POV Ibu Mertua
****
Setelah Lutfan dan Salwa pergi. Segera kuhampiri Eliza yang masih muntah di dalam kamarnya. Jarak haid terakhir Salwa dan Eliza tak terlalu lama, sudah pasti Eliza pun hamil. Sungguh senang jika memang seperti itu. Sudah akan punya cucu, kini tahap terakhir akan segera kulakukan.Menumbalkan janin yang ada di dalam rahim Eliza adalah sebuah pungkasan yang akan membuat uang yang didapat Lutfan berlimpah ruah. Kebahagiaanku ternyata berlipat-lipat.Waktu itu pun Eliza bersedia akan melakukan tahap ke dua. Dia memang wanita yang cerdas dan baik hati. Dia bisa memilih kesempatan emas yang sedang menghampirinya.
Setelah ritual menumbalkan janin, mungkin dalam waktu dua bulan aku hanya mengandalkan penglaris yang berasal dari tanah kuburan itu saja. Eliza harus pulih dulu dan baru boleh berhubungan lagi dengan Lutfan. Setelahnya uang akan kembali mengalir dengan derasnya. Atau mungkin proses itu tidak m“Benar-benar ya, Mas? Kita setiap hari harus bersandiwara seperti ini. Setiap hari harus berbohong. Huft!”Kami sudah ada di dalam mobil. Aku menghela napas seraya mencopot peniti itu. Sudah aman sekarang. Tak ada lagi sandiwara yang akan kami lakukan. Tenang untuk beberapa waktu ke depan.“Iya Dek. Kalau kita jadi artis sudah pasti akting kita akan mendapat penghargaan ya? Hehe.”“Huh! Kamu ini. Capek tau Mas. Setiap hari harus kucing-kucingan sama Ibu. Ibu itu kenapa juga masih percaya sama hal semacam itu sih. Tradisi sih memang. Tapi, ah … sudahlah. Percuma saja kalau mengeluh. Ibu pasti tetap akan keras kepala.”“Dek, maafin aku banget ya? Masa selama ini aku belum bisa membahagiakanmu ya? Ck! Payah!”Tak kuduga, ternyata mas Lutfan menyalahkan dirinya sendiri. Padahal aku hanya sedikit mencurahkan sedikit perasaanku saja.“Nggak gitulah, Ma
POV Eliza****Kebetulan ada bu Yuni di dapur. Selama sebulan ini aku benar-benar merasa sangat rindu dengan sentuhan mas Lutfan. Kandunganku kini sudah tiga bulan lebih, mungkin boleh jika aku meminta izin untuk melakukan ritual itu kepada beliau. Toh dengan begitu, tokonya mas Lutfan akan kembali ramai.“Bu maaf, aku sudah hamil tiga bulan. Emmm … apa boleh melakukan ritual itu lagi?”Aku sedikit ragu mengatakannya. Namun, karena gairahku yang sangat tinggi, akhirnya kuberanikan saja untuk mengatakannya.“Kamu sudah nggak sabar ya?” ucap bu Yuni seraya tersenyum.Aku tersipu karenanya. Tapi tak mengapa, memang itu yang sedang kurasakan saat ini. Kami saling menguntungkan. Jadi, tak ada yang akan merugi.“Iya Bu, maaf.”Tak enak rasanya, namun tetap kuberanikan saja.“Ya sudah, taruh saja air mawarnya. Hati-hat
“Dek, temanku akhirnya ada yang mau membantu kita untuk menyelidiki kasus tanah kuburan.”“Beneran Mas?” tanyaku lumayan terkejut. Mengingat sudah beberapa kali banyak yang menolak tawaran itu.Kami sudah ada di toko. Meski hari ini sangat ramai, aku dan mas Lutfan menyerahkan sepenuhnya kepada karyawan yang ada. Kami sengaja membahas rencana untuk segera melakukan penyelidikan. Semakin lama rasanya semakin tak tenang. Bukan hanya memikirkan diri sendiri. Kami pun memikirkan keselamatan karyawan yang sudah berkomitmen bekerja di sini.“Iya Dek. Afif, dia mau melakukannya. Tapi dua mingguan lagi, dia baru longgar, Dek. Gimana?”“Ya, daripada nggak ada yang mau. Ya udah, Mas. Nggak apa-apa. Dua minggu pasti nggak lama kok.”“Penyelidikan kayak gitu nggak langsung sekali jadi ‘kan, Dek? Harus benar-benar diselidiki sampai menemukan keterangan yang benar-benar val
POV Lutfan****“Fan, jalannya pelan-pelan ya? Takut Eliza kenapa-kenapa.”Aku mengernyitkan kening saat mendengar perkataan ibu yang sangat perhatian kepada Eliza.“Memangnya Eliza kenapa? Sakit?”Pastilah aku penasaran kenapa ibu bisa sampai seperhatian itu. Tapi kalau sakit sepertinya tidak mungkin. Masa sakit dibawa ke rumah bibinya.“Nggak sih, Fan. Cuma hati-hati saja. Takut kenapa-kenapa aja sih kalau bawa mobilnya ngebut.”“Kayak biasanya paling, Bu. Biar cepat sampai. Aku langsung pulang lho. Nggak ada penawaran yang lain.”Harus selalu kuingatkan, agar beliau tak lupa dengan perkataannya sendiri.“Iya, kamu langsung pulang. Gampang kalau sudah selesai Ibu telpon kamu.”“Apa yang selesai, Bu?”“Urusan Ibu dong, Fan.”Sebenarnya ur
POV Ibu Mertua****Tanganku membimbing Eliza pergi menuju ke rumah bu Susi. Aku merasa khawatir jika terjadi apa-apa pada kandungannya. Makanya, kuperlakukan Eliza dengan sangat hati-hati. Kalau terjadi apa-apa pada janin yang sedang dikandungnya, rugi bandar dong jadinya.Aku melakukan segala hal untuk menanti hal ini, malah menjadi sia-sia. Itu tidak boleh terjadi.“Kamu siap ‘kan, Za?” tanyaku sembari berjalan menuju ke pintu rumah.“Iya Bu, pastinya. Ini ‘kan yang Ibu tunggu-tunggu.”Dia tersenyum. Sepertinya dia sama sekali tidak memikirkan tentang anaknya yang sebentar lagi akan menghilang. Dari raut wajahnya tidak melihatkan kesedihan. Bagus sih, tapi perasaanku sedikit tak tega saat membayangkan jika posisiku menjadi dirinya. Anak sendiri harus ditumbalkan. Namun, aku terpaksa melakukan ini untuk kebahagiaan Lutfan kelak. Toh, dia sudah kubayar mahal.
“Sudah hampir jam sebelas, mas Lutfan belum pulang juga? Katanya hanya antar saja. Kok lama ya?”Aku bergumam sendiri di ruang tamu. Pandanganku melihat ke luar jendela, menanti datangnya mobil yang membawa mas Lutfan. Mereka berangkat sekitar pukul setengah Sembilan, perjalanan hanya memakan waktu setengah jam. Jika bolak-balik hanya butuh waktu satu jam saja. Namun, mas Lutfan masih belum terlihat batang hidungnya.“Wa saja deh.”Baru akan mengetikan pesan di dalam gawai, mobil mas Lutfan memasuki halaman rumah. Sudah pasti kuurungkan niat untuk menghubunginya.“Itu dia,” gumamku. Tanganku kembali meletakan gawai ke atas meja.Aku berjalan menuju ke garasi tempat mas Lutfan memarkir mobilnya.“Mas!” panggilku.Dia baru saja turun dan menutup pintu mobilnya. Saat mendengar panggilanku, seketika menoleh ke arahku.“Iya Dek. Kam
Drrrtt, drrtt, drrrttt ….Gawai mas Lutfan terus bergetar, tumben tidak ada nada deringnya. Mungkin sedang banyak telepon yang masuk, jadi dia memilih mode getar saja.“Halo, assalamu’alaikum! Kenapa Bu?” sapa mas Lutfan pada seseorang yang sedang meneleponnya. Sepertinya orang itu adalah ibu mertua.“Oh, udah mau pulang? Katanya malam. Ini baru jam empat sore lho?” lanjutnya.Aku tak bisa mendengar percakapan mereka. Hanya suara mas Lutfan saja yang kudengar.“Iya, iya … aku jemput ke situ. Tunggu saja. Assalamu’alaikum.”Wah, singkat bener. Padahal gawainya dari tadi bergetar lama. Pas diangkat begitu saja.“Jemput ibu, Mas?” tanyaku.“Iya Dek, ikut yuk.”Tentu saja aku terkejut. Seketika bergeming dan dahi mengerut. Serta memandang mas Lutfan dengan tatapan heran.&ld
Saat kemarin terjadi uang lebih, kami langsung mengitung ulang bersama karyawan sebelum membuka toko. Namun saat dihitung ulang, memang benar ada uang lebih sebanyak lima juta. Padahal semua karyawan melakukan pekerjaannya dengan sangat baik dan tanggung jawab. Jadi siapa yang salah di sini?“Terima kasih ya, sudah mau mengulang tugas tadi malam. Sekarang kalian boleh keluar dan mengerjakan tugas masing-masing sebelum toko di buka,” ucap mas Lutfan.Setelah semua karyawan keluar kini giliran kita yang tetap merasa bimbang. Sengaja tak memberitahu jika ada kelebihan uang kepada mereka. Kami hanya mengatakan jika harus mengulang pekerjaan tadi malam, untuk memastikan jumlah itu benar.“Mas, tetap saja sama kayak tadi malam. Ini uang siapa coba? Masa iya, bisa datang sendiri ke dalam laci.”“Aku juga bingung, Dek. Padahal toko ramai terus, tapi kok masih ada duit nyasar begini ya? Apa ini benar-benar reje