Bab 79Perdebatan SengitKami membiarkan Fahda membeli roti bakar itu sebelum menggelendangnya masuk ke dalam mobil. Tak sepatah kata pun terlontar dari mulut Mas Ibra. Pria itu fokus dengan pandangannya ke depan. Kami memutuskan untuk mengantar Fahda terlebih dahulu dan berencana mengintrogasinya ketika sampai di apartemennya, kenapa malam-malam dia sendirian berbelanja makanan. Bukankah seharusnya dia bisa memesan makanan lewat layanan pesan antar?Fahda lagi hamil dan dia tidak boleh berkeliaran di luar, atau dia akan ketahuan publik."Kamu...!"Pintu terbuka dari dalam dan memunculkan sosok laki-laki yang tak ingin Mas Ibra temui.Hamzah, pria blasteran Arab Pakistan yang merupakan ayah biologis dari calon bayi yang tengah di kandung oleh adik angkat suamiku itu."Jangan kaget begitu, Ibra, seperti tidak pernah mengenalku saja. Ayo, masuk." Pria itu mempersilahkan bak seorang tuan rumah. Tingkahnya benar-benar menyebalkan."Sejak kapan kamu berada di sini?" Mas Ibra menatap tajam
Bab 80Jangan Menolakku, MasTidak mungkin aku menceritakan soal kegelisahan di hati ini kepada Mas Ibra, karena bagaimanapun ini adalah hal sensitif. Aku takut mas Ibra tersinggung dengan ucapanku. Keisha sudah mendapatkan kasih sayang, bahkan mas Ibra sekarang sedang membangun sebuah resort untuk Keisha. Seharusnya itu sudah lebih dari cukup. Masa iya aku harus mengganggu pikiran suamiku dengan hal seperti itu?Mungkin Hamzah benar. Anak sambung dan anak kandung itu beda, tapi kurasa mas Ibra sudah bersikap bijaksana. Buktinya ia membangun resort untuk Keisha, sementara Almeera Hotel dan Almeera Travel akan diwariskan kepada anak-anak kami kelak. Setidaknya pembagian aset seperti ini, bisa mencegah anak-anak rebutan warisan."Aku tidak apa-apa, Mas. Hanya lelah saja dan juga mengantuk. Ini sudah tengah malam, bukan?" alibiku."Kita akan segera sampai. Sebentar lagi ya." Pria itu menggunakan tangannya untuk menepuk bahuku, lalu kembali fokus dengan kemudinya. Sepuluh menit kemudian
Bab 81Beda Kasus"Loh, kamu...."Memorinya seketika memutar kembali ingatan berbulan-bulan yang lalu. Dia tidak menyangka niatnya untuk menemui Kayla di apartemen malah dipertemukan dengan wanita ini, wanita yang merupakan istri dari bos pemilik cafe tempat kerjanya dulu.Icha, istri Dicky. Lelaki yang pernah digodanya, karena waktu itu dia dipaksa oleh ibunya untuk mendapatkan uang yang cukup banyak untuk membeli rumah baru. Sebenarnya dia hampir berhasil menggoda pria itu, jika saja Icha tidak segera datang dan mengacaukan rencananya.Mungkin Icha, bahkan Kayla juga tidak tahu jika sebenarnya Dicky memiliki obsesi tertentu. Pria itu sebenarnya adalah pria setia dan suami yang baik, hanya saja sebagai lelaki, dia pasti menginginkan bisa memecah selaput perawan. Dicky ingin merasakan seorang perawan dan Gita berhasil merayunya. Mereka hampir saja melakukan itu, jika saja Icha tidak datang ke ruang kerja Dicky.Sebenarnya Icha merupakan wanita yang baik, hanya saja ada sesuatu hal yan
Bab 82Mbak Jangan Menggodaku"Sudah-sudah. Jangan ribut kayak anak kecil." Aku berusaha menengahi seraya merentangkan tangan. "Jadi Gita, sekarang katakan apa keperluanmu kemari? Nggak mungkin kamu hanya sekedar ingin ketemu dengan Mbak, kan?" Sudah cukup basa-basi yang membuat Gita dan Icha menjadi sedikit berdebat. Aku harus tahu kenapa gadis ini sampai nekat datang kemari. Padahal seharusnya ia malu untuk mendatangiku, karena dulu saat pertama kali menemukannya di cafe milik Icha dan Dicky, dia begitu sinis dan bersikap memusuhiku.Apakah karena ia ingin kembali kepada Evan?Untuk hal yang satu itu akan sangat sulit karena Evan sudah merencanakan menikahi gadis pilihan ibunya. Aku dan Mas Ibra tidak bisa memaksa Evan untuk kembali kepada Gita karena itu urusan pribadi mereka, meski pada awalnya kamilah yang menyuruh Evan untuk menikahi kita. Evan menikahi Gita hanya untuk menyelamatkan gadis itu dari rencana jahat ibunya. Soal mereka mau melanjutkan pernikahan atau tidak, itu u
Bab 83"Mas, cerita kita sudah berakhir. Kita sudah punya kehidupan sendiri," protesku. "Aku tahu." Mas Gilang terlihat menelan ludahnya. Lagi-lagi ia memejamkan mata untuk sesaat. "Aku tahu kamu sudah punya kehidupan sendiri dan aku nggak mungkin memilikimu kembali, lagi pula kamu pasti benci sama aku atas apa yang aku lakukan selama kita berumah tangga....""Aku tidak pernah benci ataupun dendam sama kamu. Bagiku itu adalah masa lalu dan semuanya sudah aku akui sebagai bagian dari perjalanan hidupku. Aku ikhlas menjalaninya, Mas.""Terima kasih." Pria itu mendesah."Jadi kamu mau kan menerima cinta Gita?" tembakku. Bila sudah begini, aku merasa seperti mak comblang saja."Setidaknya anggap dia sebagai wanitamu, seorang wanita yang bisa kamu cintai." Aku menambahkan."Aku nggak bisa merubah pandangan tentang Gita. Sudah berkali-kali aku bilang jika dia adalah adikku." "Tapi saat kamu memeluknya, apa yang kamu rasakan?" pancingku. Sebagai mantan istrinya, tentunya aku tahu jika mas
Bab 84Kemana Seruni?Kepalaku rasanya pecah memikirkan ini. Tanpa sadar melangkah sampai di depan pintu ruang kerja Seruni. Aku mendorong pintu itu pelan dan begitu terkejut saat mendapati ruangan ini kosong."Kemana Seruni?"Aku membawa kakiku melangkah menuju meja kerja gadis itu. Namun suasana begitu lengang. Terlihat sekali ruangan ini sudah lama tidak dihuni. Meja kerja dan kursi malah sedikit berdebu. Hatcih....!Tak tahan dengan debu, aku pun akhirnya bersin dan itu membuat Keisha yang berada di gendonganku kaget dan menangis. Aku buru-buru keluar dari ruangan itu, kemudian kembali menutup pintunya. Batinku masih bertanya-tanya tentang kejanggalan ini. Hebatnya, untuk masalah sebesar ini, mas Ibra tidak pernah bercerita apapun. Aku terus menyusuri lorong, turun tangga menuju lantai dasar dan akhirnya sampai di lobby.Tidak ada jalan lain. Aku harus menemui suamiku di Almeera Hotel.Mbak Ranti langsung mengambil alih Keisha dan aku pun pindah duduk di depan, lalu meminta mas
Bab 85Naluri Seorang Istri "Tapi kalau memang Seruni keluar dari Almeera Travel, seharusnya kamu bilang sama aku, biar aku bisa segera mencari penggantinya. Ini nggak. Kamu malah mengangkat Tria. Kamu kenal dia dari mana? Apa sebelumnya kamu mengadakan open rekrutmen untuk posisi CEO?" cecarku lagi."Cie... naga-naganya ada yang cemburu nih." Mas Ibra mencubit hidungku."Jangan bercanda, Mas! Aku serius!" Aku menepis paksa tangan pria itu. Entah kenapa aku merasa sentuhan mas Ibra hari ini terasa tak tulus. Padahal dulu, bukannya ia yang mengejar-ngejarku, bahkan setengah memaksa untuk menikahiku? Mas Ibra pula yang begitu keras kepala meminta agar aku tetap bertahan. Lalu akhirnya dia mengumumkan pernikahan kami, padahal seharusnya waktu itu dia harus bertunangan dengan Fahda.Aku benar-benar tidak nyaman dengan sikapnya. Kenapa dia sampai menyembunyikan sesuatu yang besar dariku?Dianggap apa aku? Padahal dulu akulah yang menangani perusahaan ini dari nol."Aku ini sangat profesio
Bab 86Kedatangan Tamu Tak Terduga"Ustadz Zaki, Bibi Marwiah," gumamku lirih. Dengan cepat aku segera berbalik."Buka pintunya, Mbak. Aku akan ke kamar dulu buat ambil jilbab," titahku seraya terus melangkah menuju kamar.Aku segera memasang jilbab instan andalanku, kemudian segera keluar dari kamar terus ke dapur. Aku mengambil cangkir sekaligus tatakannya."Mau bikin minum, Bu?" tegur wanita paruh baya itu. Dia baru saja keluar dari kamar mandi dengan sebuah baskom besar di tangannya."Iya Bik, kebetulan ada tamu di depan. Tadi Mbak Ranti aku suruh bukakan pintu lebih dulu," sahutku sembari mengambil wadah berisi gula dan teh."Biar saya saja, Bu." Bik Jum meletakkan baskom di lantai dekat kamar mandi, lalu segera berjalan menghampiriku."Bibi kan repot mau menjemur cucian. Biar saya aja. Cuma bikin minum ini," tolakku halus."Nggak apa-apa, Bu. Ini memang sudah tugas saya. Sudah, sebaiknya Ibu ke depan saja. Nanti minumannya saya antar," ujar asisten rumah tanggaku ini sembari me
Bab 146 "Kejutan apa itu, Mbak?" Benakku langsung membayangkan suasana di apartemen. Mungkin lantaran merasa rindu dengan kami, asisten rumah tangga kami ini berinisiatif mengadakan pesta penyambutan kecil-kecilan dengan memasak masakan kesukaan kami. "Rahasia dong! Kalau saya bilang, berarti bukan kejutan lagi dong!" Perempuan itu tersenyum jahil dan aku tak lagi berniat untuk mendesak. Toh, sebentar lagi kami akan sampai dan aku akan segera tahu apa yang disiapkan oleh asisten rumah tangga kami ini. Mobil perlahan memasuki basement dan akhirnya berhenti. Aku dan mas Ibra keluar dari mobil dan berjalan menuju lift menuju lantai unitku berada. "Tara... kejutan!' seru mbak Ranti setelah ia menekan tombol password di pintu apartemenku. "Mas Gilang, Gita!" Aku sangat kaget, dan refleks menatap mbak Ranti dan bik Jum bergantian. Namun, kedua asisten rumah tanggaku itu malah tersenyum, bahkan ketika aku menatap mas Yanto, pria bertubuh kekar itu juga tersenyum. Ada apa ini? Aku menat
Bab 145Aku membiarkan Kania digendong oleh Rihanna. Menyaksikan binar matanya yang nampak begitu menyayangi putriku, aku tidak tega untuk mengambilnya. Akhirnya aku memilih mengayunkan kaki menuju kamarku.Biarkan saja Kania bersama dengan Rihanna. Jika putri kecilku haus, Rihanna pasti akan segera mengantarnya kepadaku."Ada sedikit masalah di dalam rahimnya, makanya sampai sekarang Rihanna belum punya anak, padahal kami semua sangat menginginkan keturunan yang berasal dari rahim adikku," ujar mas Ibra ketika aku tanya. "Kalau menang Rihanna ingin bersama dengan Kania selama ia berada di sini, biarkan saja. Rihanna itu sepertinya sosok yang keibuan dan penyayang anak-anak, hanya saja kebetulan memang belum rezeki." "Terima kasih atas pengertiannya, Sayang. Kita berdoa saja semoga disegerakan punya keponakan baru." Pria itu mengecup pelipisku berkali-kali, lalu membimbingku menuju tempat tidur.Ruangan ini sungguh luas. Kamar hotel tipe presiden suite saja masih kalah mewah dengan
Bab 144Aku tidak bisa berbuat atau berbicara apapun lagi, selain menatap jalanan sembari memangku Kania. Sementara mas Ibra memangku Keisha. Kami memang tidak membawa baby sister dalam perjalanan kali ini untuk alasan kepraktisan, bahkan kami tidak membawa pengawal, kecuali pengawal yang dibawa oleh ummi Azizah dari Mekkah.Kesakitan yang ummi Azizah rasakan menular juga kepadaku, tetapi aku tidak berdaya, hanya mampu menatap suamiku yang dengan segera mengedipkan matanya. Setelah mobil sampai di bandara, kami pun segera berpindah ke pesawat pribadi milik keluarga Salim Al-Maliki. Sudah lama pesawat pribadi itu ada. Sebelumnya, pesawat pribadi dimiliki hanya keluarga Al-Maliki secara umum, tetapi kini Abi Emir sudah membeli pesawat khusus untuk keluarga Salim Al-Maliki, sehingga sedikit demi sedikit mereka mulai melepaskan ketergantungan dengan keluarga itu dan juga Almeera Oil Company.Keterikatan ummi Azizah terhadap perusahaan minyak itu sebatas dia adalah pemegang satu persen sa
Bab 143Perempuan tua itu menoleh. Dia mengurungkan niatnya untuk melangkah menuju pintu, tetapi berbalik menghampiri perempuan tua yang duduk santai di sebuah sofa di salah satu sudut ruangan.Ruang tamu khusus laki-laki ini memang sangat luas, memiliki beberapa sofa disusun dari ujung ke ujung, karena seringkali menerima tamu dengan jumlah yang banyak. "Sejak Abi meninggal dunia, aku merasa Ummu, Khaled, dan Waled berubah, kecuali Wafa," ucap ummi Azizah tanpa menuruti permintaan ibu tirinya untuk duduk kembali ke sofa di dekat perempuan tua itu duduk."Itu hanya perasaanmu saja, Azizah," balasnya."Tapi aku merasa dipermainkan di keluarga ini. Keluarga yang kupikir bisa memberikan secercah harapan, tapi ternyata hanya kepalsuan yang kudapatkan. Orang yang benar-benar menyayangiku hanya Abi, hanya syekh Ali yang benar-benar menyayangiku dengan tulus, dan juga adik kecilku, Wafa." Ummi Azizah menjeda ucapannya dengan sentakan nafasnya yang berat. "Namun kalian dengan begitu kejam
Bab 142Raut wajah pria itu seketika menegang. Tampak sekali ia tengah menahan emosinya. Namun kurasa ia tidak sedang memarahiku, karena kulihat mulutnya bergerak-gerak."Aku tidak tahu, Sayang. Tapi yang jelas, aku harus mengusut semua ini. Sayang sekali di ruangan kerjaku dan di ruangan pribadi itu tidak ada kamera CCTV. Mas juga tidak tahu bagaimana caranya Nona Barbara merekam adegan itu. Mas benar-benar tidak tahu karena Mas tengah tertidur.""Tapi... tunggu Mas!" Otakku segera mencerna kejanggalan yang terjadi, karena bagiku tidak ada alasan untuk tidak mempercayainya. Jika memang Mas Ibra bisa tertidur sampai seperti orang pingsan, apa jangan-jangan ada orang yang memasukkan obat tidur ke dalam minumannya?"Aku rasa ini sudah tidak wajar, Mas. Walaupun Mas sedang tidur, tapi kalau ada orang yang menggerayangi, biasanya Mas akan terbangun, seperti biasanya saat kita sedang bersama," ujarku mengingatkan. Pria itu tampak tercenung sejenak."Omonganmu masuk akal juga, Sayang." Pri
Bab 141"Ya Tuhan!" Aku memekik, refleks jemariku menyentuh layar. Dan adegan demi adegan itu membuat perutku seketika mual. Tubuhku lemas dan akhirnya luruh ke lantai dan tanpa sadar menjatuhkan ponselku yang masih menyala layarnya."Kenapa kamu tega melakukan ini sama aku, Mas? Bahkan aku baru saja melahirkan anak kamu." Aku duduk sembari memeluk betisku. Tangisku pecah seketika.Siapa perempuan itu sebenarnya? Kenapa ia bisa bersama dengan mas Ibra di dalam satu ruangan, bahkan satu ranjang?Aku masih saja merapatkan wajahku dengan lutut, meski terdengar suara ketukan dibalik pintu sampai akhirnya pintu pun terbuka."Ibu kenapa? Ada apa?" Mbak Ranti terlihat kaget saat aku mengangkat wajahku yang bersimbah air mata."Papanya Kania selingkuh, Mbak," lirihku."Selingkuh?" Bibir wanita itu bergerak-gerak. Namun hanya kata selingkuh yang terucap dari bibirnya. Aku menubruk perempuan itu lalu memeluknya. Tangisku kembali pecah. Aku menangis dalam pelukan mbak Ranti. "Kenapa dia begitu
Bab 140Ibra tidak menyadari jika dari balik pintu ruang kerjanya muncul sesosok tubuh yang tadi sempat pamit keluar.Sementara itu, pintu ruangan peristirahatannya pun terbuka."Dia sudah tak sadar, Ghazi?" tanya sesosok perempuan yang tepat berdiri di depan pintu ruangan peristirahatan Ibra."Aman, Nona. Dia tidak akan sadar selama beberapa jam dan Nona bisa melakukan apapun," jawab pria itu sembari menyeringai."Bagus. Kerjamu sungguh bagus. Bayaranmu akan segera kamu terima, berikut bonusnya.""Terima kasih, Nona. Sekarang apa yang bisa saya lakukan lagi?""Bawa pria itu ke tempat tidur. Setelah itu kamu boleh keluar. Jangan lupa kunci ruang kerjanya. Nanti jika semuanya sudah selesai, aku akan hubungi lagi. Tetaplah stand by di tempatmu," titah perempuan itu yang ternyata adalah Barbara.Perempuan itu tersenyum manakala menatap pria yang tengah digendong oleh Ghazi. Sebentar lagi rencananya akan terwujud. Ghazi merebahkan Ibra dengan hati-hati ke pembaringan, kemudian segera per
Bab 139Meski penuturan sang paman tidak membuat Ibra terlalu terkejut, tetapi tak urung matanya tetap membulat sempurna. Dia bahkan refleks menjauhkan tubuhnya dari pria tua itu. Ibra berdiri, lalu pindah tempat duduk sehingga kini posisi mereka menjadi berhadapan."Dan Paman pikir aku menerima tawaran itu?" sinisnya."Paman pikir kamu hanya perlu menikahinya sebentar, setelah itu menceraikannya. Lagi pula dia hanya memintamu untuk menjadi suaminya sebentar saja. Pernikahan ini pun juga hanya akan dilaksanakan secara siri," bujuk pangeran Khaled. Dibenaknya tentu deretan angka-angka yang akan segera masuk ke perusahaan jika pernikahan ini benar-benar terjadi.Pria itu pun sebenarnya tidak ingin keponakannya menikahi wanita itu. Namun perusahaan mereka masih dalam kondisi terguncang. Tidak mudah mendapatkan investor kelas kakap seperti Tuan Wiliam.Apa salahnya jika menyuruh keponakannya untuk menikahi wanita itu? Toh, istrinya Ibra berada di Indonesia dan tidak akan tahu jika suaminy
Bab 138Meski cukup banyak perempuan yang tidak memakai jilbab di kota metropolitan Arab Saudi ini, tetapi Ibra merasa cara berpakaian Barbara cukup berani, padahal dia hanya seorang tamu di negara ini.Meski kemungkinan perempuan ini non muslim, tapi seharusnya ia tahu diri dan mengerti situasi, mengingat ia berkunjung ke sebuah negara yang mayoritas penduduk wanitanya harus mengenakan pakaian tertutup.Namun, Ibra tidak menangkap itikad baik dari Barbara, justru perempuan itu bersikap seolah-olah restoran ini berada di negaranya yang menganut paham kebebasan. Lagi-lagi ia mengibaskan rambutnya, sehingga harum helaian itu terendus oleh Ibra dan membuat pria itu seketika menghembuskan nafas."Anda terlalu berlebihan, Nona. Saya hanya orang biasa. Kebetulan saja dua orang pria tua yang telah berbicara dengan ayah anda itu adalah adik dari ibu saya," sahut Ibra. Dia menurunkan tangannya dari meja, lalu menangkupkan telapak tangannya di pangkuannya."Tentu. Saya pun mengenal ibu anda yan