“Kenapa Mama tiba-tiba ngomong kek gitu? Oh iya, Ma. Tadi Mama mau jelasin apa sama Laras?” Pertanyaan dari Laras membuyarkan lamunanku, membuat diri ini tersentak saat Laras menepuk tangan ini. Membawaku dari khayalan ke dunia nyata.“Ah enggak, Sayang. Mama hanya pengen ngobrolin masalah ulang tahunmu. Bulan depan kan hari jadi putri kamu. Ayah kemarin usul biar ulang tahun kamu dirayakan. Terus kamu mau kado apa dari kami?” tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan. Terpaksa kubatalkan niat untuk menjelaskan tentang niatku meminta cerai kepada Mas Ezran. Padahal, Mas Ezran sama sekali tak pernah berkata seperti itu, bahkan aku sangsi dirinya mengingat hari bahagia putriku. Yang ada di otak Mas Ezran hanya mengenai selingkuhannya saja.Senyum cerah putriku terbit. Ia langsung menepuk dahinya dan tertawa semangat.“Ya ampun, Ma. Laras lupa kalau bulan depan ulang tahunku. Beneran Ayah minta Laras merayakan ulang tahun dengan meriah, Ma? Laras mau dong ngundang teman-teman sekolah, Lar
POV Ezran“Mas kamu masih ingat Sinta, kan? Dia sahabatku sejak SD. Bahkan, sudah kuanggap sebagai saudara sendiri. Kemarin kami ketemu lagi lho. Dia udah pulang dari luar negeri. Sekarang, temanku itu buka usaha baru di Jakarta. Makin sukses aja dia,” puji Rasti mengenai sahabatnya itu.Aku teringat dengan seorang wanita cantik dan berpenampilan modis serta bertubuh sintal yang pernah istriku perkenalkan beberapa tahun silam. Katanya, dia sahabat Rasti sejak kecil. Cukup menarik, dengan keindahan fisiknya dan penampilannya yang modis pasti dapat membuat suaminya bangga serta merasa mendapatkan wanita yang sempurna. Apalagi, kata Rasti dia pandai sekali berbisnis dan sudah kaya raya dari kecil. Hampir setiap hari setelah kepulangan Sinta dari luar negeri, Rasti terus saja memuji kelebihan Sinta di depanku. Katanya sahabatnya itu cantik, pintar, piawai berbisnis, punya suami yang bucin yang selalu bersikap romantis setiap saat. Dan yang paling membuatku sedikit penasaran terhadap
Benar saja, ketika wanita itu datang, aku sampai tak bisa berkedip saat melihatnya setelah sekian lama. Ternyata, Sinta semakin hari semakin cantik dari terakhir dulu melihatnya. Aura inner beauty semakin terpancar dari wajahnya yang memesona.“Suami Rasti, ya. Eh ... Mas Ezran, kan?” tanyanya sambil menyodorkan tangan saat kami tak sengaja bertemu di teras rumah ketika Sinta baru saja datang dan hendak mengetuk pintu rumah. Sedangkan aku, baru saja habis bersepeda mengelilingi kompleks rumahku.“Eh ... iya. Pasti kamu Sinta, ya? Aku masih ingat wajah kamu. Makin cantik saja dari terakhir kita ketemu dulu,” pujiku tak sadar. “Ah Mas Ezran bisa aja,” jawabnya dengan pipi yang bersemu merah. Mataku tertegun menyaksikan wajah tersipu malu dari wajah sahabat istriku itu. Ah, kenapa jantung ini jadi bergetar begini. Ingat! Dia istri orang lain. Lagi pula, istrimu tak kalah menarik darinya.Aku berkali-kali mengela napas demi menormalkan detak jantungku yang tak berirama setiap mata ka
POV Ezran“Ya ampun, Ras. Kalian sweet banget. Bikin aku ngiri dan kepengen punya suami kek Mas Ezran aja,” ucap Sinta tiba-tiba datang menghampiri kami berdua. Mendengar perkataan Sinta mengapa membuatku gelisah dan salah tingkah?Apa dia serius dengan perkataannya?**“Ish, kamu bisa aja, Sin. Suamimu kan juga lebih sweet dan bucin sama kamu. Hidupmu sempurna banget, Sin. Udah sukses dalam berbisnis punya suami yang sangat mencintaimu lagi,” ujar Rasti sambil terkekeh. Sinta mengulas senyum manisnya. Akan tetapi, kenapa terlihat hambar di mataku? Ia seperti tengah memiliki masalah. Matanya yang tadi berbinar berubah menjadi sayu ketika menceritakan tentang suaminya. Apa ada sesuatu dengannya?Ah, sudahlah! Itu bukan urusanku. Mana mungkin aku bisa ikut campur urusan orang lain. Lagi pula, jika pun Sinta sedang memiliki masalah, aku punya hak apa untuk terlibat dalam kehidupannya? Kami hanya sebatas kenal karena dia sahabat istriku.Benar. Jangan berpikiran lebih jauh.Setelah acara
Selepas makan, aku duduk di ruangan keluarga sambil menonton televisi dengan Laras, putriku. Mendengarkannya bercerita tentang kegiatannya seminggu ini di sekolah, pun mulai menanyakan hal pribadi tentangnya. Sedangkan Sinta dan Rasti mereka mulai mengobrol di taman belakang rumah kami dekat kolam renang.Di usia Laras yang sudah mulai beranjak remaja, pasti sudah mulai ada ketertarikan dengan lawan jenis. Dan aku ingin ia lebih terbuka mengenai itu terhadapku seperti seorang teman.“Ayah dengar, kamu sering banget cerita soal Dzawin. Dia kakak kelasmu, kan? Yang mana sih Ayah jadi pengen tahu,” ujarku membuat raut wajah putriku itu berubah lebih cerah.“Iya, kakak kelas, Yah. Dia itu idola satu sekolah, sih. Kak Dzawin juga calon ketua OSIS tahun ini,” terang putriku dengan sorot mata yang berbinar.“Kamu suka sama dia?” tanyaku kembali setelah suasananya menghangat. Kucoba sebisa mungkin agar Laras tak merasa sedang diinterogasi.Melihat wajah putriku yang langsung bersemu merah,
POV Ezran“Wah, makasih banget Mas bantuannya. Kamu enggak usah khawatir, Ras. Kek kejadian aneh aja. Tenang aku bisa naik taksi pulangnya. Biar pesan dulu sekarang,” jelas Sinta. Namun, langsung dicegah oleh istriku. Dia meraih pergelangan tangan sahabatnya yang akan merogoh sesuatu dari dalam tas.“Enggak usah. Mending kamu diantar Mas Ezran aja. Dia pasti mau kok antar kamu. Iyakan, Mas? Maukan antar Sinta pulang?”Seperti ada dorongan yang kuat membuatku langsung mengangguk setuju begitu saja. Ada apa dengan hatiku kini? **“Kami berangkat dulu, ya, Sayang.” Aku mengecup puncak kepala istriku, Rasti sebelum mengantarkan Sinta pulang. “Iya, Mas. Hati-hati di jalan.” Lalu, istriku itu menoleh pada Sinta yang sudah duduk di jok depan. “Lain kali main ke sini lagi, ya, Sin.”“Pasti, Ras. Kamu dong yang giliran berkunjung ke rumahku,” ujarnya sambil tersenyum.“Sip. Nanti aku mampir deh kalau kamu lagi enggak sibuk kerja.”“Ditunggu, ya.” Rasti menautkan jari jempol dan telunjuk
“Mampir dulu, Mas,” ujar wanita itu ketika sudah membuka pintu mobil hendak keluar. “Ah ... tidak. Terima kasih, Sin. Aku harus pulang dulu, Rasti pasti sudah menunggu. Kami ada acara lagi soalnya,” dustaku. Padahal, yang sebenarnya bukan itu alasannya. Sesungguhnya, aku hanya takut khilaf ketika berdekatan bersama Sinta. Entahlah, wanita itu seperti magnet yang dapat menghipnotis diriku agar lebih berdekatan dengannya. Aku takut, bila terlalu dekat dengannya tidak dapat mengendalikan hati dan diriku sendiri.Sinta mengangguk, lalu keluar dan menutup kembali pintu mobil. Berdiri di depan rumahnya sambil tersenyum ke arahku dengan sangat manis. Selanjutnya, kutinggalkan rumah Sinta dan melajukan kembali kendaraan milikku membelah jalanan kota Jakarta. **Malam ini, aku sama sekali tak bisa memejamkan mata. Selepas ibadah halalku bersama Rasti tadi, aku tak bisa tidur meski tubuh ingin segera beristirahat. Padahal, Rasti telah terlelap dengan nyenyak di sampingku. Bayangan saat di mo
POV Ezran“Biar kuantar ke dokter supaya bisa diobati,” ajakku berniat memberikan bantuan.“Maaf, bisa antar aku ke Rumah Sakit saja? Aku ingin di visum,” ujar Sinta dan aku mengangguk menyanggupinya. Setelah kejadian itu, kuantar Sinta untuk menjalani pengobatan serta melakukan visum untuk luka-luka yang telah dia terima. Hatiku berdenyut nyeri melihat keadaannya yang memprihatinkan. Sebagai seorang pria, rasa ingin melindungi Sinta berkembang begitu saja. Apalagi, ketika mengantarkan dia pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan, dirinya lebih banyak diam. Hanya air mata yang terus berurai tanda hatinya kini sedang tak baik-baik saja.Kuhentikan mobil di bahu jalan yang terlihat cukup lengang sambil mengambil sapu tangan yang ada di saku celana milikku. Lalu, kuberikan benda tersebut ke arahnya, membuat Sinta yang sejak tadi hanya memandang jalanan dari kaca mobil di sampingnya menoleh.“Ambillah. Susut air matamu. Jangan siksa diri hanya demi laki-laki sepertinya. Maafkan aku, kal
7 tahun kemudian.“Sayang. Gimana anak-anak? Sudah ngasih tahu kalau mereka sebentar lagi punya adik?” kecup Mas Egi di puncak kepalaku dengan hangat.“Sudah, Mas. Tapi aku cemas. Aku kan sudah enggak muda lagi. Usiaku saja sudah lebih dari kepala empat. Gimana kalau aku tak bisa melahirkan normal?” ujarku sedikit khawatir. Pasalnya, kehamilanku sekarang sungguh tak biasa.Aku malah kebobolan dan hamil di usia pernikahanku yang menginjak tahun ketujuh. Apalagi, sekarang kami berdua sama-sama sudah tak muda lagi. Aku takut ini malah beresiko untuk janin di dalam kandunganku.Bahkan, Laras sekarang sudah berumur 24 tahun. Apa kata orang, bukannya dapat cucu malah memberikan adik lagi buat putra putri kami.“Tenang saja sih. Kan sekarang zamannya sudah canggih. Alat-alat penunjang kesehatan pun sudah lengkap. Jadi, kamu tak perlu khawatir. Semuanya pasti lancar. Tenang, ya,” ucap Mas Egi menenangkan.Awalnya, Laras memang terkejut dan syok akan mendapatkan adik di usia yang sudah sebesar
Semenjak semalam, memang tak ada yang berubah dari sikap Mas Egi. Dia tetap menjadi suami dan ayah yang hangat untuk anak-anak. Bahkan, karena kebiasaan Fian yang memanggil suami baruku ini dengan sebutan Abi, anak-anak lain mengikutinya. Sampai dengan, kepergian kami ke Singapura pun berjalan dengan lancar. Di sana, aku, Mas Egi serta anak-anak menginap di hotel yang hanya berjarak 15,66 km dari Bandar Udara Internasional Changi Singapura.Aku sengaja menyewa dua kamar, satu untukku dan Mas Egi, lalu kamar lainnya untuk anak-anak dan Kiki. Untunglah, di hotel ini tersedia kamar yang terdapat dua kasur dalam satu ruangan, sehingga cukup untuk tidur anak-anak. Bagaimana tidak, kami berangkat satu keluarga ditemani Kiki juga. Total semuanya sekitar tujuh orang. “Sayang. Kita istirahat dulu, yuk. Mama dan Abi juga sudah lelah,” ajak Kiki kepada anak-anak sesaat setelah kami tiba di hotel. Asisten rumah tangga yang sudah kuanggap keluarga sendiri itu pun seolah mengerti situasiku sekar
“Mama. Yeeey akhilnya Fian bisa ketemu Mama. Fian kangen, pengen peluk,” pekik Fiandra dengan aksen cadelnya. Putra semata wayang Mas Egi dan sekarang juga sudah menjadi anakku pun menghambur ke dalam pelukan. Dia melingkarkan tangannya ke leher sambil sesekali mencium pipi, mau tak mau aku juga mencium gemas pipi putra sambungku ini.“Mama cantik banget, kaya peri yang ada di buku,” celetuk Fiandra membuatku tersenyum. “Makasih. Fian juga hari ini ganteng,” jawabku.“Fahri ganteng enggak?” tanya Fahri yang masih memandang ke arahku dan Fian. “Ganteng dong. Fian sama Fadil sama-sama anak Mama yang ganteng. Kalau gitu, peluk dong.”Fadil kembali memelukku bersamaan dengan Fiandra. Aku bersyukur, Mas Egi tak keberatan kalau aku tetap mengasuh Fadil dan Ana serta mengadopsi mereka, menjadikan keduanya bagian dari keluarga kami sekarang. Mas Egi sama sekali tak keberatan, bahkan dia cukup senang kalau keluarga kami akan banyak anak-anak. Menurutnya, Ana dan Fadil, mereka sama-sama anak
“Bukannya Ezran mau minta rujuk sama kamu?” cetus Mas Egi dengan nada suara yang seperti kesal.Hah? Dari mana Mas Egi tahu niat sebenarnya mantan suamiku tadi datang? Atau ini hanya kebetulan saja?“Dari mana Mas Egi tahu?”Aku terhenyak mendengarkan ucapan dari Mas Egi. Penasaran bagaimana dia bisa tahu maksud Mas Ezran databg ke sini? Padahal, jelas-jelas tak ada dia saat mantan suamiku itu meminta rujuk tadi.“Tebakan saja. Lagi pula, kami ini sama-sama laki-laki, jadi bisa tahu apa yang ada di pikirannya,” ujarnya sambil menyalakan mobil dan fokus ke depan.“Hmmm ... tapi ... aku tak mungkin kembali lagi padanya.” Mas Egi menoleh, alisnya menukik tajam.“Kenapa? Bukannya kamu masih mencintainya? Aku takkan menghalangimu, kamu masih bisa memikirkan segalanya sebelum pernikahan kita terjadi dan semuanya terlambat,” ketusnya.“Maksud Mas Egi ini apa? Aku memang sudah memaafkannya, tetapi untuk kembali kepada Mas Ezran itu mustahil. Aku sama sekali sudah tak merasakan apa pun untuk
“Diminum dulu, Mas, tehnya,” ucapku demi mengurai ketegangan yang ada.Mas Ezran mengangguk, kemudian meneguk teh hangat yang dihidangkan Kiki tadi. Menyesap kemudian meminumnya beberapa tegukan.“Jadi, berita rencana pernikahan kalian yang kudengar beberapa hari yang lalu di kantor polisi itu benar? Maaf, aku tak sengaja mendengar obrolan bawahan Mas Egi di sana saat menanyakan kasus Sinta.”“Iya, Mas. Aku dan Mas Egi memang memutuskan untuk menikah. Kami berdua sudah mendaftarkan surat-surat izin sebagai persyaratan. Hari ini, Mas Egi dan aku akan menghadiri sidang BP4R untuk mendapatkan pemberian izin nikah dari atasan Mas Egi,” jelasku.“Apa kamu yakin untuk menikah dengannya?” tanya Mas Ezran tiba-tiba. Membuatku sontak memandang heran.“Maksud Mas Ezran apa?” “Apa tak ada kesempatan kita ... untuk kembali lagi, Ras?” Akhirnya, aku tahu maksud pertanyaan Mas Ezran. Dia ingin memintaku untuk rujuk dan kembali berumah tangga kembali dengannya.Jujur, setelah semua yang telah terj
“Nyonya. Ada Pak Ezran datang,” panggil Kiki ketika aku tengah merias diri karena habis mandi.“Suruh masuk, Ki. Sebentar lagi aku ke sana. Oh iya, Bi. Laras masih belum berangkat, kan?”“Belum nyonya. Non Laras masih nunggu temannya di teras,” jelas Kiki. Pasalnya, putriku itu akan pergi bersama Alisa untuk kerja kelompok. Untuk Mas Ezran, aku tak tahu ada perlu apa dia datang ke rumah ini hendak menemuiku. Mungkin saja, ada kepentingan tentang Laras yang mendesak sehingga harus mengobrol denganku. Biasanya, mantan suamiku itu hanya mampir ke rumah untuk menemui Laras saja. Itu pun tak lama, mampir sebentar lalu Mas Ezran dan putriku akan pergi keluar bersama-sama. Mungkin saja menghabiskan waktu berdua yang jarang dilakukan karena kesibukan mantan suamiku itu.Tak seperti biasanya, seminggu bisa meluangkan waktu dua kali untuk bertemu dengan Laras, sekarang dia hanya datang dua minggu sekali. Lalu, sekarang Mas Ezran berniat menemuiku? Sebenarnya ada apa?“Ya sudah, Ki. Sebentar
Aku dan Mas Egi yang tengah sibuk dengan pikiran masing-masing tersentak mendengar panggilan dari Dokter yang baru saja keluar ruangan operasi. Mas Egi langsung berdiri dan menghampiri serta mencecar Dokter tersebut, menanyakan keadaan Tante Ambar sekarang. “Tenang Pak Egi. Tenangkan diri dulu,” ujar dokter tersebut dengan raut wajah lelah dan sendu. Pria yang usianya seperti tak jauh denganku itu menghela napas panjang. Tiba-tiba saja firasatku tak enak. “Ibu Ambar mengalami luka robek yang cukup parah dan telah mengeluarkan darah dengan banyak, beliau telah berusaha berjuang untuk sembuh. Kami pun pihak medis rumah sakit ini telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan beliau, tetapi Tuhan berkehendak lain. Bu Ambar tak bisa bertahan lagi dan mengembuskan napas terakhirnya sesaat setelah operasi berjalan dengan lancar,” papar Dokter tersebut .Dunia seketika mendung. Mas Egi langsung berlari dan Masuk ke dalam ruangan operasi. Aku kembali terduduk dengan lemas di kursi. I
“Rasti, Tante sudah menganggapmu putri kandung sendiri,” ucapnya dan langsung terjeda karena Tante Ambar terlihat meringis kesakitan.Aku dan Mas Egi bahkan meminta dokter kembali menanganinya, tetapi segera dihentikan oleh Tante Ambar. Beliau tetap kekeh memintaku untuk mendengarkan ucapannya.“Tante takut ini ucapan Tante yang terakhir buat kamu,” bisiknya dengan suara yang semakin lemah.“Bisakah Tante meminta satu hal terakhir kepadamu, Ras?”Aku tak kuasa menahan pilu melihat keadaan wanita yang sudah kuanggap pengganti orang tuaku ini, dengan air mata yang semakin merebak, aku mengangguk dan siap mendengarkan apa yang hendak Tante Ambar ucapkan. “Tante ingin kamu menjaga Fiandra. Satu lagi, Ras. Bisakah kamu menerima cinta Egi dan menikah dengannya? Dengan begitu, kamu bisa dengan leluasa menjaga Fiandra, begitu pun Laras tak perlu lagi menerima orang baru sebagai Papa sambungnya. Dia juga sudah setuju kalau kamu menikah lagi, apalagi dengan Egi. Laras sangat senang dan setuju
Aku terduduk dengan lemas sambil memangku Fiandra. Begitu pun Mas Egi. Kami berdua tak bisa berkata-kata melihat keadaan Tante Ambar.“Mas. Apa Tante Ambar akan baik-baik saja?” tanyaku kepada Mas Egi yang saat ini tengah menutup wajah dengan telapak tangannya. Terlihat sekali kekalutan di wajah pria itu.“Semoga saja, Ras,” gumamnya lirih.Hening, kami berdua hanya diam setelahnya sambil menimbang-nimbang pertanyaan yang harus kusampaikan kepada Mas Egi.“Mas ....”Sepupuku itu bergumam dan mengangkat wajahnya memandangku. “Apa yang Tante Ambar katakan benar?”Mas Egi mengangguk, dia tersenyum masam. “Iya. Tapi ... lupakan saja, Ras. Aku tak mungkin memaksamu untuk menerimaku, bukan? Mama memang yang mengatakan perasaanku sebenarnya kepadamu. Tapi ... aku paham jika kamu memang belum siap menerima pria lain untuk menjadi suami. Tenang saja, aku akan berusaha untuk mengubur perasaan ini.” Ucapan Mas Egi terdengar menyakitkan. Benarkah dia sungguh memiliki perasaan padaku? Bukankah