Bab 33Menjemput Ke BandaraMeski sudah mengantongi restu dari ayah Hafiz, ummi Yasmin dan ummi Naura, tetapi tetap saja aku merasa insecure. Bagaimanapun, orang-orang yang akan kuhadapi adalah keluarga besar Al-Maliki dan mereka sudah punya calon yang mereka anggap tepat sebagai pendamping mas Ibra, bahkan rencana perjodohan mereka sudah sangat matang. Aku melihat sendiri Almera Hotel yang berbenah demi menyambut kedatangan mereka.Kini aku sedang duduk di depan meja rias, menatap pantulan wajahku di depan cermin. Gamis berwarna hijau pupus dengan jilbab senada nampak pas membungkus tubuhku, tidak ketat dan tidak juga longgar."Cantik." Suara mas Ibra terdengar saat aku menangkap bayangan tubuhnya melalui cermin besar itu."Gimana kalau aku pergi saja, Mas?" lirihku. "Sebesar apapun keinginanmu untuk membatalkan perjodohan ini, rasanya akan sangat sulit," imbuhku, lagi-lagi dengan suara pelan. Aku melayangkan pandangan kepada beberapa koper yang teronggok di sudut ruangan tidurku.K
Bab 34Saran Putri Fathia "Nenek mengerti apa yang kamu rasakan. Nenek paham. Jangan kamu kira Nenek sekejam itu padamu," ucap lirih perempuan tua itu. Dia bahkan mengangkat tangan keriputnya, seolah sedang membela diri."Bahkan Nenek pernah berada di posisimu." Kali ini ucapannya ditujukan kepadaku. "Kamu mengingatkan Nenek kepada seorang perempuan, istri pertama mendiang kakek kalian.""Fatimah?" selaku memberanikan diri."Tampaknya kamu sudah mengetahui semuanya, Nak." Wanita tua itu lantas membuka cadarnya dan tersenyum. Kini aku bisa jelas melihat senyumnya serta wajah putih bersih itu, wajah yang terlihat masih cantik, sisa-sisa kecantikan di masa mudanya."Mas Ibra yang cerita, Tuan Putri," sahutku dengan nada lembut."Ya, Nenek tahu, Ibrahim pasti sudah menceritakan masa lalunya kepadamu. Nenek pun pernah muda dan tahu bagaimana rasanya," ujarnya.Kali ini tatapan putri Fathia teralih kepada mas Ibra."Kamu boleh menikahi perempuan ini. Nenek membebaskan kamu menikahi peremp
Bab 35Akad NikahAku masih syok dengan penuturan Mas Ibra. Sulit bagiku untuk mencerna apa yang ia katakan. Kenapa semuanya terasa begitu mendadak bagiku? Otakku serasa macet. Aku sungguh tidak menyangka jika Mas Ibra sudah melakukan sejauh itu. Padahal sebuah pernikahan bukan urusan main-main. Apa mungkin mas Ibra tahu jika aku sudah tidak memiliki keluarga?Menikahiku memang tidak perlu melakukan lamaran, karena aku sudah tidak punya siapa-siapa di dunia ini, kecuali kerabat jauh. Orang tuaku sudah meninggal, kakek nenekku juga. Kedua orang tuaku sama-sama anak tunggal, jadi aku tidak punya paman atau bibi.Dulu, aku menikah dengan mas Gilang pun juga tidak melalui proses lamaran. Kami menikah begitu saja. Mungkin itu pula yang menyebabkan mas Gilang berbuat semena-mena terhadapku. Ya, karena aku tidak punya siapa-siapa yang bisa membelaku.Tepat pukul 08.00 malam orang-orang itu berdatangan ke apartemen kami. Sebagian dari mereka menyingkirkan sofa dan barang-barang yang ada d
Bab 36Pengumuman Pernikahan (1)Aku berusaha menyembunyikan wajahku di dadanya. Rasa malu tak terkira saat lagi-lagi Mas Ibra mengecup pipiku.Gesekan demi gesekan di kedua tubuh yang polos memantik api yang tadinya padam kembali berkobar. Namun sayangnya suara adzan subuh terdengar dan itu mengurungkan niat mas Ibra untuk kembali menyentuhku. Aku pun sebenarnya sudah sangat lelah setelah percintaan panas sampai beronde-ronde. Menjelang dini hari baru bisa tertidur dan sekarang harus bangun lagi.Tak ada tenaga lagi untuk melayaninya bercinta, lagi pula aku harus menyiapkan tenaga dan mental untuk acara pagi ini, yang entah akan seperti apa. Hanya Mas Ibra yang tahu. Lelaki ini memang penuh dengan kejutan.Harus kuakui stamina pria ini memang luar biasa, bahkan kalau dibandingkan malah kalah jauh sama mas Gilang. Hanya mungkin dia tidak mengumbarnya pada sembarang wanita. Atau jangan-jangan ucapannya tempo hari memang benar, jika dia hanya menyentuh seorang wanita dan itu adalah ist
Bab 37Pengumuman Pernikahan (2)"Dan di dalam kesempatan yang baik ini pula, saya ingin menyampaikan sebuah pengumuman penting, pengumuman tentang status wanita yang tengah berdiri di samping saya dan mengenakan gelang dan cincin yang berasal dari perhiasan keluarga."Lagi-lagi Mas Ibra menjeda ucapannya seraya menatap balik ratusan orang, termasuk para awak media yang masih sibuk dengan kameranya masing-masing. Pria itu nampak tersenyum."Nama perempuan cantik ini adalah Kayla Arudati Inayah bin Muhammad Salman Al-Farizi. Dia adalah istri saya. Kami baru saja menikah tadi malam. Berhubung istri saya tidak menyukai keramaian dan resepsi mewah, jadi saya menganggap pengumuman ini adalah resepsi untuk istri saya.""Ibra...."Tiba-tiba sebuah kursi roda meluncur ke arah panggung depan diiringi dengan suara yang cukup lantang.Itu adalah Putri Fathia, nenek sambung mas Ibra. Tiba-tiba tubuhku bergetar. Namun pria itu kembali tersenyum. Sebelah tangannya melambai, meminta pria muda yang
Bab 38Seperti Inikah Rasanya Dicintai?Putri Fahda memang keterlaluan, tapi mas Ibra sama sekali tidak mengejar wanita itu. Dia justru membawaku keluar dari ruangan demi menghindari keributan yang lebih besar. Diiringi dengan anggukan pangeran Emir dan putri Azizah, aku dan mas Ibra keluar dari ruangan itu, menuju ruang kerja mas Ibra dengan diiringi oleh mbak Ranti tentunya."Saya benar-benar nggak ngerti, Bu. Putri bangsawan kok kelakuannya barbar kayak gitu," keluh mbak Ranti. Wanita itu membantu melepas kerudung yang melekat di kepalaku. Kerudung yang basah, bahkan bajuku pun juga basah, karena air yang ditumpahkan oleh putri Fahda."Nggak apa-apa, Mbak. Dimaklumi saja. Kalau kita berada di posisi dia, mungkin juga akan melakukan hal yang serupa. Mungkin dia merasa calon suaminya direbut oleh saya," sahutku seraya meraih paper bag yang ditaruh mas Ibra di ranjang."Cuma nggak segitunya juga kali, Bu. Seorang putri kan harusnya memiliki sikap yang elegan, ya, meskipun berada di
Bab 39Kedatangan Icha"Nah, kamu sudah tahu, bukan?" sergah pangeran Khaled. Suara pria separuh baya itu terdengar sangat berat, mungkin seberat beban yang berada di pundaknya sekarang.Namun Mas Ibra malah tertawa. "Tidak semudah itu, Paman. Aku bukan anak kecil lagi yang bisa diancam. Jadi jangan coba-coba melakukan permainan selayaknya anak-anak.""Tapi tidak sesederhana pikiranmu, Ibra." Suara pria itu terdengar lagi. "Menarik investasi di sebuah perusahaan memang bukan hal yang gampang, tapi bukan berarti hal itu mustahil dilakukan oleh Al-Ahdal. Dan kamu tahu, kan, betapa berkuasanya mereka pada Almeera Oil Company? Mereka bahkan ikut menentukan arah kebijakan perusahaan. Kita ini hanya pengelola, Ibra. Saham yang keluarga kita miliki di Almeera Oil Company tidak banyak. Kamu harus paham itu.""Aku paham, Paman. Justru karena itu aku ingin agar hubungan kerja di dalam keluarga kita dimurnikan. Jangan sampai urusan pribadi dibawa-bawa.""Kamu bisa bilang begitu karena kamu ber
Bab 40Salah PahamNamun Mas Ibra malah tertawa terpingkal-pingkal. Entah apa yang membuatnya merasa lucu. Apakah karena wajahku yang cemberut?"Kamu salah paham, Sayang. Masa iya sih Mas merasa ada yang kurang? Kamu itu sempurna, tahu!""Tapi kenapa Mas mau membeli Gita?" Aku berontak, berusaha melepaskan diri dari pelukan pria itu. Namun tenaganya terlalu kuat, sehingga tetap saja aku berada di dalam kungkungannya."Bukan buat Mas, tapi buat Evan. Mas akan siapkan uang 100 juta untuk Evan membeli gadis itu, lebih tepatnya sebagai mahar nikah Gita. Sebab Mas berencana akan menjodohkan Evan dan Gita," papar mas Ibra."Menikah?" Mataku seketika membulat."Emangnya Mas akan membiarkan asisten pribadi Mas itu berzina?" Bibirnya mencebik."Tapi uang 100 juta itu nggak sedikit, Mas. Tahu gini aku biarkan saja rumah itu ditempati oleh mereka, nggak perlu aku ambil," keluhku. Ada perasaan bersalah yang tiba-tiba saja menyergap. Gara-gara rumah itu aku ambil, seorang gadis harus dipaksa menju
Bab 146 "Kejutan apa itu, Mbak?" Benakku langsung membayangkan suasana di apartemen. Mungkin lantaran merasa rindu dengan kami, asisten rumah tangga kami ini berinisiatif mengadakan pesta penyambutan kecil-kecilan dengan memasak masakan kesukaan kami. "Rahasia dong! Kalau saya bilang, berarti bukan kejutan lagi dong!" Perempuan itu tersenyum jahil dan aku tak lagi berniat untuk mendesak. Toh, sebentar lagi kami akan sampai dan aku akan segera tahu apa yang disiapkan oleh asisten rumah tangga kami ini. Mobil perlahan memasuki basement dan akhirnya berhenti. Aku dan mas Ibra keluar dari mobil dan berjalan menuju lift menuju lantai unitku berada. "Tara... kejutan!' seru mbak Ranti setelah ia menekan tombol password di pintu apartemenku. "Mas Gilang, Gita!" Aku sangat kaget, dan refleks menatap mbak Ranti dan bik Jum bergantian. Namun, kedua asisten rumah tanggaku itu malah tersenyum, bahkan ketika aku menatap mas Yanto, pria bertubuh kekar itu juga tersenyum. Ada apa ini? Aku menat
Bab 145Aku membiarkan Kania digendong oleh Rihanna. Menyaksikan binar matanya yang nampak begitu menyayangi putriku, aku tidak tega untuk mengambilnya. Akhirnya aku memilih mengayunkan kaki menuju kamarku.Biarkan saja Kania bersama dengan Rihanna. Jika putri kecilku haus, Rihanna pasti akan segera mengantarnya kepadaku."Ada sedikit masalah di dalam rahimnya, makanya sampai sekarang Rihanna belum punya anak, padahal kami semua sangat menginginkan keturunan yang berasal dari rahim adikku," ujar mas Ibra ketika aku tanya. "Kalau menang Rihanna ingin bersama dengan Kania selama ia berada di sini, biarkan saja. Rihanna itu sepertinya sosok yang keibuan dan penyayang anak-anak, hanya saja kebetulan memang belum rezeki." "Terima kasih atas pengertiannya, Sayang. Kita berdoa saja semoga disegerakan punya keponakan baru." Pria itu mengecup pelipisku berkali-kali, lalu membimbingku menuju tempat tidur.Ruangan ini sungguh luas. Kamar hotel tipe presiden suite saja masih kalah mewah dengan
Bab 144Aku tidak bisa berbuat atau berbicara apapun lagi, selain menatap jalanan sembari memangku Kania. Sementara mas Ibra memangku Keisha. Kami memang tidak membawa baby sister dalam perjalanan kali ini untuk alasan kepraktisan, bahkan kami tidak membawa pengawal, kecuali pengawal yang dibawa oleh ummi Azizah dari Mekkah.Kesakitan yang ummi Azizah rasakan menular juga kepadaku, tetapi aku tidak berdaya, hanya mampu menatap suamiku yang dengan segera mengedipkan matanya. Setelah mobil sampai di bandara, kami pun segera berpindah ke pesawat pribadi milik keluarga Salim Al-Maliki. Sudah lama pesawat pribadi itu ada. Sebelumnya, pesawat pribadi dimiliki hanya keluarga Al-Maliki secara umum, tetapi kini Abi Emir sudah membeli pesawat khusus untuk keluarga Salim Al-Maliki, sehingga sedikit demi sedikit mereka mulai melepaskan ketergantungan dengan keluarga itu dan juga Almeera Oil Company.Keterikatan ummi Azizah terhadap perusahaan minyak itu sebatas dia adalah pemegang satu persen sa
Bab 143Perempuan tua itu menoleh. Dia mengurungkan niatnya untuk melangkah menuju pintu, tetapi berbalik menghampiri perempuan tua yang duduk santai di sebuah sofa di salah satu sudut ruangan.Ruang tamu khusus laki-laki ini memang sangat luas, memiliki beberapa sofa disusun dari ujung ke ujung, karena seringkali menerima tamu dengan jumlah yang banyak. "Sejak Abi meninggal dunia, aku merasa Ummu, Khaled, dan Waled berubah, kecuali Wafa," ucap ummi Azizah tanpa menuruti permintaan ibu tirinya untuk duduk kembali ke sofa di dekat perempuan tua itu duduk."Itu hanya perasaanmu saja, Azizah," balasnya."Tapi aku merasa dipermainkan di keluarga ini. Keluarga yang kupikir bisa memberikan secercah harapan, tapi ternyata hanya kepalsuan yang kudapatkan. Orang yang benar-benar menyayangiku hanya Abi, hanya syekh Ali yang benar-benar menyayangiku dengan tulus, dan juga adik kecilku, Wafa." Ummi Azizah menjeda ucapannya dengan sentakan nafasnya yang berat. "Namun kalian dengan begitu kejam
Bab 142Raut wajah pria itu seketika menegang. Tampak sekali ia tengah menahan emosinya. Namun kurasa ia tidak sedang memarahiku, karena kulihat mulutnya bergerak-gerak."Aku tidak tahu, Sayang. Tapi yang jelas, aku harus mengusut semua ini. Sayang sekali di ruangan kerjaku dan di ruangan pribadi itu tidak ada kamera CCTV. Mas juga tidak tahu bagaimana caranya Nona Barbara merekam adegan itu. Mas benar-benar tidak tahu karena Mas tengah tertidur.""Tapi... tunggu Mas!" Otakku segera mencerna kejanggalan yang terjadi, karena bagiku tidak ada alasan untuk tidak mempercayainya. Jika memang Mas Ibra bisa tertidur sampai seperti orang pingsan, apa jangan-jangan ada orang yang memasukkan obat tidur ke dalam minumannya?"Aku rasa ini sudah tidak wajar, Mas. Walaupun Mas sedang tidur, tapi kalau ada orang yang menggerayangi, biasanya Mas akan terbangun, seperti biasanya saat kita sedang bersama," ujarku mengingatkan. Pria itu tampak tercenung sejenak."Omonganmu masuk akal juga, Sayang." Pri
Bab 141"Ya Tuhan!" Aku memekik, refleks jemariku menyentuh layar. Dan adegan demi adegan itu membuat perutku seketika mual. Tubuhku lemas dan akhirnya luruh ke lantai dan tanpa sadar menjatuhkan ponselku yang masih menyala layarnya."Kenapa kamu tega melakukan ini sama aku, Mas? Bahkan aku baru saja melahirkan anak kamu." Aku duduk sembari memeluk betisku. Tangisku pecah seketika.Siapa perempuan itu sebenarnya? Kenapa ia bisa bersama dengan mas Ibra di dalam satu ruangan, bahkan satu ranjang?Aku masih saja merapatkan wajahku dengan lutut, meski terdengar suara ketukan dibalik pintu sampai akhirnya pintu pun terbuka."Ibu kenapa? Ada apa?" Mbak Ranti terlihat kaget saat aku mengangkat wajahku yang bersimbah air mata."Papanya Kania selingkuh, Mbak," lirihku."Selingkuh?" Bibir wanita itu bergerak-gerak. Namun hanya kata selingkuh yang terucap dari bibirnya. Aku menubruk perempuan itu lalu memeluknya. Tangisku kembali pecah. Aku menangis dalam pelukan mbak Ranti. "Kenapa dia begitu
Bab 140Ibra tidak menyadari jika dari balik pintu ruang kerjanya muncul sesosok tubuh yang tadi sempat pamit keluar.Sementara itu, pintu ruangan peristirahatannya pun terbuka."Dia sudah tak sadar, Ghazi?" tanya sesosok perempuan yang tepat berdiri di depan pintu ruangan peristirahatan Ibra."Aman, Nona. Dia tidak akan sadar selama beberapa jam dan Nona bisa melakukan apapun," jawab pria itu sembari menyeringai."Bagus. Kerjamu sungguh bagus. Bayaranmu akan segera kamu terima, berikut bonusnya.""Terima kasih, Nona. Sekarang apa yang bisa saya lakukan lagi?""Bawa pria itu ke tempat tidur. Setelah itu kamu boleh keluar. Jangan lupa kunci ruang kerjanya. Nanti jika semuanya sudah selesai, aku akan hubungi lagi. Tetaplah stand by di tempatmu," titah perempuan itu yang ternyata adalah Barbara.Perempuan itu tersenyum manakala menatap pria yang tengah digendong oleh Ghazi. Sebentar lagi rencananya akan terwujud. Ghazi merebahkan Ibra dengan hati-hati ke pembaringan, kemudian segera per
Bab 139Meski penuturan sang paman tidak membuat Ibra terlalu terkejut, tetapi tak urung matanya tetap membulat sempurna. Dia bahkan refleks menjauhkan tubuhnya dari pria tua itu. Ibra berdiri, lalu pindah tempat duduk sehingga kini posisi mereka menjadi berhadapan."Dan Paman pikir aku menerima tawaran itu?" sinisnya."Paman pikir kamu hanya perlu menikahinya sebentar, setelah itu menceraikannya. Lagi pula dia hanya memintamu untuk menjadi suaminya sebentar saja. Pernikahan ini pun juga hanya akan dilaksanakan secara siri," bujuk pangeran Khaled. Dibenaknya tentu deretan angka-angka yang akan segera masuk ke perusahaan jika pernikahan ini benar-benar terjadi.Pria itu pun sebenarnya tidak ingin keponakannya menikahi wanita itu. Namun perusahaan mereka masih dalam kondisi terguncang. Tidak mudah mendapatkan investor kelas kakap seperti Tuan Wiliam.Apa salahnya jika menyuruh keponakannya untuk menikahi wanita itu? Toh, istrinya Ibra berada di Indonesia dan tidak akan tahu jika suaminy
Bab 138Meski cukup banyak perempuan yang tidak memakai jilbab di kota metropolitan Arab Saudi ini, tetapi Ibra merasa cara berpakaian Barbara cukup berani, padahal dia hanya seorang tamu di negara ini.Meski kemungkinan perempuan ini non muslim, tapi seharusnya ia tahu diri dan mengerti situasi, mengingat ia berkunjung ke sebuah negara yang mayoritas penduduk wanitanya harus mengenakan pakaian tertutup.Namun, Ibra tidak menangkap itikad baik dari Barbara, justru perempuan itu bersikap seolah-olah restoran ini berada di negaranya yang menganut paham kebebasan. Lagi-lagi ia mengibaskan rambutnya, sehingga harum helaian itu terendus oleh Ibra dan membuat pria itu seketika menghembuskan nafas."Anda terlalu berlebihan, Nona. Saya hanya orang biasa. Kebetulan saja dua orang pria tua yang telah berbicara dengan ayah anda itu adalah adik dari ibu saya," sahut Ibra. Dia menurunkan tangannya dari meja, lalu menangkupkan telapak tangannya di pangkuannya."Tentu. Saya pun mengenal ibu anda yan