Bab 40Salah PahamNamun Mas Ibra malah tertawa terpingkal-pingkal. Entah apa yang membuatnya merasa lucu. Apakah karena wajahku yang cemberut?"Kamu salah paham, Sayang. Masa iya sih Mas merasa ada yang kurang? Kamu itu sempurna, tahu!""Tapi kenapa Mas mau membeli Gita?" Aku berontak, berusaha melepaskan diri dari pelukan pria itu. Namun tenaganya terlalu kuat, sehingga tetap saja aku berada di dalam kungkungannya."Bukan buat Mas, tapi buat Evan. Mas akan siapkan uang 100 juta untuk Evan membeli gadis itu, lebih tepatnya sebagai mahar nikah Gita. Sebab Mas berencana akan menjodohkan Evan dan Gita," papar mas Ibra."Menikah?" Mataku seketika membulat."Emangnya Mas akan membiarkan asisten pribadi Mas itu berzina?" Bibirnya mencebik."Tapi uang 100 juta itu nggak sedikit, Mas. Tahu gini aku biarkan saja rumah itu ditempati oleh mereka, nggak perlu aku ambil," keluhku. Ada perasaan bersalah yang tiba-tiba saja menyergap. Gara-gara rumah itu aku ambil, seorang gadis harus dipaksa menju
Bab 41Menemui Mama Kumala"Dasar posesif!" Suara gerutuan itu tetap saja ditangkap oleh Evan yang membuat pria itu seketika tersenyum dikulum. Entah kenapa tiba-tiba saja ia merasa seperti sugar daddy yang membujuk seorang gadis belia agar mau ia pelihara.Usia Gita memang baru 19 tahun, sementara Evan sudah menginjak 35 tahun, sebaya dengan Ibra, bos besarnya. Perbedaan usia yang cukup jauh. Mungkin betul juga istilah itu. Dia memang selayaknya sugar daddy yang membujuk seorang gadis belia, mengiming-imingi dengan uang dan fasilitas."Gadis ini sangat rupawan. Sayang sekali jika dia salah jalan." Pria itu membatin."Aku berani taruhan. Setelah menjual keperawanannya, maka tidak cukup hanya sampai di situ. Dia pasti akan ketagihan menjual diri karena tergiur dengan kemudahan mendapatkan uang. Entah itu didorong oleh kepentingan ibunya, ataupun dirinya sendiri secara sukarela. Ini harus segera dihentikan."Pria itu menarik nafas seraya menatap lurus gadis cantik itu. Bibirnya mengurai
Bab 42Cinta Tidak Bisa Memilih"Syukurlah kalau begitu. Selamat ya, Van. Aku beri kamu cuti tiga hari untuk berbulan madu " Suara mas Ibra diiringi kekehannya terdengar sebelum akhirnya memutus panggilan dengan Evan.Bagaimanapun menyebalkannya sikap mantan adik iparku di masa lalu, tetap saja hati nuraniku sebagai seorang wanita terketuk. Aku mengenal Gita luar dan dalam. Aku tahu, meski gadis itu manja, tetapi dia gadis yang polos. Jika ia bersedia melakukan itu, berarti pasti dipaksa oleh ibunya. Beruntung mas Ibra bertindak cepat, menyuruh Evan untuk menyelamatkan gadis itu. Evan dan Gita akan segera menikah. Meski mama Kumala tidak mengizinkan, tetapi mas Gilang menyetujui pernikahan itu dan bersedia menjadi walinya. Syukurlah, ternyata mas Gilang memiliki sisi baik juga."Kamu sudah lega, Sayang?" Pria itu menoleh kepadaku setelah menyimpan ponselnya di atas meja nakas. Dia memelukku dan mengecup keningku sekilas."Lega sekali, Mas. Terima kasih banyak," ucapku.Pria itu meng
Bab 43Menemukan Kasih Sayang Seperti biasanya perempuan tua itu terlihat cukup bijaksana. Sambil memangku Keisha dan sesekali menciumi pipi putriku, kami terus mengobrol. Hanya obrolan biasa. Tak sedikitpun ummi Azizah menceritakan soal masa lalu dengan ayahnya mas Ibra atau mengungkit-ungkit kehidupan rumah tangganya dengan pangeran Emir sekarang. Sepertinya ia memang menghindari topik pembicaraan itu, bahkan beliau pun tidak menanyakan soal suami pertamaku.Belum pernah aku merasakan bisa senyaman ini menghadapi orang tua. Dulu, aku begitu memuliakan mama Kumala, tetapi yang aku dapat hanya kebencian perempuan tua itu, karena merasa aku sudah merebut anaknya. Sementara dengan ummi Azizah justru sebaliknya. Bukan bermaksud membanding-bandingkan, tapi pada kenyataannya perempuan berdarah bangsawan ini sungguh baik. Tutur katanya halus dan lembut, sikapnya pun sangat elegan. Penampilannya anggun, mencerminkan sosok seorang putri bangsawan sejati."Jadi orang tuamu sudah meninggal
Bab 44Paket KomplitNamun tak ada reaksi apapun dari ayah tirinya itu, sehingga Ibra memutuskan untuk melanjutkan kata-katanya."Aku dan Kayla sepakat untuk merintis perusahaan travel sendiri. Almeera Travel. Perusahaan travel yang tetap bernaung di bawah grup Almeera," jelas Ibra."Benarkah?" Getaran suaranya penuh kegembiraan.Ibra mengangguk."Ide yang bagus. Kalau memang Kayla sanggup, kamu bisa mendudukkan Kayla sebagai ceo-nya, sementara kamu konsentrasi di hotel saja," saran Emir."Masih terlalu dini, Abi, tapi kalau Kayla memang bersedia...." Ibra merentangkan tangannya seraya mengangkat bahu. "Aku sih tidak keberatan, asalkan dia tetap masih punya waktu untukku, lagi pula aku tidak yakin Kayla mau, karena dia itu tipikal ibu rumah tangga sejati. Dia lebih suka berada di balik layar seperti yang ia lakukan saat masih bersama dengan suami pertamanya.""Oh, ya?" Mata Emir menyipit."Sepertinya Ummi dan Kayla memang memiliki kemiripan. Dulu bukannya Abi pernah meminta Ummi untu
Bab 45Makan Siang Bersama Mertua"Ayam betutu?" ulang mas Ibra. Matanya melotot kepadaku."Sayang, ini sudah jam berapa? Sementara nanti siang Ummi dan Abi akan datang kemari. Membuat ayam betutu itu perlu waktu yang lama, takut jika nggak keburu," bujuk mas Ibra dengan suara rendah, yang dengan segera pula ku anggukkan kepala. Mas Ibra benar. Membuat ayam betutu dengan bumbu khas butuh waktu 4 sampai 5 jam untuk mempersiapkan semuanya. Itu pun jika bumbu dasar yang biasa dipakai daerah ini sudah jadi. Jika harus membuat bumbu dasar lebih dulu, maka waktu yang digunakan akan lebih lama lagi."Ya udah. Aku masak ketupat dan gado-gado saja," ucapku pasrah. Mataku tertuju kepada lontong yang sudah selesai aku buat dan sedang dalam proses pendinginan. Lontong akan menjadi teman saji gado-gado nanti, sementara sayuran seperti tauge, tahu tempe, soun, mentimun dan kerupuk sudah siap. Aku tinggal membuat sambal kacangnya saja. Menurut Mas Ibra, abi Emir tidak menyukai masakan terlalu peda
Bab 46Pria Itu....Sesampainya di hotel Mas Ibra mempertemukan aku dengan mbak Livia. Ternyata orangnya masih muda, sebaya denganku, tapi terlihat sangat cerdas. Mbak Livia menguasai 5 bahasa, Inggris, Arab Spanyol, Belanda, dan Indonesia, tentunya.Semua tim sudah terkoordinir. Mereka sangat siap untuk menyambut kedatangan para tamu yang dijadwalkan akan datang pada siang ini. Bukan cuma para tamu penting, sekaligus juga pengiringnya, yang tentu saja jumlahnya tidak sedikit. Untuk sementara, Almeera Hotel tidak menerima tamu lain selain tamu-tamu penting itu, karena kamar-kamar hotel sudah di booking full oleh mereka melalui panitia pelaksana Konferensi Tingkat Tinggi, acara yang dihadiri oleh para presiden dan pejabat setingkat menteri atau perdana menteri.Satu persatu para tamu mulai berdatangan. Para wanita berkelas itu tampak begitu antusias dengan acara penyambutan ini. Aku tidak menyangka Jika ternyata mereka begitu ramah, nyaris tidak kutemukan kesombongan dari raut wajah m
Bab 47Membuang BerlianSejak melihat tayangan berita tentang Kayla, hati mama Kumala menjadi tidak tenang. Dia tak sabar untuk pulang. Andai tidak ditahan oleh bu Susi, ingin rasanya mama Kumala pulang sore itu juga. Keesokan harinya dia langsung pamit kepada bu Susi untuk pulang ke rumah. Dengan menaiki taksi, akhirnya mama Kumala sampai di rumahnya."Tumben Mama pulang pagi-pagi sekali. Biasanya betah sekali di rumah Bu Susi?" tegur Gilang saat mendapati kehadiran ibunya di pagi-pagi buta seperti ini.Gilang yang merasa lebih nyaman ketika ibunya memilih menginap di rumah bu Susi seketika menggeleng, lalu melirik Anggi yang duduk di sisinya dan tengah asyik menikmati sarapan."Memangnya kamu nggak suka Mama pulang pagi-pagi seperti ini?!" Mama Kumala mendekat, lalu duduk di hadapan Gilang dan Anggi."Bukannya nggak suka, Ma, hanya heran saja. Biasanya kan Mama pulang siang," timpal Anggi. Wanita muda itu menatap jengah ibu mertuanya.Andai menurutkan hati, lebih baik ibu mertuanya
Bab 146 "Kejutan apa itu, Mbak?" Benakku langsung membayangkan suasana di apartemen. Mungkin lantaran merasa rindu dengan kami, asisten rumah tangga kami ini berinisiatif mengadakan pesta penyambutan kecil-kecilan dengan memasak masakan kesukaan kami. "Rahasia dong! Kalau saya bilang, berarti bukan kejutan lagi dong!" Perempuan itu tersenyum jahil dan aku tak lagi berniat untuk mendesak. Toh, sebentar lagi kami akan sampai dan aku akan segera tahu apa yang disiapkan oleh asisten rumah tangga kami ini. Mobil perlahan memasuki basement dan akhirnya berhenti. Aku dan mas Ibra keluar dari mobil dan berjalan menuju lift menuju lantai unitku berada. "Tara... kejutan!' seru mbak Ranti setelah ia menekan tombol password di pintu apartemenku. "Mas Gilang, Gita!" Aku sangat kaget, dan refleks menatap mbak Ranti dan bik Jum bergantian. Namun, kedua asisten rumah tanggaku itu malah tersenyum, bahkan ketika aku menatap mas Yanto, pria bertubuh kekar itu juga tersenyum. Ada apa ini? Aku menat
Bab 145Aku membiarkan Kania digendong oleh Rihanna. Menyaksikan binar matanya yang nampak begitu menyayangi putriku, aku tidak tega untuk mengambilnya. Akhirnya aku memilih mengayunkan kaki menuju kamarku.Biarkan saja Kania bersama dengan Rihanna. Jika putri kecilku haus, Rihanna pasti akan segera mengantarnya kepadaku."Ada sedikit masalah di dalam rahimnya, makanya sampai sekarang Rihanna belum punya anak, padahal kami semua sangat menginginkan keturunan yang berasal dari rahim adikku," ujar mas Ibra ketika aku tanya. "Kalau menang Rihanna ingin bersama dengan Kania selama ia berada di sini, biarkan saja. Rihanna itu sepertinya sosok yang keibuan dan penyayang anak-anak, hanya saja kebetulan memang belum rezeki." "Terima kasih atas pengertiannya, Sayang. Kita berdoa saja semoga disegerakan punya keponakan baru." Pria itu mengecup pelipisku berkali-kali, lalu membimbingku menuju tempat tidur.Ruangan ini sungguh luas. Kamar hotel tipe presiden suite saja masih kalah mewah dengan
Bab 144Aku tidak bisa berbuat atau berbicara apapun lagi, selain menatap jalanan sembari memangku Kania. Sementara mas Ibra memangku Keisha. Kami memang tidak membawa baby sister dalam perjalanan kali ini untuk alasan kepraktisan, bahkan kami tidak membawa pengawal, kecuali pengawal yang dibawa oleh ummi Azizah dari Mekkah.Kesakitan yang ummi Azizah rasakan menular juga kepadaku, tetapi aku tidak berdaya, hanya mampu menatap suamiku yang dengan segera mengedipkan matanya. Setelah mobil sampai di bandara, kami pun segera berpindah ke pesawat pribadi milik keluarga Salim Al-Maliki. Sudah lama pesawat pribadi itu ada. Sebelumnya, pesawat pribadi dimiliki hanya keluarga Al-Maliki secara umum, tetapi kini Abi Emir sudah membeli pesawat khusus untuk keluarga Salim Al-Maliki, sehingga sedikit demi sedikit mereka mulai melepaskan ketergantungan dengan keluarga itu dan juga Almeera Oil Company.Keterikatan ummi Azizah terhadap perusahaan minyak itu sebatas dia adalah pemegang satu persen sa
Bab 143Perempuan tua itu menoleh. Dia mengurungkan niatnya untuk melangkah menuju pintu, tetapi berbalik menghampiri perempuan tua yang duduk santai di sebuah sofa di salah satu sudut ruangan.Ruang tamu khusus laki-laki ini memang sangat luas, memiliki beberapa sofa disusun dari ujung ke ujung, karena seringkali menerima tamu dengan jumlah yang banyak. "Sejak Abi meninggal dunia, aku merasa Ummu, Khaled, dan Waled berubah, kecuali Wafa," ucap ummi Azizah tanpa menuruti permintaan ibu tirinya untuk duduk kembali ke sofa di dekat perempuan tua itu duduk."Itu hanya perasaanmu saja, Azizah," balasnya."Tapi aku merasa dipermainkan di keluarga ini. Keluarga yang kupikir bisa memberikan secercah harapan, tapi ternyata hanya kepalsuan yang kudapatkan. Orang yang benar-benar menyayangiku hanya Abi, hanya syekh Ali yang benar-benar menyayangiku dengan tulus, dan juga adik kecilku, Wafa." Ummi Azizah menjeda ucapannya dengan sentakan nafasnya yang berat. "Namun kalian dengan begitu kejam
Bab 142Raut wajah pria itu seketika menegang. Tampak sekali ia tengah menahan emosinya. Namun kurasa ia tidak sedang memarahiku, karena kulihat mulutnya bergerak-gerak."Aku tidak tahu, Sayang. Tapi yang jelas, aku harus mengusut semua ini. Sayang sekali di ruangan kerjaku dan di ruangan pribadi itu tidak ada kamera CCTV. Mas juga tidak tahu bagaimana caranya Nona Barbara merekam adegan itu. Mas benar-benar tidak tahu karena Mas tengah tertidur.""Tapi... tunggu Mas!" Otakku segera mencerna kejanggalan yang terjadi, karena bagiku tidak ada alasan untuk tidak mempercayainya. Jika memang Mas Ibra bisa tertidur sampai seperti orang pingsan, apa jangan-jangan ada orang yang memasukkan obat tidur ke dalam minumannya?"Aku rasa ini sudah tidak wajar, Mas. Walaupun Mas sedang tidur, tapi kalau ada orang yang menggerayangi, biasanya Mas akan terbangun, seperti biasanya saat kita sedang bersama," ujarku mengingatkan. Pria itu tampak tercenung sejenak."Omonganmu masuk akal juga, Sayang." Pri
Bab 141"Ya Tuhan!" Aku memekik, refleks jemariku menyentuh layar. Dan adegan demi adegan itu membuat perutku seketika mual. Tubuhku lemas dan akhirnya luruh ke lantai dan tanpa sadar menjatuhkan ponselku yang masih menyala layarnya."Kenapa kamu tega melakukan ini sama aku, Mas? Bahkan aku baru saja melahirkan anak kamu." Aku duduk sembari memeluk betisku. Tangisku pecah seketika.Siapa perempuan itu sebenarnya? Kenapa ia bisa bersama dengan mas Ibra di dalam satu ruangan, bahkan satu ranjang?Aku masih saja merapatkan wajahku dengan lutut, meski terdengar suara ketukan dibalik pintu sampai akhirnya pintu pun terbuka."Ibu kenapa? Ada apa?" Mbak Ranti terlihat kaget saat aku mengangkat wajahku yang bersimbah air mata."Papanya Kania selingkuh, Mbak," lirihku."Selingkuh?" Bibir wanita itu bergerak-gerak. Namun hanya kata selingkuh yang terucap dari bibirnya. Aku menubruk perempuan itu lalu memeluknya. Tangisku kembali pecah. Aku menangis dalam pelukan mbak Ranti. "Kenapa dia begitu
Bab 140Ibra tidak menyadari jika dari balik pintu ruang kerjanya muncul sesosok tubuh yang tadi sempat pamit keluar.Sementara itu, pintu ruangan peristirahatannya pun terbuka."Dia sudah tak sadar, Ghazi?" tanya sesosok perempuan yang tepat berdiri di depan pintu ruangan peristirahatan Ibra."Aman, Nona. Dia tidak akan sadar selama beberapa jam dan Nona bisa melakukan apapun," jawab pria itu sembari menyeringai."Bagus. Kerjamu sungguh bagus. Bayaranmu akan segera kamu terima, berikut bonusnya.""Terima kasih, Nona. Sekarang apa yang bisa saya lakukan lagi?""Bawa pria itu ke tempat tidur. Setelah itu kamu boleh keluar. Jangan lupa kunci ruang kerjanya. Nanti jika semuanya sudah selesai, aku akan hubungi lagi. Tetaplah stand by di tempatmu," titah perempuan itu yang ternyata adalah Barbara.Perempuan itu tersenyum manakala menatap pria yang tengah digendong oleh Ghazi. Sebentar lagi rencananya akan terwujud. Ghazi merebahkan Ibra dengan hati-hati ke pembaringan, kemudian segera per
Bab 139Meski penuturan sang paman tidak membuat Ibra terlalu terkejut, tetapi tak urung matanya tetap membulat sempurna. Dia bahkan refleks menjauhkan tubuhnya dari pria tua itu. Ibra berdiri, lalu pindah tempat duduk sehingga kini posisi mereka menjadi berhadapan."Dan Paman pikir aku menerima tawaran itu?" sinisnya."Paman pikir kamu hanya perlu menikahinya sebentar, setelah itu menceraikannya. Lagi pula dia hanya memintamu untuk menjadi suaminya sebentar saja. Pernikahan ini pun juga hanya akan dilaksanakan secara siri," bujuk pangeran Khaled. Dibenaknya tentu deretan angka-angka yang akan segera masuk ke perusahaan jika pernikahan ini benar-benar terjadi.Pria itu pun sebenarnya tidak ingin keponakannya menikahi wanita itu. Namun perusahaan mereka masih dalam kondisi terguncang. Tidak mudah mendapatkan investor kelas kakap seperti Tuan Wiliam.Apa salahnya jika menyuruh keponakannya untuk menikahi wanita itu? Toh, istrinya Ibra berada di Indonesia dan tidak akan tahu jika suaminy
Bab 138Meski cukup banyak perempuan yang tidak memakai jilbab di kota metropolitan Arab Saudi ini, tetapi Ibra merasa cara berpakaian Barbara cukup berani, padahal dia hanya seorang tamu di negara ini.Meski kemungkinan perempuan ini non muslim, tapi seharusnya ia tahu diri dan mengerti situasi, mengingat ia berkunjung ke sebuah negara yang mayoritas penduduk wanitanya harus mengenakan pakaian tertutup.Namun, Ibra tidak menangkap itikad baik dari Barbara, justru perempuan itu bersikap seolah-olah restoran ini berada di negaranya yang menganut paham kebebasan. Lagi-lagi ia mengibaskan rambutnya, sehingga harum helaian itu terendus oleh Ibra dan membuat pria itu seketika menghembuskan nafas."Anda terlalu berlebihan, Nona. Saya hanya orang biasa. Kebetulan saja dua orang pria tua yang telah berbicara dengan ayah anda itu adalah adik dari ibu saya," sahut Ibra. Dia menurunkan tangannya dari meja, lalu menangkupkan telapak tangannya di pangkuannya."Tentu. Saya pun mengenal ibu anda yan