Bab 86Kedatangan Tamu Tak Terduga"Ustadz Zaki, Bibi Marwiah," gumamku lirih. Dengan cepat aku segera berbalik."Buka pintunya, Mbak. Aku akan ke kamar dulu buat ambil jilbab," titahku seraya terus melangkah menuju kamar.Aku segera memasang jilbab instan andalanku, kemudian segera keluar dari kamar terus ke dapur. Aku mengambil cangkir sekaligus tatakannya."Mau bikin minum, Bu?" tegur wanita paruh baya itu. Dia baru saja keluar dari kamar mandi dengan sebuah baskom besar di tangannya."Iya Bik, kebetulan ada tamu di depan. Tadi Mbak Ranti aku suruh bukakan pintu lebih dulu," sahutku sembari mengambil wadah berisi gula dan teh."Biar saya saja, Bu." Bik Jum meletakkan baskom di lantai dekat kamar mandi, lalu segera berjalan menghampiriku."Bibi kan repot mau menjemur cucian. Biar saya aja. Cuma bikin minum ini," tolakku halus."Nggak apa-apa, Bu. Ini memang sudah tugas saya. Sudah, sebaiknya Ibu ke depan saja. Nanti minumannya saya antar," ujar asisten rumah tanggaku ini sembari me
Bab 87Ziarah"Kapan sampai kemari, Paman?" tanya Mas Ibra berbasa-basi. Pria itu melepaskan jas dan memberikannya kepadaku. Dia pun melonggarkan dasinya, lalu duduk menghadap ustadz Zaki dan istrinya."Sekitar dua jam yang lalu," sahut ustadz Zaki seraya menatap sang keponakan.Aku tersenyum kecut. Lantaran tidak tahan dengan omongan bibi Marwiah, aku terpaksa menghubungi Mas Ibra, memaksanya untuk pulang ke apartemen. Aku tidak peduli meskipun katanya dia sedang banyak pekerjaan. Lagi pula, kedatangan ustadz Zaki dan istrinya sangat mendadak. Aku tidak memiliki persiapan sama sekali, termasuk stok makanan di kulkas."Paman minta maaf karena kedatangan Paman sangat mendadak, tetapi Paman sudah tidak dapat lagi menahan keinginan untuk kemari. Ada yang ingin Paman bicarakan....""Nggak usah berbelit-belit, Abah. Bilang saja kalau kamu ingin menziarahi makam istri keduamu itu dan juga anaknya," tukas bibi Marwiah. Perempuan tua itu terlihat sangat gusar.Namun hanya senyum yang terluki
Bab 88"Tuan Putri!" seru bibi Marwiah dengan nada yang tak kalah antusias. Entah apa yang ada di pikiran perempuan tua itu. Aku tidak tahu. Sekedar yang aku ketahui, nama putri Fahda memang cukup populer di kalangan keluarga Al-Istiqomah, keluarga besar mendiang kiai haji Abdurrahman, karena pernah digadang-gadang sebagai calon tunangan putra kebanggaan mereka.Perempuan tua itu menyodorkan tangan dengan tubuh sedikit membungkuk, bersikap merendahkan diri. Namun alih-alih menyambut uluran tangan bibi Marwiah, Fahda malah meraih tangan mas Ibra, menariknya untuk berdiri di sampingnya.Apa-apaan ini?"Kalian," tunjuk bibi Marwiah. Matanya terlihat menatap mas Ibra dan Fahda bergantian. Jelas dia kebingungan."Apakah kalian sudah menikah? Kenapa tidak memberi kabar pada keluarga? Bahkan...." Bibi Marwiah menunjuk perut buncit gadis itu. "Bibi, ini tidak seperti yang Bibi pikirkan. Mas Ibra dan Fahda...." Namun ucapanku tak bisa diteruskan lantaran tangan bibi Marwiah malah membekap mul
Bab 89Lelah BersandiwaraAku mengangguk-angguk, lalu menggulir layar dan membalas pesan dari orang-orang kepercayaanku.[Tetap awasi dan beri aku bukti yang banyak. Nanti bayaran untuk kalian aku lipat gandakan]Hanya itu pesanku dan aku segera mematikan ponsel.Harus ada bukti yang kuat atas keterlibatan Tria dalam rencana menghancurkan Almeera Travel. Fakta mengenai Tria dan pak Andri yang ternyata kakak beradik belum bisa menjadi bukti yang kuat, karena bagaimanapun mereka adalah orang yang berbeda. Kepala boleh sama, tapi pemikiran tentu berbeda. Hal itu nanti yang bisa menjadi alibi untuk mementahkan semua bukti keterlibatan Tria. Aku harus mendapatkan bukti yang lebih daripada itu sebelum menyeret wanita itu keluar dari ruangan CEO.Kurebahkan tubuh ini di pembaringan. Lelah sekali sebenarnya, tapi aku harus kuat. Hari sudah petang dan sebentar lagi magrib, tapi aku ingin sekali meregangkan seluruh persendianku agar kembali siap untuk beraktivitas.Namun acara istirahatku akhir
Bab 90Rezeki Suami Itu Rezeki Istri "Mama bukannya cari ribut, Abah. Mama hanya ingin Kayla itu tahu posisinya. Dia harus sadar siapa dirinya. Dia itu nggak sebanding sama Ibra. Dia hanya beruntung dipilih oleh keponakan kita untuk dijadikan istri. Apa Mama salah?!" sengit bibi Marwiah."Ma, ingatlah. Rezeki suami itu adalah rezeki istri juga. Kalau suaminya tinggal di apartemen mewah, ya istrinya pun harus begitu. Masa iya suaminya tinggal di apartemen mewah, istrinya malah tinggal di rumah kontrakan? Nggak adil itu!" tukas ustadz Zaki berusaha menyadarkan istrinya. Aku melihat pemandangan itu dengan hati miris. Mau sampai kapan bibi Marwiah tidak menyukaiku, lalu merendahkanku, menghinaku? Namun aku merasa beruntung karena sejauh ini bibi Marwiah tidak pernah menggangguku secara fisik. Kalau soal omongan, ya udah. Tinggal tutup telinga, selesai.Atau mungkin karena dia tidak tinggal dekat dengan kami ya, sehingga sulit baginya untuk mengganggu hubungan kami?Aku melangkah menuju
Bab 91Selesaikan Urusan Kalian Tepat pukul 08.00 pagi akhirnya ustadz Zaki dan istrinya pamit. Kami mengantar sepasang suami istri itu ke bandara, karena kebetulan sekalian akan menjemput ummi Saudah yang rencananya pagi ini pun akan datang. Sebenarnya aku enggan ikut, tetapi mas Ibra yang memaksa. Pria itu mengatakan bahwa aku harus tetap di sisinya untuk menunjukkan kepada ummi Saudah jika kami adalah pasangan yang harmonis. Bagaimanapun, seorang ibu pasti akan memihak kepada putrinya walau salah sekalipun. Sebab bisa jadi nanti Fahda akan bercerita macam-macam, apalagi sebelumnya Fahda menimpakan semua yang telah terjadi padanya itu akibat dari pernikahan kami.Sampai detik ini, Fahda tetap menganggapku sebagai perebut calon suaminya dan mas Ibra dianggap harus ikut bertanggung jawab, meskipun tentang apa yang sudah terjadi kepada gadis itu, tidak ada sangkut pautnya dengan mas Ibra.Pemikiran yang aneh, benar-benar aneh. Katanya putri bangsawan, tapi perilakunya sama sekali ta
Bab 92Melacak Jejak SeruniAku mengikuti langkah lebar mas Ibra selayaknya asisten pribadi, padahal di samping kami ada Evan yang ternyata malah terlambat sampai ke lokasi, meski durasi keterlambatannya hanya lima menit.Ketika Mas Ibra memberikan pengarahan kepada orang-orang bertopi khas pekerja lapangan itu, aku memilih melipir ke sebuah pohon yang cukup besar. Berdiri di bawah pohon membuatku merasa nyaman. Angin sepoi-sepoi menerbangkan ujung jilbabku. Aku memejamkan mata, meresapi rasa damai yang seketika menyergap."Kamu pasti ingin tahu di mana Seruni sekarang, bukan?" Suara bariton itu tiba-tiba saja membuatku menoleh ke belakang dan pria itu tersenyum, lantas menghampiriku yang malah mundur satu langkah, efek rasa kaget dengan kehadirannya."Mas Gilang? Mas Gilang kenal dengan Seruni?" Aku mengerutkan kening. Ini sebuah kejutan. Apakah mas Gilang punya hubungan dengan Seruni? Atau jangan-jangan.... Pikiranku sudah bertualang ke mana-mana mengingat track rekor mantan suamik
Bab 93Tanpa berpikir panjang lagi Mas Yanto segera mengangkat tubuh itu dan membawanya ke mobil. Seorang pengawalku langsung mengambil alih kemudi dan tancap gas menuju rumah sakit terdekat.Seruni. Ya Tuhan, apa yang terjadi pada gadis itu? Kenapa pergelangannya berdarah? Apakah dia sengaja melukai urat nadinya sendiri, sengaja mau bunuh diri?Untung saja jalanan tidak macet sehingga kami bisa segera sampai ke rumah sakit terdekat. Lagi-lagi mas Yanto berlari dan seorang petugas medis menyambut dengan brankar dan akhirnya masuk ke ruang IGD. Sementara Mas Yanto segera berlari menuju toilet untuk membersihkan darah yang menempel di tangan dan juga mengotori pakaiannya.Sementara seorang pengawal bergegas menyusul ke toilet dengan membawakan pakaian ganti untuk mas Yanto.Beruntung di mobil kami selalu tersedia pakaian ganti untuk pria itu, karena memang setiap saat dia harus berganti pakaian. Jika situasi dan kondisi memang memerlukan, dia harus selalu siap untuk mengganti pakaiannya
Bab 146 "Kejutan apa itu, Mbak?" Benakku langsung membayangkan suasana di apartemen. Mungkin lantaran merasa rindu dengan kami, asisten rumah tangga kami ini berinisiatif mengadakan pesta penyambutan kecil-kecilan dengan memasak masakan kesukaan kami. "Rahasia dong! Kalau saya bilang, berarti bukan kejutan lagi dong!" Perempuan itu tersenyum jahil dan aku tak lagi berniat untuk mendesak. Toh, sebentar lagi kami akan sampai dan aku akan segera tahu apa yang disiapkan oleh asisten rumah tangga kami ini. Mobil perlahan memasuki basement dan akhirnya berhenti. Aku dan mas Ibra keluar dari mobil dan berjalan menuju lift menuju lantai unitku berada. "Tara... kejutan!' seru mbak Ranti setelah ia menekan tombol password di pintu apartemenku. "Mas Gilang, Gita!" Aku sangat kaget, dan refleks menatap mbak Ranti dan bik Jum bergantian. Namun, kedua asisten rumah tanggaku itu malah tersenyum, bahkan ketika aku menatap mas Yanto, pria bertubuh kekar itu juga tersenyum. Ada apa ini? Aku menat
Bab 145Aku membiarkan Kania digendong oleh Rihanna. Menyaksikan binar matanya yang nampak begitu menyayangi putriku, aku tidak tega untuk mengambilnya. Akhirnya aku memilih mengayunkan kaki menuju kamarku.Biarkan saja Kania bersama dengan Rihanna. Jika putri kecilku haus, Rihanna pasti akan segera mengantarnya kepadaku."Ada sedikit masalah di dalam rahimnya, makanya sampai sekarang Rihanna belum punya anak, padahal kami semua sangat menginginkan keturunan yang berasal dari rahim adikku," ujar mas Ibra ketika aku tanya. "Kalau menang Rihanna ingin bersama dengan Kania selama ia berada di sini, biarkan saja. Rihanna itu sepertinya sosok yang keibuan dan penyayang anak-anak, hanya saja kebetulan memang belum rezeki." "Terima kasih atas pengertiannya, Sayang. Kita berdoa saja semoga disegerakan punya keponakan baru." Pria itu mengecup pelipisku berkali-kali, lalu membimbingku menuju tempat tidur.Ruangan ini sungguh luas. Kamar hotel tipe presiden suite saja masih kalah mewah dengan
Bab 144Aku tidak bisa berbuat atau berbicara apapun lagi, selain menatap jalanan sembari memangku Kania. Sementara mas Ibra memangku Keisha. Kami memang tidak membawa baby sister dalam perjalanan kali ini untuk alasan kepraktisan, bahkan kami tidak membawa pengawal, kecuali pengawal yang dibawa oleh ummi Azizah dari Mekkah.Kesakitan yang ummi Azizah rasakan menular juga kepadaku, tetapi aku tidak berdaya, hanya mampu menatap suamiku yang dengan segera mengedipkan matanya. Setelah mobil sampai di bandara, kami pun segera berpindah ke pesawat pribadi milik keluarga Salim Al-Maliki. Sudah lama pesawat pribadi itu ada. Sebelumnya, pesawat pribadi dimiliki hanya keluarga Al-Maliki secara umum, tetapi kini Abi Emir sudah membeli pesawat khusus untuk keluarga Salim Al-Maliki, sehingga sedikit demi sedikit mereka mulai melepaskan ketergantungan dengan keluarga itu dan juga Almeera Oil Company.Keterikatan ummi Azizah terhadap perusahaan minyak itu sebatas dia adalah pemegang satu persen sa
Bab 143Perempuan tua itu menoleh. Dia mengurungkan niatnya untuk melangkah menuju pintu, tetapi berbalik menghampiri perempuan tua yang duduk santai di sebuah sofa di salah satu sudut ruangan.Ruang tamu khusus laki-laki ini memang sangat luas, memiliki beberapa sofa disusun dari ujung ke ujung, karena seringkali menerima tamu dengan jumlah yang banyak. "Sejak Abi meninggal dunia, aku merasa Ummu, Khaled, dan Waled berubah, kecuali Wafa," ucap ummi Azizah tanpa menuruti permintaan ibu tirinya untuk duduk kembali ke sofa di dekat perempuan tua itu duduk."Itu hanya perasaanmu saja, Azizah," balasnya."Tapi aku merasa dipermainkan di keluarga ini. Keluarga yang kupikir bisa memberikan secercah harapan, tapi ternyata hanya kepalsuan yang kudapatkan. Orang yang benar-benar menyayangiku hanya Abi, hanya syekh Ali yang benar-benar menyayangiku dengan tulus, dan juga adik kecilku, Wafa." Ummi Azizah menjeda ucapannya dengan sentakan nafasnya yang berat. "Namun kalian dengan begitu kejam
Bab 142Raut wajah pria itu seketika menegang. Tampak sekali ia tengah menahan emosinya. Namun kurasa ia tidak sedang memarahiku, karena kulihat mulutnya bergerak-gerak."Aku tidak tahu, Sayang. Tapi yang jelas, aku harus mengusut semua ini. Sayang sekali di ruangan kerjaku dan di ruangan pribadi itu tidak ada kamera CCTV. Mas juga tidak tahu bagaimana caranya Nona Barbara merekam adegan itu. Mas benar-benar tidak tahu karena Mas tengah tertidur.""Tapi... tunggu Mas!" Otakku segera mencerna kejanggalan yang terjadi, karena bagiku tidak ada alasan untuk tidak mempercayainya. Jika memang Mas Ibra bisa tertidur sampai seperti orang pingsan, apa jangan-jangan ada orang yang memasukkan obat tidur ke dalam minumannya?"Aku rasa ini sudah tidak wajar, Mas. Walaupun Mas sedang tidur, tapi kalau ada orang yang menggerayangi, biasanya Mas akan terbangun, seperti biasanya saat kita sedang bersama," ujarku mengingatkan. Pria itu tampak tercenung sejenak."Omonganmu masuk akal juga, Sayang." Pri
Bab 141"Ya Tuhan!" Aku memekik, refleks jemariku menyentuh layar. Dan adegan demi adegan itu membuat perutku seketika mual. Tubuhku lemas dan akhirnya luruh ke lantai dan tanpa sadar menjatuhkan ponselku yang masih menyala layarnya."Kenapa kamu tega melakukan ini sama aku, Mas? Bahkan aku baru saja melahirkan anak kamu." Aku duduk sembari memeluk betisku. Tangisku pecah seketika.Siapa perempuan itu sebenarnya? Kenapa ia bisa bersama dengan mas Ibra di dalam satu ruangan, bahkan satu ranjang?Aku masih saja merapatkan wajahku dengan lutut, meski terdengar suara ketukan dibalik pintu sampai akhirnya pintu pun terbuka."Ibu kenapa? Ada apa?" Mbak Ranti terlihat kaget saat aku mengangkat wajahku yang bersimbah air mata."Papanya Kania selingkuh, Mbak," lirihku."Selingkuh?" Bibir wanita itu bergerak-gerak. Namun hanya kata selingkuh yang terucap dari bibirnya. Aku menubruk perempuan itu lalu memeluknya. Tangisku kembali pecah. Aku menangis dalam pelukan mbak Ranti. "Kenapa dia begitu
Bab 140Ibra tidak menyadari jika dari balik pintu ruang kerjanya muncul sesosok tubuh yang tadi sempat pamit keluar.Sementara itu, pintu ruangan peristirahatannya pun terbuka."Dia sudah tak sadar, Ghazi?" tanya sesosok perempuan yang tepat berdiri di depan pintu ruangan peristirahatan Ibra."Aman, Nona. Dia tidak akan sadar selama beberapa jam dan Nona bisa melakukan apapun," jawab pria itu sembari menyeringai."Bagus. Kerjamu sungguh bagus. Bayaranmu akan segera kamu terima, berikut bonusnya.""Terima kasih, Nona. Sekarang apa yang bisa saya lakukan lagi?""Bawa pria itu ke tempat tidur. Setelah itu kamu boleh keluar. Jangan lupa kunci ruang kerjanya. Nanti jika semuanya sudah selesai, aku akan hubungi lagi. Tetaplah stand by di tempatmu," titah perempuan itu yang ternyata adalah Barbara.Perempuan itu tersenyum manakala menatap pria yang tengah digendong oleh Ghazi. Sebentar lagi rencananya akan terwujud. Ghazi merebahkan Ibra dengan hati-hati ke pembaringan, kemudian segera per
Bab 139Meski penuturan sang paman tidak membuat Ibra terlalu terkejut, tetapi tak urung matanya tetap membulat sempurna. Dia bahkan refleks menjauhkan tubuhnya dari pria tua itu. Ibra berdiri, lalu pindah tempat duduk sehingga kini posisi mereka menjadi berhadapan."Dan Paman pikir aku menerima tawaran itu?" sinisnya."Paman pikir kamu hanya perlu menikahinya sebentar, setelah itu menceraikannya. Lagi pula dia hanya memintamu untuk menjadi suaminya sebentar saja. Pernikahan ini pun juga hanya akan dilaksanakan secara siri," bujuk pangeran Khaled. Dibenaknya tentu deretan angka-angka yang akan segera masuk ke perusahaan jika pernikahan ini benar-benar terjadi.Pria itu pun sebenarnya tidak ingin keponakannya menikahi wanita itu. Namun perusahaan mereka masih dalam kondisi terguncang. Tidak mudah mendapatkan investor kelas kakap seperti Tuan Wiliam.Apa salahnya jika menyuruh keponakannya untuk menikahi wanita itu? Toh, istrinya Ibra berada di Indonesia dan tidak akan tahu jika suaminy
Bab 138Meski cukup banyak perempuan yang tidak memakai jilbab di kota metropolitan Arab Saudi ini, tetapi Ibra merasa cara berpakaian Barbara cukup berani, padahal dia hanya seorang tamu di negara ini.Meski kemungkinan perempuan ini non muslim, tapi seharusnya ia tahu diri dan mengerti situasi, mengingat ia berkunjung ke sebuah negara yang mayoritas penduduk wanitanya harus mengenakan pakaian tertutup.Namun, Ibra tidak menangkap itikad baik dari Barbara, justru perempuan itu bersikap seolah-olah restoran ini berada di negaranya yang menganut paham kebebasan. Lagi-lagi ia mengibaskan rambutnya, sehingga harum helaian itu terendus oleh Ibra dan membuat pria itu seketika menghembuskan nafas."Anda terlalu berlebihan, Nona. Saya hanya orang biasa. Kebetulan saja dua orang pria tua yang telah berbicara dengan ayah anda itu adalah adik dari ibu saya," sahut Ibra. Dia menurunkan tangannya dari meja, lalu menangkupkan telapak tangannya di pangkuannya."Tentu. Saya pun mengenal ibu anda yan