"Gue nggak bisa setengah-setengah, Yu. Gue harus tuntasin semua ini," kata Bin akhirnya, suaranya lirih, lembut banget, sampai bikin hati gue ngilu.
Kata "setengah-setengah" tiba-tiba ngingetin gue sama omongan Iky waktu itu. Dia bilang Bin nggak pernah setengah-setengah kalau udah sayang. Dan sekarang, hawa di sekitar gue rasanya makin panas, makin berat.Tangan gue, entah kenapa, bergerak lagi. Gue pegang bahu dia erat, terus jari-jari gue turun ngeraba dada dia yang memar itu."Ini pasti sakit, Bin ... sekarang baru memar ... gimana kalau nanti_""Kenapa lo setakut ini kalau gue terluka?" Potong Bin. Matanya masih natap gue, dalam banget, dan tangannya narik pinggang gue makin nempel ke perutnya.Gue kaget, balik natap dia. Semua perasaan yang selama ini gue pendam, semua gengsi yang gue pasang, kayak udah nggak ada artinya lagi sekarang."G-gue ..." Napas gue nggak beraturan. Tapi akhirnya gue tarik napas dalam-dalam dan bila"Lo lupa, waktu pertama masuk SMA, kita semua lagi masa orientasi waktu itu ...," tutur Bin, senyum kecil muncul di sudut bibirnya. Tatapannya melembut saat dia mengingat sesuatu."Emang kenapa pas orientasi?" tanya gue, alis gue mengernyit sambil berusaha mengingat kejadian yang dia maksud."Kita sekelompok," jawab Bin santai, "dan waktu itu kita dikasih tugas buat bawa makanan yang udah ditentuin sehari sebelumnya. Gue...," dia berhenti sebentar, ekspresinya sedikit berubah, "...gue lupa bawa salah satu yang diminta. Panik banget gue waktu itu."Gue ketawa kecil, "Ya ampun, terus kenapa lo panik banget? 'Kan biasa aja."Bin menggeleng pelan, "Buat gue nggak biasa. Gue nggak mau bikin kelompok kena hukuman gara-gara gue. Tapi, ya lo doang yang nanya ke gue. Cuma lo yang care.""Terus?" gue menatap dia lebih serius sekarang."Lo bilang ke gue, 'Ini ambil aja punya gue. Gue bawa lebih buat jaga-jaga.' Lo nggak tahu, Yu, kalimat se
Setelah itu, gue ketiduran di pelukan Bin. Rasanya nyaman banget, hangat, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, gue merasa tenang. Suara napas Bin yang teratur di samping gue kayak pengantar tidur yang sempurna. Tapi, di tengah malam, entah jam berapa, samar-samar gue denger suara pintu depan yang dibuka dengan pelan. Kayaknya Ayah baru pulang, seperti yang Ibu bilang tadi. Gue masih setengah sadar waktu itu, tapi suara yang gue denger berikutnya bikin gue langsung melek. Ada suara seperti orang berdebat. Awalnya kecil, kayak cuma gumaman, tapi makin lama makin jelas. Gue duduk perlahan, mencoba menangkap percakapan itu. Mata gue menatap pintu kamar dengan waspada, sementara telinga gue berusaha fokus. "Kenapa, Yu?" suara Bin serak, masih setengah tidur, tapi jelas dia sadar gue nggak tenang. "Ssst ...," gue taruh jari di depan bibir, "Dengerin deh, Ibu kayaknya berantem sama Ayah."
Gue langsung ke kamar mandi, buru-buru gosok gigi sama cuci muka. Air dingin bikin kepala gue sedikit lebih segar. Pas selesai, gue buka pintu kamar mandi, niatnya langsung keluar, tapi tiba-tiba si Bin nongol entah dari mana.Dia nyolek dagu gue sambil senyum jahil. "Pagi, Nyonya Bin," katanya pelan."Ih, apaan sih geli banget!" Gue jalan sambil andukin muka, berusaha nggak peduliin dia.Tapi dasar Bin, dia malah niru-niru suara gue dengan gaya lebay. "Dih, ipiin sih gili bingit!" Bibirnya dijebew-jebewin gitu, bikin muka dia jadi aneh banget.Gue ngakak, tapi tetap kesel, akhirnya gue kibasin handuk ke arah dia. "Kena lo!" Gue coba sabet dia, tapi dia lebih cepet. Dia langsung nutup pintu kamar mandi sambil ketawa-ketawa, bikin gue makin jengkel."Dasar ngeselin!" Gue ngomel, tapi nggak bisa nahan tawa juga. Bin emang selalu punya cara bikin gue kesel tapi ketawa bareng.Setelah beres, gue jalan ke meja makan. Ibu lagi nuang mi
"Wah, Ibu jadi pengen cepet-cepet punya cucu," celetuk Ibu tiba-tiba sambil cengengesan. Gue yang lagi minum langsung keselek. "Ohok! Ohok!" Gue buru-buru nyari tisu buat lap mulut. "Akh, Ibu mah apaan sih! Masih lama atuh, Bu. Ayu mau kuliah dulu, kerja dulu," protes gue sambil melotot kecil. Tapi Ibu sama Bin malah ketawa bareng, ngakak seolah mereka baru aja ngelempar lelucon terlucu di dunia. Gue cuma bisa melototin mereka, bingung. "Sejak kapan sih kalian kompak gini?" Gue nanya sambil berusaha tetap serius, tapi entah kenapa jadi ikut senyum kecil juga. Bin angkat bahu santai. "Ya, 'kan gue menantu idaman, wajar dong Ibu seneng." Dia nyengir lebar sambil nyolek pundak gue. "Aduh, udah-udah, nggak usah banyak omong! Makan aja deh, Bin, daripada makin besar kepala," kata gue sambil ngedorong piring nasi ke arahnya. Tapi dalam hati, gue ngerasa seneng. Di tengah segala kekacauan yang lagi t
"Awas ya, Yu. Tungguin pembalasan dari gue," kata Bin sebelum akhirnya berhenti ngetuk pintu. Gue cuma geleng-geleng sambil nyengir di dalam kamar.Setelah suasana tenang, gue memutuskan buat balik ke meja belajar, mencoba fokus lagi ke tugas-tugas yang harus gue selesaikan. Waktu berjalan tanpa terasa. Dua jam sudah berlalu, dan kepala gue mulai berat. Perut gue juga mulai protes, minta diisi.Gue langsung inget ibu tadi bekalin makanan. Pasti Bin yang bawa masuk ke rumah. Gue keluar kamar dan menuju dapur, penasaran. Bener aja, Bin ada di sana, sibuk ngangetin makanan. Magicom udah nyala, tandanya nasi udah siap."Ih, tumben lo di dapur," kata gue sambil duduk dan ambil segelas air minum dari dispenser."Dih, lo nggak tau aja. Gue emang suka begini kalau di rumah ibu," jawab dia santai, tangannya cekatan mindahin lauk-lauk dari bekal ke piring. Makanannya udah dihangatin di microwave.Gue memutuskan buat bantu, ambil peralatan makan dan
"Lo bener," gue akhirnya buka suara setelah hening yang terasa lama. "Awalnya gue nggak mau lama-lama terjebak dalam pernikahan ini ... tapi sekarang beda lagi, Bin."Bin masih natap gue dengan intens, nungguin kelanjutan jawaban gue. Ada sesuatu di matanya, kayak dia takut kehilangan jawaban yang dia harapkan."Gue ... gue mau pertahankan pernikahan ini," akhirnya gue bilang. Suara gue lirih, tapi cukup buat dia dengar.Senyum Bin langsung merekah. Matanya bersinar, dan tanpa banyak kata, dia berdiri. Refleks, gue ikut berdiri, meski bingung. Tapi sebelum gue sempat ngomong, dia narik gue ke dalam pelukannya.Pelukannya erat, hangat, bikin gue merasa aman. Gue nggak nyangka kalau keputusan buat tetap sama dia bakal berarti ini. Di dalam pelukannya, semua rasa ragu yang pernah gue rasain perlahan hilang.Iya, gue nggak nyangka kalau gue bakal bener-bener jalanin pernikahan ini sepenuh hati. Kadang, kita emang nggak tahu apa yang akan terj
"Ih, nggak mau!" gue spontan ngejawab sambil berdiri dari duduk dan dorong bahu dia. Tapi sebelum gue bisa kabur, tangan gue yang masih nempel di bahunya ditarik, bikin gue nggak seimbang dan jatoh tepat ke pangkuan dia. "Di rumah Ibu juga kita sekamar. Kenapa di sini nggak mau?" tanyanya dengan nada santai, tapi tangan dia malah ngunci gue di dekapannya. Pinggang gue dia peluk erat, dan sekarang gue duduk di paha dia. Gue mencoba balas dengan suara setenang mungkin, tapi malah kedengeran panik, "M-mm, ya ... Kalau di rumah Ibu 'kan ada Ibu ... Di sini nggak ada siapa-siapa. Nggak mau pokoknya!" Gue hampir teriak di akhir kalimat karena rasa gugup yang nggak ketulungan. Dia malah nyengir lebar, natap gue sambil sedikit mendekat. "Kenapa? Lo takut gue aneh-aneh ya?" tanyanya, matanya masih fokus di wajah gue. Ya ampun, muka gue udah pasti kayak tomat sekarang. Gue nggak berani balas natap dia. Gimana nggak? Gue masih sekola
Pagi itu gue udah siap-siap berangkat sekolah, cuma bikin sarapan nasi goreng yang gampang. Bin keluar dari kamarnya dengan wajah masih setengah ngantuk, tapi senyum sumringah langsung nongol pas dia lihat gue."Pagi, istrinya Mbin," katanya sambil tepuk-tepuk kepala gue ringan.Gue jadi senyum-senyum sendiri. "Pagi juga, suaminya Ayu. Nih, sarapan dulu," balas gue sambil bawa dua porsi nasi goreng ke meja makan.Kita makan bareng, suasana pagi yang terasa hangat. Biasanya sebelum sekolah pasti ribut dulu soal hal-hal nggak penting, tapi sekarang beda. Nggak ada debat, cuma ada obrolan kecil sambil nikmatin sarapan.Setelah sarapan, Bin langsung siapin motor buat berangkat. Gue di bonceng sama dia. Refleks, gue meluk dia dari belakang, ngerasa aman dengan cara yang nggak pernah gue duga sebelumnya.Pas nyampe sekolah, Bin parkirin motornya di tempat biasa. Dia bantuin gue lepasin helm dengan gerakan yang lembut, bahkan sambil bercanda. "R
Begitu sampai di bengkel, gue langsung tercengang. Tempat ini jauh dari bayangan gue tentang bengkel motor pada umumnya. Alih-alih penuh dengan oli dan bau besi yang menyengat, justru suasana di sini lebih mirip kafe dengan sentuhan industrial.Lampu gantung bergaya vintage menggantung dari langit-langit tinggi, dindingnya terbuat dari bata ekspos dengan dekorasi khas otomotif seperti plat nomor antik, roda gigi besar, dan poster-poster motor klasik. Meja dan kursi kayu dipadukan dengan elemen besi, menambah kesan maskulin tapi tetap nyaman buat nongkrong.Di sebelah bangunan utama, barulah area bengkel terlihat. Deretan motor gede berjejer rapi, dari Harley-Davidson, Ducati, sampai BMW seri touring.Beberapa alat servis terpajang di dinding, tersusun dengan rapi, menunjukkan kalau ini bukan bengkel sembarangan. Yang unik, ada jendela kaca besar yang memisahkan kafe dan bengkel, jadi pelanggan yang servis ringan bisa duduk santai sambil ngopi, nonton mekan
Ujian pun akhirnya usai. Semua rasa tegang, cemas, dan stres yang selama ini menumpuk rasanya mulai luruh satu per satu. Gue, Arum, dan Siska langsung sepakat buat main ke basecamp GGS, merayakan kebebasan kecil setelah berminggu-minggu berkutat sama buku dan latihan soal.Begitu sampai di sana, suasana langsung terasa akrab dan hangat. Nggak ada yang repot-repot beli makanan dari luar, kita semua sepakat buat masak nasi liwet bareng.Tangannya Arum yang paling cekatan, dia yang nyiapin bumbu, sementara gue dan Siska bantu-bantu sebisanya. Iky dan Hasan juga ikut nimbrung, sesekali malah cuma becanda doang, bikin kerjaan makin lama selesai."Aduh, ini nasinya kebanyakan air nggak sih?" tanya Siska sambil melirik panci."Santai aja, Sis. Kalau kebanyakan air, ya jadi bubur. Kalau kurang, tinggal tambahin lagi," kata Iky santai."Ih, santai banget lo!" protes Siska sambil jitak kepala Iky, bikin kita semua ketawa.Setelah
Tanpa terasa, hari yang gue tunggu-tunggu, atau lebih tepatnya, yang gue takuti, akhirnya tiba. Hari ujian. Hari di mana semuanya bakal diuji, bukan cuma seberapa banyak yang bisa gue ingat dari materi pelajaran, tapi juga seberapa kuat gue bisa tetap berdiri tanpa kehadiran Bin di sisi gue.Gue melangkah melewati koridor sekolah yang ramai. Siswa-siswa lain terlihat sibuk dengan buku catatan mereka, ada yang menghafal rumus, ada yang sekadar ngobrol buat nenangin diri. Tapi gue? Gue cuma diam, terus berjalan sambil ngerasain dada gue sedikit sesak.Nama gue ada di daftar ruangan yang sama dengan Iky. Setidaknya, ada satu wajah familiar yang bisa bikin gue nggak terlalu tegang.Tapi tetap aja, ada satu sosok yang harusnya ada di sini, di ruangan yang sama dengan gue, ngeledekin gue kayak biasa, atau minimal, meremas tangan gue sebelum masuk kelas buat ngasih semangat.Gue berhenti tepat di depan pintu kelas. Tangan gue mengepal di sisi t
Hari-hari gue jalani tanpa melihat Bin, baik di sekolah maupun di rumah.Setiap pagi, gue masuk kelas dan mendapati bangku kosong di belakang gue, bekas tempat Bin duduk bersama Nunu. Rasanya ada yang hilang, ada yang sepi. Gue nggak terbiasa dengan ini. Biasanya, gue bisa dengerin suara tawa kecil mereka, atau ngerasa gangguan kecil dari Bin yang suka nyolek punggung gue cuma buat godain. Sekarang, bangku itu kosong, jadi saksi bisu kepergian Bin.Hari ini, setelah pelajaran selesai, gue nggak tahan lagi. Gue noleh ke belakang, ke arah Nunu yang lagi sibuk ngeluarin buku dari tasnya."Nu, lo masih sering ketemu Bin nggak?" tanya gue, berharap setidaknya dia punya kabar tentang Bin.Nunu berhenti sejenak, lalu menghela napas. "Sekarang nggak ..., dia juga udah bilang ke kita, dia mau break dulu dari semua. Dia nggak ke basecamp, nongol di grup chat juga enggak," katanya pelan.Gue lihat wajahnya juga nggak jauh beda dari gue, sa
Gue nangis dalam pelukan Bin, nggak bisa nahan semua perasaan yang campur aduk di hati gue. Perasaan kehilangan, takut, sedih, dan marah bercampur jadi satu. Gue nggak siap pisah sama dia, bahkan untuk sementara pun rasanya kayak mimpi buruk yang nggak mau gue jalani.Tanpa kata, Bin narik diri pelan, matanya yang selalu penuh keyakinan kini basah. Dia menatap gue lama, seolah menghafal setiap detail wajah gue, seolah ini mungkin terakhir kalinya dia bisa lihat gue sedekat ini."Tunggu gue, Yu ...," katanya lirih, suaranya hampir serak, sebelum akhirnya dia menunduk dan mencium bibir gue dengan lembut.Ciuman itu nggak lama, tapi cukup buat hati gue semakin sakit. Gue ingin percaya semua akan baik-baik saja, tapi ketidakpastian yang dia berikan bikin gue takut.Gue melepas ciuman itu perlahan, menatap dia dengan air mata yang belum berhenti mengalir. "Berapa lama?" suara gue bergetar.Bin menghela napas, jemarinya menyentuh pipi gue denga
"Itu mereka..."Suara Pak Polisi terdengar samar di telinga gue, tapi cukup buat jantung gue berdegup lebih kencang.Gue reflek noleh, ngikutin arah telunjuknya.Dan di sana, di bawah pancaran lampu ambulans dan mobil polisi yang menerangi jalan berdebu itu, tiga sosok berjalan mendekat.Bin di tengah, Nunu di sisi kanan, dan Hasan di sisi kiri.Angin petang berhembus pelan, menggoyangkan rambut mereka yang acak-acakan. Pakaian mereka berdebu, sobek di beberapa bagian, dan darah kering menempel di wajah serta tangan mereka. Tapi, justru luka-luka itu yang bikin mereka terlihat semakin gahar. Napas mereka masih tersengal, tapi langkah mereka tetap tegap, seakan nggak mau menunjukkan rasa sakit yang mungkin mendera tubuh mereka.Gue membeku di tempat. Mata gue nggak bisa lepas dari Bin."Bin..."Suara gue keluar lirih, hampir kayak rintihan yang tercekik di tenggorokan.Dan seketika itu juga, ai
Suara dengung ambulans akhirnya terdengar dari kejauhan, semakin lama semakin mendekat. Hati gue sedikit lega, tapi tetap saja rasa cemas belum hilang.Begitu mobil ambulans berhenti di dekat sawah, beberapa petugas medis langsung turun membawa tandu. Langkah mereka cepat dan sigap, menuju saung tempat kami berlindung.Di belakang para petugas medis, beberapa polisi juga ikut datang. Seragam mereka tampak kontras dengan warna keemasan sawah yang mulai meredup terkena cahaya matahari petang.Kedatangan mereka seharusnya membuat gue lebih tenang, tapi kenyataannya nggak begitu.Siska buru-buru membantu Rocky naik ke tandu, memastikan lukanya tetap stabil. Gue lihat wajah Rocky masih pucat, tapi dia berusaha tetap sadar. "Gue ikut sama Iky," kata Siska cepat sebelum masuk ke ambulans bersama Rocky.Sementara itu, Arum merangkul gue, membantu gue keluar dari saung dan berjalan melewati pematang sawah menuju ke tepian jalan. Gue nggak tahu seb
Gue udah lari masuk sawah, napas gue tersengal-sengal, dada naik turun cepat. Tapi di sebelah gue, Rocky jauh lebih parah. "Sial ..." desis Rocky, suaranya lemah. Gue lihat betisnya masih tertancap belati kecil itu. Darah udah mulai merembes keluar lebih banyak. Gue panik. Cepat-cepat gue keluarin sapu tangan dari saku gue, lalu membalut betis Rocky biar belatinya nggak goyang-goyang waktu jalan. Hasan langsung ngebantu, mijitin bahu Rocky biar dia tetap sadar. "Tahan sebentar lagi, Ky. Kita hampir sampai," kata Hasan, berusaha tetap tenang meski gue tahu dia juga khawatir. Kami terus jalan. Tanah sawah becek, bikin langkah makin berat. Setiap Rocky kesandung sedikit, dia meringis, keringatnya udah bercucuran. Akhirnya, saung udah di depan mata. Ada Siska dan Arum di sana. Begitu mereka lihat kami, mereka langsung lari nyamperin. "Iky! Astaga!" Siska langsung kaget lihat belati yang masih nempel di betis
Bin nggak kasih si cowok bertindik itu kesempatan buat bangkit. Dengan napas memburu, dia menghantam wajah lawannya berulang kali.BUG! BUG!Tinju Bin terus melayang, nggak ada jeda, nggak ada belas kasihan. Waktu seakan berjalan lebih lambat.Gue tertegun, jantung gue mencelos. Ini bukan Bin yang gue kenal. Ini bukan Bin. Sorot matanya gelap, dipenuhi amarah yang menggelegak. Rahangnya mengeras, gerakannya brutal, nggak ada lagi kontrol. "AARRGGHH!!" cowok bertindik itu merintih, tapi Bin nggak peduli. Dia terus menghajar, mencengkram kerah lawannya, mengangkatnya sedikit, lalu meninju lagi, lebih keras."BIN UDAH! CUKUP! JANGAN TERUSIN! PLEASE! KALAU LO BEGITU, LO SAMA AJA KAYAK MEREKA!"Suara gue pecah di udara. Gue nggak peduli seberapa takutnya gue barusan. Gue nggak peduli seberapa sakit yang udah gue rasain. Yang gue peduliin sekarang cuma Bin. Tangan Bin berhenti di udara. Napasnya masih berat, dadanya naik tur