Malam itu sekitar jam setengah sembilan malam, Mas Ezran pulang. Kudengar suara mobilnya masuk ke carport. Aku hanya bergeming di depan kaca rias sambil menyisir rambut.
“Di mana, Laras, Ma?” tanya Mas Ezran dengan cerianya seolah telah mendapatkan kabar bahagia. Ia tidak tahu saja, kesedihan yang telah putrinya rasakan kini karena ulah ayahnya. Aku membutuhkan waktu lama untuk menenangkan Laras dan memastikan dia tidur malam ini.Aku diam seribu bahasa. Tak menjawab apa pun yang suamiku tanyakan. Mas Ezran pun menghampiri dengan tatapan heran.“Ma. Ayah dari tadi tanya di mana Laras? Biasanya dia akan menyambutku saat pulang ke rumah. Tapi, kali ini enggak. Apa dia sakit?” tanya Mas Ezran membuatku menganjurkan napas.Aku berbalik sembari menatap suamiku lamat-lamat dengan pandangan tajam menusuk.“Kamu sudah melanggar janjimu. Mas pikir, untuk apa aku selama ini hanya diam ketika kamu bilang mencintai wanita lain? Itu semua hanya untuk Laras, Mas. Aku hanya tidak mau putriku melihat orang tuanya bertengkar gara-gara orang ketiga. Aku hanya ... tidak ingin Laras tahu kamu sudah berselingkuh dan membuatnya terluka,” ungkapku bergetar di akhir kalimat.“Maksudmu apa, Sayang?” tanya Mas Ezran seolah tidak mengerti yang kuucapkan, membuat diriku seketika mencebik serta menatap sinis suamiku. Lagi pula, semakin hari aku semakin jijik mendengarkan kata ‘Sayang’ yang terucap dari mulut pengkhianat seperti dia.“Habis dari mana kamu Mas dengan wanita itu hari ini? Tahukah kamu, Mas. Apa yang telah putri kita lihat tadi siang?”Mas Ezran hanya menggeleng sambil menatapku seolah meminta penjelasan.“Jangan berbelit-belit seperti ini. Langsung saja katakan yang sebenarnya. Aku capek!” sergahnya tidak sabar.“Capek menyenangkan jalang itu maksudnya, Mas?”“Hentikan, Ras. Jangan pernah mengatakan yang tidak baik mengenai dia. Kamu tidak ingat kalian bersahabat sekian lama,” tutur Mas Ezran membuatku seketika tertawa miris.Ya.Wanita yang menjadi selingkuhan suamiku tidak lain adalah Sinta, sahabat baikku sendiri. Bahkan, hubungan kami seperti saudara kandung. Namun, itu dulu, sebelum aku mengetahui pengkhianatan mereka. Aku memergoki Mas Ezran mencium kening Sinta, saat aku berniat mampir ke rumah sahabatku itu.“Apa-apaan kalian ini!” teriakku hingga membuat Sinta dan Mas Ezran menoleh. Mereka sepertinya terkejut melihat kedatanganku yang tiba-tiba.“Kenapa? Kaget aku di sini? Aku sungguh berterima kasih kepada Pak Bryan yang sudah menitipkan sesuatu untukmu Sinta. Makanya aku mampir ke sini. Dan apa yang kulihat ini? Sebuah kejutan.” Aku menggelengkan kepala sambil bertepuk tangan. Meski kuyakin wajah ini sudah memerah dengan mata yang mulai meredup.“Sayang ....” Suamiku menjauh dari tubuh Sinta dan berusaha mendekat ke arahku. Namun, diri ini mundur beberapa langkah.“Jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi, Mas! Aku jijik mendengar kata-kata itu keluar dari pengkhianat macam kamu!” teriakku namun terdapat getaran di tiap katanya.“Ras, kumohon jangan begini. Biar kami jelaskan semuanya,” Sinta ingin meraih tanganku. Akan tetapi, segera kutepis.“Jangan sentuh aku! Tidak ada lagi yang harus kalian katakan sekarang. Semuanya sudah jelas kalau kalian hanya pengkhianat!”Aku hendak berbalik ke dan meninggalkan mereka dengan amarah yang memuncak. Tak mungkin tetap di sini lebih lama lagi. Kalau tidak, aku tak menjamin bisa menahan semua amarah di dada ini. Namun, seketika bibirku kelu, tanganku mulai bergetar dan mengepal dengan kuat sampai kuku di jari menusuk kulit hingga terasa perih ketika mendengar ucapan Sinta.“Kami saling mencintai, Ras. Bisakah kita saling berbagi Mas Ezran?”“Kami saling mencintai, Ras. Bisakah kita saling berbagi Mas Ezran?Aku menatap tajam Sinta, lalu tertawa miris di hadapannya.“Kau bilang apa? Kalian saling mencintai? Benar itu, Mas?” tanyaku beralih menatap Mas Ezran yang kini sudah pucat pasi.“Kita bicara di rumah, Ras,” Mas Ezran meraih pergelangan tanganku dan hendak membawa istrinya ini pergi. Namun, Sinta kembali menghentikan pergerakan kami.“Kenapa enggak jujur sekarang saja, Mas. Bukankah baru saja kamu bilang kalau akan segera menikahiku dan menunggu waktu yang tepat untuk memberitahu Rasti? Aku pikir ini waktu yang tepat, Mas. Rasti sudah tahu hubungan kita. Aku tidak ingin hanya menjadi simpananmu saja, Mas. Aku ingin kepastian hubungan kita,” ucap Sinta dengan entengnya. Seolah ia tidak berpikir bagaimana perasaanku kali ini.Aku memandang mereka satu persatu dengan tangan mengepal, bibir ini mulai bergetar dengan hati yang mulai berdenyut nyeri. Kutatap tajam Mas Ezran memintanya untuk menjelaskan segalanya sekarang j
Sepuluh menit kemudian, aku sampai di depan rumah Tante Ambar. Kulihat ia sedang bermain dengan cucunya yang paling kecil.“Assalamualaikum, Tante,” sapaku dan langsung disambut ramah oleh Tanteku satu ini. “Tante kangen banget sama kamu, Ras. Gimana kabar kamu dan keluarga? Sehat?” tanya Tante dan langsung dijawab olehku, begitu pun sebaliknya menanyakan keadaan Tanteku dan Mas Egi. Kulirik putra sepupuku itu yang menatap sejak diri ini datang dan langsung memangkunya. “Wah kamu sudah besar, Fi. Tante sampai pangling lihat kamu. Umurnya udah berapa tahun sih?” tanyaku dan langsung dijawab cadel oleh putra Mas Egi tersebut.“Empat aun, Mama.” Aku menatap Tante Ambar merasa heran dengan panggilan Fiandra untukku sehingga membuat diri ini terkejut.“Fiandra memang begitu, Ras. Sepertinya kangen dengan mamanya. Kamu kan tahu, sejak meninggalnya Dini setahun yang lalu dia pasti membutuhkan sosok ibu. Bagaimanapun Tante menjaganya seperti anak sendiri, tapi kan beda. Kasih sayang nenek d
“Lantas. Setelah mengetahui perselingkuhan suamimu. Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya, Ras?” tanya Tante Ambar membuatku seketika kelu. Aku merasa bingung dan bimbang harus memutuskan seperti apa. Lanjut, atau berpisah. Namun, jikalau pisah, apa itu hal terbaik untuk kami semua terutama Laras?“Entahlah, Tan. Saat ini aku sama sekali tidak bisa berpikir jernih. Jujur, sebagai seorang wanita, aku ingin egois dengan meminta Mas Ezran memilih. Jika, dia bersikeras dengan keputusannya menikahi wanita itu. Aku lebih memilih berpisah. Tapi, ini tidak sesederhana itu. Tante kan tahu, seberapa dekat Laras dengan ayahnya. Aku takut, hal ini akan membuat putriku terluka. Bagaimana aku harus menjelaskan kepadanya kalau kami harus berpisah. Aku tidak akan sanggup melihatnya bersedih, Tan. Enggak akan sanggup!” Tumpah sudah air mata yang sedari tadi kutahan. Bagaimanapun, seorang ibu akan lebih sensitif bila itu mengenai kebahagiaan anak-anaknya. Begitu pun aku. Diri ini tidak boleh hanya me
Suara pria yang khas dan terdengar berat mengucapkan salam. Mendengar suara itu Fiandra yang tengah duduk anteng di pangkuanku langsung turun dan berhambur ke pelukannya. Kulirik jam di pergelangan tanganku, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 05:00 sore. Mungkin saja Mas Ezran pun sudah pulang ke rumah. Namun, sedari tadi ponselku sama sekali tak diaktifkan. Diri ini sedang tidak ingin diganggu siapa pun, termasuk suamiku itu.“Abi. Di cini lagi ada Mama main cama Fian,” celoteh Fiandra, masih terdengar oleh kami.“Mama siapa, Sayang?” tanya seseorang yang bisa kutebak itu Mas Egi. “Mama Fian.” Fiandra kembali menjawab pertanyaan Abinya. Terdengar suara sepatu seseorang menghampiri kami yang berada di ruang tamu.“Bun, siapa yang Fiandra panggil Mama,” tanya Mas Egi sesaat setelah menyapaku serta Laras dan mencium tangan Tante Ambar.“Oh itu. Fiandra dari tadi manggil Rasti dengan sebutan Mama. Mungkin saja kangen Mamanya. Makanya, Gi. Kapan kamu menikah lagi dan mencari ibu bua
“Kenapa enggak minta izin dulu sama aku kalau mau ke rumah Tante Ambar? Untung saja aku ingat untuk mencari kalian ke sana,” hardik Mas Ezran ketika baru saja masuk ke dalam kamar.Kami baru saja sampai ke rumah. Setelah tadi berpamitan untuk pulang karena Mas Ezran menyusulku ke sana. Aku tidak ingin terjadi keributan di rumah orang. Apalagi, ini masalahku dengan suamiku. Aku tidak ingin ada yang melihat perdebatan kami, terutama Laras.“Ingat kata Tante, Ras. Bicaralah dengan suamimu baik-baik. Carilah solusi untuk kalian berdua. Lebih mendekatkan diri lagi kepada Allah dan berdoalah agar kamu bisa melewati ujian ini dengan ikhlas. Satu lagi, banyak-banyak beristigfar,” sarannya ketika aku berpamitan sebelum pulang di saat kami saling berpelukan. Aku berusaha meredam kegetiran di dalam hati dan jiwa ini. Kata-kata Tante Ambar masih terngiang di benakku. Kali ini, aku harus tenang menghadapi semuanya. Aku hanya melewati tubuh Mas Ezran, lalu mengambil handuk dan berjalan ke arah ka
Adzan magrib telah berkumandang, segera kubersihkan diri di bawah kucuran air shower yang hangat. Setelah mandi, rasa penat di pikiranku mulai berkurang. Pun sudah terasa tenang, meskipun amarah di dada ini masih belum sepenuhnya reda dan masih berkobar untuk Mas Ezran.Kuambil juga wudu sebelum keluar kamar mandi dan langsung kukenakan baju di ruangan khusus kamar ini. Tempat pakaian serta aksesoris milikku dan Mas Ezran berada. Barulah aku keluar dan meminta Mas Ezran untuk mengambil wudu.“Kamu ambil wudu dulu, Mas. Kita salat berjamaah seperti biasa,” ujarku dengan nada dingin melintasi tubuhnya begitu saja. Lalu, keluar dari kamar dan berjalan ke arah Musala di rumah kami. Kulihat Laras sudah duduk di sana dan tersenyum saat aku datang.Dulu, kebersamaan inilah yang sering membuatku terharu. Merasa telah dilimpahkan keluarga sempurna yang bahagia dan harmonis. Namun, tidak untuk sekarang. Entah mengapa ketika melihat suamiku menjadi imam, tak ada perasaan membuncah seperti bia
“Semenjak Mas ketemu sama dia di restoran jepang langganan kita tiga bulan yang lalu, itu pertama kali kami makan bersama.”Aku terbelalak, bukankah itu hari di mana aku tak datang makan malam romantis dengan Mas Ezran karena Laras tiba-tiba demam tinggi? Tega-teganya suamiku malah memilih makan dengan Sinta saat putrinya dibawa ke Rumah Sakit. Waktu itu ponsel Mas Ezran katanya mati makanya tidak bisa kuhubungi saat ingin membatalkan janji dan memintanya untuk menyusulku menemani Laras.Tiba-tiba saja terbayang bagaimana Mas Ezran dan Sinta makan dengan bahagia, sedangkan saat itu aku sedang panik menemani Laras. Bahkan, diri ini sampai putus asa untuk menghubungi Mas Ezran.“Tega kamu, Mas ... apa salahku sama kamu? Di mana letak kekuranganku? Tak cukupkah mencintai satu wanita yang setiap waktu selalu ada menemanimu di rumah? Menjadi tempat pulang saat kamu lelah? Bahkan, tetap menemaimu di kondisimu yang hampir terpuruk beberapa tahun yang lalu? Itu aku, Mas. Aku ...,” gumamku de
Selepas pertengkaran kami malam itu, Mas Ezran terlihat dingin setiap kami berhadapan. Perhatiannya terhadap putri kami pun semakin hari semakin berkurang. Apalagi, suamiku itu tak jarang pulang malam. Entahlah, ke mana saja dia sampai selalu pulang larut. Kutebak dirinya pasti menghabiskan waktu bersama Sinta, kekasih yang baru beberapa bulan ini mengisi hatinya. Tak ingatkah Mas Ezran dengan kebersamaan kami yang sudah belasan tahun?Tak sedikitkah perasaan bersalah mengingat dosa yang telah ia perbuat atas nama pengkhianatan? Kesetiaanku menemaninya sekian lama ternyata tak juga menyadarkan Mas Ezran yang terbelenggu nafsu. Sebesar itukah cintanya untuk Sinta. Sampai, menjadi seorang Ayah yang abai terhadap putri kandungnya sendiri?Jangan ditanya hatiku yang telah remuk redam bagai sebuah gelas kaca yang dilemparkan sampai hancur tak berbentuk. Dalam keremangan malam, setiap hari diri ini selalu tersedu di atas sajadah, bersimpuh memohon Yang Maha Kuasa memberikan jalan keluar y
7 tahun kemudian.“Sayang. Gimana anak-anak? Sudah ngasih tahu kalau mereka sebentar lagi punya adik?” kecup Mas Egi di puncak kepalaku dengan hangat.“Sudah, Mas. Tapi aku cemas. Aku kan sudah enggak muda lagi. Usiaku saja sudah lebih dari kepala empat. Gimana kalau aku tak bisa melahirkan normal?” ujarku sedikit khawatir. Pasalnya, kehamilanku sekarang sungguh tak biasa.Aku malah kebobolan dan hamil di usia pernikahanku yang menginjak tahun ketujuh. Apalagi, sekarang kami berdua sama-sama sudah tak muda lagi. Aku takut ini malah beresiko untuk janin di dalam kandunganku.Bahkan, Laras sekarang sudah berumur 24 tahun. Apa kata orang, bukannya dapat cucu malah memberikan adik lagi buat putra putri kami.“Tenang saja sih. Kan sekarang zamannya sudah canggih. Alat-alat penunjang kesehatan pun sudah lengkap. Jadi, kamu tak perlu khawatir. Semuanya pasti lancar. Tenang, ya,” ucap Mas Egi menenangkan.Awalnya, Laras memang terkejut dan syok akan mendapatkan adik di usia yang sudah sebesar
Semenjak semalam, memang tak ada yang berubah dari sikap Mas Egi. Dia tetap menjadi suami dan ayah yang hangat untuk anak-anak. Bahkan, karena kebiasaan Fian yang memanggil suami baruku ini dengan sebutan Abi, anak-anak lain mengikutinya. Sampai dengan, kepergian kami ke Singapura pun berjalan dengan lancar. Di sana, aku, Mas Egi serta anak-anak menginap di hotel yang hanya berjarak 15,66 km dari Bandar Udara Internasional Changi Singapura.Aku sengaja menyewa dua kamar, satu untukku dan Mas Egi, lalu kamar lainnya untuk anak-anak dan Kiki. Untunglah, di hotel ini tersedia kamar yang terdapat dua kasur dalam satu ruangan, sehingga cukup untuk tidur anak-anak. Bagaimana tidak, kami berangkat satu keluarga ditemani Kiki juga. Total semuanya sekitar tujuh orang. “Sayang. Kita istirahat dulu, yuk. Mama dan Abi juga sudah lelah,” ajak Kiki kepada anak-anak sesaat setelah kami tiba di hotel. Asisten rumah tangga yang sudah kuanggap keluarga sendiri itu pun seolah mengerti situasiku sekar
“Mama. Yeeey akhilnya Fian bisa ketemu Mama. Fian kangen, pengen peluk,” pekik Fiandra dengan aksen cadelnya. Putra semata wayang Mas Egi dan sekarang juga sudah menjadi anakku pun menghambur ke dalam pelukan. Dia melingkarkan tangannya ke leher sambil sesekali mencium pipi, mau tak mau aku juga mencium gemas pipi putra sambungku ini.“Mama cantik banget, kaya peri yang ada di buku,” celetuk Fiandra membuatku tersenyum. “Makasih. Fian juga hari ini ganteng,” jawabku.“Fahri ganteng enggak?” tanya Fahri yang masih memandang ke arahku dan Fian. “Ganteng dong. Fian sama Fadil sama-sama anak Mama yang ganteng. Kalau gitu, peluk dong.”Fadil kembali memelukku bersamaan dengan Fiandra. Aku bersyukur, Mas Egi tak keberatan kalau aku tetap mengasuh Fadil dan Ana serta mengadopsi mereka, menjadikan keduanya bagian dari keluarga kami sekarang. Mas Egi sama sekali tak keberatan, bahkan dia cukup senang kalau keluarga kami akan banyak anak-anak. Menurutnya, Ana dan Fadil, mereka sama-sama anak
“Bukannya Ezran mau minta rujuk sama kamu?” cetus Mas Egi dengan nada suara yang seperti kesal.Hah? Dari mana Mas Egi tahu niat sebenarnya mantan suamiku tadi datang? Atau ini hanya kebetulan saja?“Dari mana Mas Egi tahu?”Aku terhenyak mendengarkan ucapan dari Mas Egi. Penasaran bagaimana dia bisa tahu maksud Mas Ezran databg ke sini? Padahal, jelas-jelas tak ada dia saat mantan suamiku itu meminta rujuk tadi.“Tebakan saja. Lagi pula, kami ini sama-sama laki-laki, jadi bisa tahu apa yang ada di pikirannya,” ujarnya sambil menyalakan mobil dan fokus ke depan.“Hmmm ... tapi ... aku tak mungkin kembali lagi padanya.” Mas Egi menoleh, alisnya menukik tajam.“Kenapa? Bukannya kamu masih mencintainya? Aku takkan menghalangimu, kamu masih bisa memikirkan segalanya sebelum pernikahan kita terjadi dan semuanya terlambat,” ketusnya.“Maksud Mas Egi ini apa? Aku memang sudah memaafkannya, tetapi untuk kembali kepada Mas Ezran itu mustahil. Aku sama sekali sudah tak merasakan apa pun untuk
“Diminum dulu, Mas, tehnya,” ucapku demi mengurai ketegangan yang ada.Mas Ezran mengangguk, kemudian meneguk teh hangat yang dihidangkan Kiki tadi. Menyesap kemudian meminumnya beberapa tegukan.“Jadi, berita rencana pernikahan kalian yang kudengar beberapa hari yang lalu di kantor polisi itu benar? Maaf, aku tak sengaja mendengar obrolan bawahan Mas Egi di sana saat menanyakan kasus Sinta.”“Iya, Mas. Aku dan Mas Egi memang memutuskan untuk menikah. Kami berdua sudah mendaftarkan surat-surat izin sebagai persyaratan. Hari ini, Mas Egi dan aku akan menghadiri sidang BP4R untuk mendapatkan pemberian izin nikah dari atasan Mas Egi,” jelasku.“Apa kamu yakin untuk menikah dengannya?” tanya Mas Ezran tiba-tiba. Membuatku sontak memandang heran.“Maksud Mas Ezran apa?” “Apa tak ada kesempatan kita ... untuk kembali lagi, Ras?” Akhirnya, aku tahu maksud pertanyaan Mas Ezran. Dia ingin memintaku untuk rujuk dan kembali berumah tangga kembali dengannya.Jujur, setelah semua yang telah terj
“Nyonya. Ada Pak Ezran datang,” panggil Kiki ketika aku tengah merias diri karena habis mandi.“Suruh masuk, Ki. Sebentar lagi aku ke sana. Oh iya, Bi. Laras masih belum berangkat, kan?”“Belum nyonya. Non Laras masih nunggu temannya di teras,” jelas Kiki. Pasalnya, putriku itu akan pergi bersama Alisa untuk kerja kelompok. Untuk Mas Ezran, aku tak tahu ada perlu apa dia datang ke rumah ini hendak menemuiku. Mungkin saja, ada kepentingan tentang Laras yang mendesak sehingga harus mengobrol denganku. Biasanya, mantan suamiku itu hanya mampir ke rumah untuk menemui Laras saja. Itu pun tak lama, mampir sebentar lalu Mas Ezran dan putriku akan pergi keluar bersama-sama. Mungkin saja menghabiskan waktu berdua yang jarang dilakukan karena kesibukan mantan suamiku itu.Tak seperti biasanya, seminggu bisa meluangkan waktu dua kali untuk bertemu dengan Laras, sekarang dia hanya datang dua minggu sekali. Lalu, sekarang Mas Ezran berniat menemuiku? Sebenarnya ada apa?“Ya sudah, Ki. Sebentar
Aku dan Mas Egi yang tengah sibuk dengan pikiran masing-masing tersentak mendengar panggilan dari Dokter yang baru saja keluar ruangan operasi. Mas Egi langsung berdiri dan menghampiri serta mencecar Dokter tersebut, menanyakan keadaan Tante Ambar sekarang. “Tenang Pak Egi. Tenangkan diri dulu,” ujar dokter tersebut dengan raut wajah lelah dan sendu. Pria yang usianya seperti tak jauh denganku itu menghela napas panjang. Tiba-tiba saja firasatku tak enak. “Ibu Ambar mengalami luka robek yang cukup parah dan telah mengeluarkan darah dengan banyak, beliau telah berusaha berjuang untuk sembuh. Kami pun pihak medis rumah sakit ini telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan beliau, tetapi Tuhan berkehendak lain. Bu Ambar tak bisa bertahan lagi dan mengembuskan napas terakhirnya sesaat setelah operasi berjalan dengan lancar,” papar Dokter tersebut .Dunia seketika mendung. Mas Egi langsung berlari dan Masuk ke dalam ruangan operasi. Aku kembali terduduk dengan lemas di kursi. I
“Rasti, Tante sudah menganggapmu putri kandung sendiri,” ucapnya dan langsung terjeda karena Tante Ambar terlihat meringis kesakitan.Aku dan Mas Egi bahkan meminta dokter kembali menanganinya, tetapi segera dihentikan oleh Tante Ambar. Beliau tetap kekeh memintaku untuk mendengarkan ucapannya.“Tante takut ini ucapan Tante yang terakhir buat kamu,” bisiknya dengan suara yang semakin lemah.“Bisakah Tante meminta satu hal terakhir kepadamu, Ras?”Aku tak kuasa menahan pilu melihat keadaan wanita yang sudah kuanggap pengganti orang tuaku ini, dengan air mata yang semakin merebak, aku mengangguk dan siap mendengarkan apa yang hendak Tante Ambar ucapkan. “Tante ingin kamu menjaga Fiandra. Satu lagi, Ras. Bisakah kamu menerima cinta Egi dan menikah dengannya? Dengan begitu, kamu bisa dengan leluasa menjaga Fiandra, begitu pun Laras tak perlu lagi menerima orang baru sebagai Papa sambungnya. Dia juga sudah setuju kalau kamu menikah lagi, apalagi dengan Egi. Laras sangat senang dan setuju
Aku terduduk dengan lemas sambil memangku Fiandra. Begitu pun Mas Egi. Kami berdua tak bisa berkata-kata melihat keadaan Tante Ambar.“Mas. Apa Tante Ambar akan baik-baik saja?” tanyaku kepada Mas Egi yang saat ini tengah menutup wajah dengan telapak tangannya. Terlihat sekali kekalutan di wajah pria itu.“Semoga saja, Ras,” gumamnya lirih.Hening, kami berdua hanya diam setelahnya sambil menimbang-nimbang pertanyaan yang harus kusampaikan kepada Mas Egi.“Mas ....”Sepupuku itu bergumam dan mengangkat wajahnya memandangku. “Apa yang Tante Ambar katakan benar?”Mas Egi mengangguk, dia tersenyum masam. “Iya. Tapi ... lupakan saja, Ras. Aku tak mungkin memaksamu untuk menerimaku, bukan? Mama memang yang mengatakan perasaanku sebenarnya kepadamu. Tapi ... aku paham jika kamu memang belum siap menerima pria lain untuk menjadi suami. Tenang saja, aku akan berusaha untuk mengubur perasaan ini.” Ucapan Mas Egi terdengar menyakitkan. Benarkah dia sungguh memiliki perasaan padaku? Bukankah