Bab 116Namun Mas Ibra justru tertawa. Saking kerasnya suara tawanya, justru membuat Keisha menangis lantaran kaget."Kamu itu bukan Cinderella. Kamu adalah seorang putri," ujar mas Ibra seraya meraih tanganku dan membimbingku menuju pembaringan.Dia mendudukkan Keisha di pembaringan, lalu mengecup keningku sekilas."Tapi dibandingkan dengan nasab Mas Ibra, aku belum apa-apanya," sahutku "Aku bukan pria Arab yang terkenal sangat mementingkan nasab. Apalah artinya sebuah nasab, jika perilaku kita tidak terpuji. Bukankah dulu Baginda Nabi pernah berkata, yang intinya seandainya putrinya, Fatimah mencuri, maka tidak perlu orang lain, tetapi beliau sendiri yang akan memotong tangannya.""Itu Baginda Nabi, bukan kita. Bukankah kita sendiri yang terlibat menyembunyikan Fahda yang sampai hamil lantaran berzina?"Pria itu menghela nafasnya dalam-dalam. "Rasa sayang seorang kakak itu tidak bisa diukur, Sayang. Jujur, kita memang bukan Baginda Nabi yang bisa tegas. Seharusnya waktu itu aku me
Bab 117Aku tak tahu lagi harus menanggapi seperti apa, tapi yang jelas aku harus berada di tengah keluarga ini, setidaknya sampai tiga hari ke depan. Ini merupakan hal yang berat."Sabar, Sayang. Mas yakin kamu pasti akan kuat. Kamu sudah melewati banyak hal dan kamu pasti akan bisa melewati semua ini.""Bukannya kita hanya butuh restu dari ayah Hafiz dan Ummi Azizah? Begitu, kan, yang selalu Mas bilang kepadaku?" balasku. Aku hanya sebentar ikut dalam acara ramah tamah dengan keluarga setelah makan malam. Aku memilih masuk ke dalam kamarku dan ternyata mas Ibra malah menyusul. Di sinilah akhirnya kami berdua, duduk bersisian di ranjang."Dan kita sudah mendapatkan restu itu. Jika ayah dan ibumu merestui, tak perlu kupinta restu dari seribu wali," imbuhku sembari tersenyum pahit, setelah merebahkan tubuh Keisha yang sudah tertidur pulas."Nah tuh, kamu sudah tahu," kekeh pria itu, lalu membawaku ke dalam pelukannya."Kamu itu istri pilihan Mas. Mas bertanggung jawab atas pilihan yang
Bab 118Aku tidak menyangka akan berada di situasi seperti ini. Dulu aku memang mengetahui jika Gita pernah diminta oleh Andri untuk menjadi wanita simpanannya, bahkan Andri memperkosa Seruni sampai hamil, hanya untuk bisa membuat gadis itu hengkang dari Almeera Travel.Ternyata dunia hitam bisnis itu benar-benar ada dan ini kualami sendiri."Saya senang sekali jika Bu Kayla mau memberikan kesempatan kepada saya untuk tidur dengan sekretaris Anda yang cantik ini." Pria itu menatap Gita dengan kerling matanya yang nakal."Tapi di dalam draft perjanjian kita tidak ada kesepakatan seperti itu, Pak," ucapku sembari berusaha terus menyabarkan diri, walaupun ingin rasanya aku mencakar-cakar muka pria itu yang dengan lancang meminta sekretaris baruku ini untuk menemaninya tidur. Aku mengangkat Gita menjadi sekretaris setelah melalui pertimbangan dan atas saran mas Ibra sendiri yang ingin memberikan kesempatan kepada Gita untuk berkembang. Mas Ibra merasa bersalah karena ikut andil membuat m
Bab 119Aku hanya tersenyum miris. Bayangan demi bayangan masa lalu kembali berkelebatan di benakku. Gita itu gadis yang polos, dan kepolosan itu yang dimanfaatkan oleh ibunya untuk mengambil keuntungan dari kecantikan yang dimiliki oleh gadis ini.Gita memang manja dan sangat bergantung kepada mas Gilang, tapi dia sesungguhnya gadis yang baik. Dia menjadi malas mengerjakan urusan rumah karena hasutan dari ibunya dan mungkin waktu itu aku pun terlalu memanjakannya. Saat pertama kali mengenal Gita sebagai adik mas Gilang, aku merasa dia adalah adikku. Aku tidak pernah menganggapnya sebagai musuh, hanya saja dulu Gita di bawah kendali ibunya dan ikut-ikutan memusuhiku sebagai kakak iparnya.Sesampainya di mobil, aku dan Gita segera masuk dan mobil pun meluncur. Dua motor gede mengiringi kami dari belakang dari jarak yang aman. Aku harus mengantar Gita dulu pulang ke rumahnya, baru kembali ke apartemen.Tidak ada siapa-siapa di rumah kontrakan itu. Rupanya mas Gilang belum pulang kerja.
Bab 120Apakah ia sedang berhalusinasi, atau pria itu tengah memainkan sebuah drama? Sepasang mata itu mengerjap berkali-kali dengan telinga yang tegak. Gita berusaha mempercayai pendengarannya."Apa yang Mas katakan? Mas dalam keadaan sehat, kan?" Bibirnya bergerak-gerak dengan tubuh gemetar. Bagaimanapun, ini di luar dugaannya. Pria itu sudah berkali-kali menolaknya dan sekarang Gilang justru melamarnya. Apakah pria itu sedang kesambet?"Apa kamu merasa belum jelas?" Tanpa menunggu persetujuan Gita, Gilang meraih jemari gadis itu dan memasangkan cincin ke jari manisnya.Ternyata pas. Tentu saja pas, karena Gilang sudah mengukur jari manis gadis itu secara diam-diam sebelum memutuskan untuk memesan cincin itu.Dia sudah mempersiapkan ini dengan matang."Bukan seperti itu, Mas. Bukannya Mas sudah berkali-kali menolakku?"Gadis itu menatap nanar cincin yang melungkar di jari manisnya. Heran, entah bagaimana caranya sehingga pria itu bisa mendapatkan cincin yang benar-benar pas dengan
Bab 121 "Anggi?!" sahutnya lirih dengan wajah tetap menunduk. Namun dari gestur tubuhnya terlihat ia seperti sedang gelisah "Saya tidak kenal Anggi, Nyonya. Nama saya Ita," imbuhnya. Namun aku menggeleng. Meskipun wajah wanita ini menunduk, tapi aku sangat mengenal wajah dan tubuhnya. Tak bisa dibohongi. Wanita ini memang Anggi. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan sosok wanita yang menjadi selingkuhan suamiku, bahkan saking parahnya, Anggi bahkan sempat hamil anak mas Gilang. "Anggita. Namamu Anggita. Benar, kan? Anggi atau Ita sama saja," desakku. Aku bahkan sempat akan mengulurkan tanganku supaya wajah itu terangkat dan aku bisa memindai lebih jelas raut wajahnya. Hanya saja aku mengurungkan niat, karena teringat harus menjaga sikap di hadapan para klien. "Maaf Nyonya, nama saya Ita, dan saya bukan Anggi yang Nyonya kenal. Mungkin hanya mirip saja." Wanita itu terlihat menelan ludahnya, lalu menunjuk buku menu yang berada di tanganku. "Silahkan Nyonya pesan apa yang tertul
Bab 122Semoga saja semua ini cepat berakhir. Aku tidak bisa membayangkan akan jadi seperti apa hubunganku dengan putriku jika waktuku selalu tersita untuk pekerjaan. Ini benar-benar melelahkan.Aku baru saja selesai berkemas saat ponselku kembali berdering. Dengan malas, aku mengambil ponsel dari dalam tas, lalu mengusap layarnya."Ya Mas Evan, ada apa?""Maaf Nyonya, nanti malam akan ada pertemuan dengan para pemegang saham....""Kamu bisa mengurusnya, kan?" selaku cepat. Aku memijat kepalaku. Pusing sekali rasanya. Aku sudah seharian bekerja. Masa iya harus di tambah lagi dengan nanti malam?"Tidak bisa, Nyonya. Harus Nyonya sendiri yang menghadiri mewakili Tuan Ibra.""Aku tidak mengerti soal itu, Mas Evan. Aku bukan suamiku," ketusku. Terus terang stok kesabaranku sudah menipis. Aku sudah lelah, lelah tubuh juga pikiran."Nyonya hanya perlu hadir dan beramah tamah dengan mereka. Sisanya saya yang akan handle," bujuk Evan.Ya Tuhan... ingin rasanya aku menyumpah pada asisten priba
Bab 123Belum sempat mas Yanto menjawab pertanyaanku, tiba-tiba pintu di samping kemudi terbuka. Seorang lelaki merengsek masuk dan menempelkan sesuatu ke hidung pria itu yang seketika membuatnya terkulai, dan belum habis rasa kagetku, pintu di sampingku pun terbuka. Lalu setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi.Aku terbangun dengan kepala yang sedikit pusing. Mataku mengerjap berkali-kali, terkejut mendapati diriku berada di suatu ruangan yang tidak kuketahui. Seorang pria datang dan dan menghampiriku."Siapa kamu?" Spontan pertanyaan itu meluncur dari mulutku. Aku menggerakkan tubuh, berusaha untuk duduk."Nyonya rupanya sudah bangun. Sekarang minumlah, supaya rasa pusing di kepala Nyonya sedikit berkurang." Dia menyodorkan sebotol air mineral, yang dari kemasannya saja aku tahu bahwa minuman itu masih tersegel.Tidak mungkin ada racun atau obat aneh-aneh masuk ke dalam minuman itu.Merasa minuman itu cukup aman, aku menerimanya, namun tidak segera meminum. Mataku nyalang menatap p
Bab 146 "Kejutan apa itu, Mbak?" Benakku langsung membayangkan suasana di apartemen. Mungkin lantaran merasa rindu dengan kami, asisten rumah tangga kami ini berinisiatif mengadakan pesta penyambutan kecil-kecilan dengan memasak masakan kesukaan kami. "Rahasia dong! Kalau saya bilang, berarti bukan kejutan lagi dong!" Perempuan itu tersenyum jahil dan aku tak lagi berniat untuk mendesak. Toh, sebentar lagi kami akan sampai dan aku akan segera tahu apa yang disiapkan oleh asisten rumah tangga kami ini. Mobil perlahan memasuki basement dan akhirnya berhenti. Aku dan mas Ibra keluar dari mobil dan berjalan menuju lift menuju lantai unitku berada. "Tara... kejutan!' seru mbak Ranti setelah ia menekan tombol password di pintu apartemenku. "Mas Gilang, Gita!" Aku sangat kaget, dan refleks menatap mbak Ranti dan bik Jum bergantian. Namun, kedua asisten rumah tanggaku itu malah tersenyum, bahkan ketika aku menatap mas Yanto, pria bertubuh kekar itu juga tersenyum. Ada apa ini? Aku menat
Bab 145Aku membiarkan Kania digendong oleh Rihanna. Menyaksikan binar matanya yang nampak begitu menyayangi putriku, aku tidak tega untuk mengambilnya. Akhirnya aku memilih mengayunkan kaki menuju kamarku.Biarkan saja Kania bersama dengan Rihanna. Jika putri kecilku haus, Rihanna pasti akan segera mengantarnya kepadaku."Ada sedikit masalah di dalam rahimnya, makanya sampai sekarang Rihanna belum punya anak, padahal kami semua sangat menginginkan keturunan yang berasal dari rahim adikku," ujar mas Ibra ketika aku tanya. "Kalau menang Rihanna ingin bersama dengan Kania selama ia berada di sini, biarkan saja. Rihanna itu sepertinya sosok yang keibuan dan penyayang anak-anak, hanya saja kebetulan memang belum rezeki." "Terima kasih atas pengertiannya, Sayang. Kita berdoa saja semoga disegerakan punya keponakan baru." Pria itu mengecup pelipisku berkali-kali, lalu membimbingku menuju tempat tidur.Ruangan ini sungguh luas. Kamar hotel tipe presiden suite saja masih kalah mewah dengan
Bab 144Aku tidak bisa berbuat atau berbicara apapun lagi, selain menatap jalanan sembari memangku Kania. Sementara mas Ibra memangku Keisha. Kami memang tidak membawa baby sister dalam perjalanan kali ini untuk alasan kepraktisan, bahkan kami tidak membawa pengawal, kecuali pengawal yang dibawa oleh ummi Azizah dari Mekkah.Kesakitan yang ummi Azizah rasakan menular juga kepadaku, tetapi aku tidak berdaya, hanya mampu menatap suamiku yang dengan segera mengedipkan matanya. Setelah mobil sampai di bandara, kami pun segera berpindah ke pesawat pribadi milik keluarga Salim Al-Maliki. Sudah lama pesawat pribadi itu ada. Sebelumnya, pesawat pribadi dimiliki hanya keluarga Al-Maliki secara umum, tetapi kini Abi Emir sudah membeli pesawat khusus untuk keluarga Salim Al-Maliki, sehingga sedikit demi sedikit mereka mulai melepaskan ketergantungan dengan keluarga itu dan juga Almeera Oil Company.Keterikatan ummi Azizah terhadap perusahaan minyak itu sebatas dia adalah pemegang satu persen sa
Bab 143Perempuan tua itu menoleh. Dia mengurungkan niatnya untuk melangkah menuju pintu, tetapi berbalik menghampiri perempuan tua yang duduk santai di sebuah sofa di salah satu sudut ruangan.Ruang tamu khusus laki-laki ini memang sangat luas, memiliki beberapa sofa disusun dari ujung ke ujung, karena seringkali menerima tamu dengan jumlah yang banyak. "Sejak Abi meninggal dunia, aku merasa Ummu, Khaled, dan Waled berubah, kecuali Wafa," ucap ummi Azizah tanpa menuruti permintaan ibu tirinya untuk duduk kembali ke sofa di dekat perempuan tua itu duduk."Itu hanya perasaanmu saja, Azizah," balasnya."Tapi aku merasa dipermainkan di keluarga ini. Keluarga yang kupikir bisa memberikan secercah harapan, tapi ternyata hanya kepalsuan yang kudapatkan. Orang yang benar-benar menyayangiku hanya Abi, hanya syekh Ali yang benar-benar menyayangiku dengan tulus, dan juga adik kecilku, Wafa." Ummi Azizah menjeda ucapannya dengan sentakan nafasnya yang berat. "Namun kalian dengan begitu kejam
Bab 142Raut wajah pria itu seketika menegang. Tampak sekali ia tengah menahan emosinya. Namun kurasa ia tidak sedang memarahiku, karena kulihat mulutnya bergerak-gerak."Aku tidak tahu, Sayang. Tapi yang jelas, aku harus mengusut semua ini. Sayang sekali di ruangan kerjaku dan di ruangan pribadi itu tidak ada kamera CCTV. Mas juga tidak tahu bagaimana caranya Nona Barbara merekam adegan itu. Mas benar-benar tidak tahu karena Mas tengah tertidur.""Tapi... tunggu Mas!" Otakku segera mencerna kejanggalan yang terjadi, karena bagiku tidak ada alasan untuk tidak mempercayainya. Jika memang Mas Ibra bisa tertidur sampai seperti orang pingsan, apa jangan-jangan ada orang yang memasukkan obat tidur ke dalam minumannya?"Aku rasa ini sudah tidak wajar, Mas. Walaupun Mas sedang tidur, tapi kalau ada orang yang menggerayangi, biasanya Mas akan terbangun, seperti biasanya saat kita sedang bersama," ujarku mengingatkan. Pria itu tampak tercenung sejenak."Omonganmu masuk akal juga, Sayang." Pri
Bab 141"Ya Tuhan!" Aku memekik, refleks jemariku menyentuh layar. Dan adegan demi adegan itu membuat perutku seketika mual. Tubuhku lemas dan akhirnya luruh ke lantai dan tanpa sadar menjatuhkan ponselku yang masih menyala layarnya."Kenapa kamu tega melakukan ini sama aku, Mas? Bahkan aku baru saja melahirkan anak kamu." Aku duduk sembari memeluk betisku. Tangisku pecah seketika.Siapa perempuan itu sebenarnya? Kenapa ia bisa bersama dengan mas Ibra di dalam satu ruangan, bahkan satu ranjang?Aku masih saja merapatkan wajahku dengan lutut, meski terdengar suara ketukan dibalik pintu sampai akhirnya pintu pun terbuka."Ibu kenapa? Ada apa?" Mbak Ranti terlihat kaget saat aku mengangkat wajahku yang bersimbah air mata."Papanya Kania selingkuh, Mbak," lirihku."Selingkuh?" Bibir wanita itu bergerak-gerak. Namun hanya kata selingkuh yang terucap dari bibirnya. Aku menubruk perempuan itu lalu memeluknya. Tangisku kembali pecah. Aku menangis dalam pelukan mbak Ranti. "Kenapa dia begitu
Bab 140Ibra tidak menyadari jika dari balik pintu ruang kerjanya muncul sesosok tubuh yang tadi sempat pamit keluar.Sementara itu, pintu ruangan peristirahatannya pun terbuka."Dia sudah tak sadar, Ghazi?" tanya sesosok perempuan yang tepat berdiri di depan pintu ruangan peristirahatan Ibra."Aman, Nona. Dia tidak akan sadar selama beberapa jam dan Nona bisa melakukan apapun," jawab pria itu sembari menyeringai."Bagus. Kerjamu sungguh bagus. Bayaranmu akan segera kamu terima, berikut bonusnya.""Terima kasih, Nona. Sekarang apa yang bisa saya lakukan lagi?""Bawa pria itu ke tempat tidur. Setelah itu kamu boleh keluar. Jangan lupa kunci ruang kerjanya. Nanti jika semuanya sudah selesai, aku akan hubungi lagi. Tetaplah stand by di tempatmu," titah perempuan itu yang ternyata adalah Barbara.Perempuan itu tersenyum manakala menatap pria yang tengah digendong oleh Ghazi. Sebentar lagi rencananya akan terwujud. Ghazi merebahkan Ibra dengan hati-hati ke pembaringan, kemudian segera per
Bab 139Meski penuturan sang paman tidak membuat Ibra terlalu terkejut, tetapi tak urung matanya tetap membulat sempurna. Dia bahkan refleks menjauhkan tubuhnya dari pria tua itu. Ibra berdiri, lalu pindah tempat duduk sehingga kini posisi mereka menjadi berhadapan."Dan Paman pikir aku menerima tawaran itu?" sinisnya."Paman pikir kamu hanya perlu menikahinya sebentar, setelah itu menceraikannya. Lagi pula dia hanya memintamu untuk menjadi suaminya sebentar saja. Pernikahan ini pun juga hanya akan dilaksanakan secara siri," bujuk pangeran Khaled. Dibenaknya tentu deretan angka-angka yang akan segera masuk ke perusahaan jika pernikahan ini benar-benar terjadi.Pria itu pun sebenarnya tidak ingin keponakannya menikahi wanita itu. Namun perusahaan mereka masih dalam kondisi terguncang. Tidak mudah mendapatkan investor kelas kakap seperti Tuan Wiliam.Apa salahnya jika menyuruh keponakannya untuk menikahi wanita itu? Toh, istrinya Ibra berada di Indonesia dan tidak akan tahu jika suaminy
Bab 138Meski cukup banyak perempuan yang tidak memakai jilbab di kota metropolitan Arab Saudi ini, tetapi Ibra merasa cara berpakaian Barbara cukup berani, padahal dia hanya seorang tamu di negara ini.Meski kemungkinan perempuan ini non muslim, tapi seharusnya ia tahu diri dan mengerti situasi, mengingat ia berkunjung ke sebuah negara yang mayoritas penduduk wanitanya harus mengenakan pakaian tertutup.Namun, Ibra tidak menangkap itikad baik dari Barbara, justru perempuan itu bersikap seolah-olah restoran ini berada di negaranya yang menganut paham kebebasan. Lagi-lagi ia mengibaskan rambutnya, sehingga harum helaian itu terendus oleh Ibra dan membuat pria itu seketika menghembuskan nafas."Anda terlalu berlebihan, Nona. Saya hanya orang biasa. Kebetulan saja dua orang pria tua yang telah berbicara dengan ayah anda itu adalah adik dari ibu saya," sahut Ibra. Dia menurunkan tangannya dari meja, lalu menangkupkan telapak tangannya di pangkuannya."Tentu. Saya pun mengenal ibu anda yan