Yuk jangan lupa tinggalkan komen dan ratenya
"Yoga, semoga kamu lekas sembuh. Kabari saya kalau kamu akan masuk ke kantor," ucap Pak Rahmat berpamitan pada Mas Yoga."Terima kasih, sudah menjenguk saya, Pak. Maaf, saya tidak bisa mengantar," ucap Mas Yoga mengedipkan mata kepadaku. Ia memberiku isyarat agar menggantikan tugasnya untuk mengantar Pak Rahmat."Mari, Pak Rahmat, saya antar," ucapku memenuhi permintaan Mas Yoga."Tidak usah, temani saja, Yoga.""Sekali lagi terima kasih banyak, Pak."Aku setengah menundukkan kepala lalu membukakan pintu untuk Pak Rahmat. Aku menunggunya hingga menghilang di koridor rumah sakit. Setelahnya barulah aku menutup pintu dan kembali duduk di samping ranjang Mas Yoga. Di kamar ini belum ada pasien lain yang dirawat, sehingga aku lebih leluasa bicara dengan Mas Yoga. Aku tidak mau menunda lebih lama lagi untuk mengetahui mengapa gaji Mas Yoga harus dipotong selama sepuluh bulan."Kenapa Pak Rahmat tadi bilang gaji Mas Yoga dipotong satu juta per bulan? Apa Mas punya hutang juga di kantor?" ta
Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Mas Yoga sangat protektif terhadap keluarganya. Dia tidak mau keluarganya cemas atau tersakiti sedikitpun. Akan tetapi kepada istrinya sendiri Mas Yoga tidak peduli. Baginya yang terpenting adalah menjaga perasaan keluarganya meski itu harus melukai istrinya."Apa Ayah akan datang menjengukmu, Mas?""Tidak, Ayah sibuk mengurus kebun miliknya. Lagipula tiket dari Palembang ke Jakarta itu mahal," jelas Mas Yoga."Kalau Dian?""Ya mana mungkin Dian jenguk aku. Dia lagi sibuk kuliah."Nada suara Mas Yoga yang ketus membuatku enggan bertanya lagi. Daripada makan hati, lebih baik aku mengecek toko online milikku. Aku tersenyum melihat ada tiga orang yang bertanya tentang baju yang kujual. Pertanyaan mereka berbeda-beda. Ada yang menanyakan ukuran, warna, dan jenis kain. Meskipun belum sampai membeli, minimal ada calon pembeli yang tertarik dengan tokoku."Permisi, saya bawakan makan malam untuk Bapak," ujar petugas rumah sakit yang mengantar makanan.Ak
Aku merasa lega karena hari ini Mas Yoga diizinkan pulang. Namun terselip perasaan was-was di hatiku saat mengurus biaya rumah sakit. Aku takut bila besaran biaya rumah sakit akan melebihi jumlah yang ditanggung oleh asuransi. Itu artinya aku harus mengeluarkan uang pribadi untuk melunasinya. Padahal bulan ini saja gaji Mas Yoga makin berkurang karena dipotong oleh perusahaan. "Bu, silakan tanda tangan disini," ucap petugas rumah sakit memberitahuku. "Mbak, bagaimana dengam biayanya? Apa ada tagihan yang perlu saya bayar?" tanyaku memastikan. "Tidak ada, Bu, semua dicover oleh asuransi." Beban seratus kilo serasa terangkat dari pundakku. Aku langsung mengucap syukur di dalam hati karena yang aku khawatirkan tidak menjadi kenyataan. "Terima kasih banyak, Mbak," ucapku menyimpan nota yang diberikan. "Sama-sama, Bu. Semoga lekas sembuh." Setelah menyelesaikan urusan administrasi dan obat, aku membawa suamiku pergi dari rumah sakit dengan menggunakan taksi online. Dibantu oleh pera
Ibu pun memegang bahu Mas Yoga lalu menurunkan nada bicaranya menjadi lebih lembut. "Bagus kalau kamu menyadari kesalahanmu. Ibu akan memberimu kesempatan." Hati Ibu yang semula mengeras mulai mencair karena rasa iba. Permohonan tulus dari Mas Yoga membuat Ibu membukakan pintu maaf untuknya. Dan melihat semua pemandangan ini membuatku sangat terharu. "Ibu akan memberimu kesempatan untuk berubah. Tolong jangan mengkhianati kepercayaanku kepadamu dan jangan membuat kami kecewa." "Iya, Bu, aku berjanji tidak akan lagi mengecewakan Ibu, istri dan anakku. Aku akan berusaha menjadi suami dan ayah yang bertanggung jawab." Mas Yoga lantas bangun dari posisinya yang sedari tadi bersimpuh di kaki ibuku. Aku membantunya untuk duduk di sofa dan menggenggam tangannya. "Mas istirahat ya, aku akan masak. Mas ingin makan apa?" tanyaku sambil membenahi bantal di kepala Mas Yoga. "Apa saja, Rista. Semua masakanmu enak." Aku tersenyum karena mendengar pujian dari suamiku. Mungkin ini adalah langk
Tiga hari berlalu, kesehatan Mas Yoga tampak semakin membaik. Ibu juga memberi kabar bahwa cateringnya mendapat pujian dari para tamu di resepsi pernikahan. Selain itu, aku juga menerima kejutan lain yang membuatku bersemangat. Aku mendapatkan lima buah pesanan baju secara bersamaan dari pembeli. Sungguh tak disangka aku bisa mendapatkan rezeki dadakan ini. Memang jumlah pesanan yang kuperoleh masih kecil bila dibandingkan toko lain. Namun bagiku sudah lebih dari cukup sebagai permulaan. Siapa tahu setelah ini tokoku akan memiliki lebih banyak pelanggan."Mas, sudah minum obatnya?" tanyaku berjalan dari arah dapur. Aku baru saja selesai memasak makanan sederhana, telur orak-arik dan sayur bayam untuk suami dan anakku. Pasalnya aku harus menghemat pengeluaran supaya uang belanjaku cukup sampai akhir bulan."Oh ya, aku lupa. Tolong ambilkan, Rista," pinta Mas Yoga sembari menyusun mobil-mobilan milik Zidan. Dari hari ke hari, kulihat Mas Yoga berusaha menepati janjinya untuk memperhatik
Aku duduk di dapur seraya meneguk segelas air dingin. Aku tidak akan meminta bantuan dari Mas Yoga karena itu sia-sia saja. Kali ini aku hanya bisa mengandalkan diri sendiri untuk mencari solusi atas permasalahanku.Dalam kegundahanku, tiba-tiba aku teringat Bu Siti. Ya dia adalah tetangga yang paling akrab denganku. Dia dan anaknya, Arif, sudah seringkali menolongku selama ini. Dengan kepribadiannya yang ramah dan baik hati, aku rasa Bu Siti adalah orang yang paling tepat untuk menjaga Zidan.Wajahku yang semula muram berubah ceria kembali. Aku pun lantas melangkah pergi, melewati Mas Yoga yang tengah berbicara dengan seseorang melalui ponselnya."Mas, aku ke rumah Bu Siti," pamitku seraya mengangkat Zidan dari sofa.Mas Yoga hanya mengangguk dan melanjutkan percakapannya di telpon. Entah dia mendengarkan perkataanku atau tidak.Aku pun pergi menemui Bu Siti di rumahnya. Kebetulan sekali ia sedang menyapu di halaman rumah sehingga langsung mengetahui kedatanganku."Arista, Zidan, ayo
Arif sangat memahami seluk beluk jalanan ibu kota sehingga bisa menemukan lokasi PT. Sejahtera dalam waktu relatif cepat. Setelah tiba di depan kantor, aku pun melepaskan helm yang kukenakan dan menyerahkannya kepada Arif."Terima kasih banyak sudah mengantarku sampai ke kantor ini, Rif."Arif tersenyum senang. "Sama-sama, Mbak. Mau saya tungguin sampai selesai?""Kamu pulang saja, Rif. Aku belum tahu wawancaranya selesai jam berapa.""Oke, Mbak, semoga sukses," ucap Arif sebelum pergi.Sepeninggalnya, aku pun berjalan menemui security yang berjaga di depan gerbang."Selamat pagi, ada keperluan apa, Ibu?" tanya security itu lebih dulu menyapaku.Aku tersenyum ramah kepadanya dan mengatakan alasanku datang ke kantor ini."Pagi, Pak, saya mendapatkan panggilan wawancara kerja dari Bu Fitri, HRD. Nama saya Arista.""Janji temunya jam berapa, Bu?""Jam sepuluh, Pak.""Baik, Bu, tunggu sebentar."Security itu masuk ke posnya lalu menelpon sebentar. Setelahnya dia kembali menemuiku."Boleh
Aku menyilangkan kaki di bawah kursi sambil mengerjakan soal. Menurut artikel yang pernah aku baca menyilangkan anggota tubuh bisa mengurangi rasa gugup. Konon katanya tindakan ini membuat otak kiri dan otak kanan kita akan lebih seimbang. Karena itu, aku mencoba untuk mempraktekkannya. Sebenarnya bukan kali pertama bagiku untuk mengerjakan psikotest, namun karena sudah lama tidak melakukannya aku butuh waktu untuk mengasah kemampuanku. Sekitar empat puluh lima menit berlalu, akhirnya aku menyelesaikan seluruh soal. Hatiku terasa begitu lega. Entah jawabanku benar atau salah, yang terpenting aku sudah berusaha semaksimal mungkin. Kini tinggal menghadapi wawancara yang akan dilakukan oleh Bu Fitri. Aku memasukkan alat tulis yang kubawa dari rumah kemudian duduk diam menunggu giliran. Satu per satu orang yang ada di ruangan dipanggil oleh Bu Fitri hingga menyisakan aku seorang diri. Menit demi menit berlalu, aku semakin gelisah. Suhu tubuhku terasa panas dingin secara bers
Masih dilanda kebingungan, aku melangkah ke ruang tamu beriringan dengan Maura dan Zidan. Melihat Pak Darmawan dan Bu Alya tengah duduk melingkar di sofa, aku hanya bisa berdiri mematung. Perasaanku menjadi campur aduk saat tatapan mataku terkunci dengan sorot mata Mas Reindra. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, pria itu seolah-olah ingin mengirimkan pesan kepadaku melalui tatapan matanya. Dan entah mengapa aku bisa memahami makna yang tersirat di dalamnya. Aku tahu Mas Reindra ingin kejutan darinya bisa membuatku bahagia, bukan malah gugup seperti ini. “Arista, akhirnya kamu datang juga. Pak Darmawan dan Bu Alya sudah menunggu dari tadi,” tegur Ibu. Dengan menepis rasa canggung, aku mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Pak Darmawan dan Bu Alya. “Pak Darmawan, Bu Alya, maaf saya tidak menyambut Anda dan malah pergi ke luar rumah,” kataku tidak enak hati. “Tidak apa-apa, Arista. Ini bukan salahmu, karena kami datang mendadak tanpa pemberitahuan,” jawab Pak Darmawan sembari
Aku mendesak Mas Reindra untuk memberitahukan kejutan apa yang dimaksud olehnya. Namun, ia tidak mau mengatakan apa-apa dengan alasan belum tiba waktunya.Sempat aku berpikir bahwa dia akan menyusul aku ke Jogja. Namun, hal itu sepertinya mustahil karena Mas Reindra masih berada di Sulawesi. Lagi pula setiap kali dia melakukan perjalanan di luar urusan bisnis, dia pasti akan mengajak Maura. Padahal saat ini, Maura sedang menginap selama satu minggu di rumah Pak Darmawan.Usai menelepon Mas Reindra, aku pun mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Aku melihat sebentar ke arah koper yang akan kubawa ke Jogja besok pagi. Akhirnya, aku akan bertemu dengan putra kecilku setelah berbulan-bulan kami tidak bertemu. Meski hanya tiga hari, aku akan berusaha untuk memanfaatkan kesempatan itu semaksimal mungkin.Tak terasa, aku pun terlelap dalam tidur hingga alarm di ponselku berbunyi. Seperti mesin otomatis, kelopak mataku langsung terbuka lebar. Lantaran aku tidak sabar untuk melepas rindu kepada p
Detik ini juga aku mengalami dilema yang berat karena permintaan Mas Yoga. Aku tahu dia sedang membutuhkan pekerjaan untuk menyambung biaya hidup. Namun, di PT. Sejahtera sedang tidak ada lowongan pekerjaan, kecuali di cabang baru yang berlokasi di Sulawesi.Sedangkan untuk Ibu, kemungkinan besar Beliau tidak akan mau menerima Mas Yoga karena terlanjur membenci lelaki itu. Siapa yang tidak akan antipati dengan seorang pencuri dan pembohong seperti Mas Yoga. Jangankan menjadi pegawainya, bertemu Mas Yoga saja Ibu pasti sudah enggan.“Rista, kenapa kamu diam saja? Apa kamu tidak mau membantu aku? Kalau kamu masih dendam padaku, paling tidak ingatlah Zidan dan ayahku. Gara-gara kita berpisah, ayahku kepikiran dan sering jatuh sakit. Sebagai anak tertua, aku semestinya bertanggung jawab untuk membiayai pengobatan ayahku,” ungkap Mas Yoga.Tanpa sadar, aku menyentuh pelipisku sendiri karena ikut pusing memikirkan masalah Mas Yoga.“Iya, aku sudah mengetahuinya dari Dian. Sekitar dua bulan
Kini, aku melewati hari demi hari sebagai karyawan PT. Sejahtera. Tak terasa hampir dua bulan lamanya aku menjalani hubungan jarak jauh dengan Mas Reindra. Bukan jauh dalam arti yang sebenarnya, tetapi kami sengaja tidak bertemu kecuali untuk urusan pekerjaan. Memang begitulah komitmen yang harus kami jalani sekarang. Walaupun secara fisik tidak bersama, kami masih berkomunikasi aktif lewat telepon untuk mengetahui kegiatan masing-masing.Terkadang di hari Minggu, Maura minta ditemani olehku untuk berbelanja atau sekadar bermain di mall, tetapi Mas Reindra tidak pernah ikut. Dia memilih untuk melakukan aktivitas lain seperti berolah raga, bersepeda, atau mengurusi ikan peliharaannya. Akhir-akhir ini, dia memang memiliki hobi baru, yaitu mengoleksi berbagai jenis ikan laut di akuarium. Katanya dengan melihat ikan dia bisa sedikit terhibur saat merindukan aku.Melalui informasi yang diberikan Pak Ridwan, proses di pengadilan berjalan dengan lancar dan hampir mencapai tahap akhir. Selama
“Mas, aku sedang serius kamu malah bercanda,” ucapku berdecak sebal. Mas Reindra hanya terkekeh sambil memelukku kembali.“Siapa bilang aku bercanda? Aku bisa berubah menjadi penculik jika itu menyangkut kamu,” katanya memasang ekspresi serius.“Sudah, jangan merayuku lagi. Kita pulang sekarang, Mas.”Buru-buru aku melepaskan diri dari Mas Reindra sambil merapikan baju dan rambutku yang berantakan. Kemudian, aku berpindah dari kursi belakang menuju ke depan. Beban yang ada di pundakku serasa terangkat, karena kami berdua mencapai kata sepakat.Tak sampai sepuluh menit, kami telah sampai di villa. Sebelum keluar dari mobil, aku pun bercermin di kaca spion. Aku ingin mengecek sekiranya ada tanda merah atau bekas yang ditinggalkan Mas Reindra. Bila memang ada, aku harus menutupinya agar tidak terlihat oleh orang-orang yang ada di villa.“Tenang saja, Sayang, aku tidak meninggalkan bekas apa pun, kecuali bibirmu yang sedikit bengkak,” ucap Mas Reindra dengan wajah tanpa dosa.Aku mencebik
Mas Reindra terus melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Aku sungguh cemas dia akan gelap mata dan mengajakku ke tempat yang berbahaya. Namun, aku segera menepis pikiran itu karena aku tahu bahwa Mas Reindra adalah orang yang bijak dan dewasa. Tidak mungkin ia melakukan sesuatu yang membahayakan aku dan dirinya sendiri. Apalagi, dia masih punya tanggung-jawab untuk mendidik dan membesarkan Maura.Mas Reindra menghentikan mobilnya di sebuah kawasan mirip hutan kecil. Tidak ada satu kendaraan pun yang lewat di lokasi itu, sehingga suasana di sekitar kami sangat sepi. Meski demikian, aku tahu lokasi ini dekat dengan villa tempat kami menginap.“Mas, untuk apa kita berhenti di sini? Kita harus pulang karena ini hampir tengah malam. Bagaimana jika Pak Darmawan dan Bu Alya tahu kita masih berduaan di luar?” tanyaku gugup.Mas Reindra tidak menjawab, tetapi ia malah memiringkan wajahnya untuk menatapku. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh pada sinar matanya.“Kamu selalu saja mencema
Membaca pesan itu, debaran jantungku jadi tak menentu. Aku merasa was-was untuk menemui dan mendengarkan apa yang dikatakan Mas Reindra. Jujur, aku takut bila Pak Darmawan juga meminta Mas Reindra untuk mengakhiri hubungan kami.Untuk meredakan rasa gelisah yang membuncah, aku berbaring sambil menunggu jam sepuluh tiba. Tiba-tiba aku teringat pada ibu kandungku dan juga mantan ayah mertuaku. Aku baru menyadari bahwa pernikahan dan perceraian selalu melibatkan orang tua. Jika anak mereka bermasalah, maka orang tua yang akan terkena imbasnya. Pantas saja Pak Darmawan dan Bu Alya sangat menaruh perhatian kepada pasangan hidup Mas Reindra. Terlebih dari pengalamanku yang pernah gagal berumah tangga, mungkin mereka akan semakin meragukan karakterku.Memikirkan semua ini membuat hatiku serasa ditusuk oleh duri-duri tajam. Gara-gara masalah rumah tanggaku, banyak orang tua yang terlibat di dalamnya. Padahal semestinya di usia senja, mereka bisa hidup dengan tenang tanpa harus terbebani oleh
Dengan menerima arloji tersebut, aku berhasil menyelesaikan tantangan terakhir. Tidak ada yang berani berkomentar mengenai aku dan Mas Reindra, khususnya saat aku mengembalikan arloji itu ke tangan pemiliknya. Tanpa bicara sekalipun, mereka pasti sudah mengetahui bahwa aku bukanlah sekadar bawahan untuk Mas Reindra. Mana mungkin seorang pria yang memiliki jabatan tinggi mau memberikan barang pribadinya kepada wanita yang bukan siapa-siapa.Permainan pun berlanjut satu putaran lagi dan aku-lah yang bertugas memutar botol. Ketika botol itu berhenti, aku terperanjat karena Mas Reindra yang terpilih. Seolah-olah benang takdir selalu mengikat kami berdua.Aku pun merasakan suasana di sekitarku mendadak tegang. Sepertinya semua menahan napas, termasuk diriku sendiri. Entah aku harus bagaimana sekarang, karena aku yang harus memberikan pertanyaan kepada Mas Reindra. Seketika mulutku terasa kering, sehingga aku harus menelan ludah beberapa kali.“Wah, Bapak baru datang langsung dapat giliran.
Seperti orang yang mengalami hipnosis, aku terdiam tanpa berucap apa-apa. Serangan telak yang aku terima dari Bu Alya membuat daya pikirku seakan melemah. Rasanya aku bagai terhantam oleh palu gada dan terjebak ke dalam lapisan kabut yang tebal.Tak hanya gagal berpikir, seluruh sarafku juga serasa sulit untuk digerakkan. Aku pun mematung layaknya orang yang baru saja terkena kutuk. Kesadaranku baru kembali saat suara Bu Alya menggema di telingaku.“Arista, saat ini Pak Darmawan juga sedang bicara dengan Reindra. Kami ingin meminta pengertian dari kalian berdua. Sebelum hubungan kalian bertambah dalam, lebih baik berpisah sekarang. Dengan begitu, akan lebih mudah untuk saling melupakan,” kata Bu Alya berusaha mempertahankan nada suaranya. Terlihat jelas bahwa dia tak ingin mengumbar emosi yang berlebihan di hadapanku.Entah dari mana sumbernya, mendadak setitik keberanian bangkit dari dalam diriku. Aku merasa perlu membela diri dan mengatakan kebenaran kepada Bu Alya mengenai kondisik