Bab 47Membuang BerlianSejak melihat tayangan berita tentang Kayla, hati mama Kumala menjadi tidak tenang. Dia tak sabar untuk pulang. Andai tidak ditahan oleh bu Susi, ingin rasanya mama Kumala pulang sore itu juga. Keesokan harinya dia langsung pamit kepada bu Susi untuk pulang ke rumah. Dengan menaiki taksi, akhirnya mama Kumala sampai di rumahnya."Tumben Mama pulang pagi-pagi sekali. Biasanya betah sekali di rumah Bu Susi?" tegur Gilang saat mendapati kehadiran ibunya di pagi-pagi buta seperti ini.Gilang yang merasa lebih nyaman ketika ibunya memilih menginap di rumah bu Susi seketika menggeleng, lalu melirik Anggi yang duduk di sisinya dan tengah asyik menikmati sarapan."Memangnya kamu nggak suka Mama pulang pagi-pagi seperti ini?!" Mama Kumala mendekat, lalu duduk di hadapan Gilang dan Anggi."Bukannya nggak suka, Ma, hanya heran saja. Biasanya kan Mama pulang siang," timpal Anggi. Wanita muda itu menatap jengah ibu mertuanya.Andai menurutkan hati, lebih baik ibu mertuanya
Bab 48Drama Makan SiangBegitu sampai di kantor, sepasang suami istri siri itu keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu utama.Gilang dan Anggi bekerja dalam satu ruangan, jadi keduanya berjalan beriringan menuju ruang kerja mereka. Sembari terus berjalan, Anggi memegang ponselnya. Tadi pagi sebelum berangkat, dia sempat berselancar di dunia maya untuk mencari informasi tentang Kayla dan Ibra. Dan ternyata memang benar, Ibra dan Kayla sudah menikah dan Ibra mengumumkan kepada media tentang siapa sebenarnya Kayla."Lihat ini, Mas," ucap Anggi menyerahkan ponsel saat mereka sudah sampai di meja kerja dan Gilang duduk di kursi kebesarannya."Apa ini?" Mau tak mau Gilang mengurungkan niatnya untuk membuka laptop. Dia memilih menerima ponsel yang disodorkan oleh Anggi."Kayla," gumam pria itu, lalu memutar kembali video pendek yang sempat dilihatnya. Bahkan dia memutar berkali-kali seolah tak percaya dengan penglihatan serta pendengarannya sendiri."Jadi benar, Kayla itu masih keturun
Bab 49Menceraikan AnggiGilang berlari kecil mengiringi brankar yang membawa tubuh Anggi ke ruangan IGD sebuah rumah sakit.Wajahnya menyiratkan kecemasan yang mendalam. Bagaimanapun, dia yang menemukan Anggi sudah tak sadarkan diri dengan luka di wajahnya, serta bagian bawah tubuhnya yang penuh dengan darah."Bapak menunggu di luar saja. Pasien akan segera ditangani." Seorang petugas medis menegur, lalu menutup pintu ruangan.Pria itu akhirnya terduduk lemas di sebuah bangku panjang, sembari berusaha menata nafasnya yang masih saja ngos-ngosan."Inilah akibatnya tidak menurut apa kata suami. Merepotkan saja! Apa kamu sadar, jika kelakuanmu itu sudah membahayakan anak kita, Nggi?" Tangan pria itu mengepal. Gilang terus bermonolog sampai akhirnya pintu dibuka yang memunculkan seorang lelaki berpakaian putih-putih."Pak Gilang, bisa ikut ke ruangan saya?" ajaknya.Gilang mengangguk, lalu mengiring langkah sang dokter menuju ke ruangan kerjanya."Jadi begini, Pak. Luka-luka luar itu su
Bab 50Penyesalan Anggi"Kamu benar-benar tega, Mas! Setelah aku dianggap nggak berguna lagi, kamu dengan mudah membuangku, padahal kita sudah sejauh ini, tapi kenapa kamu nggak bisa menerima keadaanku?" rintih lirih wanita itu. Dia sudah kehabisan tenaga, bahkan untuk sekedar berteriak sekalipun.Anggi menatap sang suami dengan wajah bersimbah air mata. Begitu memelas. Namun sedikitpun Gilang tak peduli. Tekadnya sudah bulat. Dia harus menceraikan Anggi sekarang juga. Dia tak sudi punya istri seorang wanita yang tak memiliki rahim."Siapa yang sudah bikin kamu kehilangan rahim, Anggi?!" Pria itu mengingatkan tragedi yang menimpa wanita itu setelah drama makan siang keduanya tempo hari. "Andai kamu menurut apa kata-kataku untuk memakan apa yang ada, dan kamu nggak pergi meninggalkanku, tentu kecelakaan itu tidak akan pernah terjadi. Sekarang sudah kayak gini, siapa lagi yang ingin kamu salahkan?""Kamu pikir aku mau menjadi suami bagi wanita yang nggak punya rahim seperti kamu? Aku
Bab 51Aku Menginginkanmu Malam Ini"Aku mencintai Mas Ibra, Ummi...."Meskipun pertanyaan itu sungguh mengejutkan, tapi aku tetap menjawab, meski aku tidak tahu jawaban itu memang berasal dari lubuk hatiku atau hanya sekedar basa-basi saja. Sampai saat ini aku tidak tahu persis apa yang aku rasakan. Aku hanya menuruti keinginan mas Ibra untuk menikah, karena mas Ibra begitu menyayangi Keisha.Urusan hati adalah rahasia. Apa yang aku rasakan saat ini tak boleh ada yang tahu. Namun, aku tidak bisa berbohong, terutama kepada mas Ibra karena dia berhasil menangkap kegusaranku dari raut wajah yang coba aku sembunyikan melalui senyum saat kami akhirnya pamit dari kamar ummi Azizah sore ini."Kamu kenapa, Sayang? Apa ada perkataan Ummi yang menyakitimu?" tanya mas Ibra. Kami sudah meluncur keluar dari Almeera Hotel menuju apartemen.Sebenarnya Mas Ibra sudah menyiapkan sebuah rumah untuk kami, tapi aku lebih senang tinggal di apartemen. Aku tidak menyukai banyaknya asisten dan pelayan. Aku
Bab 52Berangkat Ke Banjarmasin Setiap sentuhan mas Ibra terasa begitu memabukkan. Aku benar-benar terlena. Meski masih setengah hati mencintainya, namun aku tetap sepenuh hati melayaninya, memberikan haknya sebagai seorang suami. Dia bak malaikat tak bersayap yang diciptakan Tuhan untukku. Mas Ibra adalah saksi hidup yang ada di saat aku terpuruk, disamping Icha dan Mas Dicky. Dialah yang mengangkat derajat hidupku sekarang dan tak ada alasan bagiku untuk tidak belajar mencintai pria ini. Aku akan berusaha untuk menjadi istri yang baik. Tidak butuh cinta untuk menjadi seorang istri dan berbakti kepada suamiku. Aku hanya membutuhkan ketulusan dan aku memilikinya, karena melihat sendiri bagaimana tulusnya ia menyayangi putriku. Sejauh ini aku sangat bersyukur karena akhirnya Keisha mendapatkan kasih sayang seorang ayah dan bagiku itu lebih dari cukup.Keisha menjadi satu-satunya alasan kenapa aku bersedia menikah dadakan dengannya.Sebuah pekikan lolos dari mulutku saat mas Ibra
Bab 53Pelajaran Untuk Ibra Bukan cuma masa lalu kedua orang tuanya, tetapi masa lalu suami dari bibinya ini pun tak kalah pelik. Ada sebuah cerita keluarga yang selama ini disembunyikan oleh ayahnya, tentang suami bibinya yang ternyata pernah menikah dengan seorang mantan pelacur. Drama keluarga yang menguras air mata dan berakhir dengan perginya Dania, istri kedua ustadz Zakia.Meski hidupnya di bawah pengaruh istri pertamanya, tetapi pria itu tetap barusaha melacak keberadaan istri keduanya, sampai akhirnya ia mendapatkan informasi jika istri keduanya berada di Bali. Namun semua itu diketahui oleh bibi Marwiah. Dia berhasil mencegah kepergian ustadz Zaki, kepergian yang bertujuan untuk menjemput kembali istri keduanya.Tak kurang akal. Ustadz Zaki mengutus orang-orangnya untuk tetap mengawasi istri keduanya yang belakangan diketahui hamil dan melahirkan seorang anak perempuan. Dialah Shakila yang setelah dewasa menikah dengan Ibra, pria yang ternyata adalah saudara sepupunya s
Bab 54Kedatangan Mas Gilang "Icha!" seruku. Aku segera merapikan penampilan. Kebetulan pakaian yang kukenakan adalah gaun terusan panjang dengan lengan panjang, sehingga aku hanya perlu menutup kepalaku dengan jilbab.Aku melangkah tergesa menuju ruang tamu dengan batin bertanya-tanya. Kenapa Icha sampai menyusul ke kemari? sepenting apa keperluannya? Aku memang memberitahu Icha bahwa aku akan ke Banjarmasin, tapi kenapa ia menyusulku? Atau jika memang mau ikut, kenapa tidak barengan saja? Dadaku sedikit bergemuruh manakala sampai di ruang tamu."Mas Gilang?" Spontan aku mundur selangkah, kaget tentu saja. Tak menyangka jika Mas Gilang sampai kemari. Dari mana dia tahu jika aku berada di Banjarmasin?Bukankah dia tidak tahu nomor kontakku? Bahkan di media sosial pun kami tidak berteman. Aku sudah memblokir segala akses yang berhubungan dengan mas Gilang, karena tidak mau lagi berkomunikasi dengan pria itu."Nggak usah sebegitunya kaget, Kay. Aku datang ingin menemuimu dan Keisha
Bab 146 "Kejutan apa itu, Mbak?" Benakku langsung membayangkan suasana di apartemen. Mungkin lantaran merasa rindu dengan kami, asisten rumah tangga kami ini berinisiatif mengadakan pesta penyambutan kecil-kecilan dengan memasak masakan kesukaan kami. "Rahasia dong! Kalau saya bilang, berarti bukan kejutan lagi dong!" Perempuan itu tersenyum jahil dan aku tak lagi berniat untuk mendesak. Toh, sebentar lagi kami akan sampai dan aku akan segera tahu apa yang disiapkan oleh asisten rumah tangga kami ini. Mobil perlahan memasuki basement dan akhirnya berhenti. Aku dan mas Ibra keluar dari mobil dan berjalan menuju lift menuju lantai unitku berada. "Tara... kejutan!' seru mbak Ranti setelah ia menekan tombol password di pintu apartemenku. "Mas Gilang, Gita!" Aku sangat kaget, dan refleks menatap mbak Ranti dan bik Jum bergantian. Namun, kedua asisten rumah tanggaku itu malah tersenyum, bahkan ketika aku menatap mas Yanto, pria bertubuh kekar itu juga tersenyum. Ada apa ini? Aku menat
Bab 145Aku membiarkan Kania digendong oleh Rihanna. Menyaksikan binar matanya yang nampak begitu menyayangi putriku, aku tidak tega untuk mengambilnya. Akhirnya aku memilih mengayunkan kaki menuju kamarku.Biarkan saja Kania bersama dengan Rihanna. Jika putri kecilku haus, Rihanna pasti akan segera mengantarnya kepadaku."Ada sedikit masalah di dalam rahimnya, makanya sampai sekarang Rihanna belum punya anak, padahal kami semua sangat menginginkan keturunan yang berasal dari rahim adikku," ujar mas Ibra ketika aku tanya. "Kalau menang Rihanna ingin bersama dengan Kania selama ia berada di sini, biarkan saja. Rihanna itu sepertinya sosok yang keibuan dan penyayang anak-anak, hanya saja kebetulan memang belum rezeki." "Terima kasih atas pengertiannya, Sayang. Kita berdoa saja semoga disegerakan punya keponakan baru." Pria itu mengecup pelipisku berkali-kali, lalu membimbingku menuju tempat tidur.Ruangan ini sungguh luas. Kamar hotel tipe presiden suite saja masih kalah mewah dengan
Bab 144Aku tidak bisa berbuat atau berbicara apapun lagi, selain menatap jalanan sembari memangku Kania. Sementara mas Ibra memangku Keisha. Kami memang tidak membawa baby sister dalam perjalanan kali ini untuk alasan kepraktisan, bahkan kami tidak membawa pengawal, kecuali pengawal yang dibawa oleh ummi Azizah dari Mekkah.Kesakitan yang ummi Azizah rasakan menular juga kepadaku, tetapi aku tidak berdaya, hanya mampu menatap suamiku yang dengan segera mengedipkan matanya. Setelah mobil sampai di bandara, kami pun segera berpindah ke pesawat pribadi milik keluarga Salim Al-Maliki. Sudah lama pesawat pribadi itu ada. Sebelumnya, pesawat pribadi dimiliki hanya keluarga Al-Maliki secara umum, tetapi kini Abi Emir sudah membeli pesawat khusus untuk keluarga Salim Al-Maliki, sehingga sedikit demi sedikit mereka mulai melepaskan ketergantungan dengan keluarga itu dan juga Almeera Oil Company.Keterikatan ummi Azizah terhadap perusahaan minyak itu sebatas dia adalah pemegang satu persen sa
Bab 143Perempuan tua itu menoleh. Dia mengurungkan niatnya untuk melangkah menuju pintu, tetapi berbalik menghampiri perempuan tua yang duduk santai di sebuah sofa di salah satu sudut ruangan.Ruang tamu khusus laki-laki ini memang sangat luas, memiliki beberapa sofa disusun dari ujung ke ujung, karena seringkali menerima tamu dengan jumlah yang banyak. "Sejak Abi meninggal dunia, aku merasa Ummu, Khaled, dan Waled berubah, kecuali Wafa," ucap ummi Azizah tanpa menuruti permintaan ibu tirinya untuk duduk kembali ke sofa di dekat perempuan tua itu duduk."Itu hanya perasaanmu saja, Azizah," balasnya."Tapi aku merasa dipermainkan di keluarga ini. Keluarga yang kupikir bisa memberikan secercah harapan, tapi ternyata hanya kepalsuan yang kudapatkan. Orang yang benar-benar menyayangiku hanya Abi, hanya syekh Ali yang benar-benar menyayangiku dengan tulus, dan juga adik kecilku, Wafa." Ummi Azizah menjeda ucapannya dengan sentakan nafasnya yang berat. "Namun kalian dengan begitu kejam
Bab 142Raut wajah pria itu seketika menegang. Tampak sekali ia tengah menahan emosinya. Namun kurasa ia tidak sedang memarahiku, karena kulihat mulutnya bergerak-gerak."Aku tidak tahu, Sayang. Tapi yang jelas, aku harus mengusut semua ini. Sayang sekali di ruangan kerjaku dan di ruangan pribadi itu tidak ada kamera CCTV. Mas juga tidak tahu bagaimana caranya Nona Barbara merekam adegan itu. Mas benar-benar tidak tahu karena Mas tengah tertidur.""Tapi... tunggu Mas!" Otakku segera mencerna kejanggalan yang terjadi, karena bagiku tidak ada alasan untuk tidak mempercayainya. Jika memang Mas Ibra bisa tertidur sampai seperti orang pingsan, apa jangan-jangan ada orang yang memasukkan obat tidur ke dalam minumannya?"Aku rasa ini sudah tidak wajar, Mas. Walaupun Mas sedang tidur, tapi kalau ada orang yang menggerayangi, biasanya Mas akan terbangun, seperti biasanya saat kita sedang bersama," ujarku mengingatkan. Pria itu tampak tercenung sejenak."Omonganmu masuk akal juga, Sayang." Pri
Bab 141"Ya Tuhan!" Aku memekik, refleks jemariku menyentuh layar. Dan adegan demi adegan itu membuat perutku seketika mual. Tubuhku lemas dan akhirnya luruh ke lantai dan tanpa sadar menjatuhkan ponselku yang masih menyala layarnya."Kenapa kamu tega melakukan ini sama aku, Mas? Bahkan aku baru saja melahirkan anak kamu." Aku duduk sembari memeluk betisku. Tangisku pecah seketika.Siapa perempuan itu sebenarnya? Kenapa ia bisa bersama dengan mas Ibra di dalam satu ruangan, bahkan satu ranjang?Aku masih saja merapatkan wajahku dengan lutut, meski terdengar suara ketukan dibalik pintu sampai akhirnya pintu pun terbuka."Ibu kenapa? Ada apa?" Mbak Ranti terlihat kaget saat aku mengangkat wajahku yang bersimbah air mata."Papanya Kania selingkuh, Mbak," lirihku."Selingkuh?" Bibir wanita itu bergerak-gerak. Namun hanya kata selingkuh yang terucap dari bibirnya. Aku menubruk perempuan itu lalu memeluknya. Tangisku kembali pecah. Aku menangis dalam pelukan mbak Ranti. "Kenapa dia begitu
Bab 140Ibra tidak menyadari jika dari balik pintu ruang kerjanya muncul sesosok tubuh yang tadi sempat pamit keluar.Sementara itu, pintu ruangan peristirahatannya pun terbuka."Dia sudah tak sadar, Ghazi?" tanya sesosok perempuan yang tepat berdiri di depan pintu ruangan peristirahatan Ibra."Aman, Nona. Dia tidak akan sadar selama beberapa jam dan Nona bisa melakukan apapun," jawab pria itu sembari menyeringai."Bagus. Kerjamu sungguh bagus. Bayaranmu akan segera kamu terima, berikut bonusnya.""Terima kasih, Nona. Sekarang apa yang bisa saya lakukan lagi?""Bawa pria itu ke tempat tidur. Setelah itu kamu boleh keluar. Jangan lupa kunci ruang kerjanya. Nanti jika semuanya sudah selesai, aku akan hubungi lagi. Tetaplah stand by di tempatmu," titah perempuan itu yang ternyata adalah Barbara.Perempuan itu tersenyum manakala menatap pria yang tengah digendong oleh Ghazi. Sebentar lagi rencananya akan terwujud. Ghazi merebahkan Ibra dengan hati-hati ke pembaringan, kemudian segera per
Bab 139Meski penuturan sang paman tidak membuat Ibra terlalu terkejut, tetapi tak urung matanya tetap membulat sempurna. Dia bahkan refleks menjauhkan tubuhnya dari pria tua itu. Ibra berdiri, lalu pindah tempat duduk sehingga kini posisi mereka menjadi berhadapan."Dan Paman pikir aku menerima tawaran itu?" sinisnya."Paman pikir kamu hanya perlu menikahinya sebentar, setelah itu menceraikannya. Lagi pula dia hanya memintamu untuk menjadi suaminya sebentar saja. Pernikahan ini pun juga hanya akan dilaksanakan secara siri," bujuk pangeran Khaled. Dibenaknya tentu deretan angka-angka yang akan segera masuk ke perusahaan jika pernikahan ini benar-benar terjadi.Pria itu pun sebenarnya tidak ingin keponakannya menikahi wanita itu. Namun perusahaan mereka masih dalam kondisi terguncang. Tidak mudah mendapatkan investor kelas kakap seperti Tuan Wiliam.Apa salahnya jika menyuruh keponakannya untuk menikahi wanita itu? Toh, istrinya Ibra berada di Indonesia dan tidak akan tahu jika suaminy
Bab 138Meski cukup banyak perempuan yang tidak memakai jilbab di kota metropolitan Arab Saudi ini, tetapi Ibra merasa cara berpakaian Barbara cukup berani, padahal dia hanya seorang tamu di negara ini.Meski kemungkinan perempuan ini non muslim, tapi seharusnya ia tahu diri dan mengerti situasi, mengingat ia berkunjung ke sebuah negara yang mayoritas penduduk wanitanya harus mengenakan pakaian tertutup.Namun, Ibra tidak menangkap itikad baik dari Barbara, justru perempuan itu bersikap seolah-olah restoran ini berada di negaranya yang menganut paham kebebasan. Lagi-lagi ia mengibaskan rambutnya, sehingga harum helaian itu terendus oleh Ibra dan membuat pria itu seketika menghembuskan nafas."Anda terlalu berlebihan, Nona. Saya hanya orang biasa. Kebetulan saja dua orang pria tua yang telah berbicara dengan ayah anda itu adalah adik dari ibu saya," sahut Ibra. Dia menurunkan tangannya dari meja, lalu menangkupkan telapak tangannya di pangkuannya."Tentu. Saya pun mengenal ibu anda yan