Gue noleh ke Siska dengan tatapan penuh kebingungan, sementara Arum yang baru nyusul juga langsung jongkok di depan gue, ngelihatin gue dengan curiga.
"Astaga, Ayu ... Lo nangis?!" Arum langsung panik. "Siapa yang bikin lo nangis? Gue hajar nih!" "Gue nggak nangis karena sedih," gue buru-buru klarifikasi, meskipun sisa air mata masih ada di pipi gue. Gue usap cepet-cepet. "Gue nangis karena ... ah, gimana ya jelasinnya!" Siska dan Arum makin penasaran. Mereka saling lirik, terus noleh ke gue lagi. "Udah, buruan cerita sebelum gue kepikiran nimpuk lo pake botol minum," ancam Siska dengan wajah gemas. Gue tarik napas panjang, mencoba mengatur degup jantung gue yang masih nggak stabil. Akhirnya, dengan suara masih sedikit gemetar, gue jawab, "Bin ... nelepon gue barusan." Dua detik hening. Terus ... "APA?! BIN?!" Arum dan Siska kompak teriak, sampai beberapa anak di kTanpa banyak kata, Mbin menarik gue ke dalam pelukannya. Gue nggak bisa menahan lagi, tangis gue langsung pecah di dadanya, semua rindu yang selama ini gue pendam mengalir begitu saja.Dia nggak berkata apa-apa, cuma mengeratkan pelukannya, membiarkan gue melepaskan semua yang tertahan. Setelah beberapa saat, dia menarik diri sedikit, cukup untuk melihat wajah gue. Kedua tangannya naik, jari-jarinya menyentuh pipi gue dengan lembut, menghapus sisa air mata yang masih mengalir."Jangan nangis, Yu ... Aku di sini." Suaranya lembut, hampir berbisik, bercampur dengan deru napasnya yang terdengar begitu dekat.Dan sebelum gue bisa merespons, dia menundukkan wajahnya, bibirnya menyentuh bibir gue.Ciumannya lembut di awal, seolah ingin menenangkan gue, tapi perlahan ada sesuatu yang berubah. Sentuhannya makin dalam, gerakannya makin menuntut. Tanpa sadar, langkah gue mundur, mengikuti arahan tubuhnya, sampai akhirnya punggung gue menyentuh dinding.
Di ruangan bengkel yang remang, waktu terasa berhenti. Malam ini, gue menyerahkan diri dalam dekapannya, membiarkan dia menuntun gue ke dalam dunia yang selama ini cuma jadi batas khayal di kepala.Mbin bukan sekadar menyentuh. Dia menjelajahi, mengenali setiap inci seolah mau menghafal semuanya di luar kepala. Nafasnya panas di kulit gue, menyusuri tiap sudut yang bikin gue menggeliat, menahan erangan.Dia nggak terburu-buru. Justru makin pelan, makin penuh perhitungan. Seolah ingin gue merasakan tiap gesekan lewat jari dan bibirnya, tiap tekanan lembut yang dia kasih.Gue terperangkap dalam pusaran rasa yang nggak bisa gue kendalikan. Tubuh gue menyerah, pasrah sama tiap gerakannya. Tiap hembusan nafasnya di sana ... di titik yang bikin gue merem melek, cengkraman gue makin erat di bahunya.Suara gue pecah dalam gumaman, napas gue tersengal ketika dia menenggelamkan dirinya lebih dalam, lebih dalam lagi. Satu-satunya yang bisa gue lakukan cuma p
Gue masuk rumah dan nutup pintu pelan-pelan, tapi begitu pintu tertutup, lutut gue langsung lemes. Gue bersandar di baliknya, napas gue masih belum teratur, berusaha mencerna semua yang baru aja dia lakuin dan katakan. Dada gue masih naik turun, jantung masih kebut-kebutan nggak karuan. Gue pegang leher gue, ngerasain sisa hangat dari sentuhan dan ciumannya yang tadi dia kasih tanpa ragu. "Apa dia tahu kalau Iky tadi siang terpaksa ungkapin perasaannya ke gue?" Pikiran itu bikin gue menggigit bibir bawah gue sendiri. Mbin nggak pernah ngomong apa-apa soal itu, tapi caranya bersikap malam ini, lebih berani, lebih dominan, lebih posesif, bikin gue mikir, jangan-jangan dia tahu. Atau setidaknya, dia ngerasain sesuatu yang bikin dia semakin nggak mau ngelepas gue. Gue akhirnya ngelangkah menuju kamar dengan langkah gontai. Tubuh gue masih terasa anget, bukan cuma karena kejadian tadi, tapi juga karena efek dari Mbin yang terasa masih melekat di ku
Setelah bersiap, gue memilih pakai baju berkerah tinggi lagi. Nggak ada pilihan lain, ini satu-satunya cara buat nutupin bekas "perbuatan" Mbin di leher gue. Gue ngelirik cermin sebentar sebelum berangkat, memastikan semuanya aman. Jangan sampai ada yang sadar. Iky datang menjemput gue seperti biasa, tapi ada yang beda hari ini. Suasananya agak canggung. Dia cuma ngangguk sekilas pas gue keluar rumah dan naik ke motornya. Biasanya kita ngobrol sepanjang jalan, tapi kali ini sunyi. Gue juga bingung harus ngomong apa. Gue tahu dia masih mikirin kejadian kemarin, saat dia 'terpaksa' ngungkapin perasaannya ke gue. Padahal, seharusnya hari ini jadi momen paling excited. Gue akhirnya bakal nginjek kampus buat pertama kalinya sebagai calon mahasiswa. Meskipun gue masuk lewat jalur undangan, tetep aja ada deg-degan dikit. Apalagi Arum, Siska, dan Iky harus lewat jalur tes. Gue tahu mereka lebih tegang. Setelah sampai di kampus, anak-anak GGS udah ngum
Gue buru-buru nurunin kaos gue lagi, rasa panik mulai naik ke kepala. "Aduh, gimana nih? Gue nggak enak sama Iky..." Siska mendesah berat, terus nunjuk diri sendiri. "Gue yang paling merasa bersalah di sini! Anjir, terus lo tadi dijemput Iky gimana?" Gue menghela napas, nunduk ngadep cermin wastafel di toilet. "Ya gitu ... Gue pengennya hubungan kita rame, asik lagi kayak dulu. Sekarang malah jadi canggung begini, anjir." "Ahaaaa! Gue tahu!" Arum tiba-tiba nyeletuk keras, suaranya hampir bikin gue sama Siska loncat. "Apaan?" Gue sama Siska refleks nanya barengan. Arum nyengir penuh arti, matanya berbinar kayak baru nemuin ide brilian. "Kita harus jadi makcomblangnya Iky sama Jeni. Tapi secara nggak langsung!" Siska langsung berkedip beberapa kali. "Gimana tuh?" Gue sama Siska dengerin baik-baik arahan Arum. Ya, itu memang perlu waktu buat Iky dan Jeni lebih deket, tapi kalau berhasil, paling nggak suasa
Arum narik lengan gue tanpa aba-aba, nyeret gue pelan-pelan ke arah Iky dan Jeni yang masih ngobrol. "Eh ... eh, ngapain?" Gue panik sendiri. Mana gue masih pegang minuman, jadi jalan pun ribet. Tapi Arum nggak peduli, malah makin kenceng nariknya. "Udah ikut aja!" katanya santai, sementara Siska juga ikut-ikutan di belakang gue, keliatan banget ada sesuatu yang mereka rencanain. Gue belum sempet mikir lebih jauh, tiba-tiba Arum dengan sengaja nyenggol tangan gue. ok Dan ... PLOPPP! Botol minuman yang gue pegang goyang, isinya muncrat, dan dalam hitungan detik teh manis itu tumpah tepat ke baju Jeni. "Hahhhh!!??" Gue langsung syok, diem nggak bisa ngomong apa-apa. Mata gue dan Jeni bertemu, dan ekspresinya jelas-jelas murka. "Ish! What's wrong with you?!" Jeni ngomel dengan suara tinggi, matanya melotot kayak mau nelen gue hidup-hidup. Sial, beneran dia marah. Gue refleks mundur selang
Kita terus ngikutin Iky dari belakang, menjaga jarak biar nggak ketahuan. Gue pikir mereka bakal langsung pulang ke rumah Jeni, tapi ternyata motor Iky malah belok ke arah pusat kota dan akhirnya berhenti di parkiran mall."Jeni ngajak ke mall?" gumam gue sambil turun dari motornya Nunu."Ya baguslah, biar mereka bisa berduaan," sahut Nunu santai sambil melepas helmnya.Gue masih memperhatikan mereka dari jauh. Jeni turun lebih dulu, terus nungguin Iky yang lagi matiin mesin motor. Dari cara Jeni berdiri yang sedikit berjinjit sambil ngelirik Iky, kelihatan banget dia excited. Sementara Iky, seperti biasa, mukanya datar. Tapi entah kenapa, dia nggak kelihatan seketus tadi pagi.Hasan juga turun dari motornya, terus jalan ke arah gue dan Nunu. "Jadi gimana nih? Kita ngikutin ke dalem?" tanyanya, suaranya agak berbisik biar nggak ketahuan yang lain."Iya lah! Masa sampe sini doang," jawab Nunu enteng.Gue masih agak ragu. "Tapi kal
“Eh, Yu! Elo gantiin gue piket, ya! Gue lagi banyak urusan!” ujar Jeni ke gue yang tak sempat menolak. Jeni segera memakai tas-nya terburu-buru entah memang ada urusan atau memang ingin menghindari tugas piketnya hari ini. Terpaksa gue pun melempar tas yang sempat gue kenakan dengan kesal ke bangku gue lagi, dan mulai menjalankan piket kelas.Waktu berlalu, gue menghela napas panjang, lelah setelah piket yang seakan nggak ada habisnya. Sapu di tangan kanan gue, gue genggam erat, sementara mata gue ngelirik jam dinding yang tergantung di kelas.Sudah lewat pukul lima sore, dan sekolah mulai sepi. Hampir semua murid sudah pulang, kecuali beberapa teman gue yang masih sibuk membereskan ruang kelas."Kenapa juga sih gue harus nurutin si Jeni cewek manja kayak dia? Seenaknya aja nyuruh-nyuruh gue!" gumam gue sambil menyapu sisa-sisa sobekan kertas yang berserakan di lantai, sambil mendengus kesal.“Nih, kerjaan bocah laki-laki lempar-lempar kertas! Perang kertas apaan coba. Nyusahin yang
Kita terus ngikutin Iky dari belakang, menjaga jarak biar nggak ketahuan. Gue pikir mereka bakal langsung pulang ke rumah Jeni, tapi ternyata motor Iky malah belok ke arah pusat kota dan akhirnya berhenti di parkiran mall."Jeni ngajak ke mall?" gumam gue sambil turun dari motornya Nunu."Ya baguslah, biar mereka bisa berduaan," sahut Nunu santai sambil melepas helmnya.Gue masih memperhatikan mereka dari jauh. Jeni turun lebih dulu, terus nungguin Iky yang lagi matiin mesin motor. Dari cara Jeni berdiri yang sedikit berjinjit sambil ngelirik Iky, kelihatan banget dia excited. Sementara Iky, seperti biasa, mukanya datar. Tapi entah kenapa, dia nggak kelihatan seketus tadi pagi.Hasan juga turun dari motornya, terus jalan ke arah gue dan Nunu. "Jadi gimana nih? Kita ngikutin ke dalem?" tanyanya, suaranya agak berbisik biar nggak ketahuan yang lain."Iya lah! Masa sampe sini doang," jawab Nunu enteng.Gue masih agak ragu. "Tapi kal
Arum narik lengan gue tanpa aba-aba, nyeret gue pelan-pelan ke arah Iky dan Jeni yang masih ngobrol. "Eh ... eh, ngapain?" Gue panik sendiri. Mana gue masih pegang minuman, jadi jalan pun ribet. Tapi Arum nggak peduli, malah makin kenceng nariknya. "Udah ikut aja!" katanya santai, sementara Siska juga ikut-ikutan di belakang gue, keliatan banget ada sesuatu yang mereka rencanain. Gue belum sempet mikir lebih jauh, tiba-tiba Arum dengan sengaja nyenggol tangan gue. ok Dan ... PLOPPP! Botol minuman yang gue pegang goyang, isinya muncrat, dan dalam hitungan detik teh manis itu tumpah tepat ke baju Jeni. "Hahhhh!!??" Gue langsung syok, diem nggak bisa ngomong apa-apa. Mata gue dan Jeni bertemu, dan ekspresinya jelas-jelas murka. "Ish! What's wrong with you?!" Jeni ngomel dengan suara tinggi, matanya melotot kayak mau nelen gue hidup-hidup. Sial, beneran dia marah. Gue refleks mundur selang
Gue buru-buru nurunin kaos gue lagi, rasa panik mulai naik ke kepala. "Aduh, gimana nih? Gue nggak enak sama Iky..." Siska mendesah berat, terus nunjuk diri sendiri. "Gue yang paling merasa bersalah di sini! Anjir, terus lo tadi dijemput Iky gimana?" Gue menghela napas, nunduk ngadep cermin wastafel di toilet. "Ya gitu ... Gue pengennya hubungan kita rame, asik lagi kayak dulu. Sekarang malah jadi canggung begini, anjir." "Ahaaaa! Gue tahu!" Arum tiba-tiba nyeletuk keras, suaranya hampir bikin gue sama Siska loncat. "Apaan?" Gue sama Siska refleks nanya barengan. Arum nyengir penuh arti, matanya berbinar kayak baru nemuin ide brilian. "Kita harus jadi makcomblangnya Iky sama Jeni. Tapi secara nggak langsung!" Siska langsung berkedip beberapa kali. "Gimana tuh?" Gue sama Siska dengerin baik-baik arahan Arum. Ya, itu memang perlu waktu buat Iky dan Jeni lebih deket, tapi kalau berhasil, paling nggak suasa
Setelah bersiap, gue memilih pakai baju berkerah tinggi lagi. Nggak ada pilihan lain, ini satu-satunya cara buat nutupin bekas "perbuatan" Mbin di leher gue. Gue ngelirik cermin sebentar sebelum berangkat, memastikan semuanya aman. Jangan sampai ada yang sadar. Iky datang menjemput gue seperti biasa, tapi ada yang beda hari ini. Suasananya agak canggung. Dia cuma ngangguk sekilas pas gue keluar rumah dan naik ke motornya. Biasanya kita ngobrol sepanjang jalan, tapi kali ini sunyi. Gue juga bingung harus ngomong apa. Gue tahu dia masih mikirin kejadian kemarin, saat dia 'terpaksa' ngungkapin perasaannya ke gue. Padahal, seharusnya hari ini jadi momen paling excited. Gue akhirnya bakal nginjek kampus buat pertama kalinya sebagai calon mahasiswa. Meskipun gue masuk lewat jalur undangan, tetep aja ada deg-degan dikit. Apalagi Arum, Siska, dan Iky harus lewat jalur tes. Gue tahu mereka lebih tegang. Setelah sampai di kampus, anak-anak GGS udah ngum
Gue masuk rumah dan nutup pintu pelan-pelan, tapi begitu pintu tertutup, lutut gue langsung lemes. Gue bersandar di baliknya, napas gue masih belum teratur, berusaha mencerna semua yang baru aja dia lakuin dan katakan. Dada gue masih naik turun, jantung masih kebut-kebutan nggak karuan. Gue pegang leher gue, ngerasain sisa hangat dari sentuhan dan ciumannya yang tadi dia kasih tanpa ragu. "Apa dia tahu kalau Iky tadi siang terpaksa ungkapin perasaannya ke gue?" Pikiran itu bikin gue menggigit bibir bawah gue sendiri. Mbin nggak pernah ngomong apa-apa soal itu, tapi caranya bersikap malam ini, lebih berani, lebih dominan, lebih posesif, bikin gue mikir, jangan-jangan dia tahu. Atau setidaknya, dia ngerasain sesuatu yang bikin dia semakin nggak mau ngelepas gue. Gue akhirnya ngelangkah menuju kamar dengan langkah gontai. Tubuh gue masih terasa anget, bukan cuma karena kejadian tadi, tapi juga karena efek dari Mbin yang terasa masih melekat di ku
Di ruangan bengkel yang remang, waktu terasa berhenti. Malam ini, gue menyerahkan diri dalam dekapannya, membiarkan dia menuntun gue ke dalam dunia yang selama ini cuma jadi batas khayal di kepala.Mbin bukan sekadar menyentuh. Dia menjelajahi, mengenali setiap inci seolah mau menghafal semuanya di luar kepala. Nafasnya panas di kulit gue, menyusuri tiap sudut yang bikin gue menggeliat, menahan erangan.Dia nggak terburu-buru. Justru makin pelan, makin penuh perhitungan. Seolah ingin gue merasakan tiap gesekan lewat jari dan bibirnya, tiap tekanan lembut yang dia kasih.Gue terperangkap dalam pusaran rasa yang nggak bisa gue kendalikan. Tubuh gue menyerah, pasrah sama tiap gerakannya. Tiap hembusan nafasnya di sana ... di titik yang bikin gue merem melek, cengkraman gue makin erat di bahunya.Suara gue pecah dalam gumaman, napas gue tersengal ketika dia menenggelamkan dirinya lebih dalam, lebih dalam lagi. Satu-satunya yang bisa gue lakukan cuma p
Tanpa banyak kata, Mbin menarik gue ke dalam pelukannya. Gue nggak bisa menahan lagi, tangis gue langsung pecah di dadanya, semua rindu yang selama ini gue pendam mengalir begitu saja.Dia nggak berkata apa-apa, cuma mengeratkan pelukannya, membiarkan gue melepaskan semua yang tertahan. Setelah beberapa saat, dia menarik diri sedikit, cukup untuk melihat wajah gue. Kedua tangannya naik, jari-jarinya menyentuh pipi gue dengan lembut, menghapus sisa air mata yang masih mengalir."Jangan nangis, Yu ... Aku di sini." Suaranya lembut, hampir berbisik, bercampur dengan deru napasnya yang terdengar begitu dekat.Dan sebelum gue bisa merespons, dia menundukkan wajahnya, bibirnya menyentuh bibir gue.Ciumannya lembut di awal, seolah ingin menenangkan gue, tapi perlahan ada sesuatu yang berubah. Sentuhannya makin dalam, gerakannya makin menuntut. Tanpa sadar, langkah gue mundur, mengikuti arahan tubuhnya, sampai akhirnya punggung gue menyentuh dinding.
Gue noleh ke Siska dengan tatapan penuh kebingungan, sementara Arum yang baru nyusul juga langsung jongkok di depan gue, ngelihatin gue dengan curiga. "Astaga, Ayu ... Lo nangis?!" Arum langsung panik. "Siapa yang bikin lo nangis? Gue hajar nih!" "Gue nggak nangis karena sedih," gue buru-buru klarifikasi, meskipun sisa air mata masih ada di pipi gue. Gue usap cepet-cepet. "Gue nangis karena ... ah, gimana ya jelasinnya!" Siska dan Arum makin penasaran. Mereka saling lirik, terus noleh ke gue lagi. "Udah, buruan cerita sebelum gue kepikiran nimpuk lo pake botol minum," ancam Siska dengan wajah gemas. Gue tarik napas panjang, mencoba mengatur degup jantung gue yang masih nggak stabil. Akhirnya, dengan suara masih sedikit gemetar, gue jawab, "Bin ... nelepon gue barusan." Dua detik hening. Terus ... "APA?! BIN?!" Arum dan Siska kompak teriak, sampai beberapa anak di k
Gue lanjut menyusuri daftar nama di papan pengumuman, kali ini nyari nama anak-anak GGS yang lain. Mereka tersebar di dua puluh peringkat teratas. Ada yang masuk sepuluh besar, ada juga yang sedikit di bawah, tapi tetap aja, hasil mereka nggak jelek.Gue sedikit tersenyum. Waw, lumayan juga. Meski mereka sering bandel, sering bolos, dan kadang malah lebih banyak keluyuran di jalan daripada duduk di kelas, ternyata otak mereka nggak bisa diremehkan.Mungkin karena sering latihan strategi buat urusan geng, mereka jadi punya pemikiran yang lebih tajam? Atau mungkin karena Bin?Ya, Bin...Gue menghela napas pelan. Meskipun lagi di tengah euforia kelulusan, tiba-tiba perasaan gue jadi mendung. Gue kangen. Kangen banget.Inget waktu Bin ngajak gue buat ngajarin dia belajar, padahal awalnya gue males banget. Tapi ternyata, saat kita akhirnya duduk bareng, gue sadar kalau Bin bukan cuma anak geng yang suka ribut atau balapan motor.Dia p