“Kamu nggak pakai peniti dan gunting lipat yang Ibu berikan tadi pagi, Wa?”
Akhirnya pertanyaan keluar dari mulut beliau setelah sekian lama mengoreksiku.Sudah pasti, rasaku ingin meledak dibuatnya. Kenapa harus membahas hal itu lagi sih? Aku hanya ingin ke kamar dan menenangkan perasaanku saja. Bukan justru ditambah dengan pertanyaan seperti ini.“Ada kok, Bu. Tadi aku lihat Salwa menyimpannya di dalam tas,” jawab mas Lutfan.“Kenapa nggak dipakai?”“Kata siapa, Bu? Dari tadi Salwa memakainya terus. Ini saja sudah di rumah. Jadi, tadi di mobil sengaja dicopat untuk disimpan di dalam tas.” Mas Lutfan yang selalu menjawab pertanyaan beliau. “Yuk Dek, kamu ngantuk ‘kan?”Meski aku mendiamkannya, ternyata mas Lutfan masih saja perhatian. Dia menyelamatkanku dari intrograsi yang dilakukan oleh ibu mertua.Kami kembali berjalan menuPOV Ibu Mertua****Setelah Lutfan dan Salwa pergi. Segera kuhampiri Eliza yang masih muntah di dalam kamarnya. Jarak haid terakhir Salwa dan Eliza tak terlalu lama, sudah pasti Eliza pun hamil. Sungguh senang jika memang seperti itu. Sudah akan punya cucu, kini tahap terakhir akan segera kulakukan.Menumbalkan janin yang ada di dalam rahim Eliza adalah sebuah pungkasan yang akan membuat uang yang didapat Lutfan berlimpah ruah. Kebahagiaanku ternyata berlipat-lipat.Waktu itu pun Eliza bersedia akan melakukan tahap ke dua. Dia memang wanita yang cerdas dan baik hati. Dia bisa memilih kesempatan emas yang sedang menghampirinya.Setelah ritual menumbalkan janin, mungkin dalam waktu dua bulan aku hanya mengandalkan penglaris yang berasal dari tanah kuburan itu saja. Eliza harus pulih dulu dan baru boleh berhubungan lagi dengan Lutfan. Setelahnya uang akan kembali mengalir dengan derasnya. Atau mungkin proses itu tidak m
“Benar-benar ya, Mas? Kita setiap hari harus bersandiwara seperti ini. Setiap hari harus berbohong. Huft!”Kami sudah ada di dalam mobil. Aku menghela napas seraya mencopot peniti itu. Sudah aman sekarang. Tak ada lagi sandiwara yang akan kami lakukan. Tenang untuk beberapa waktu ke depan.“Iya Dek. Kalau kita jadi artis sudah pasti akting kita akan mendapat penghargaan ya? Hehe.”“Huh! Kamu ini. Capek tau Mas. Setiap hari harus kucing-kucingan sama Ibu. Ibu itu kenapa juga masih percaya sama hal semacam itu sih. Tradisi sih memang. Tapi, ah … sudahlah. Percuma saja kalau mengeluh. Ibu pasti tetap akan keras kepala.”“Dek, maafin aku banget ya? Masa selama ini aku belum bisa membahagiakanmu ya? Ck! Payah!”Tak kuduga, ternyata mas Lutfan menyalahkan dirinya sendiri. Padahal aku hanya sedikit mencurahkan sedikit perasaanku saja.“Nggak gitulah, Ma
POV Eliza****Kebetulan ada bu Yuni di dapur. Selama sebulan ini aku benar-benar merasa sangat rindu dengan sentuhan mas Lutfan. Kandunganku kini sudah tiga bulan lebih, mungkin boleh jika aku meminta izin untuk melakukan ritual itu kepada beliau. Toh dengan begitu, tokonya mas Lutfan akan kembali ramai.“Bu maaf, aku sudah hamil tiga bulan. Emmm … apa boleh melakukan ritual itu lagi?”Aku sedikit ragu mengatakannya. Namun, karena gairahku yang sangat tinggi, akhirnya kuberanikan saja untuk mengatakannya.“Kamu sudah nggak sabar ya?” ucap bu Yuni seraya tersenyum.Aku tersipu karenanya. Tapi tak mengapa, memang itu yang sedang kurasakan saat ini. Kami saling menguntungkan. Jadi, tak ada yang akan merugi.“Iya Bu, maaf.”Tak enak rasanya, namun tetap kuberanikan saja.“Ya sudah, taruh saja air mawarnya. Hati-hat
“Dek, temanku akhirnya ada yang mau membantu kita untuk menyelidiki kasus tanah kuburan.”“Beneran Mas?” tanyaku lumayan terkejut. Mengingat sudah beberapa kali banyak yang menolak tawaran itu.Kami sudah ada di toko. Meski hari ini sangat ramai, aku dan mas Lutfan menyerahkan sepenuhnya kepada karyawan yang ada. Kami sengaja membahas rencana untuk segera melakukan penyelidikan. Semakin lama rasanya semakin tak tenang. Bukan hanya memikirkan diri sendiri. Kami pun memikirkan keselamatan karyawan yang sudah berkomitmen bekerja di sini.“Iya Dek. Afif, dia mau melakukannya. Tapi dua mingguan lagi, dia baru longgar, Dek. Gimana?”“Ya, daripada nggak ada yang mau. Ya udah, Mas. Nggak apa-apa. Dua minggu pasti nggak lama kok.”“Penyelidikan kayak gitu nggak langsung sekali jadi ‘kan, Dek? Harus benar-benar diselidiki sampai menemukan keterangan yang benar-benar val
POV Lutfan****“Fan, jalannya pelan-pelan ya? Takut Eliza kenapa-kenapa.”Aku mengernyitkan kening saat mendengar perkataan ibu yang sangat perhatian kepada Eliza.“Memangnya Eliza kenapa? Sakit?”Pastilah aku penasaran kenapa ibu bisa sampai seperhatian itu. Tapi kalau sakit sepertinya tidak mungkin. Masa sakit dibawa ke rumah bibinya.“Nggak sih, Fan. Cuma hati-hati saja. Takut kenapa-kenapa aja sih kalau bawa mobilnya ngebut.”“Kayak biasanya paling, Bu. Biar cepat sampai. Aku langsung pulang lho. Nggak ada penawaran yang lain.”Harus selalu kuingatkan, agar beliau tak lupa dengan perkataannya sendiri.“Iya, kamu langsung pulang. Gampang kalau sudah selesai Ibu telpon kamu.”“Apa yang selesai, Bu?”“Urusan Ibu dong, Fan.”Sebenarnya ur
POV Ibu Mertua****Tanganku membimbing Eliza pergi menuju ke rumah bu Susi. Aku merasa khawatir jika terjadi apa-apa pada kandungannya. Makanya, kuperlakukan Eliza dengan sangat hati-hati. Kalau terjadi apa-apa pada janin yang sedang dikandungnya, rugi bandar dong jadinya.Aku melakukan segala hal untuk menanti hal ini, malah menjadi sia-sia. Itu tidak boleh terjadi.“Kamu siap ‘kan, Za?” tanyaku sembari berjalan menuju ke pintu rumah.“Iya Bu, pastinya. Ini ‘kan yang Ibu tunggu-tunggu.”Dia tersenyum. Sepertinya dia sama sekali tidak memikirkan tentang anaknya yang sebentar lagi akan menghilang. Dari raut wajahnya tidak melihatkan kesedihan. Bagus sih, tapi perasaanku sedikit tak tega saat membayangkan jika posisiku menjadi dirinya. Anak sendiri harus ditumbalkan. Namun, aku terpaksa melakukan ini untuk kebahagiaan Lutfan kelak. Toh, dia sudah kubayar mahal.
“Sudah hampir jam sebelas, mas Lutfan belum pulang juga? Katanya hanya antar saja. Kok lama ya?”Aku bergumam sendiri di ruang tamu. Pandanganku melihat ke luar jendela, menanti datangnya mobil yang membawa mas Lutfan. Mereka berangkat sekitar pukul setengah Sembilan, perjalanan hanya memakan waktu setengah jam. Jika bolak-balik hanya butuh waktu satu jam saja. Namun, mas Lutfan masih belum terlihat batang hidungnya.“Wa saja deh.”Baru akan mengetikan pesan di dalam gawai, mobil mas Lutfan memasuki halaman rumah. Sudah pasti kuurungkan niat untuk menghubunginya.“Itu dia,” gumamku. Tanganku kembali meletakan gawai ke atas meja.Aku berjalan menuju ke garasi tempat mas Lutfan memarkir mobilnya.“Mas!” panggilku.Dia baru saja turun dan menutup pintu mobilnya. Saat mendengar panggilanku, seketika menoleh ke arahku.“Iya Dek. Kam
Drrrtt, drrtt, drrrttt ….Gawai mas Lutfan terus bergetar, tumben tidak ada nada deringnya. Mungkin sedang banyak telepon yang masuk, jadi dia memilih mode getar saja.“Halo, assalamu’alaikum! Kenapa Bu?” sapa mas Lutfan pada seseorang yang sedang meneleponnya. Sepertinya orang itu adalah ibu mertua.“Oh, udah mau pulang? Katanya malam. Ini baru jam empat sore lho?” lanjutnya.Aku tak bisa mendengar percakapan mereka. Hanya suara mas Lutfan saja yang kudengar.“Iya, iya … aku jemput ke situ. Tunggu saja. Assalamu’alaikum.”Wah, singkat bener. Padahal gawainya dari tadi bergetar lama. Pas diangkat begitu saja.“Jemput ibu, Mas?” tanyaku.“Iya Dek, ikut yuk.”Tentu saja aku terkejut. Seketika bergeming dan dahi mengerut. Serta memandang mas Lutfan dengan tatapan heran.&ld
“Dek, Zidan belum bangun?”Pertanyaan yang wajib bagi mas Lutfan saat pagi hari. Setelah menyelesaikan sholat subuh, dia akan menghampiriku dan mempertanyakan hal tersebut.“Belum dong, Mas. Tau sendiri ‘kan? Jadwal Zidan bangun pagi jam berapa? Agak siang biasanya.”“Hehe, tau sih. Kalau nggak tanya rasanya ada yang kurang, Dek.”“Kamu ini, Mas.”Aku sudah ada di dapur memasak untuk sarapan mumpung Zidan—anak kami masih terlelap tidur.“Dek, ternyata enak ya punya rumah sendiri. Bisa bermesraan dimana aja. Hehehe,” ucapnya seraya memeluku dari belakang.“Iya ‘kan? Kamu suka ‘kan, Mas?”“Iya Dek. Lebih enak kayak gini. Bebas, hati juga tenang.”“Tapi Mas, apa kamu mau memeluku begini terus? Aku mau masak dulu lho, mumpung Zidan belum bangun. Kalau bangun m
Cklek!Mas Lutfan membuka pintu.“Ayo, kalian langsung saja masuk ke rumah.”“Iya Fan, kami bermaksud datang ke sini kalau sudah pagi. Ternyata kamu menelponku untuk segera datang ke sini. Kebetulan, kami sudah mendapatkan bukti dan jawaban atas penyelidikan ini.”“Bagus, Fif. Sekalian jelaskan di depan kami semua. Ada kejadian lain yang harus kuusut agar semua menjadi bertambah jelas. Ayo masuk dulu.”“Iya, ini sekalian aku bawa tersangka yang menaburkan tanah kuburan itu, Fan.”Mereka memasuki ruang tamu. Semua sudah berkumpul.“Bu Susi … ada apa ini? Kenapa Bu Susi datang dengan teman-teman Lutfan?”Wajah ibu mertua terlihat sangat khawatir. Apa semua akan terbuka hari ini? Ya, semoga saja semua terungkap. Aku capek dengan apa yang sudah terjadi.“Aku sudah ngomong ‘kan, Bu. Ibu akan men
Tok, tok, tok!Kencang mas Lutfan mengetuk pintu kamar ibu mertua. Wajahnya benar terlihat sangat marah. Apa dia jujur dan tidak membohongiku?“Ibu! Keluar!”Suara mas Lutfan sangat lantang. Tangannya tak henti menggedor pintu kamar beliau.Cklek!“Ada apa ini, Fan? Kenapa tengah malam begini kamu berisik banget sih?”Sepertinya ibu mertua sudah bangun tidur dari tadi. Wajahnya tidak memperlihatkan jika beliau baru saja bangun, matanya sudah terlihat segar.“Bu jelaskan segala yang Ibu perbuat pada kami. Maksud Ibu apa?”“Maksud kamu apa sih? Ibu nggak paham dengan semua ucapanmu.”Tangan mas Lutfan meraih lengan Eliza. Dia melemparnya kehadapan ibu.“Eliza! Bicara sama Ibu!”“Maksud kamu apa sih, Fan? Eliza kenapa?”“Ada apa ini?”Ba
Aku berjalan menyusuri setiap ruangan. Mataku fokus mencari keberadaan mas Lutfan.“Dimana dia? Sebenarnya apa yang sedang terjadi?”Dari ruang tamu sampai ke ruang tengah sudah kutelusuri, tidak ada batang hidungnya di sana. Aku semakin gusar.“Kamu dimana sih, Mas?”Sepanjang langkah ini, mulutku terus bergumam. Kini aku melangkah ke dapur. Entah mengapa langkahku justru tertuju ke kamar Eliza.“Kenapa aku berjalan ke sini sih?”Telingaku samar mendengar suara seseorang yang sedang mendesah. Kepalaku menjadi berpikir yang bukan-bukan. Apa mungkin mas Lutfan ada di dalam kamar ini? Dia yang setia apa mungkin melakukan perzinahan di belakangku? Lemas rasanya jika semua benar terjadi.Tanganku mencoba memutar gagang pintu. Siapa tahu pintu ini tidak dikunci. Rasa penasaranku terpanggil dan ingin segera mengetahui apa yang terjadi di dalam kamar.
POV Afif****Mobilku mulai memasuki halaman rumah bu Susi yang memang cukup luas. Damar yang dari tadi di belakang mobil kini memarkirkan motor di depan kami.“Ayo turun,” ucap Hari pada pak Dito.Terlihat jelas jika dia sangat ragu dan tidak ingin turun dari mobil.“Aku takut, Pak.”“Nggak usah takut. Dia polisi. Pasti akan menggunakan jalur hukum. Ayo turun. Nggak usah takut,” ucapku.Dengan raut wajah yang terlihat khawatir, akhirnya dia mau turun juga. Kami turun dari mobil. Ada Damar yang sudah menunggu kami.“Lama banget,” protesnya.“Dia takut, Mar.”“Oh, ada pak polisi, nggak usah takut. Ayo, Pak Dito jalan di depan.”Dengan begitu, pak Dito memandu jalan kami. Tangannya masih terborgol. Kami tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, lebih baik sem
POV Afif****“Bagus kamu bisa ikut sama kami, Har. Kita tunggu beberapa saat lagi, pasti orang itu akan muncul.”Kami sudah berada di dalam mobil. Kini kami tidak membawa motor. Ada Hari—teman polisiku juga yang sekarang ikut dalam penyelidikan. Aku sudah berbicara dengan Lutfan sebelumnya, dia sangat setuju dan ingin langsung diusut.“Iya, aku jadi ikut penasaran. Buat apa ada orang yang menabur tanah kuburan di depan toko seperi itu. Mendengar ceritamu saja, aku jadi ingin tau alasannya apa.”“Kamu ini ‘kan aparat keamanan, aku jadi merasa aman kalau melakukan penyelidikan kayak gini. Kalau Cuma aku dan Damar kayaknya kurang gereget.”“Iya, tapi ‘kan aku nggak pakai seragam. Pasti dia mengira aku orang biasa saja, bukan polisi maksudnya.”“Nggak apa-apa. Yang penting kami tau kamu siapa. Hehe.”
Waktu bergulir begitu cepat. Toko kami masih laris seperti biasa. Ya, tentunya bertambah banyak orang yang datang membeli di toko kami. Sudah beberapa kali juga, ada uang yang tiba-tiba muncul di dalam laci. Jumlahnya pun lumayan besar, sekitar lima jutaan. Seperti awal kejadian ini dimulai. Kami tak percaya, namun kejadian itu benar terjadi di depan mata kepalaku sendiri. Hanya ditinggal sebentar saja, sudah ada segepok uang yang muncul di sana.Hari ini malam ju’mat. Saatnya Afif dan temannya beraksi kembali. Semoga saja dia menemukan jawabannya malam ini juga. Semua menjadi gamblang dan tak ada lagi kecurigaan.“Dek, malam ini penyelidikan ke dua. Semoga semua lancar dan mendapat jawabannya ya? Aku mau hidup tenang. Masalah ini selesai. Uang aneh yang tiba-tiba muncul, bisa terjawab juga. Aku nggak mau nafkah yang kuberikan padamu dan anak kita nggak halal, Dek. Aku nggak mau.”“Iya Mas, semoga saja penyelidikannya la
Seperti pagi-pagi biasanya, aku akan bangun lebih dulu. Mas Lutfan tak akan mau bangun meski alarm berdering sangat nyaring. Sama sekali tak mengganggu tidurnya. Jadi heran, ada orang yang seperti itu.“Mas, bangun dong. Udah tambah siang lho. Ayo sholat subuh dulu.”Aku mengucapkannya di dekat telinganya. Dia suka kalau aku melakukannya. Semoga saja masih mempan dan mau cepat bangkit dari kasur.“Iya Sayang … udah pagi aja ya?”Untung saja, dia langsung sadar. Jurus itu, ternyata masih manjur.“Iya, ayo bangun. Mandi sekalian biar segar.”“Lho, kan tadi malam kita nggak begituan, Dek. Kamu katanya capek, jadi aku nggak tega. Masa harus mandi sekarang.”“Biasanya juga gitu ‘kan? Mau habis itu atau nggak, ya kita mandi.”“Apa iya, Dek? Kamu nggak gitu lho? Kadang juga nunggu selesai masak baru mandi.&rdq
POV Afif****“Mar, buruan. Ntar malah orangnya jadi curiga.”“Iya, ini mau turun.”Dengan sangat berhati-hati, Damar turun dari mobil. Dia sengaja menuntun motor menjauhi mobil sebelum menyalakannya. Takutnya, orang tadi justru melihat lagi ke arah kami.Damar sudah lumayan menjauh dariku. Kini dia menyalakan motornya, menyelinap agar tak ketahuan. Sedangkan aku, menunggu orang itu benar-benar menyalakan motornya dan mencari jarak aman untuk membututinya. Ada Damar yang sudah siap sedia, dia akan langsung membuntuti orang itu dengan bergerilya.“Lho, malahan ngerokok dulu.”Aku geregetan saat mengetahui orang itu justru santai menghisap rokoknya. Dia santai sekali, apa nggak mau cepat-cepat pulang?“Eh, kamu sembunyi dimana? Dia malah ngerokok.”Damar memasang earphone di telinganya. Kami terhubung dengan sambun