Bab 121 "Anggi?!" sahutnya lirih dengan wajah tetap menunduk. Namun dari gestur tubuhnya terlihat ia seperti sedang gelisah "Saya tidak kenal Anggi, Nyonya. Nama saya Ita," imbuhnya. Namun aku menggeleng. Meskipun wajah wanita ini menunduk, tapi aku sangat mengenal wajah dan tubuhnya. Tak bisa dibohongi. Wanita ini memang Anggi. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan sosok wanita yang menjadi selingkuhan suamiku, bahkan saking parahnya, Anggi bahkan sempat hamil anak mas Gilang. "Anggita. Namamu Anggita. Benar, kan? Anggi atau Ita sama saja," desakku. Aku bahkan sempat akan mengulurkan tanganku supaya wajah itu terangkat dan aku bisa memindai lebih jelas raut wajahnya. Hanya saja aku mengurungkan niat, karena teringat harus menjaga sikap di hadapan para klien. "Maaf Nyonya, nama saya Ita, dan saya bukan Anggi yang Nyonya kenal. Mungkin hanya mirip saja." Wanita itu terlihat menelan ludahnya, lalu menunjuk buku menu yang berada di tanganku. "Silahkan Nyonya pesan apa yang tertul
Bab 122Semoga saja semua ini cepat berakhir. Aku tidak bisa membayangkan akan jadi seperti apa hubunganku dengan putriku jika waktuku selalu tersita untuk pekerjaan. Ini benar-benar melelahkan.Aku baru saja selesai berkemas saat ponselku kembali berdering. Dengan malas, aku mengambil ponsel dari dalam tas, lalu mengusap layarnya."Ya Mas Evan, ada apa?""Maaf Nyonya, nanti malam akan ada pertemuan dengan para pemegang saham....""Kamu bisa mengurusnya, kan?" selaku cepat. Aku memijat kepalaku. Pusing sekali rasanya. Aku sudah seharian bekerja. Masa iya harus di tambah lagi dengan nanti malam?"Tidak bisa, Nyonya. Harus Nyonya sendiri yang menghadiri mewakili Tuan Ibra.""Aku tidak mengerti soal itu, Mas Evan. Aku bukan suamiku," ketusku. Terus terang stok kesabaranku sudah menipis. Aku sudah lelah, lelah tubuh juga pikiran."Nyonya hanya perlu hadir dan beramah tamah dengan mereka. Sisanya saya yang akan handle," bujuk Evan.Ya Tuhan... ingin rasanya aku menyumpah pada asisten priba
Bab 123Belum sempat mas Yanto menjawab pertanyaanku, tiba-tiba pintu di samping kemudi terbuka. Seorang lelaki merengsek masuk dan menempelkan sesuatu ke hidung pria itu yang seketika membuatnya terkulai, dan belum habis rasa kagetku, pintu di sampingku pun terbuka. Lalu setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi.Aku terbangun dengan kepala yang sedikit pusing. Mataku mengerjap berkali-kali, terkejut mendapati diriku berada di suatu ruangan yang tidak kuketahui. Seorang pria datang dan dan menghampiriku."Siapa kamu?" Spontan pertanyaan itu meluncur dari mulutku. Aku menggerakkan tubuh, berusaha untuk duduk."Nyonya rupanya sudah bangun. Sekarang minumlah, supaya rasa pusing di kepala Nyonya sedikit berkurang." Dia menyodorkan sebotol air mineral, yang dari kemasannya saja aku tahu bahwa minuman itu masih tersegel.Tidak mungkin ada racun atau obat aneh-aneh masuk ke dalam minuman itu.Merasa minuman itu cukup aman, aku menerimanya, namun tidak segera meminum. Mataku nyalang menatap p
Bab 124"Apa kamu tahu yang harus kamu lakukan, Mas?" Aku baru saja selesai menceritakan peristiwa malam itu kepada Evan sebelum akhirnya mengangkat bahuku sedikit.Dengan berat hati aku mengundang Evan ke ruang kerjaku. Ini untuk pertama kalinya aku lakukan selama mas Ibra berada di Riyadh, karena kurasa keadaan ini sangat mendesak. Hanya Evan yang bisa menyelesaikan masalah ini. Sebenarnya Mas Ibra sudah menjanjikan pulang dua minggu ke depan, meskipun tentu saja aku belum bisa mempercayai janjinya. Kondisi Almeera Oil Company memerlukan waktu untuk bisa bangkit kembali seperti semula.Heran, semua orang kompak mengandalkan mas Ibra, padahal posisinya di dalam keluarga besar Al-Maliki tidak terlalu menonjol mengingat garis keturunan di tarik dari pihak laki-laki, sedangkan mas Ibra lahir dari rahim Putri Azizah, buah pernikahannya dengan suami pertamanya yang hanya orang biasa.Kadang aku merasa ini tidak adil. Di saat sedang susah, barulah ia di butuhkan. Sedangkan di sisi lain, m
Bab 125Aku menatap takjub isi meja makan. Tidak salah jika aku memilih perempuan paruh baya ini sebagai asisten rumah tangga kami. Dia memang piawai melakukan pekerjaannya.Sejauh ini bik Jum belum pernah melakukan kesalahan fatal, demikian pula mbak Ranti sebagai pengasuh putriku. Mereka bekerja sangat baik. Aku bersyukur dikelilingi orang-orang baik yang mau membantuku dengan tulus, meski dibalik itu tetap saja gaji mereka aku bayarkan ditambah dengan bonus, karena kenyataannya hasil pekerjaan mereka memang sangat memuaskan.Setelah menjanjikan akan segera makan setelah selesai mandi nanti, aku segera beranjak menuju kamarku. Sementara itu, mbak Ranti mendudukkan Keisha di stroller. Dia harus menyiapkan makan sore untuk putriku.Sebagai pengasuh, mbak Ranti dibekali pengetahuan soal gizi anak. Jadi dia paham betul apa yang harus dia lakukan. Memasak makanan bayi sudah menjadi kesehariannya dan nyatanya, Keisha tumbuh menjadi balita yang sehat dan aktif. Tumbuh kembang yang bagiku s
Bab 126"Kalian sudah menikah?" basa-basi Ibra sembari menatap lurus asisten pribadinya. Kini mereka berada di ruang kerja pria itu di rumah ini. Dua cangkir teh nampak tersaji di meja depan tempat mereka tengah duduk berhadapan.Namun ternyata Evan menggeleng. "Saya belum berminat untuk menikahinya. Dia memang tinggal di sini atas perintah ibuku," jelas Evan."Kenapa dia mau? Tidak baik laki-laki dan perempuan tinggal satu atap tanpa ikatan pernikahan." Sungguh, Ibra tidak bermaksud untuk turut campur. Namun mengingat dulu dia pernah menjodohkan Evan dengan Gita, Ibra merasa perlu mempertanyakan hal ini.Dia tahu persis sebab bercerainya Evan dengan Gita adalah karena perempuan bernama Mira itu hadir di dalam kehidupan mereka."Saya tahu, tetapi saya selalu bisa menjaga diri. Saya juga tidak berminat dengannya. Dia bukan tipe saya. Namun saya tidak bisa mengusir, karena itu berkaitan dengan ibu saya sebagai orang tua satu-satunya saat ini.""Tapi sekali-sekali kamu bisa khilaf, Eva
Bab 127"Tidak ada bantahan, Sayang. Kamu harus ke rumah sakit sekarang. Mau lahiran atau enggak, pokoknya harus ke rumah sakit," tegas pria itu.Aku terpaksa memijit tombol di gelang dan tidak sampai 10 menit, mas Yanto sudah muncul di depan pintu unit kami. Mas Ibra menggendongku, sementara mas Yanto membawa koper besar berisi perlengkapan.Bik Jum dan Mbak Ranti aku suruh stand by di rumah dan menjaga Keisha. Cukuplah aku didampingi mas Ibra saja. Lagipula, belum tentu juga aku mau lahiran. HPL aku masih tiga minggu lagi.Mobil membawaku dengan kecepatan tinggi. Mas Ibra mewanti-wanti mas Yanto agar membawa mobil dengan kecepatan tinggi tetapi tetap aman. Mungkin khawatir karena melihat aku yang terus merintih. Gelombang kontraksi itu kian cepat dan membuatku terus meringis. Namun tak ada cairan pun yang kurasakan keluar dari inti kewanitaanku.Aku menjadi ragu, apakah aku akan melahirkan? Sementara dulu waktu kelahiran Keisha, ciri-ciri melahirkan berupa keluar cairan dari inti ke
Bab 128Detik demi detik terus berlalu. Aku merasa itu sangat lambat. Jujur aku merasa gugup. Baru pertama kali ini aku berurusan dengan ruang operasi, karena dulu aku melahirkan Keisha secara normalMembayangkan pisau bedah menyayat perut bagian bawahku rasanya sudah terasa ngilu. Meski tidak akan sakit karena di bawah pengaruh obat bius, tetapi tetap saja aku merasa takut."Ibu tenang saja. Proses ini cukup aman, selama dikerjakan sesuai dengan prosedur," ucap dokter Nita. Wanita paruh baya itu malah mengusap kepalaku sebelum seorang asisten membentangkan kain dinding pembatas yang menghalangi penglihatanku dengan bagian bawah perutku.Aku berusaha untuk pasrah, tenang dan tidak gugup lagi. Mas Ibrahim berulang kali mengusap kepalaku seraya merapal doa-doa.Tak sampai beberapa menit, suara tangis bayi terdengar."Selamat, Bapak, Ibu, bayinya perempuan, sehat, tidak kurang suatu apapun," seru dokter Nita.Alhamdulillah. Rasanya lega sekali setelah mendengar tangis bayiku meski proses
Bab 146 "Kejutan apa itu, Mbak?" Benakku langsung membayangkan suasana di apartemen. Mungkin lantaran merasa rindu dengan kami, asisten rumah tangga kami ini berinisiatif mengadakan pesta penyambutan kecil-kecilan dengan memasak masakan kesukaan kami. "Rahasia dong! Kalau saya bilang, berarti bukan kejutan lagi dong!" Perempuan itu tersenyum jahil dan aku tak lagi berniat untuk mendesak. Toh, sebentar lagi kami akan sampai dan aku akan segera tahu apa yang disiapkan oleh asisten rumah tangga kami ini. Mobil perlahan memasuki basement dan akhirnya berhenti. Aku dan mas Ibra keluar dari mobil dan berjalan menuju lift menuju lantai unitku berada. "Tara... kejutan!' seru mbak Ranti setelah ia menekan tombol password di pintu apartemenku. "Mas Gilang, Gita!" Aku sangat kaget, dan refleks menatap mbak Ranti dan bik Jum bergantian. Namun, kedua asisten rumah tanggaku itu malah tersenyum, bahkan ketika aku menatap mas Yanto, pria bertubuh kekar itu juga tersenyum. Ada apa ini? Aku menat
Bab 145Aku membiarkan Kania digendong oleh Rihanna. Menyaksikan binar matanya yang nampak begitu menyayangi putriku, aku tidak tega untuk mengambilnya. Akhirnya aku memilih mengayunkan kaki menuju kamarku.Biarkan saja Kania bersama dengan Rihanna. Jika putri kecilku haus, Rihanna pasti akan segera mengantarnya kepadaku."Ada sedikit masalah di dalam rahimnya, makanya sampai sekarang Rihanna belum punya anak, padahal kami semua sangat menginginkan keturunan yang berasal dari rahim adikku," ujar mas Ibra ketika aku tanya. "Kalau menang Rihanna ingin bersama dengan Kania selama ia berada di sini, biarkan saja. Rihanna itu sepertinya sosok yang keibuan dan penyayang anak-anak, hanya saja kebetulan memang belum rezeki." "Terima kasih atas pengertiannya, Sayang. Kita berdoa saja semoga disegerakan punya keponakan baru." Pria itu mengecup pelipisku berkali-kali, lalu membimbingku menuju tempat tidur.Ruangan ini sungguh luas. Kamar hotel tipe presiden suite saja masih kalah mewah dengan
Bab 144Aku tidak bisa berbuat atau berbicara apapun lagi, selain menatap jalanan sembari memangku Kania. Sementara mas Ibra memangku Keisha. Kami memang tidak membawa baby sister dalam perjalanan kali ini untuk alasan kepraktisan, bahkan kami tidak membawa pengawal, kecuali pengawal yang dibawa oleh ummi Azizah dari Mekkah.Kesakitan yang ummi Azizah rasakan menular juga kepadaku, tetapi aku tidak berdaya, hanya mampu menatap suamiku yang dengan segera mengedipkan matanya. Setelah mobil sampai di bandara, kami pun segera berpindah ke pesawat pribadi milik keluarga Salim Al-Maliki. Sudah lama pesawat pribadi itu ada. Sebelumnya, pesawat pribadi dimiliki hanya keluarga Al-Maliki secara umum, tetapi kini Abi Emir sudah membeli pesawat khusus untuk keluarga Salim Al-Maliki, sehingga sedikit demi sedikit mereka mulai melepaskan ketergantungan dengan keluarga itu dan juga Almeera Oil Company.Keterikatan ummi Azizah terhadap perusahaan minyak itu sebatas dia adalah pemegang satu persen sa
Bab 143Perempuan tua itu menoleh. Dia mengurungkan niatnya untuk melangkah menuju pintu, tetapi berbalik menghampiri perempuan tua yang duduk santai di sebuah sofa di salah satu sudut ruangan.Ruang tamu khusus laki-laki ini memang sangat luas, memiliki beberapa sofa disusun dari ujung ke ujung, karena seringkali menerima tamu dengan jumlah yang banyak. "Sejak Abi meninggal dunia, aku merasa Ummu, Khaled, dan Waled berubah, kecuali Wafa," ucap ummi Azizah tanpa menuruti permintaan ibu tirinya untuk duduk kembali ke sofa di dekat perempuan tua itu duduk."Itu hanya perasaanmu saja, Azizah," balasnya."Tapi aku merasa dipermainkan di keluarga ini. Keluarga yang kupikir bisa memberikan secercah harapan, tapi ternyata hanya kepalsuan yang kudapatkan. Orang yang benar-benar menyayangiku hanya Abi, hanya syekh Ali yang benar-benar menyayangiku dengan tulus, dan juga adik kecilku, Wafa." Ummi Azizah menjeda ucapannya dengan sentakan nafasnya yang berat. "Namun kalian dengan begitu kejam
Bab 142Raut wajah pria itu seketika menegang. Tampak sekali ia tengah menahan emosinya. Namun kurasa ia tidak sedang memarahiku, karena kulihat mulutnya bergerak-gerak."Aku tidak tahu, Sayang. Tapi yang jelas, aku harus mengusut semua ini. Sayang sekali di ruangan kerjaku dan di ruangan pribadi itu tidak ada kamera CCTV. Mas juga tidak tahu bagaimana caranya Nona Barbara merekam adegan itu. Mas benar-benar tidak tahu karena Mas tengah tertidur.""Tapi... tunggu Mas!" Otakku segera mencerna kejanggalan yang terjadi, karena bagiku tidak ada alasan untuk tidak mempercayainya. Jika memang Mas Ibra bisa tertidur sampai seperti orang pingsan, apa jangan-jangan ada orang yang memasukkan obat tidur ke dalam minumannya?"Aku rasa ini sudah tidak wajar, Mas. Walaupun Mas sedang tidur, tapi kalau ada orang yang menggerayangi, biasanya Mas akan terbangun, seperti biasanya saat kita sedang bersama," ujarku mengingatkan. Pria itu tampak tercenung sejenak."Omonganmu masuk akal juga, Sayang." Pri
Bab 141"Ya Tuhan!" Aku memekik, refleks jemariku menyentuh layar. Dan adegan demi adegan itu membuat perutku seketika mual. Tubuhku lemas dan akhirnya luruh ke lantai dan tanpa sadar menjatuhkan ponselku yang masih menyala layarnya."Kenapa kamu tega melakukan ini sama aku, Mas? Bahkan aku baru saja melahirkan anak kamu." Aku duduk sembari memeluk betisku. Tangisku pecah seketika.Siapa perempuan itu sebenarnya? Kenapa ia bisa bersama dengan mas Ibra di dalam satu ruangan, bahkan satu ranjang?Aku masih saja merapatkan wajahku dengan lutut, meski terdengar suara ketukan dibalik pintu sampai akhirnya pintu pun terbuka."Ibu kenapa? Ada apa?" Mbak Ranti terlihat kaget saat aku mengangkat wajahku yang bersimbah air mata."Papanya Kania selingkuh, Mbak," lirihku."Selingkuh?" Bibir wanita itu bergerak-gerak. Namun hanya kata selingkuh yang terucap dari bibirnya. Aku menubruk perempuan itu lalu memeluknya. Tangisku kembali pecah. Aku menangis dalam pelukan mbak Ranti. "Kenapa dia begitu
Bab 140Ibra tidak menyadari jika dari balik pintu ruang kerjanya muncul sesosok tubuh yang tadi sempat pamit keluar.Sementara itu, pintu ruangan peristirahatannya pun terbuka."Dia sudah tak sadar, Ghazi?" tanya sesosok perempuan yang tepat berdiri di depan pintu ruangan peristirahatan Ibra."Aman, Nona. Dia tidak akan sadar selama beberapa jam dan Nona bisa melakukan apapun," jawab pria itu sembari menyeringai."Bagus. Kerjamu sungguh bagus. Bayaranmu akan segera kamu terima, berikut bonusnya.""Terima kasih, Nona. Sekarang apa yang bisa saya lakukan lagi?""Bawa pria itu ke tempat tidur. Setelah itu kamu boleh keluar. Jangan lupa kunci ruang kerjanya. Nanti jika semuanya sudah selesai, aku akan hubungi lagi. Tetaplah stand by di tempatmu," titah perempuan itu yang ternyata adalah Barbara.Perempuan itu tersenyum manakala menatap pria yang tengah digendong oleh Ghazi. Sebentar lagi rencananya akan terwujud. Ghazi merebahkan Ibra dengan hati-hati ke pembaringan, kemudian segera per
Bab 139Meski penuturan sang paman tidak membuat Ibra terlalu terkejut, tetapi tak urung matanya tetap membulat sempurna. Dia bahkan refleks menjauhkan tubuhnya dari pria tua itu. Ibra berdiri, lalu pindah tempat duduk sehingga kini posisi mereka menjadi berhadapan."Dan Paman pikir aku menerima tawaran itu?" sinisnya."Paman pikir kamu hanya perlu menikahinya sebentar, setelah itu menceraikannya. Lagi pula dia hanya memintamu untuk menjadi suaminya sebentar saja. Pernikahan ini pun juga hanya akan dilaksanakan secara siri," bujuk pangeran Khaled. Dibenaknya tentu deretan angka-angka yang akan segera masuk ke perusahaan jika pernikahan ini benar-benar terjadi.Pria itu pun sebenarnya tidak ingin keponakannya menikahi wanita itu. Namun perusahaan mereka masih dalam kondisi terguncang. Tidak mudah mendapatkan investor kelas kakap seperti Tuan Wiliam.Apa salahnya jika menyuruh keponakannya untuk menikahi wanita itu? Toh, istrinya Ibra berada di Indonesia dan tidak akan tahu jika suaminy
Bab 138Meski cukup banyak perempuan yang tidak memakai jilbab di kota metropolitan Arab Saudi ini, tetapi Ibra merasa cara berpakaian Barbara cukup berani, padahal dia hanya seorang tamu di negara ini.Meski kemungkinan perempuan ini non muslim, tapi seharusnya ia tahu diri dan mengerti situasi, mengingat ia berkunjung ke sebuah negara yang mayoritas penduduk wanitanya harus mengenakan pakaian tertutup.Namun, Ibra tidak menangkap itikad baik dari Barbara, justru perempuan itu bersikap seolah-olah restoran ini berada di negaranya yang menganut paham kebebasan. Lagi-lagi ia mengibaskan rambutnya, sehingga harum helaian itu terendus oleh Ibra dan membuat pria itu seketika menghembuskan nafas."Anda terlalu berlebihan, Nona. Saya hanya orang biasa. Kebetulan saja dua orang pria tua yang telah berbicara dengan ayah anda itu adalah adik dari ibu saya," sahut Ibra. Dia menurunkan tangannya dari meja, lalu menangkupkan telapak tangannya di pangkuannya."Tentu. Saya pun mengenal ibu anda yan