berlari ke rumah, dia mencari apa saja yang sekiranya bisa dia jual. Para masyarakat di sekitar rumah Rania juga bergotong royong memberikan sumbangan untuk membantu meringankan beban biaya Yusuf. Sejak awal keluarga Tyas dan Ridho tinggal di rumah itu, tingkah lakunya sangat baik terhadap orang lain. Itu sebabnya mereka pun mau membantu dengan ikhlas untuk membantu keluarga Tyas.
Rania sudah mengeluarkan semua apa yang dia punya. Dia sudah menguras habis semua tabungannya, hasil dirinya menyisihkan uang nafkah dari sang suami. Selain itu dia juga terpaksa menjual sebuah cincin yang selama ini melingkar di jari manisnya. Satu-satunya kenangan pernikahannya dengan Yusuf. Uang hasil sumbangan dari para warga pun sudah ada di tangannya. Namun sayang, setelah semua itu digabungkan hasilnya masih belum cukup. Jangankan untuk biaya operasi, untuk biaya kamar dan obat saja masih jauh dari kata cukup.
Gadis itu benar-benar bingung. Dia benar-benar tidak tau lagi apa yang harus dia lakukan untuk menyelamatkan suaminya. Sampai akhirnya terbesit suatu ide di dalam otaknya untuk meminta tolong kepada Paman Luki. Dia berfikir kalau Paman Luki pasti akan mau menolongnya. Dia tau kalau hubungan diantara keluarga ayah mertuanya dan sang paman memang tidak terlalu baik, tapi apapun yang terjadi mereka adalah keluarga, memiliki satu darah yang sama.
Mendengar ide Rania sebenarnya Ibu Tyas menolak. Dia sangat tau bagaimana kelakuan adik iparnya itu. Dia tidak mungkin mau membantu keluarganya. Namun Rania tetap bersikeras untuk mencoba meyakinkan paman Luki. Dia sangat yakin kalau dirinya bisa meluluhkan hati sang paman.
Namun ternyata apa yang dikatakan sang ibu mertua benar. Paman Luki tidak mau membantu mereka sama sekali dan sekarang yang ada malah Rania mengetahui satu rahasia di dalam keluarga suaminya itu. Sebuah rahasia yang entah itu benar atau tidak.
***
Sungguh sangat berat beban yang dirasa oleh Rania saat ini. Dia benar-benar bingung bagaimana dia akan menghadapi sang ibu mertua yang sangat mempercayai dirinya akan berhasil. Dia sadar ini adalah kesalahannya yang sangat yakin akan berhasil sehingga dia pun memaksa sang ibu mertua untuk percaya kepadanya juga dan menghilangkan semua keraguan yang ada di dalam hatinya. Dia tidak tahu kalau selama ini dia tidak mengenal dengan baik bagaimana sifat dan tingkah laku keluarga dari suaminya itu. Dia hanya mengenal Ayah Ridho dan Ibu Tyas saja. Dia hanya meyakini sesuai dengan apa yang diajarkan oleh bunda Nayla, Ibu panti asuhan dimana selama ini ia tinggal bahwa semarah apapun setiap anggota keluarga, rasa kasih sayang diantara mereka tidak akan pernah menghilang.Sekarang ia hanya bisa mematung di tempat ia berdiri, merasa bingung harus kemana lagi sekarang. Sebuah suara dering ponsel miliknya membuyarkan lamunan Rania saat itu. Dengan segera dia mengambil ponsel yang sedari ta
Sore hari di rumah sakit tepat dimana Yusuf masih dirawat dengan sangat intensif oleh para dokter dan juga suster yang berjaga disana. Sambil menunggu keputusan keluarga tentang langkah selanjutnya kepada pasien, Yusuf pun dipindahkan terlebih dahulu ke ruang perawatan. Hanya Ibu Tyas saja yang selalu menjaganya, di sisinya dan tak sekali pun mau meninggalkan anak tersayangnya itu. Wajah Yusuf masih sangat pucat, dengan selang oksigen yang masih menempel di hidungnya dan jarum infus yang setia menusuk di tangannya. Kembali, melihat kondisi sang anak yang sangat mengkhawatirkan, Ibu Tyas kembali menangis. Ibu Tyas mendorong kursi rodanya untuk mendekat ke arah sang anak pas di samping kepala Yusuf. Tangannya yang sudah mulai mengerut tampak mengusap kepala sang anak. Hatinya benar-benar hancur melihat anak yang selama 9 bulan berada di dalam perutnya, seorang anak yang demi kelahirannya, ia ikhlas melawan hidup dan mati. Seorang anak yang tak pernah lupa disebut naman
Senja yang sangat cerah. Langit berwarana orange dengan angin bertiup sepoy-sepoy membuat beberapa orang sangat senang menghabiskan waktunya bermain di tempat terbuka. Di sebuah taman yang cukup luas, tampak banyak sekali anak-anak kecil berlarian, bermain dengan riangnya. Seolah tidak ada permasalahan sama sekali di dalam pikiran mereka. Namun bukankah memang demikian? Pikiran seorang anak kecil hanya terbebani dengan tugas sekolah saja. Mereka belum diberi beban untuk memikirkan permasalahan dunia yang begitu rumit dan terkadang membuat diri putus asa sampai-sampai ingin mengakhiri hidup.Pikiran seorang anak kecil begitu polos. Mereka belum mengenal permainan dunia yang sangat kejam, penuh intrik dan penuh dengan kebohongan serta kejahatan. Mereka belum mengenal orang-orang munafik yang selalu baik di depan namun buruk di belakang. Mereka hanyalah seorang anak kecil. Di dalam pikiran mereka hanya bermain, bermain, dan bermain.Tiba-tiba tampak sebuah bola berwarna b
Langit yang sedari tadi tampak mendung manahan daya serap awan yang semakin berat akhirnya merasa lelah juga. Menumpahkan titik-titik air hujan yang mulai membasahi jalanan ibu kota. Debu-debu yang semula menumpuk menutupi jalanan beraspal kini menghilang seolah tersapu oleh air hujan dan memunculkan bau yang terasa sangat menyengat di dalam hidung.Orang-orang yang semula berlalu-lalang di tengah jalan mulai menepi mencari tempat yang sekiranya nyaman untuk berteduh. Begitu juga beberapa motor yang sedang melaju, banyak diantaranya yang ikut menepi karena sang pengendara lupa tidak membawa jas hujan. Udara dingin mulai menyeruak menusuk ke sela-sela pori terdalam. Satu kesalahan lagi yang dilakukan oleh Rania kembali membuatnya menyesal. Sejak awal dia berangkat ke kota ini, dia lupa tidak membawa jaket ataupun payung. Rasa paniknya membuat dirinya tidak berfikir sampai ke arah situ.Alhasil Rania pun ikut berkumpul bersama orang-orang yang sedang menghindari air huja
“Halaaaahh, semua pencuri kalau sudah tertangkap pasti bilangnya terpaksa. Udah kita seret saja pencuri ini ke kantor polisi sekarang,” teriak laki-laki lainnya.Salah satu laki-laki yang posisinya paling dekat dengan Rania langsung menarik tangan gadis itu dengan kasar hendak menyeret tubuh Rania. Gadis itu pun memberontak, mencoba melepaskan tangannya dari genggaman laki-laki itu yang dirasa sangat menyakitkan. Bukan hanya rasa sakit di tangan saja, namun juga rasa sakit di dalam hatinya.“Ampun, Pak. Jangan bawa saya ke kantor polisi.”Rania terus saja memohon. Dia terus berusaha menggerakan tangannya agar bisa terlepas dari genggaman laki-laki itu. Air matanya pun sudah tak terbendung lagi. Tiba-tiba saja seorang ibu-ibu paruh baya berjalan mendekati wanita itu danPLAKIbu itu pun mendaratkan sebuah tamparan yang sangat keras kepada Rania, membuat bibir wanita ini sobek dan berdarah.“Pencuri wanita seperti
Beberap tahun yang lalu.Pada suatu malam yang sangat mencekam karena sang langit tengah menurunkan hujan yang sangat deras ditemani halilintar yang berbunyi berkali-kali. Di salah satu daerah di kota B, tepatnya di sebuah panti asuhan yang bernama Panti Asuhan Generasi Mandiri, semua anak sudah tertidur dengan sangat lelap sedari tadi. Bisingnya air hujan yang jatuh di atas genting nyatanya tidak membuat para anak-anak panti itu terbangun dari tidurnya. Mata mereka tetap saja tertutup seolah sedang asyik bermain di dunia mimpi sampai tidak sadar dengan apa yang terjadi di dunia nyata.Lain halnya para anak-anak, lain juga dengan orang dewasa. Di rumah panti itu kebetulan ada tiga orang manusia dewasa yang tinggal disana. Agung, sang pemilik rumah panti, Nayla istrinya, dan Reni adik dari Nayla. Usia Reni masih muda. semenjak orangtuanya meninggal gadis ini ikut tinggal bersana sang kakak dan kakak iparnya sambil mengurus anak-anak panti itu. Selain membantu sang kakak
“Ren, tolong jaga anak-anak ya! Mbak mau ke pasar dulu sebentar,” ucap Nayla kepada sang adik yang masih sedang sibuk menata makanan di atas meja makan. Iya, mereka baru saja selesai memasak sarapan untuk anak-anak semua. Sedangkan Agung sudah berangkat dari subuh ke tempat kerjanya karena sedang menyiapkan proyekan di luar pulau bersama atasannya.“Iya Mbak. Mbak hati-hati di jalan.”Dengan berbekal sebuah keranjang sayur yang dia pegang, Nayla pun berangkat ke arah pasar yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Seperti layaknya pasar-pasar tradisional lainnya, setiap pagi pasar itu pun selalu saja padat oleh para ibu-ibu yang hendak berbelanja bahan masakan.“Loh Mbak Nayla, si cantik gak diajak lagi?” tanya salah satu pedagang sayur langganan Nayla.“Gak Mbak. Anaknya gak mau ikut lagi katanya,” jawab Nayla sambil tersenyum.“Wah, susah ya Mbak mengurus anak yang tertutup seperti itu?&
“Minumlah.” Dimas menyodorkan sebuah minuman kepada Rania yang saat itu masih duduk sambil tertunduk. Badannya masih saja bergetar merasakan sakit akibat banyaknya luka di sekujur tubuhnya. Walaupun saat ini air matanya sudah tidak lagi mengalir, akan tetapi gadis ini terus saja terdiam tanpa bersuara, melamun, pikirannya terbang jauh entah kemana. Setelah kejadian itu, kejadian yang hampir saja membuat Rania diseret masuk ke kantor polisi dan akhirnya membuat Dimas harus membawanya ke klinik terdekat, kini mereka berdua pun duduk berdua di sebuah kafe and resto sederhana yang ada di sekitaran rumah sakit tersebut untuk menenangkan diri. Karena tidak mendapatkan respon dari wanita di hadapannya, Dimas pun menyimpan minuman itu di atas meja sedangkan dia mendudukkan badannya di kursi tepat di depan Rania. Sedikit meneguk minuman pesanannya lalu kembali menatap wajah ketakutan sahabat sekaligus cinta pertamanya itu. Cinta pertama? Iya, Dimas sudah berteman dengan
"Apa yang sedang kamu lakukan, sayang?" suara Dimas menginterupsi. Rania yang sedang mencari kalung tersebut langsung menoleh ke arah sang suami.Melihat raut panik di wajah sang istri, Dimas pun turun dari tempat tidurnya. Dia berjalan mendekati Rania lalu duduk di lantai di samping wanita itu."Ada apa sayang? Apa yang sedang kamu cari? Ini sudah malam loh," tanya Dimas dengan tangan yang membelai rambut sang istri."Aku… aku sedang mencari kalung, Kak," ucap Rania.Awalnya Rania memang berniat akan menghadapi segalanya sendiri tanpa harus melibatkan Dimas. Akan tetapi lambat laun dia juga berpikir bahwa apa yang dia lakukan ini tidak baik. Bagaimanapun juga Dimas adalah suaminya sekarang. Apapun yang terjadi kepadanya, sudah menjadi tanggung jawab Dimas. Lagipula Rania sendiri tak yakin apa dirinya sanggup untuk menghadapi kenyataan ini sendiri atau tidak. Oleh karena itu dia pun memutuskan untuk menceritakan semuanya saja kepada sang suami."Kalung? Kalung yang mana?" tanya Dimas m
"Nona, kita sudah sampai,” ucap Alman yang berhasil menyadarkan lamunan wanita itu. Pandangan Rania pun melihat ke arah luar. Ternyata benar, mereka telah sampai di tempat semula laki-laki itu menjemput Rania.Dengan sigap Alman langsung turun dari mobil tersebut dan membukakan pintu untuk nona besarnya itu. Perlahan Rania turun dan mulai melangkahkan kakinya untuk pulang menuju ke rumah kontrakanya.“Nona, tunggu sebentar!” ucap Alman dan berhasil membuat langkah Rania yang sudah beberapa meter menjauh darinya itu terhenti. Wanita itu pun kembali menoleh ke arah belakang.“Iya Tuan.,” ucap Rania.Alman langsung melangkahkan kakinya ke arah belakang mobil. Kedua tangannya membuka bagasi belakang mobil tersebut dan mulai mengeluarkan beberapa keresek besar berwarna putih. Laki-laki itu pun berjalan mendekati Rania dan memberikan semua bungkusan itu kepadanya.“Apa ini Tuan?” tanya Rania mengernyit keheranan.“Maaf nona. Tadi pagi
“Sebuah panti asuhan di sebuah kota kecil bernama Panti Asuhan Generasi Mandiri.”DEG...Panti Asuhan Generasi Mandiri? Bukankah itu adalah nama Panti Asuhan milik Umi Nayla dan Abi Agung. Tapi apa iya panti asuhan yang itu? Tidak! Nama Panti Asuhan Generasi Mandiri tidak hanya satu di kota ini kan? Pasti ada banyak panti asuhan yang memiliki nama yang sama. Pikiran Rania mulai dipenuhi dengan pertayaan-pertanyaan yang membuat kepalanya sedikit pusing.“Panti Asuhan Generasi Mandiri?” Rania yang sejak tadi hanya diam dan mendengarkan saja akhirnya mengeluarkan suara kecilnya. Kepala sang Kakek yang sejak tadi menunduk berubah terangkat ke atas dan menatap wajah Rania dengan sedikit tersenyum. Sang kakek pun kembali melanjutkan ceritanya.“Iya, Panti Asuhan Generasi Mandiri, milik Nyonya Nayla dan Tuan Agung,” tegas sang Kakek. Rania kembali terdiam di dalam kemelut hatinya sendiri.“Kakek tahu kalau kamu pasti berpikir kalau di negara ini atau bahkan mungkin di kota ini ada banyak se
“Nak, nama Kakek adalah Imam Sahara. Kamu bisa memanggil kakek dengan sebuatan Kakek Imam. Kakek adalah pemilik dari perusahaan besar di beberapa kota di negara ini juga di luar negeri, Perusahaan Sahara. Apa kamu pernah mendengarnya?” tanya sang Kakek sambil membalikkan badannya kembali menghadap Rania. Wanita itu menggelengkan kepalanya dan membuat sang Kakek tersenyum.Sang Kakek mengerti jika wanita di depannya itu belum pernah mendengarnya, karena selama ini Rania tinggal di sebuah kota terpencil dan selama kehidupannya dia tidak pernah berurusan dengan urusan bisnis. Sang Kakek pun kembali menjelaskan jika perusahaan Sahara adalah salah satu perusahaan raksasa yang ada di dalam negeri ini. Bahkan bisa dikatakan perusahaan nomor satu yang ada di negara ini.Walaupun Perusahaan Sahara adalah perusahaan ternama akan tetapi sang Kakek tidak pernah mengizinkan siapapun untuk meliput anggota keluarganya. Baginya apapun yang terjadi di dalam keluarganya adal
"Aku harus secepatnya pergi dari sini. Iya, aku harus secepatnya pergi dari tempat ini. Harus! Sebelum laki-laki itu datang dan berbuat yang tidak-tidak kepadaku," gumam Rania.Dengan cepat Rania bergerak menuju ke arah pintu. Namun sial saat tinggal beberapa langkah lagi menuju ke arah pintu, kedua mata Rania melihat gagang pintu yang bergerak dan sesaat kemudian pintu itu pun terbuka.Seorang laki-laki yang usianya sudah tidak muda lagi tampak sedang berdiri di depan pintu. Walaupun usianya sudah tua akan tetapi perawakannya masih tegap. Dengan berbalut kemeja putih dan jas hitam yang sangat bagus, laki-laki itu sungguh menunjukkan kalau dirinya memang bukan orang sembarang."Siapa laki-laki ini? Apa dia akan berbuat jahat kepadaku? Atau jangan-jangan dia adalah orang jahat yang suka menculik dan menjual wanita dan anak kecil untuk dijual ke luar negeri?" pikir Rania.Di dalam otak Rania terus berp
Setelah lama melaju, mobil itu pun berhenti di sebuah pelataran hotel mewah. Lamunan Rania kembali tersadar dan rasa takut itu pun kembali datang ke dalam tubuhnya saat dirinya melihat kalau mereka telah sampai di sebuah hotel. Sebenarnya siapa dia yang ingin bertemu dengan Rania? Dan kenapa harus di hotel?"Mari silahkan nona!" Ucapan Alman yang menyuruhnya untuk turun dari mobil berhasil membuat Rania membuyarkan lamunannya."I.. Iya.." Jawab Rania gugup.Dengan tangan yang masih menggendong sang anak Rizky, Rania pun perlahan turun dari mobil. Kedua bola matanya menatap sebuah gedung hotel yang begitu besar. Jujur saja ini adalah kali pertama dirinya menginjakkan kaki di tempat ini bahkan ini adalah kali pertamanya juga dia melihat tempat ini. Selama ini
Pagi itu, pagi-pagi sekali Dimas sudah pergi untuk kembali mencari sebuah pekerjaan. Semalam mungkin karena dirinya sangat lelah, laki-laki itu pun tidur dengan sangat nyenyaknya. Tanpa melakukan apapun bersama sang istri walaupun sebenarnya sebelumnya Dimas sempat menginginkannya. Akan tetapi rasa lelah dan juga kantuk ternyata bisa mengalahkan semuanya. Sepasang suami istri ini pun hanya bisa tidur sambil berpelukan saja.Di dalam setiap langkah yang diambil oleh sang suami dalam mengais rezeki dari Allah selalu ditemani oleh doa-doa dari sang istri. Rania selalu mendoakan suaminya ini yang terbaik. Dia tidak pernah memaksakan kehendaknya kepada Dimas karena dia menyerahkan segala keputusannya hanya kepada Allah SWT saja. Karena hanya Dia yang paling tahu apa yang terbaik bagi setiap hambanya.Pagi itu setelah suaminya
Mengapa terkadang ada beberapa orang tua yang selalu membeda-bedakan jenis kelamin anaknya sendiri. Kenapa terkadang mereka lebih menyukai anak laki-laki daripada anak perempuan. Mereka selalu berpikir jika anak laki-laki bisa menjadi penerus keluarga. Lalu apa anak perempuan tidak bisa dijadikan sebagai lambang kebanggaan dari sebuah keluarga?Di dalam sela waktu dirinya bercerita kepada sang kakak ipar, dengan tanpa disengaja Pingkan pun meneteskan air matanya. Sebenarnya di dalam hatinya yang paling dalam, dia selalu merasa iri melihat sang kakak Dimas yang selalu mendapatkan perhatian lebih dari kedua orang tuanya terutama sang ayah. Sedangkan dirinya hanya untuk meminta ditemani saja, mereka selalu menolak. Terkadang Pingkan juga selalu berpikir apa mungkin dirinya bukan anak kandung dari kedua orang tuanya?Mendengar semua perjuangan adik iparnya itu selama ini, membuat Rania pun ikut sedih. Dulu awalnya dia juga sering merasa sedih dan sangat kecewa kepada kedua
“Dan satu hal lagi. Bukankah Dimas menikah belum lama ini. Kalau tidak salah belum genap satu tahun lalu bagaimana mungkin dia memiliki anak berusia sekitar dua tahun? Apa kakak iparmu itu sudah menyerahkan semuanya kepada Dimas dari sebelum mereka menikah? Ohh, tidak. Jika seperti itu kejadiannya seharusnya anak itu masih berada di dalam kandungannya. Hmm, hanya satu yang sepertinya memang terjadi. Kakak iparmu itu berzinah dengan laki-laki lain sampai dia memiliki seorang anak. Dan karena membutuhkan banyak biaya maka wanita ini menggoda calon suamiku Dimas. Hmm.. tepat sekali. Iya, kakakmu Dimas, atau calon suamiku sudah terjebak leh wanita jalang seperti dia!” teriak Angela sambil menunjuk ke arah Rania.BUGH...Mendengar wanita gila itu terus menghina sang kakak ipar yang sangat dia sayangi dan juga dia hormati itu, benar-benar membuat Pingkan tak bisa menahan emosinya lagi. Sebuah gerakan cepat pun dilakukan oleh gadis muda itu. Saking cepatnya bahkan