“Papi what are you doing at here?” tanya Jessen saat melihat Vero duduk mengemper di depan pilar rumah mereka. Mereka baju saja turun dari mobil untuk masuk ke dalam rumah. “Your Mami kabur, Jes.” “Kabur?” Pekik Jessen dan Mian bersamaan. “Maksud Daddy Mami missing?” Mian mengubah perbendaharaan Vero pada kata yang ia mengerti. Bodohnya Vero malah menjelaskan jika kabur dan hilang adalah dua kata yang berbeda meski sama-sama membuat Stefany tidak terlihat di mata mereka. “Confused Papi.. Nggak ada yang lebih simpel dari itu semua ya?” tawar Jessen. Masalahnya dia tidak sepintar Mian yang sudah mengangguk-anggukan kepalanya. Saudara kembarnya tersebut cepat sekali paham, tidak seperti dirinya yang terkadang cukup lemot dalam berpikir. “Mian, jelasin ke aku dong. Nanti aku bagi coklat yang dikasih Mami tadi.” “Jadi begini, Mami pergi. Intinya gitu.” Padat, jelas dan mudah sekali dicerna. Vero saja sampai melongo. Tenang, bukan karena putranya yang lebih pandai dalam menjelaskan dudu
Stefany terbatuk hebat. Seperti ada seseorang yang tengah membicarakan dan mengumpatinya sehingga membuatnya tersedak. “Vero pasti lagi maki-maki gue ini!” decaknya sebelum melirik ke arah Clara yang duduk dihadapannya. “Stef.. Pelan-pelan aja. Masih panas itu.” ucap Clara sembari mengangsurkan tisu ke tangan Stefany yang terbebas dari cangkir teh. Wanita itu memanggil asisten rumah tangganya, meminta agar minuman Stefany diganti dengan yang dingin. “Buatin baru ya Mbak, pakaiin es. Tambahin ekstrak camomile biar Bu Stef rileks.” “Baik Bu.” “Nggak perlu repot Cla. Sebentar lagi Siti juga telepon buat ngabarin.” Stefany telah meminta Siti untuk memesan kamar di dekat sekolah anak-anaknya. Ia bukan ibu yang buruk dengan meninggalkan mereka begitu saja. Setiap hari nanti ia akan menemani si kembar sekolah. Memastikan dua anaknya baik-baik saja. “Kayaknya cara gue agak salah ya, Cla?” tanya Clara hati-hati. Dirinyalah yang merekomendasikan agar Stefany menghilang terlebih dahulu untuk
Stefany menekuk wajahnya kala suara Vero mengisi dinding-dinding rumah Justine. Wanita itu membatin, mengapa suaminya cepat sekali sampai. Ia masih betah mengistirahatkan diri bersama sahabatnya– membahas langkah-langkah jitu tentang mengoptimalkan cara mengantisipasi gangguan orang ketiga dalam pe-rumah tanggaan. Mereka belum selesai bertukar pikiran. Beberapa strategi sedang disusun dan pria itu keburu sampai di rumah Justine. Ralat!Rumah milik Clara yang dikepalai oleh Justine sekarang. Secara tidak sengaja, Justinelah kepala keluarga yang tersisa di rumah tersebut. Semua orang tahu, pemilik utamanya sudah meninggal cukup lama. Memang keberuntungan Justine. Lepas dari bayang-bayang kursi nomor dua Darmawan lalu mendapatkan anak tunggal yang ditinggal pergi selamanya orang tuanya. “Kids.. Itu Mami kalian. Jangan nangis lagi. Peluk Mami biar nggak pergi-pergi.” Dari ekor matanya, Stefany dapat melihat telapak tangan Vero mendorong pelan tubuh putra-putra mereka. Sepertinya ia tela
“Bubuy?!” Vero mengulang kembali panggilan yang anaknya semangatkan untuk Princess. Monolog ini sukses membuat Stefany yang tengah membersihkan wajahnya menghentikan rutinitas hariannya. Wanita itu bergegas membalikan tubuhnya, menatap Vero nyalang dari tempatnya duduk– kursi di depan meja rias."Pi! Udah! Mami mual dengernya!" Stefany menjadi sangat kesal sendiri. Ia kira kelakuan alay Vero tidak akan menurun pada putranya yang satu itu. Dirinya pikir cukup Mian saja, tetapi nyatanya Tuhan begitu adil dalam menciptakan keturunan para manusia. Setiap pembagiannya ternyata mengalirkan percikan-percikan kenajisan Vero. "Bocah loh mereka, bisa-bisanya udah ada panggilan khusus gitu. Mana najisin lagi!" "Ya kelakuan anak Mami!" Stefany berdecak. Ia bangkit lalu menjejalkan kapan ditangannya ke mulut Vero. "Karena gue bikinnya sama lo, makanya kelakuannya pada nggak ada yang bener!" murkanya membuat Vero mendelik. Saat ini telah terjadi kekerasan dalam rumah tangga, dan pelakunya sudah
“End..” Vero membekap bibir Jessen. Pria yang sigap membungkuk demi menyabotase mulut laknatnya itu menggigit bibirnya sendiri sebelum mengangkat tubuh sang putra. “Papi.. Papi why.. Ada en..” “Diem Jessen. Kamu nggak liat ada Abangnya Achel disana. Nanti kamu ditembak!” Vero membawa Jessen kembali ke dalam mobil meninggalkan istri, Siti dan anaknya yang lain. Ditempatnya berdiri, Stefany juga tak dapat menahan ketakutannya. Ia berdoa dalam hati semoga saja pria yang mengantarkan Machellia ke sekolah hari ini itu tidak mendengar teriakan Jessen. Hilang ditelan bumi bisa-bisa mereka. Hanya mengetahui ceritanya dari mulut Vero dan Justine saja, ia bisa mengerti se-berdarah dingin apa manusia bernama Marchellino Darmawan tersebut. ‘Dari ceritanya aja nyeremin. Padahal wajahnya glowing ganteng banget,’ batin Stefany menyayangkan sikap arogan pria yang hanya ia nilai dari sebuah cerita belaka. “Achell.. Abang harus ke rumah sakit cepet. Nanti nggak bisa jemput. Papi yang akan gantiin Ab
Refreshing..Vero membutuhkannya. Beberapa waktu ini mentalnya seakan terus diuji layaknya granat milik Kesatuan Militer. Bom-bom berisikan petaka terus saja dilemparkan tanpa jeda membuat jiwa dan raganya lelah. “Hamba capek Loorrddd! Mau jadi tumbuh-tumbuhan aja!” teriak Vero di depan pintu rumah Justine. Tujuannya membolos kerja dan meninggalkan kursi pimpinan ke tangan sekretaris semlohay-nya adalah untuk berguru pada satu-satunya manusia yang tidak takut dengan Marchellino Darmawan.The one and only– Clara Dirgantara yang terhormat. Ia telah berunding dengan Stefany tentang bagaimana caranya menyelamatkan masa depan suram putra kedua mereka. Jerat jaring yang ditebarkan oleh penyihir ala-ala itu terlalu kuat. Jaring-jaringnya dilindungi mantra terkuat bernama Marchellino. Jadi diperlukan orang yang sama kuatnya dengan pria muda nan cemerlang itu. Menarik napasnya dalam, Vero menyiapkan amunisi pada pita suaranya. “Claraaa!!!” jeritnya memanggil istri Justine yang sekarang sudah
"Kenapa?!" tanya Clara kembali menyulut emosi Vero yang tertunda. "Nggak usah sok perhatian deh lo, Cla!" jawab Vero sengit. "Tadi aja lo santai kayak dipantai waktu gue curhat!" Clara memutar bola matanya. Ciri khas Vero sejak lama memang– dikasih jantung, malah ujungnya minta diberikan ginjal sebagai pengganti. Clara yang tak lagi heran hanya bisa berdiam diri. Semakin ditanggapi, sahabat rasa ani-ani suaminya akan semakin menjadi. Kalau kata ibu mertuanya yang waras mengalah saja agar terlihat perbedaannya. "Bini gue masa katanya pingsan, Cla." Tanpa Clara ulik lebih dalam, Vero menceritakan apa isi pembicaraan yang baru saja dirinya lakukan bersama Fendi."Tumben lo nggak panik?!" "God! Lo bener juga!" pekiknya heboh. Vero segera berlari. Pria itu berteriak sembari melangkahkan kaki keluar dari rumah milik Clara. "Mamiii! Papi on the way!" Entah kepada siapa pria itu berbicara. Orang-orang Clara hanya memandangnya tanpa minat. Sudah biasa hal tersebut terjadi jika sahabat Tuann
"Vero memainkan kerikil yang ada di bawah kakinya. Ia tak menyangka jika sang istri benar-benar tengah berbadan dua. Nakal sekali angry birdnya sampai membuat istrinya kembali mengandung buah cinta mereka. Bukan apa-apa.. Masalahnya si kembar masih aktif-aktifnya dalam memecahkan kepala. Persoalan dengan Marchellino saja belum mereka bereskan, ini malah ditambah calon buah hati baru yang pastinya juga akan meresahkan. Nikmat mana lagi yang ingin Vero dustakan. Mau undo takdir, sudah jadi hasil begadang satu malamnya. Masa iya mau berdoa buruk untuk calon buah hatinya. Ia bukanlah ayah yang durhaka walau terkadang Mian dan Jessen berniat tukar tambah orang tua. “Papiii!!” Lambaian tangan Jessen membuat Vero yang menunduk menengadahkan wajahnya. Vero menegakkan tubuhnya, mengeluarkan telapak tangannya dari saku celana jeans yang dirinya kenakan. “Nggak usah lari!” teriak Vero. Jessen dan Mian langsung menghentikan langkah mereka. Beruntung keduanya bisa menjaga keseimbangan sehingg