POV Ezran“Wah, makasih banget Mas bantuannya. Kamu enggak usah khawatir, Ras. Kek kejadian aneh aja. Tenang aku bisa naik taksi pulangnya. Biar pesan dulu sekarang,” jelas Sinta. Namun, langsung dicegah oleh istriku. Dia meraih pergelangan tangan sahabatnya yang akan merogoh sesuatu dari dalam tas.“Enggak usah. Mending kamu diantar Mas Ezran aja. Dia pasti mau kok antar kamu. Iyakan, Mas? Maukan antar Sinta pulang?”Seperti ada dorongan yang kuat membuatku langsung mengangguk setuju begitu saja. Ada apa dengan hatiku kini? **“Kami berangkat dulu, ya, Sayang.” Aku mengecup puncak kepala istriku, Rasti sebelum mengantarkan Sinta pulang. “Iya, Mas. Hati-hati di jalan.” Lalu, istriku itu menoleh pada Sinta yang sudah duduk di jok depan. “Lain kali main ke sini lagi, ya, Sin.”“Pasti, Ras. Kamu dong yang giliran berkunjung ke rumahku,” ujarnya sambil tersenyum.“Sip. Nanti aku mampir deh kalau kamu lagi enggak sibuk kerja.”“Ditunggu, ya.” Rasti menautkan jari jempol dan telunjuk
“Mampir dulu, Mas,” ujar wanita itu ketika sudah membuka pintu mobil hendak keluar. “Ah ... tidak. Terima kasih, Sin. Aku harus pulang dulu, Rasti pasti sudah menunggu. Kami ada acara lagi soalnya,” dustaku. Padahal, yang sebenarnya bukan itu alasannya. Sesungguhnya, aku hanya takut khilaf ketika berdekatan bersama Sinta. Entahlah, wanita itu seperti magnet yang dapat menghipnotis diriku agar lebih berdekatan dengannya. Aku takut, bila terlalu dekat dengannya tidak dapat mengendalikan hati dan diriku sendiri.Sinta mengangguk, lalu keluar dan menutup kembali pintu mobil. Berdiri di depan rumahnya sambil tersenyum ke arahku dengan sangat manis. Selanjutnya, kutinggalkan rumah Sinta dan melajukan kembali kendaraan milikku membelah jalanan kota Jakarta. **Malam ini, aku sama sekali tak bisa memejamkan mata. Selepas ibadah halalku bersama Rasti tadi, aku tak bisa tidur meski tubuh ingin segera beristirahat. Padahal, Rasti telah terlelap dengan nyenyak di sampingku. Bayangan saat di mo
POV Ezran“Biar kuantar ke dokter supaya bisa diobati,” ajakku berniat memberikan bantuan.“Maaf, bisa antar aku ke Rumah Sakit saja? Aku ingin di visum,” ujar Sinta dan aku mengangguk menyanggupinya. Setelah kejadian itu, kuantar Sinta untuk menjalani pengobatan serta melakukan visum untuk luka-luka yang telah dia terima. Hatiku berdenyut nyeri melihat keadaannya yang memprihatinkan. Sebagai seorang pria, rasa ingin melindungi Sinta berkembang begitu saja. Apalagi, ketika mengantarkan dia pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan, dirinya lebih banyak diam. Hanya air mata yang terus berurai tanda hatinya kini sedang tak baik-baik saja.Kuhentikan mobil di bahu jalan yang terlihat cukup lengang sambil mengambil sapu tangan yang ada di saku celana milikku. Lalu, kuberikan benda tersebut ke arahnya, membuat Sinta yang sejak tadi hanya memandang jalanan dari kaca mobil di sampingnya menoleh.“Ambillah. Susut air matamu. Jangan siksa diri hanya demi laki-laki sepertinya. Maafkan aku, kal
Karena kerja sama kami, aku dan Sinta sekarang lebih banyak berkomunikasi. Apalagi, aku dan dia sudah bertukar kontak satu sama lain. Tak jarang, diri ini berpura-pura mengirimkan pesan kepadanya lebih dulu dan berakhir menelepon dengan alasan pekerjaan. Namun, yang sebenarnya, ada sesuatu di hatiku ketika tak bertemu atau mendapatkan kabar dari pemilik mata indah tersebut. Seperti ada rindu yang menggebu serta perasaan hampa jika tak mendengar suaranya. Entahlah, sejak kapan rasa ini muncul. Dan kian hari rasa nyaman setiap bersamanya semakin kuat. Apalagi, saat Sinta bercerita kalau dirinya telah resmi bercerai dengan suaminya yang bule itu, serasa ada hawa sejuk yang berembus di hatiku.Aku tahu, tak seharusnya cinta untuk Sinta bersemi mengingat sudah ada Rasti dan putri kami, Laras di sisiku. Apalagi, Sinta dan istriku bersahabat cukup lama dan sudah seperti keluarga, pun tak ada keluhan sedikit pun tentang Rasti di mataku.Namun, rasa tak bisa ditolak. Cinta ini tak bisa kukend
POV Laras“Sayang. Gimana kalau kamu mengalami hal yang sama?”Pertanyaan Mama membuatku sedikit terperangah. Kenapa perasaanku menjadi tak karuan? Seperti ada sesuatu hal yang Mama sembunyikan dariku. Akan tetapi, itu apa?“Maksud Mama apa? Ya enggak ada kata kalau, Ma. Ayah enggak mungkin dan mustahil kalau berselingkuh dari Mama. Ayah cinta banget sama Mama, dan orang yang setia. Aku tahu, Ayah enggak akan pernah mengkhianati kita, Ma. Ayah itu, Ayah terbaik yang pernah Laras punya.”Benar. Mustahil sekali Ayah berani berselingkuh dan mengkhianati kami. Beliau adalah sosok yang selalu membuatku bangga dan panutan dalam hidup ini.Ayah itu cinta pertama bagiku, pun Ayah terbaik yang pernah kumiliki. Selama ini, beliau tak pernah membuatku atau Mama kecewa. Kebahagiaan terus melingkupi keluarga kecil kami sampai sekarang.Lagi pula, pernikahan orang tuaku sudah berjalan cukup lama, dan selama itu pula, aku tak pernah melihat mereka bertengkar sedikit pun apalagi di depanku. Bagaimana
“Jemputannya belum datang, Ras?”“Iya, Kak. Mungkin agak telat. Tadi Mang Diman bilang ada urusan dulu nganter istrinya ke Rumah Sakit. Makanya aku diminta menunggu dulu di sekolah. Katanya setengah jam lagi ada yang datang ngejemput,” jelasku membuat Kak Dzawin menganggukan kepalanya tanda mengerti.“Lebih baik ikut pulang sama jemputanku aja. Biar kuantar kamu pulang dari pada nunggu di sini lama. Kamu pasti capek pengen istirahat, apalagi cuacanya panas banget.”“Makasih, Kak atas tawarannya. Tapi, barusan ada kirim pesan udah di jalan kok. Jadi, aku nunggu jemputan aja. Kasihan nanti sopir Kak Dzawin bolak-balik juga kalau nganter aku duluan. Rumah kita kan beda arah,” tolakku secara halus. Aku melihat kekecewaan di wajah Kak Dzawin, tetapi diri ini tak ingin merepotkan orang lain.“Ya sudah, Ras. Kalau gitu aku pulang duluan, ya. Bener kamu enggak mau kuantar?” Aku mengangguk dan tersenyum menanggapi pertanyaan dari Kak Dzawin. Ia hendak berbalik, tetapi segera kuhentikan karena
“Kamu sudah melanggar janjimu. Mas pikir, untuk apa aku selama ini hanya diam ketika kamu bilang mencintai wanita lain? Itu semua hanya untuk Laras, Mas. Aku hanya tidak mau putriku melihat orang tuanya bertengkar gara-gara orang ketiga. Aku hanya ... tidak ingin Laras tahu kamu sudah berselingkuh dan membuatnya terluka,” ungkapku bergetar di akhir kalimat.“Maksudmu apa, Sayang?” tanya Mas Ezran seolah tidak mengerti yang kuucapkan, membuat diriku seketika mencebik serta menatap sinis suamiku. Lagi pula, semakin hari aku semakin jijik mendengarkan kata ‘Sayang’ yang terucap dari mulut pengkhianat seperti dia.“Habis dari mana kamu Mas dengan wanita itu hari ini? Tahukah kamu, Mas. Apa yang telah putri kita lihat tadi siang?”Mas Ezran hanya menggeleng sambil menatapku seolah meminta penjelasan.“Jangan berbelit-belit seperti ini. Langsung saja katakan yang sebenarnya. Aku capek!” sergahnya tidak sabar.“Capek menyenangkan jalang itu maksudnya, Mas?” “Hentikan, Ras. Jangan pernah me
“Maaf ....” Kata itu yang terus saja terucap dari mulut Mas Ezran sepanjang malam yang kami habiskan dalam kebisuan. Akan tetapi, entahlah, aku merasa hampa, dan permintaan maaf tersebut seperti tak berarti sekarang. Mas Ezran sudah terlambat menyesali semuanya. Kini, hatiku mulai hambar. Tak ada lagi perasaan cinta yang menggebu untuknya yang membuatku tergila-gila setiap waktu seperti dulu.Apalagi, hubungan antara Sinta dan suamiku tak mungkin diakhiri. Mas Ezran takkan mau dituntut untuk meninggalkan kekasihnya itu. Pun, aku tak tahu sudah sejauh mana hubungan di antara keduanya selama ini. Untuk dua orang dewasa yang saling mencintai, mana mungkin mereka tak melakukan hal-hal yang lebih gila. Mas Ezran bilang, ia dan Sinta hanya sebatas saling memeluk dan berciuman saja. Namun, aku sama sekali tak percaya dengan ucapannya. Hubungan antara dua orang dewasa yang sudah pernah saling mereguk kehangatan pasangan mana mungkin hanya sebatas berdekatan saja. Memikirkan itu, dada ini sem
7 tahun kemudian.“Sayang. Gimana anak-anak? Sudah ngasih tahu kalau mereka sebentar lagi punya adik?” kecup Mas Egi di puncak kepalaku dengan hangat.“Sudah, Mas. Tapi aku cemas. Aku kan sudah enggak muda lagi. Usiaku saja sudah lebih dari kepala empat. Gimana kalau aku tak bisa melahirkan normal?” ujarku sedikit khawatir. Pasalnya, kehamilanku sekarang sungguh tak biasa.Aku malah kebobolan dan hamil di usia pernikahanku yang menginjak tahun ketujuh. Apalagi, sekarang kami berdua sama-sama sudah tak muda lagi. Aku takut ini malah beresiko untuk janin di dalam kandunganku.Bahkan, Laras sekarang sudah berumur 24 tahun. Apa kata orang, bukannya dapat cucu malah memberikan adik lagi buat putra putri kami.“Tenang saja sih. Kan sekarang zamannya sudah canggih. Alat-alat penunjang kesehatan pun sudah lengkap. Jadi, kamu tak perlu khawatir. Semuanya pasti lancar. Tenang, ya,” ucap Mas Egi menenangkan.Awalnya, Laras memang terkejut dan syok akan mendapatkan adik di usia yang sudah sebesar
Semenjak semalam, memang tak ada yang berubah dari sikap Mas Egi. Dia tetap menjadi suami dan ayah yang hangat untuk anak-anak. Bahkan, karena kebiasaan Fian yang memanggil suami baruku ini dengan sebutan Abi, anak-anak lain mengikutinya. Sampai dengan, kepergian kami ke Singapura pun berjalan dengan lancar. Di sana, aku, Mas Egi serta anak-anak menginap di hotel yang hanya berjarak 15,66 km dari Bandar Udara Internasional Changi Singapura.Aku sengaja menyewa dua kamar, satu untukku dan Mas Egi, lalu kamar lainnya untuk anak-anak dan Kiki. Untunglah, di hotel ini tersedia kamar yang terdapat dua kasur dalam satu ruangan, sehingga cukup untuk tidur anak-anak. Bagaimana tidak, kami berangkat satu keluarga ditemani Kiki juga. Total semuanya sekitar tujuh orang. “Sayang. Kita istirahat dulu, yuk. Mama dan Abi juga sudah lelah,” ajak Kiki kepada anak-anak sesaat setelah kami tiba di hotel. Asisten rumah tangga yang sudah kuanggap keluarga sendiri itu pun seolah mengerti situasiku sekar
“Mama. Yeeey akhilnya Fian bisa ketemu Mama. Fian kangen, pengen peluk,” pekik Fiandra dengan aksen cadelnya. Putra semata wayang Mas Egi dan sekarang juga sudah menjadi anakku pun menghambur ke dalam pelukan. Dia melingkarkan tangannya ke leher sambil sesekali mencium pipi, mau tak mau aku juga mencium gemas pipi putra sambungku ini.“Mama cantik banget, kaya peri yang ada di buku,” celetuk Fiandra membuatku tersenyum. “Makasih. Fian juga hari ini ganteng,” jawabku.“Fahri ganteng enggak?” tanya Fahri yang masih memandang ke arahku dan Fian. “Ganteng dong. Fian sama Fadil sama-sama anak Mama yang ganteng. Kalau gitu, peluk dong.”Fadil kembali memelukku bersamaan dengan Fiandra. Aku bersyukur, Mas Egi tak keberatan kalau aku tetap mengasuh Fadil dan Ana serta mengadopsi mereka, menjadikan keduanya bagian dari keluarga kami sekarang. Mas Egi sama sekali tak keberatan, bahkan dia cukup senang kalau keluarga kami akan banyak anak-anak. Menurutnya, Ana dan Fadil, mereka sama-sama anak
“Bukannya Ezran mau minta rujuk sama kamu?” cetus Mas Egi dengan nada suara yang seperti kesal.Hah? Dari mana Mas Egi tahu niat sebenarnya mantan suamiku tadi datang? Atau ini hanya kebetulan saja?“Dari mana Mas Egi tahu?”Aku terhenyak mendengarkan ucapan dari Mas Egi. Penasaran bagaimana dia bisa tahu maksud Mas Ezran databg ke sini? Padahal, jelas-jelas tak ada dia saat mantan suamiku itu meminta rujuk tadi.“Tebakan saja. Lagi pula, kami ini sama-sama laki-laki, jadi bisa tahu apa yang ada di pikirannya,” ujarnya sambil menyalakan mobil dan fokus ke depan.“Hmmm ... tapi ... aku tak mungkin kembali lagi padanya.” Mas Egi menoleh, alisnya menukik tajam.“Kenapa? Bukannya kamu masih mencintainya? Aku takkan menghalangimu, kamu masih bisa memikirkan segalanya sebelum pernikahan kita terjadi dan semuanya terlambat,” ketusnya.“Maksud Mas Egi ini apa? Aku memang sudah memaafkannya, tetapi untuk kembali kepada Mas Ezran itu mustahil. Aku sama sekali sudah tak merasakan apa pun untuk
“Diminum dulu, Mas, tehnya,” ucapku demi mengurai ketegangan yang ada.Mas Ezran mengangguk, kemudian meneguk teh hangat yang dihidangkan Kiki tadi. Menyesap kemudian meminumnya beberapa tegukan.“Jadi, berita rencana pernikahan kalian yang kudengar beberapa hari yang lalu di kantor polisi itu benar? Maaf, aku tak sengaja mendengar obrolan bawahan Mas Egi di sana saat menanyakan kasus Sinta.”“Iya, Mas. Aku dan Mas Egi memang memutuskan untuk menikah. Kami berdua sudah mendaftarkan surat-surat izin sebagai persyaratan. Hari ini, Mas Egi dan aku akan menghadiri sidang BP4R untuk mendapatkan pemberian izin nikah dari atasan Mas Egi,” jelasku.“Apa kamu yakin untuk menikah dengannya?” tanya Mas Ezran tiba-tiba. Membuatku sontak memandang heran.“Maksud Mas Ezran apa?” “Apa tak ada kesempatan kita ... untuk kembali lagi, Ras?” Akhirnya, aku tahu maksud pertanyaan Mas Ezran. Dia ingin memintaku untuk rujuk dan kembali berumah tangga kembali dengannya.Jujur, setelah semua yang telah terj
“Nyonya. Ada Pak Ezran datang,” panggil Kiki ketika aku tengah merias diri karena habis mandi.“Suruh masuk, Ki. Sebentar lagi aku ke sana. Oh iya, Bi. Laras masih belum berangkat, kan?”“Belum nyonya. Non Laras masih nunggu temannya di teras,” jelas Kiki. Pasalnya, putriku itu akan pergi bersama Alisa untuk kerja kelompok. Untuk Mas Ezran, aku tak tahu ada perlu apa dia datang ke rumah ini hendak menemuiku. Mungkin saja, ada kepentingan tentang Laras yang mendesak sehingga harus mengobrol denganku. Biasanya, mantan suamiku itu hanya mampir ke rumah untuk menemui Laras saja. Itu pun tak lama, mampir sebentar lalu Mas Ezran dan putriku akan pergi keluar bersama-sama. Mungkin saja menghabiskan waktu berdua yang jarang dilakukan karena kesibukan mantan suamiku itu.Tak seperti biasanya, seminggu bisa meluangkan waktu dua kali untuk bertemu dengan Laras, sekarang dia hanya datang dua minggu sekali. Lalu, sekarang Mas Ezran berniat menemuiku? Sebenarnya ada apa?“Ya sudah, Ki. Sebentar
Aku dan Mas Egi yang tengah sibuk dengan pikiran masing-masing tersentak mendengar panggilan dari Dokter yang baru saja keluar ruangan operasi. Mas Egi langsung berdiri dan menghampiri serta mencecar Dokter tersebut, menanyakan keadaan Tante Ambar sekarang. “Tenang Pak Egi. Tenangkan diri dulu,” ujar dokter tersebut dengan raut wajah lelah dan sendu. Pria yang usianya seperti tak jauh denganku itu menghela napas panjang. Tiba-tiba saja firasatku tak enak. “Ibu Ambar mengalami luka robek yang cukup parah dan telah mengeluarkan darah dengan banyak, beliau telah berusaha berjuang untuk sembuh. Kami pun pihak medis rumah sakit ini telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan beliau, tetapi Tuhan berkehendak lain. Bu Ambar tak bisa bertahan lagi dan mengembuskan napas terakhirnya sesaat setelah operasi berjalan dengan lancar,” papar Dokter tersebut .Dunia seketika mendung. Mas Egi langsung berlari dan Masuk ke dalam ruangan operasi. Aku kembali terduduk dengan lemas di kursi. I
“Rasti, Tante sudah menganggapmu putri kandung sendiri,” ucapnya dan langsung terjeda karena Tante Ambar terlihat meringis kesakitan.Aku dan Mas Egi bahkan meminta dokter kembali menanganinya, tetapi segera dihentikan oleh Tante Ambar. Beliau tetap kekeh memintaku untuk mendengarkan ucapannya.“Tante takut ini ucapan Tante yang terakhir buat kamu,” bisiknya dengan suara yang semakin lemah.“Bisakah Tante meminta satu hal terakhir kepadamu, Ras?”Aku tak kuasa menahan pilu melihat keadaan wanita yang sudah kuanggap pengganti orang tuaku ini, dengan air mata yang semakin merebak, aku mengangguk dan siap mendengarkan apa yang hendak Tante Ambar ucapkan. “Tante ingin kamu menjaga Fiandra. Satu lagi, Ras. Bisakah kamu menerima cinta Egi dan menikah dengannya? Dengan begitu, kamu bisa dengan leluasa menjaga Fiandra, begitu pun Laras tak perlu lagi menerima orang baru sebagai Papa sambungnya. Dia juga sudah setuju kalau kamu menikah lagi, apalagi dengan Egi. Laras sangat senang dan setuju
Aku terduduk dengan lemas sambil memangku Fiandra. Begitu pun Mas Egi. Kami berdua tak bisa berkata-kata melihat keadaan Tante Ambar.“Mas. Apa Tante Ambar akan baik-baik saja?” tanyaku kepada Mas Egi yang saat ini tengah menutup wajah dengan telapak tangannya. Terlihat sekali kekalutan di wajah pria itu.“Semoga saja, Ras,” gumamnya lirih.Hening, kami berdua hanya diam setelahnya sambil menimbang-nimbang pertanyaan yang harus kusampaikan kepada Mas Egi.“Mas ....”Sepupuku itu bergumam dan mengangkat wajahnya memandangku. “Apa yang Tante Ambar katakan benar?”Mas Egi mengangguk, dia tersenyum masam. “Iya. Tapi ... lupakan saja, Ras. Aku tak mungkin memaksamu untuk menerimaku, bukan? Mama memang yang mengatakan perasaanku sebenarnya kepadamu. Tapi ... aku paham jika kamu memang belum siap menerima pria lain untuk menjadi suami. Tenang saja, aku akan berusaha untuk mengubur perasaan ini.” Ucapan Mas Egi terdengar menyakitkan. Benarkah dia sungguh memiliki perasaan padaku? Bukankah