“Jangan pernah bicara macam-macam lagi tentang Mama. Dan ya, aku enggak mau kejadian ini sampai tembus ke salah satu guru, apalagi guru BK. Kalau tidak, bukan hanya aku yang hancur dan kena hukuman. Tapi kamu juga.“Aku tahu kalau kamu menyogok petugas kebersihan untuk mencuri soal ulangan semester kemarin, kan? Lebih baik jaga mulutmu kalau kamu mau selamat dari hukuman,” bisikku di telinga Sofia saat mengatakan hal yang terakhir. Sebuah rahasia hanya aku saja yang tahu di kelas ini.Kulihat wajah Sofia yang menyebalkan itu terlihat memucat. Akan tetapi, dia sama sekali tak bereaksi apa pun. Teman satu kelasku itu hanya mengepalkan tangannya dan menoleh ke arahku saat diri ini yang telah menjauh darinya. Lirikan sinis dan tajam seolah menandakan permusuhan yang sengit di antara kami.Aku hanya mengangkat sebelah bibirku tanda mengejek. Dia tak tahu saja, Laras yang lemah seperti kemarin sudah hilang. Kini hanya ada Laras yang bengis korban keegoisan ayahnya sendiri. Pria yang seumur
POV Laras“Dasar tukang bohong. Ayah bilang kita hanya akan mengobrol berdua. Lalu, sedang apa wanita itu di sini?” pekikku tak terima. Ayah terlihat gelagapan, bolak-balik memandang ke arahku dan wanita itu. “Sayang, biar ayah jelaskan ....” “Mas. Kamu baru jemput Laras, ya?” Tante Sinta menghampiri kami dengan senyum yang mengembang. Dia dengan tak tahu malunya memeluk serta mencium pipi kiri dan kanan Ayah. Menjijikkan. Aku hanya memalingkan muka, malas melihat kemesraan mereka.“Kamu sedang apa di sini, Sin?” tanya Ayah terpancar kepanikan.Entah karena malu terhadapku atau tak siap dengan sikap tak tahu malu Tante Sinta, Ayah tak merespon dan hanya gelagapan. Wajahnya seolah-olah terkejut dengan kehadiran sang kekasih di restoran ini. Ah. Palingan itu akal-akalan Ayah saja. Dia pura-pura tak tahu kalau Tante Sinta sudah di restoran. Pasti, mereka sebelumnya sudah ada janji.“Lho, Mas. Kenapa kaget begitu? Kamu enggak suka aku ada di sini?” tanya wanita selingkuhan Ayah denga
“Laras. Kamu sudah keterlaluan. Diam atau Ayah kasih pelajaran kamu? Ibumu telah salah mendidikmu menjadi anak yang kurang ajar sekarang,” bentaknya kali ini. Sakit memang. Ayah lebih memilih memihak Tante Sinta dibandingkan aku. Dia memang sudah tak menyayangiku lagi. Membuat diri ini semakin membenci laki-laki yang kupanggil Ayah tersebut.Aku ingin menangis dan meraung. Namun, apa itu akan didengar? Seperti sebelumnya, Ayah pasti lebih memilih membela kekasihnya. Sedangkal itu rasa sayang Ayah terhadap putrinya ini. Aku merasa tertantang. Jiwa mudaku yang masih bergelora dan kini emosiku semakin terpancing, apalagi mendengar Ayah meragukan didikan Mama. Seolah segalanya yang terjadi kekeliruan Mama semua.“Ayah bilang apa? Kenapa Ayah malah menyalahkan Mama? Sejak kapan Ayah meragukan didikannya? Mengacalah pada diri sendiri, Yah. Apa sudah benar dan patut dianggap sebagai seorang Ayah?“Dan ya, Mana ada Ayah yang mencintai anaknya terus lebih memilih memihak pelakor dari pada put
POV Laras“Waalaikumsallam. Ras, kok pulang cepat. Bukannya pergi dengan Ayah?” Mama bertanya ketika baru saja membuka pintu. Namun, beliau terkejut aku pulang bukan diantar Ayah, tetapi orang lain. “Ya Allah, Sayang. Dahi kamu kenapa bisa diperban begini? Kamu terluka?” Mama meraih pundakku dan terkejut melihat lukaku yang telah terbalut kain kasa. Beliau sangat khawatir, kentara sekali terlihat dari mimik wajahnya.“Aku enggak apa-apa, Ma. Tadi hanya terjatuh saja. Untung Tante Dewi yang baik ini mau nganter aku ke dokter,” terangku berbohong. Mana mungkin kukatakan hal yang sejujurnya. Itu akan membuat Mama semakin terluka karena Ayah. Untunglah, Mama tak bertanya lebih banyak dan percaya dengan ucapanku begitu saja.Mama melirik ke arah wanita yang membantuku tadi, dan yang tak disangka, mereka saling mengenal satu sama lain.“Ya Allah. Ini Rasti bukan?” “Iya. Ya ampun. Dewi? Ini kamu kan?”“Bener, Ras. Gimana kabarmu? Ternyata Laras ini putri kamu, ya?” “Iya, Dew. Laras putrik
Setelah puas mengobrol, selanjutnya kami menyantap makanan yang telah terhidang di meja. Siapa lagi yang sudah membuatnya kalau bukan Mama. Masakan beliau tak kalah dengan buatan koki atau chef di restoran bintang lima.Kehadiran Bu Dewi membuatku sejenak melupakan masalah yang telah terjadi tadi siang bersama Ayah. Meski tak mungkin sepenuhnya kulupakan, dan takkan mungkin bisa hilang dari ingatan. Namun, aku berusaha menyembunyikan itu semua dari Mama.Sampai, ketika Bu Dewi sudah pulang. Mama mengajakku bicara. Kami duduk di sebuah gazebo yang terletak di belakang rumah. Tempat favorit kami sekeluarga untuk bersantai melepas penat ketika Ayah masih bersama Mama dulu. Gazebo ini berada di tengah-tengah kolam renang dan taman. Suasananya sepi, membuat kedamaian tercipta ketika ada di tempat ini. Apalagi, terdengar gemercik air dari sebuah kolam ikan kecil yang berada di tengah-tengah taman, menambah kesyahduan suasana.“Sayang. Mama mau tanya sesuatu sama kamu. Kenapa kamu pulang en
Pernyataan itu hanya dapat terucap di dalam batinku saja. Tak bisa ceritakan kepada Mama, selain menanggung rasa sakit ini sendiri.“Ma ....”“Ya, Sayang.”“Laras enggak mau nikah. Laras enggak mau sakit hati kaya Mama. Laras enggak mau nanti akan ada Laras kecil yang merasakan kesedihan seperti Laras. Laras enggak mau nanti anak Laras menderita. Rasanya sungguh menyakitkan, Ma. Sungguh sakit ....” Mataku mulai berembun, setetes demi setetes air mata mulai tumpah dan mengalir deras di pipi. Mama memelukku dengan tangisan yang sama. “Ya Allah, Nak ... jangan bicara seperti itu. Tak semua laki-laki seperti yang kamu pikir. Masih banyak pria yang setia di luar sana. Ini sudah takdir Mama. Ujian dari Allah, Nak. Ayah dan Mama memang belum berjodoh saja. Kami hanya ditakdirkan bersama untuk sementara. “Kamu putri kesayangan Mama. Hidup Mama. Cahaya dalam kegelapan. Kamu itu sumber kekuatan untuk Mama, Nak. Bagaimana Mama bisa menjalani hidup dengan bahagia, kalau kamu saja seperti ini
POV LarasVideo viral tersebut tersebar sangat cepat. Puluhan dan bahkan ratusan juta orang telah melihat dan ikutan berkomentar.Sejak saat itu, kisah cinta Ayah dan Tante Sinta dan hancurnya keluargaku karena wanita lain telah diketahui oleh semua orang. Awalnya, hanya teman satu kelasku saja yang tahu, tetapi setelah video itu tersebar luas, satu sekolah menggosipkanku.Mulai saat itu, sering terdengar teman-teman bergosip tentang kami. Sebagian ada yang prihatin, dan tak sedikit berita tak sedap berseliweran. Entah siapa yang memulai menyebarkannya. Padahal, itu semua salah. Semua nada sumbang tentangku dan Mama itu semua tak benar.Apalagi, beberapa hari yang lalu, Tante Sinta datang menemuiku di gerbang sekolah, saat jam pelajaran telah usai. Tinggal ada beberapa teman yang masih ada di sekolah, terutama murid yang sedang mengikuti ekstrakurikuler.Tak kusangka, ternyata Tante Sinta membuat drama dan memfitnahku.“Ada apa Tante Sinta ke sini? Apa Tante merasa kurang terkenal den
“Jangan pernah menyalahkan Mama, Yah. Ini semua fitnah. Tante Sinta yang sudah bohong dan membuat drama ini,” hardikku lalu menoleh ke arah wanita yang tengah kesakitan dan mulai dipangku Ayah.“Tan. Katakan yang sebenarnya! Jangan memfitnahku seperti ini!”“Bayiku, Mas! Bayiku ...!” racaunya kembali membuat semua orang melihat dengan iba.Tak lama setelah itu Tante Sinta tak sadarkan diri dalam gendongan. Membuat Ayah panik dan cepat membawanya ke dalam mobil. Kemudian, bergegas meninggalkan tempat di mana kami berada. Tanpa memedulikan penjelasanku sama sekali. “Tante Sinta berbohong, dia memfitnahku!” kembali aku berteriak!“Mama harus percaya sama aku. Dia bohong, Ma. Itu gak seperti yang Mama lihat.”Plak!“Mama kecewa sama kamu. Mama sudah bilang sebelumnya, Ras. Ikhlaskan semuanya. Hentikan semua kekonyolan ini. Mama enggak pernah mengajarkan kamu berbuat kasar sama orang termasuk orang yang tak disuka sekali pun. “Lihat Mama, Ras. Apa yang kamu dapatkan dengan berbuat semua
7 tahun kemudian.“Sayang. Gimana anak-anak? Sudah ngasih tahu kalau mereka sebentar lagi punya adik?” kecup Mas Egi di puncak kepalaku dengan hangat.“Sudah, Mas. Tapi aku cemas. Aku kan sudah enggak muda lagi. Usiaku saja sudah lebih dari kepala empat. Gimana kalau aku tak bisa melahirkan normal?” ujarku sedikit khawatir. Pasalnya, kehamilanku sekarang sungguh tak biasa.Aku malah kebobolan dan hamil di usia pernikahanku yang menginjak tahun ketujuh. Apalagi, sekarang kami berdua sama-sama sudah tak muda lagi. Aku takut ini malah beresiko untuk janin di dalam kandunganku.Bahkan, Laras sekarang sudah berumur 24 tahun. Apa kata orang, bukannya dapat cucu malah memberikan adik lagi buat putra putri kami.“Tenang saja sih. Kan sekarang zamannya sudah canggih. Alat-alat penunjang kesehatan pun sudah lengkap. Jadi, kamu tak perlu khawatir. Semuanya pasti lancar. Tenang, ya,” ucap Mas Egi menenangkan.Awalnya, Laras memang terkejut dan syok akan mendapatkan adik di usia yang sudah sebesar
Semenjak semalam, memang tak ada yang berubah dari sikap Mas Egi. Dia tetap menjadi suami dan ayah yang hangat untuk anak-anak. Bahkan, karena kebiasaan Fian yang memanggil suami baruku ini dengan sebutan Abi, anak-anak lain mengikutinya. Sampai dengan, kepergian kami ke Singapura pun berjalan dengan lancar. Di sana, aku, Mas Egi serta anak-anak menginap di hotel yang hanya berjarak 15,66 km dari Bandar Udara Internasional Changi Singapura.Aku sengaja menyewa dua kamar, satu untukku dan Mas Egi, lalu kamar lainnya untuk anak-anak dan Kiki. Untunglah, di hotel ini tersedia kamar yang terdapat dua kasur dalam satu ruangan, sehingga cukup untuk tidur anak-anak. Bagaimana tidak, kami berangkat satu keluarga ditemani Kiki juga. Total semuanya sekitar tujuh orang. “Sayang. Kita istirahat dulu, yuk. Mama dan Abi juga sudah lelah,” ajak Kiki kepada anak-anak sesaat setelah kami tiba di hotel. Asisten rumah tangga yang sudah kuanggap keluarga sendiri itu pun seolah mengerti situasiku sekar
“Mama. Yeeey akhilnya Fian bisa ketemu Mama. Fian kangen, pengen peluk,” pekik Fiandra dengan aksen cadelnya. Putra semata wayang Mas Egi dan sekarang juga sudah menjadi anakku pun menghambur ke dalam pelukan. Dia melingkarkan tangannya ke leher sambil sesekali mencium pipi, mau tak mau aku juga mencium gemas pipi putra sambungku ini.“Mama cantik banget, kaya peri yang ada di buku,” celetuk Fiandra membuatku tersenyum. “Makasih. Fian juga hari ini ganteng,” jawabku.“Fahri ganteng enggak?” tanya Fahri yang masih memandang ke arahku dan Fian. “Ganteng dong. Fian sama Fadil sama-sama anak Mama yang ganteng. Kalau gitu, peluk dong.”Fadil kembali memelukku bersamaan dengan Fiandra. Aku bersyukur, Mas Egi tak keberatan kalau aku tetap mengasuh Fadil dan Ana serta mengadopsi mereka, menjadikan keduanya bagian dari keluarga kami sekarang. Mas Egi sama sekali tak keberatan, bahkan dia cukup senang kalau keluarga kami akan banyak anak-anak. Menurutnya, Ana dan Fadil, mereka sama-sama anak
“Bukannya Ezran mau minta rujuk sama kamu?” cetus Mas Egi dengan nada suara yang seperti kesal.Hah? Dari mana Mas Egi tahu niat sebenarnya mantan suamiku tadi datang? Atau ini hanya kebetulan saja?“Dari mana Mas Egi tahu?”Aku terhenyak mendengarkan ucapan dari Mas Egi. Penasaran bagaimana dia bisa tahu maksud Mas Ezran databg ke sini? Padahal, jelas-jelas tak ada dia saat mantan suamiku itu meminta rujuk tadi.“Tebakan saja. Lagi pula, kami ini sama-sama laki-laki, jadi bisa tahu apa yang ada di pikirannya,” ujarnya sambil menyalakan mobil dan fokus ke depan.“Hmmm ... tapi ... aku tak mungkin kembali lagi padanya.” Mas Egi menoleh, alisnya menukik tajam.“Kenapa? Bukannya kamu masih mencintainya? Aku takkan menghalangimu, kamu masih bisa memikirkan segalanya sebelum pernikahan kita terjadi dan semuanya terlambat,” ketusnya.“Maksud Mas Egi ini apa? Aku memang sudah memaafkannya, tetapi untuk kembali kepada Mas Ezran itu mustahil. Aku sama sekali sudah tak merasakan apa pun untuk
“Diminum dulu, Mas, tehnya,” ucapku demi mengurai ketegangan yang ada.Mas Ezran mengangguk, kemudian meneguk teh hangat yang dihidangkan Kiki tadi. Menyesap kemudian meminumnya beberapa tegukan.“Jadi, berita rencana pernikahan kalian yang kudengar beberapa hari yang lalu di kantor polisi itu benar? Maaf, aku tak sengaja mendengar obrolan bawahan Mas Egi di sana saat menanyakan kasus Sinta.”“Iya, Mas. Aku dan Mas Egi memang memutuskan untuk menikah. Kami berdua sudah mendaftarkan surat-surat izin sebagai persyaratan. Hari ini, Mas Egi dan aku akan menghadiri sidang BP4R untuk mendapatkan pemberian izin nikah dari atasan Mas Egi,” jelasku.“Apa kamu yakin untuk menikah dengannya?” tanya Mas Ezran tiba-tiba. Membuatku sontak memandang heran.“Maksud Mas Ezran apa?” “Apa tak ada kesempatan kita ... untuk kembali lagi, Ras?” Akhirnya, aku tahu maksud pertanyaan Mas Ezran. Dia ingin memintaku untuk rujuk dan kembali berumah tangga kembali dengannya.Jujur, setelah semua yang telah terj
“Nyonya. Ada Pak Ezran datang,” panggil Kiki ketika aku tengah merias diri karena habis mandi.“Suruh masuk, Ki. Sebentar lagi aku ke sana. Oh iya, Bi. Laras masih belum berangkat, kan?”“Belum nyonya. Non Laras masih nunggu temannya di teras,” jelas Kiki. Pasalnya, putriku itu akan pergi bersama Alisa untuk kerja kelompok. Untuk Mas Ezran, aku tak tahu ada perlu apa dia datang ke rumah ini hendak menemuiku. Mungkin saja, ada kepentingan tentang Laras yang mendesak sehingga harus mengobrol denganku. Biasanya, mantan suamiku itu hanya mampir ke rumah untuk menemui Laras saja. Itu pun tak lama, mampir sebentar lalu Mas Ezran dan putriku akan pergi keluar bersama-sama. Mungkin saja menghabiskan waktu berdua yang jarang dilakukan karena kesibukan mantan suamiku itu.Tak seperti biasanya, seminggu bisa meluangkan waktu dua kali untuk bertemu dengan Laras, sekarang dia hanya datang dua minggu sekali. Lalu, sekarang Mas Ezran berniat menemuiku? Sebenarnya ada apa?“Ya sudah, Ki. Sebentar
Aku dan Mas Egi yang tengah sibuk dengan pikiran masing-masing tersentak mendengar panggilan dari Dokter yang baru saja keluar ruangan operasi. Mas Egi langsung berdiri dan menghampiri serta mencecar Dokter tersebut, menanyakan keadaan Tante Ambar sekarang. “Tenang Pak Egi. Tenangkan diri dulu,” ujar dokter tersebut dengan raut wajah lelah dan sendu. Pria yang usianya seperti tak jauh denganku itu menghela napas panjang. Tiba-tiba saja firasatku tak enak. “Ibu Ambar mengalami luka robek yang cukup parah dan telah mengeluarkan darah dengan banyak, beliau telah berusaha berjuang untuk sembuh. Kami pun pihak medis rumah sakit ini telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan beliau, tetapi Tuhan berkehendak lain. Bu Ambar tak bisa bertahan lagi dan mengembuskan napas terakhirnya sesaat setelah operasi berjalan dengan lancar,” papar Dokter tersebut .Dunia seketika mendung. Mas Egi langsung berlari dan Masuk ke dalam ruangan operasi. Aku kembali terduduk dengan lemas di kursi. I
“Rasti, Tante sudah menganggapmu putri kandung sendiri,” ucapnya dan langsung terjeda karena Tante Ambar terlihat meringis kesakitan.Aku dan Mas Egi bahkan meminta dokter kembali menanganinya, tetapi segera dihentikan oleh Tante Ambar. Beliau tetap kekeh memintaku untuk mendengarkan ucapannya.“Tante takut ini ucapan Tante yang terakhir buat kamu,” bisiknya dengan suara yang semakin lemah.“Bisakah Tante meminta satu hal terakhir kepadamu, Ras?”Aku tak kuasa menahan pilu melihat keadaan wanita yang sudah kuanggap pengganti orang tuaku ini, dengan air mata yang semakin merebak, aku mengangguk dan siap mendengarkan apa yang hendak Tante Ambar ucapkan. “Tante ingin kamu menjaga Fiandra. Satu lagi, Ras. Bisakah kamu menerima cinta Egi dan menikah dengannya? Dengan begitu, kamu bisa dengan leluasa menjaga Fiandra, begitu pun Laras tak perlu lagi menerima orang baru sebagai Papa sambungnya. Dia juga sudah setuju kalau kamu menikah lagi, apalagi dengan Egi. Laras sangat senang dan setuju
Aku terduduk dengan lemas sambil memangku Fiandra. Begitu pun Mas Egi. Kami berdua tak bisa berkata-kata melihat keadaan Tante Ambar.“Mas. Apa Tante Ambar akan baik-baik saja?” tanyaku kepada Mas Egi yang saat ini tengah menutup wajah dengan telapak tangannya. Terlihat sekali kekalutan di wajah pria itu.“Semoga saja, Ras,” gumamnya lirih.Hening, kami berdua hanya diam setelahnya sambil menimbang-nimbang pertanyaan yang harus kusampaikan kepada Mas Egi.“Mas ....”Sepupuku itu bergumam dan mengangkat wajahnya memandangku. “Apa yang Tante Ambar katakan benar?”Mas Egi mengangguk, dia tersenyum masam. “Iya. Tapi ... lupakan saja, Ras. Aku tak mungkin memaksamu untuk menerimaku, bukan? Mama memang yang mengatakan perasaanku sebenarnya kepadamu. Tapi ... aku paham jika kamu memang belum siap menerima pria lain untuk menjadi suami. Tenang saja, aku akan berusaha untuk mengubur perasaan ini.” Ucapan Mas Egi terdengar menyakitkan. Benarkah dia sungguh memiliki perasaan padaku? Bukankah