Aku menyilangkan kaki di bawah kursi sambil mengerjakan soal. Menurut artikel yang pernah aku baca menyilangkan anggota tubuh bisa mengurangi rasa gugup. Konon katanya tindakan ini membuat otak kiri dan otak kanan kita akan lebih seimbang. Karena itu, aku mencoba untuk mempraktekkannya. Sebenarnya bukan kali pertama bagiku untuk mengerjakan psikotest, namun karena sudah lama tidak melakukannya aku butuh waktu untuk mengasah kemampuanku. Sekitar empat puluh lima menit berlalu, akhirnya aku menyelesaikan seluruh soal. Hatiku terasa begitu lega. Entah jawabanku benar atau salah, yang terpenting aku sudah berusaha semaksimal mungkin. Kini tinggal menghadapi wawancara yang akan dilakukan oleh Bu Fitri. Aku memasukkan alat tulis yang kubawa dari rumah kemudian duduk diam menunggu giliran. Satu per satu orang yang ada di ruangan dipanggil oleh Bu Fitri hingga menyisakan aku seorang diri. Menit demi menit berlalu, aku semakin gelisah. Suhu tubuhku terasa panas dingin secara bers
Sepulang dari PT. Sejahtera, perasaanku terasa lebih ringan. Diterima atau tidak semua kuserahkan kepada Yang Maha Kuasa karena aku percaya rezeki dan jodoh sudah ditentukan sejak awal. Begitu turun dari ojek online, aku bergegas memanggil Bu Siti. Dari pagar terlihat Bu Siti sedang menjaga Zidan yang bermain lego di ruang tamunya."Bu Siti, Zidan!!" panggilku dengan suara cukup kencang supaya terdengar dari dalam.Bu Siti buru-buru keluar dengan menggendong anakku. Wajah Zidan yang semula bingung berubah menjadi ceria saat melihatku."Bunda sudah pulang, Zidan," ujarku mengambil Zidan dari tangan Bu Siti.Bu Siti tersenyum melihat Zidan menempelkan kepalanya dengan manja di bahuku."Baru ditinggal sebentar Zidan sudah kangen. Bagaimana wawancara kerjanya, Arista? Apa kamu diterima?" tanya Bu Siti ingin tahu."Belum tahu, Bu, saya masih menunggu pengumuman. Terima kasih banyak, Bu, sudah menjaga Zidan.""Iya, Ibu doakan kamu diterima bekerja. Kalau sekedar menjaga Zidan Ibu tidak keb
Selesai membuat sarapan pagi, aku tergerak untuk masuk kedalam kamar. Suamiku masih tertidur pulas di ranjang padahal sudah hampir pukul tujuh pagi. Nampaknya Mas Yoga terlalu lelah akibat beban pikiran yang ditanggungnya semalam.Aku pun mengguncang pelan tubuh suamiku seraya memanggil namanya."Mas Yoga, bangun, Mas. Nanti telat masuk kantor," ucapku menggoyang pelan tubuhnya. Mas Yoga tak kunjung merespon panggilanku. Dengkuran halus yang keluar dari bibirnya menandakan bahwa ia tidur dengan sangat pulas.Tak ingin menyerah, aku terus saja mengguncang tubuh suamiku. Berusaha membuatnya terbangun supaya tidak terlambat masuk kantor."Bangun, Mas, kalau telat nanti dapat surat teguran," bisikku di telinganya. Dan cara terakhirku ini ternyata sukses membuahkan hasil. Perlahan Mas Yoga bergerak. Matanya masih menyipit dengan raut yang lesu saat menatap kedua bola mataku."Kenapa berisik sekali? Aku masih ngantuk," protesnya seraya duduk menyandar di ranjang."Ini sudah hampir jam tujuh
Bingung, itulah yang kurasakan saat ini. Panggilan wawancara dari Bu Fitri bagaikan seberkas cahaya yang menyinariku di dalam kegelapan malam. Dan jujur aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Aku menyandarkan kepala di sofa sambil berpikir. Tak ada jalan keluar lagi. Aku akan mencoba minta tolong kepada Bu Siti. Bila takdir mengizinkan aku pergi, maka Bu Siti pasti bersedia menjaga putra kesayanganku. Namun bila dia menolak, aku lebih memilih bersama Zidan dan melepaskan pekerjaan itu. Aku menyambar amplop coklat yang berisi berkas lamaran lalu menggendong Zidan. Setelah mengunci pintu, aku berjalan menuju ke rumah Bu Siti. Zidan tidak banyak bergerak selama perjalanan. Nampaknya ia turut merasakan kegelisahan di dalam hati ibunya. Ketika aku sampai, Arif sedang berada di halaman rumahnya. Kulihat di bagian depan motor Arif tergantung tumpukan kardus yang diikat dengan rafia. Nampaknya ia hendak bersiap mengantarkan pesanan kue kepada pelanggan Bu Siti. Mendeng
"Saya sangat terkesan dengan apa yang kamu lakukan, Arista. Tanpa disuruh, kamu langsung membantu saya meskipun kita tidak saling mengenal. Saya bisa merasakan ketulusanmu dalam menolong orang lain," puji Pak Darmawan.Aku merasa kikuk sekaligus tersanjung mendengar pujian dari orang sehebat Pak Darmawan. Pastilah Pak Darmawan sudah banyak memakan asam garam kehidupan, sehingga dengan mudah bisa membedakan mana orang yang tulus dan mana yang munafik."Terima kasih, Pak," ucapku setengah menunduk."Sejak saya tahu kamu melamar pekerjaan di bagian finance, saya merasa kamu cocok menduduki posisi itu. Saya memang membutuhkan karyawan yang jujur dan tulus untuk mengelola keuangan perusahaan. Pagi tadi saya sudah melihat hasil psikotestmu. Dan saya memintamu untuk menuliskan surat lamaran kerja agar karaktermu lebih terlihat."Pak Darmawan meraih kaca mata baca di meja lalu memegang surat lamaranku. Kemudian ia mengambil kertas lain dan membuat beberapa coretan dengan penanya. Dari gerak g
Aku meradang mendengar tuduhan Mas Yoga yang tak berdasar. Entah apa yang merasukinya sehingga tega menganggap istrinya sendiri melakukan hal yang tidak benar demi mendapatkan pekerjaan. Apakah seburuk itu pendapatnya tentang diriku.Tanpa sadar suaraku mulai serak karena menahan rasa pilu."Apa maksud Mas bicara begitu? Mas pikir aku merayu orang supaya diterima bekerja? Selama wawancara aku hanya bertemu dengan dua orang, Bu Fitri dan Pak Darmawan," ucapku menahan diri agar tidak menangis. Sudah cukup air mataku tumpah karena Mas Yoga. Mulai sekarang aku harus menjadi perempuan yang tegar dan bisa membela diri.Bukannya merasa bersalah atas tuduhannya, Mas Yoga malah semakin curiga."Siapa itu Pak Darmawan?""Dia direktur utama PT. Sejahtera, usianya sudah enam puluhan.""Kamu pikir aku bodoh. Mana mungkin direktur mau mewawancarai calon staf biasa?" decih Mas Yoga."Tapi kenyataannya memang begitu. Aku tidak sengaja menolong Pak Darmawan saat dia menjatuhkan dokumen di lobi. Waktu
Hawa dingin serasa merayap di seluruh tubuhku. Tak henti-hentinya aku membaca ulang isi pesan tak bernama itu. Di dalam keremangan, aku mencoba menenangkan diri sendiri. Mungkinkah si pemilik nomer salah mengirimkan pesannya kepadaku? Tapi jika ditelisik dari kata-katanya sepertinya pesan ini memang ditujukan untuk Mas Yoga. Pertanyaan demi pertanyaan berputar-putar di kepalaku seperti gasing. Bila firasatku benar lalu siapa sesungguhnya orang ini? Kenapa dia memberikan ancaman tanpa mencantumkan nama? Dan yang paling membuatku risau, dari mana dia mendapatkan nomer ponselku? Saat aku masih menerka-nerka jawabannya, ponselku mendadak mati. Pasti penyebabnya karena daya baterai ponselku sudah habis total. Tak ayal kegelapan total menyelubungi aku saat ini. Tanpa setitik cahaya, aku merasa kehilangan oksigen di dalam paru-paru. Napasku pun terdengar pendek dan tersengal-sengal. Bagaikan ikan kekurangan air, aku megap-megap dalam kegelapan pekat ini. Tanganku menggapai ke udara kosong,
Pertanyaan Mas Yoga membuatku tak mampu berkata-kata. Cincin pernikahan adalah simbol cinta dan keterikatan suci antara suami dan istri. Namun sekarang Mas Yoga malah berpikir untuk menjualnya. Sungguhkah ini jalan terakhir bagi kami?"Rista, bagaimana?" tanya Mas Yoga menyentakku dari lamunan.Aku masih dilanda kebimbangan yang luar biasa. Kini aku dihadapkan pada dua pilihan sulit, antara mempertahankan lambang pernikahanku yang sarat akan kenangan, atau membiarkan suamiku dilaporkan kepada polisi. Aku tak bisa main-main dalam hal ini. Aku harus berpikir matang supaya tidak menyesal di kemudian hari."Aku...setuju, Mas," jawabku dengan berat hati. Untuk menyelesaikan suatu masalah terkadang kita harus rela kehilangan sesuatu."Kalau begitu aku akan menjualnya besok pagi. Aku janji begitu punya uang, aku akan membelikanmu cincin baru yang lebih bagus."Aku mengangguk pelan kendatipun aku menolak percaya pada janji Mas Yoga. Bukannya menghina, tetapi mengingat pinjaman Mas Yoga yang m
Masih dilanda kebingungan, aku melangkah ke ruang tamu beriringan dengan Maura dan Zidan. Melihat Pak Darmawan dan Bu Alya tengah duduk melingkar di sofa, aku hanya bisa berdiri mematung. Perasaanku menjadi campur aduk saat tatapan mataku terkunci dengan sorot mata Mas Reindra. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, pria itu seolah-olah ingin mengirimkan pesan kepadaku melalui tatapan matanya. Dan entah mengapa aku bisa memahami makna yang tersirat di dalamnya. Aku tahu Mas Reindra ingin kejutan darinya bisa membuatku bahagia, bukan malah gugup seperti ini. “Arista, akhirnya kamu datang juga. Pak Darmawan dan Bu Alya sudah menunggu dari tadi,” tegur Ibu. Dengan menepis rasa canggung, aku mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Pak Darmawan dan Bu Alya. “Pak Darmawan, Bu Alya, maaf saya tidak menyambut Anda dan malah pergi ke luar rumah,” kataku tidak enak hati. “Tidak apa-apa, Arista. Ini bukan salahmu, karena kami datang mendadak tanpa pemberitahuan,” jawab Pak Darmawan sembari
Aku mendesak Mas Reindra untuk memberitahukan kejutan apa yang dimaksud olehnya. Namun, ia tidak mau mengatakan apa-apa dengan alasan belum tiba waktunya.Sempat aku berpikir bahwa dia akan menyusul aku ke Jogja. Namun, hal itu sepertinya mustahil karena Mas Reindra masih berada di Sulawesi. Lagi pula setiap kali dia melakukan perjalanan di luar urusan bisnis, dia pasti akan mengajak Maura. Padahal saat ini, Maura sedang menginap selama satu minggu di rumah Pak Darmawan.Usai menelepon Mas Reindra, aku pun mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Aku melihat sebentar ke arah koper yang akan kubawa ke Jogja besok pagi. Akhirnya, aku akan bertemu dengan putra kecilku setelah berbulan-bulan kami tidak bertemu. Meski hanya tiga hari, aku akan berusaha untuk memanfaatkan kesempatan itu semaksimal mungkin.Tak terasa, aku pun terlelap dalam tidur hingga alarm di ponselku berbunyi. Seperti mesin otomatis, kelopak mataku langsung terbuka lebar. Lantaran aku tidak sabar untuk melepas rindu kepada p
Detik ini juga aku mengalami dilema yang berat karena permintaan Mas Yoga. Aku tahu dia sedang membutuhkan pekerjaan untuk menyambung biaya hidup. Namun, di PT. Sejahtera sedang tidak ada lowongan pekerjaan, kecuali di cabang baru yang berlokasi di Sulawesi.Sedangkan untuk Ibu, kemungkinan besar Beliau tidak akan mau menerima Mas Yoga karena terlanjur membenci lelaki itu. Siapa yang tidak akan antipati dengan seorang pencuri dan pembohong seperti Mas Yoga. Jangankan menjadi pegawainya, bertemu Mas Yoga saja Ibu pasti sudah enggan.“Rista, kenapa kamu diam saja? Apa kamu tidak mau membantu aku? Kalau kamu masih dendam padaku, paling tidak ingatlah Zidan dan ayahku. Gara-gara kita berpisah, ayahku kepikiran dan sering jatuh sakit. Sebagai anak tertua, aku semestinya bertanggung jawab untuk membiayai pengobatan ayahku,” ungkap Mas Yoga.Tanpa sadar, aku menyentuh pelipisku sendiri karena ikut pusing memikirkan masalah Mas Yoga.“Iya, aku sudah mengetahuinya dari Dian. Sekitar dua bulan
Kini, aku melewati hari demi hari sebagai karyawan PT. Sejahtera. Tak terasa hampir dua bulan lamanya aku menjalani hubungan jarak jauh dengan Mas Reindra. Bukan jauh dalam arti yang sebenarnya, tetapi kami sengaja tidak bertemu kecuali untuk urusan pekerjaan. Memang begitulah komitmen yang harus kami jalani sekarang. Walaupun secara fisik tidak bersama, kami masih berkomunikasi aktif lewat telepon untuk mengetahui kegiatan masing-masing.Terkadang di hari Minggu, Maura minta ditemani olehku untuk berbelanja atau sekadar bermain di mall, tetapi Mas Reindra tidak pernah ikut. Dia memilih untuk melakukan aktivitas lain seperti berolah raga, bersepeda, atau mengurusi ikan peliharaannya. Akhir-akhir ini, dia memang memiliki hobi baru, yaitu mengoleksi berbagai jenis ikan laut di akuarium. Katanya dengan melihat ikan dia bisa sedikit terhibur saat merindukan aku.Melalui informasi yang diberikan Pak Ridwan, proses di pengadilan berjalan dengan lancar dan hampir mencapai tahap akhir. Selama
“Mas, aku sedang serius kamu malah bercanda,” ucapku berdecak sebal. Mas Reindra hanya terkekeh sambil memelukku kembali.“Siapa bilang aku bercanda? Aku bisa berubah menjadi penculik jika itu menyangkut kamu,” katanya memasang ekspresi serius.“Sudah, jangan merayuku lagi. Kita pulang sekarang, Mas.”Buru-buru aku melepaskan diri dari Mas Reindra sambil merapikan baju dan rambutku yang berantakan. Kemudian, aku berpindah dari kursi belakang menuju ke depan. Beban yang ada di pundakku serasa terangkat, karena kami berdua mencapai kata sepakat.Tak sampai sepuluh menit, kami telah sampai di villa. Sebelum keluar dari mobil, aku pun bercermin di kaca spion. Aku ingin mengecek sekiranya ada tanda merah atau bekas yang ditinggalkan Mas Reindra. Bila memang ada, aku harus menutupinya agar tidak terlihat oleh orang-orang yang ada di villa.“Tenang saja, Sayang, aku tidak meninggalkan bekas apa pun, kecuali bibirmu yang sedikit bengkak,” ucap Mas Reindra dengan wajah tanpa dosa.Aku mencebik
Mas Reindra terus melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Aku sungguh cemas dia akan gelap mata dan mengajakku ke tempat yang berbahaya. Namun, aku segera menepis pikiran itu karena aku tahu bahwa Mas Reindra adalah orang yang bijak dan dewasa. Tidak mungkin ia melakukan sesuatu yang membahayakan aku dan dirinya sendiri. Apalagi, dia masih punya tanggung-jawab untuk mendidik dan membesarkan Maura.Mas Reindra menghentikan mobilnya di sebuah kawasan mirip hutan kecil. Tidak ada satu kendaraan pun yang lewat di lokasi itu, sehingga suasana di sekitar kami sangat sepi. Meski demikian, aku tahu lokasi ini dekat dengan villa tempat kami menginap.“Mas, untuk apa kita berhenti di sini? Kita harus pulang karena ini hampir tengah malam. Bagaimana jika Pak Darmawan dan Bu Alya tahu kita masih berduaan di luar?” tanyaku gugup.Mas Reindra tidak menjawab, tetapi ia malah memiringkan wajahnya untuk menatapku. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh pada sinar matanya.“Kamu selalu saja mencema
Membaca pesan itu, debaran jantungku jadi tak menentu. Aku merasa was-was untuk menemui dan mendengarkan apa yang dikatakan Mas Reindra. Jujur, aku takut bila Pak Darmawan juga meminta Mas Reindra untuk mengakhiri hubungan kami.Untuk meredakan rasa gelisah yang membuncah, aku berbaring sambil menunggu jam sepuluh tiba. Tiba-tiba aku teringat pada ibu kandungku dan juga mantan ayah mertuaku. Aku baru menyadari bahwa pernikahan dan perceraian selalu melibatkan orang tua. Jika anak mereka bermasalah, maka orang tua yang akan terkena imbasnya. Pantas saja Pak Darmawan dan Bu Alya sangat menaruh perhatian kepada pasangan hidup Mas Reindra. Terlebih dari pengalamanku yang pernah gagal berumah tangga, mungkin mereka akan semakin meragukan karakterku.Memikirkan semua ini membuat hatiku serasa ditusuk oleh duri-duri tajam. Gara-gara masalah rumah tanggaku, banyak orang tua yang terlibat di dalamnya. Padahal semestinya di usia senja, mereka bisa hidup dengan tenang tanpa harus terbebani oleh
Dengan menerima arloji tersebut, aku berhasil menyelesaikan tantangan terakhir. Tidak ada yang berani berkomentar mengenai aku dan Mas Reindra, khususnya saat aku mengembalikan arloji itu ke tangan pemiliknya. Tanpa bicara sekalipun, mereka pasti sudah mengetahui bahwa aku bukanlah sekadar bawahan untuk Mas Reindra. Mana mungkin seorang pria yang memiliki jabatan tinggi mau memberikan barang pribadinya kepada wanita yang bukan siapa-siapa.Permainan pun berlanjut satu putaran lagi dan aku-lah yang bertugas memutar botol. Ketika botol itu berhenti, aku terperanjat karena Mas Reindra yang terpilih. Seolah-olah benang takdir selalu mengikat kami berdua.Aku pun merasakan suasana di sekitarku mendadak tegang. Sepertinya semua menahan napas, termasuk diriku sendiri. Entah aku harus bagaimana sekarang, karena aku yang harus memberikan pertanyaan kepada Mas Reindra. Seketika mulutku terasa kering, sehingga aku harus menelan ludah beberapa kali.“Wah, Bapak baru datang langsung dapat giliran.
Seperti orang yang mengalami hipnosis, aku terdiam tanpa berucap apa-apa. Serangan telak yang aku terima dari Bu Alya membuat daya pikirku seakan melemah. Rasanya aku bagai terhantam oleh palu gada dan terjebak ke dalam lapisan kabut yang tebal.Tak hanya gagal berpikir, seluruh sarafku juga serasa sulit untuk digerakkan. Aku pun mematung layaknya orang yang baru saja terkena kutuk. Kesadaranku baru kembali saat suara Bu Alya menggema di telingaku.“Arista, saat ini Pak Darmawan juga sedang bicara dengan Reindra. Kami ingin meminta pengertian dari kalian berdua. Sebelum hubungan kalian bertambah dalam, lebih baik berpisah sekarang. Dengan begitu, akan lebih mudah untuk saling melupakan,” kata Bu Alya berusaha mempertahankan nada suaranya. Terlihat jelas bahwa dia tak ingin mengumbar emosi yang berlebihan di hadapanku.Entah dari mana sumbernya, mendadak setitik keberanian bangkit dari dalam diriku. Aku merasa perlu membela diri dan mengatakan kebenaran kepada Bu Alya mengenai kondisik