Bab : 64Kepergian Andira dan AlanPOV ANDIRA"Bunda cantik banget!" Celoteh Riana yang sedari tadi di kamarku. Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya."Anak Bunda juga cantik. Lebih cantik malah!" ucapku dengan mengelus pipinya. Gadis kecil yang lebih mirip dengan Ayahnya ini meringis mendengar pujianku.Ya, malam ini kami sedang mempersiapkan diri untuk pergi menemui seseorang seperti yang Mas Alan rencanakan tadi pagi. Seseorang yang bisa membantu mengurus perceraianku dengan Mas Rangga. Riana dan Kania pun ikut serta, menemani kami untuk pergi malam ini. Dan tentunya Riana pun terlihat sangat girang, karena ia mengira kami semua akan pergi untuk jalan-jalan bersama."Beneran Bunda cantik, soalnya Riana gak pernah melihat Bunda pake baju itu dirumah!" Celotehnya lagi.Aku kembali melihat penampilanku di depan meja rias. Memang benar tak pernah memakai baju ini di rumah. Jangankan dirumah ini, bahkan dulu saat bersama Mas Rangga pun jarang sekali memakainya. Ya, karena pekerjaanku
BAB : 65Malam yang indah, dengan keadaan degub jantung yang tak biasa.***"Udah, Mas, ayo!" ujarku setelah duduk di sebelah Mas Alan. Jujur saja, rasanya jantungku ingin melompat setelah berada di sebelahnya seperti ini. Padahal di kursi belakang ada Riana dan Mbak Tuti, tapi entahlah, apa yang membuatku deg-degan seperti ini."Pake dulu seatbeltnya, Andira!" titahnya dengan tersenyum."Iya, Mas," ucapku sambil menggerakkan tangan meraih sabuk pengaman."Berkasnya sudah dibawa semua?" "Udah, ini," ujarku dengan memperlihatkan berkas yang kupegang sejak tadi."Bagus!" Mas Alan langsung tancap gas dan kami semua meluncur ke tempat tujuan. Entah kemana Mas Alan kini membawa kami, terserah saja. Yang jelas, aku sangat berharap semoga semua ini segera berakhir.Aku menghembuskan nafas berulang-ulang, sambil menikmati pemandangan malam di jalanan. Suasana malam yang indah, cukup membuatku terhibur. Dan entah kapan terakhir kali aku merasakan seperti ini. Anak-anak di belakang nampak sek
Bab : 66Bertemu dengan sang pengacaraPOV ANDIRAAku masih mematung mendengar ucapannya barusan. Apa katanya tadi, Bunda? Mas Alan memanggilku Bunda? "Bunda … sini, temenin Riana!" Suara Riana memecahkan lamunanku. "Iya, Sayang, ayo main lagi!" titahku pada gadis kecil ini sambil menghampirinya. Aku berpikir sejenak, lalu tersenyum setelah menyadarinya. Mas Alan memanggilku Bunda semata karena berada di depan Riana. Tentu saja karena Riana yang sudah biasa memanggilku seperti itu. Kania masih terlihat anteng dalam gendongan Mbak Tuti.Tak lama, Mas Alan menghampiri kami yang berada di tempat permainan. Lalu menghampiri Riana yang sedang asyik bermain. "Riana sayang, Riana nanti disini dulu tak apa kan? Ayah sama Bunda ada keperluan sebentar. Tenang, nanti Riana ditemenin sama Om Dilan!" ujar Mas Alan."Gak mau ah … Riana maunya sama Bunda. Ayah kalau mau pergi, yaudah, pergi aja sana! Biar Bunda yang nemenin Riana main disini!" Anak itu langsung lari ke arahku dan memelukku. Naluri
Bab : 67Sikap manis dan meneduhkan, di tengah kepergian kami.***"Pak Desta nanti yang membantumu, Andira. Ditengah kesibukannya, beliau pasti akan memprioritaskan masalahmu. Saya juga sudah memintanya untuk segera membuat jadwal sidangmu!" ucap Mas Alan ketika Pak Desta sudah keluar dari ruangan ini. Kami pun kembali duduk di posisi semula."Namun sayang, istrinya yang seorang dokter pun tak kalah sibuk dari dirinya. Sampai sekarang Allah belum mempercayakan keturunan buat mereka. Ya, mungkin karena sedikit waktu untuk kebersamaan mereka." Aku menyimak dengan seksama ucapan Mas Alan."Kalau Mas Alan sendiri, apakah menginginkan… ah nggak, lupakan!" Aku menghentikan ucapanku ketika menyadari Mas Alan tengah menatapku. Ada rasa malu dengan pertanyaanku yang terpotong itu. Aku membuang pandangan, mencoba bersikap biasa saja di depannya."Kenapa? Kok gak dilanjutkan? Kalau saya sendiri menginginkan istri yang bisa mengambil hati anak saya, Andira. Apalagi bisa memanggilnya Bunda, buat
BAB : 68Cemburu yang Menusuk Kalbu.***"Saya permisi dulu, Pak. Makasih sudah diajak bergabung makan malam bersama Bapak!" ucap Dilan ketika ingin berpamitan, dan saat ini kami tengah berada di depan restoran menuju jalan pulang."Pergilah! Jangan lupa istirahat, karena besok masih ada tugas lagi untukmu!" titah Mas Alan dengan masih tak mengurangi wibawanya."Siap, Pak. Permisi!" ujar Dilan, lalu meninggalkan kami yang masih berdiri di depan mobil.Kami semua masuk ke dalam mobil untuk melakukan perjalanan pulang. Alhamdulillah, Riana mau duduk di depan bersama sang Ayah. Aku berada di tengah bersama dengan Mbak Tuti, namun kali ini aku yang menggendong Kania. Kania mulai rewel karena sudah mengantuk, namun ia terdiam dan mulai memejamkan mata ketika aku menyusuinya. Itulah alasanku meminta diduk di tengah. Aku bisa dengan leluasa bisa menyusui Kania ketika dia mengantuk. Karena ponselku sendiri pun sudah menunjukkan angka 20:55 WIB, Itu artinya, sudah waktunya untuk tidur bagi Kan
Bab : 69Rencana pernikahan POV RANGGA"Kamu itu disuruh nganter pulang Lisa kok gak mau Rangga. Emang gak kasihan, malem-malem gini Lisa pulang sendirian?" Ibu merepet ketika aku menonton TV acara kesukaanku. Namun aku tak memperdulikannya, malas sekali jika pembahasannya hanya Lisa. "Kamu itu denger gak sih kalau Ibu ngomong? Lisa kan lagi hamil, kok gak ada perhatiannya gitu!" Cerocos Ibu lagi.Aku mendecak sebal mendengar ocehan Ibu malam ini. Gak tahukah Ibu kalau kini aku pun juga pusing? Pusing memikirkan pekerjaanku yang sudah berantakan seperti ini. Pusing juga dengan lenyapnya bonus yang sebentar lagi berada di tangan. 30 juta, lenyap begitu saja karena masalah yang tak kunjung selesai seperti ini."Bu, Lisa kan tadi yang menghampiriku di kantor. Biar saja dia pulang sendiri, aku juga capek. Kalau Ibu gak terima Lisa pulang sendiri, kenapa gak Ibu saja yang nganter tadi?" seruku menjawab repetan Ibu. Masih saja tentang Lisa.Entahlah, kenapa sekarang aku tidak sesenang dul
BAB : 70Perdebatan dan ambisi di tengah rencana pernikahan.***POV RANGGA"Tolong jangan nekat, Bu. Ibu mau menggadaikan sertifikat rumah ini demi ambisi Ibu. Aku tak setuju! Ibu tahu, kalau Bude Gina mengetahui rencana Ibu pasti akan marah! Ibu lupa, bagaimana perjuangan Bude Gina dulu demi untuk mengusahakan agar rumah ini tak sampai terjual. Dan sekarang dengan gampangnya Ibu melepaskan rumah ini!" ucapku tak terima dengan keputusan Ibu. Gila aja, menggadaikan sertifikat rumah demi untuk acara pernikahan. Ini adalah hal tergila yang pernah kutemui di dunia ini. "Ibu tahu, aku di kantor juga mendapat masalah. Sekarang ini aku bukanlah Rangga yang dulu, Bu. Gajiku kecil, tak sebesar kemarin ketika jabatanku masih bagus. Bonus yang Ibu tunggu-tunggu pun, lenyap karena sudah mendapat SP3 di kantor. Dan kini, Ibu mau menambah masalah lagi?" ujarku akhirnya. Tadinya aku tak mau mengatakan masalah ini pada Ibu. Namun kenekatan Ibu sudah keterlaluan, sehingga membuatku terpaksa mengatak
Bab : 71Tinggal menghitung hariPOV AUTHORDi sebuah tempat sederhana yang menampilkan beberapa menu di dalamnya, nampak dua orang tengah menikmati makan siang dengan lahapnya. Ya, siapa lagi kalau bukan Ranti dan Rosa. Saat ini mereka tengah beristirahat di tempat makan yang tak jauh dari rumah. Setelah berkeliling mencari keperluan yang akan digunakan untuk pesta pernikahan sang anak lanangnya, Ranti mengajak Rosa untuk mengisi perutnya yang keroncongan dan memilih menu mie ayam yang berada di dekat rumah mereka. Tentu saja karena harganya yang lumayan terjangkau. Karena untuk saat ini, uang Ranti pun sudah semakin menipis."Nyewa dekor, udah. Pesan catering juga udah. Ibu puas, dekor dan cateringnya mewah banget. Tinggal kita sebar undangan ke para tetangga!" Bu Ranti terlihat sumringah, sedangkan Rosa sendiri menghela nafasnya sejenak. Terlihat dari raut wajahnya, masih ada sesuatu yang mengganjal."Tapi, Bu, masalahnya uang sama sekali belum di tangan. Apa Ibu gak takut, kalau
Bab : 108Bersamamu, aku bahagia, Mas,"Biar saja, Pak, saya bisa mengatasinya." titahku, lantas penjaga itu membungkuk permisi.Hatiku perih melihat penampilan mantan Ibu mertua yang sekarang terlihat lebih kurus. Istri Mas Rangga yang sedang menggendong anaknya pun tak kalah kusut. Namun kemana Mas Rangga? Kenapa meninggalkan Ibu dan istrinya? Aku hampir lupa kalau Mas Rangga adalah karyawan Mas Alan. Tentu saja dia beserta keluarganya pun menghadiri acara ini."Andira, maaf jika dulu Ibu pernah jahat sama kamu. Ibu sangat menyesal. Coba dulu Ibu tak menyia-nyiakan kamu, mungkin sampai sekarang kamu masih menjadi istri Rangga.""Maksud Ibu apa?" Istri Mas Rangga seakan tak terima mendengar ucapan sang mertua."Diam kamu! Menikahi kamu adalah kesalahan terbesar Rangga!" sungut Ibu melotot tajam. Sepertinya perangai Ibu masih seperti dulu. Inikah yang katanya menyesal? Bahkan sama menantunya pun masih seperti itu. "Bu, Mbak, sudah, tak usah ribut, ini tempat umum. Ibu tenang saja, s
Bab : 107Kejutan yang membuatku terharuMas Alan menghela nafas, lalu menghembuskannya pelan. "Kita akan pergi ke pesta, sayang.""Pesta?""Iya, pesta. Pesta pernikahan kita." Entah kejutan apa lagi yang akan diberikan untukku kali ini. Rasanya sudah tak bisa berkata-kata lagi dihadapannya. Bagaimana dia menyiapkan semua ini, tanpa meminta persetujuanku?"Aku sengaja memberikan kejutan untukmu, sayang. Mas yakin, pasti kamu akan senang." Mas Alan menggenggam tanganku."Tapi, kenapa harus mengadakan pesta, Mas?" tanyaku lirih. "Sayang, dengar, Mas hanya ingin menunjukkan ke semua orang bahwa Mas sudah menikah dan mempunyai istri secantik kamu. Memangnya kamu mau, karyawan Mas di kantor menganggap Mas masih single?" ucapnya dengan menggenggam jari ini.Senyumku mengembang mendengar penuturannya. Tak ada alasan untuk tidak jatuh cinta padamu, Mas. Sungguh, hati ini selalu sejuk dengan segala tingkah manismu. Bahkan berkali-kali kamu selalu membuatku jatuh cinta."Makasih banyak, Mas.
Bab : 106Malam pertama yang indah."Terus gimana, Bunda? Apakah setelah itu sang pengembaranya ketakutan?" tanya Riana yang sudah menguap beberapa kali."Awalnya memang ketakutan, Sayang. Lalu tak lama ada seseorang yang datang menyelamatkannya. Tentu sang pengembara itu sangat senang mendapat bantuan. Hingga akhirnya sang pengembara menemukan temannya yang tengah tersesat. Pastilah teman sang pengembara senang, karena telah bertemu dengan teman seperjuangan." Aku menutup buku setelah membacakan dongeng pada anak gadisku. Dan ternyata Riana sudah pulas dengan memeluk guling kesayangannya.Setelah menaruh buku di meja, kukecup sejenak kening Riana yang baru saja memejamkan mata. 'Sungguh, Bunda menyayangimu, Sayang, walaupun kamu bukan terlahir dari rahim Bunda. Tapi Bunda akan berusaha menjadi Bunda yang baik untukmu." Batinku, sembari menata selimut agar nyaman dengan tidurnya.Aku mulai beranjak dari kamar Riana setelah memastikan ia tertidur dengan nyaman. Waktupun sudah menunjukk
Bab : 105Badai orang ketigaDreett … dreett ….Kami yang tengah bercengkrama berdua, terkejut mendengar ponsel Mas Alan berdering. Siapa yang menelpon? Bukannya Mas Alan sedang mengambil cuti? Penasaran, aku pun ingin beranjak mengambil ponsel yang masih tergeletak tersebut, namun Mas Alan menghalangiku."Biar Mas yang ngambil, Sayang. Ganggu aja, siapa sih yang nelpon?" gerutunya, sembari melangkah mengambil ponsel."Bu Puspita, Sayang," ucapnya ragu.Dahiku mengernyit, untuk apa Bu Puspita menelpon? "Angkat aja, Mas!" ujarku. Karena aku sendiri penasaran dengan maunya Bu Puspita kali ini. "Assalamualaikum, Bu," jawab Mas Alan setelah mengangkat telepon. Sejenak, Mas Alan terdiam dengan masih menggenggam ponselnya. Entah apa yang dibicarakan oleh Bu Puspita, aku tak mendengarnya. Lebih baik aku menunggu disini saja."Maaf, Bu, saya tidak bisa. Saya sedang bersama istri saya!" Suara Mas Alan terdengar pelan, namun tegas.Aku meneguk ludah kuat. Kenapa Bu Puspita masih saja menggang
Bab : 104Kamu sempurna di mataku, Mas,Duh, Mas, meleleh hatiku melihat sikapmu seperti ini. Biarlah dikata seperti anak abege yang baru mengenal cinta. Nyatanya hatiku sedang berbunga-bunga melihat sikap manisnya. Sedangkan Yulia terlihat sangat kesal, tatapan matanya tajam ke arahku seakan mau menerkam."Hari ini adalah hari bahagia mereka, Bu, tolong jangan rusak momen indah mereka. Andira sekarang sudah menjadi menantu saya, tanpa mengurangi rasa sayang kami terhadap Renata yang sudah bahagia di alam sana. Jika Ibu ingin dihargai, tolong hargai kami disini!" Suara Mama pelan, namun menusuk. Menusuk bagi yang berpikir, tapi entah jika bagi Bu Puspita. Namun melihat raut wajah Bu Puspita, sepertinya mati kutu. Nyatanya tak mengeluarkan sepatah kata pun. Mulutnya seperti terkunci."Bukan begitu, Bu, saya hanya ingin memberitahu pada Andira, itu saja!" Kilah Bu Puspita pelan."Andira pasti paham, Bu. Iya kan, Sayang?" Mas Alan mengedipkan mata ke arah ku."Tentu saja, Sayang. Sebaga
Bab : 103.Dia yang selalu menyejukkan hati.Aku bernafas lega setelah mobil sudah terparkir manis di depan rumah. Perjalanan panjang ini terasa lebih menyenangkan karena seseorang yang berada disampingku."Sudah sampai rumah, Sayang." Mas Alan melepas seatbelt yang masih menempel di tubuhnya."Iya, Mas. Udah malam ternyata." ucapku sambil melirik jam di pergelangan tangan. Sudah menunjukkan angka 20,00. Aku keluar dengan Mbak Tuti yang menggendong Kania. Dan ternyata Kania pun sudah tertidur pulas. Sedangkan Mas Alan berjalan beriringan denganku sampai kami masuk ke dalam rumah."Duh, menantu Mama baru nyampe rumah." ujar Mama menyambutku."Assalamualaikum, Ma," ucapku dengan mencium takzim tangannya."Waalaikumsalam, Sayang. Pasti capek baru pulang. Istirahat dulu, nanti kita makan malam bareng!" ujar Mama."Ayo sayang!" Mas Alan mengajakku beristirahat sejenak. Aku pun mengikuti langkahnya dengan tangan ini tak lepas dari genggamannya.Mas Alan melepas sweaternya setelah kami masu
Bab : 102Hari yang dinanti pun tiba.Satu tahun kemudian.Hidup memang penuh dengan cobaan dan ujian. Begitu pun hidupku yang pernah mengalami keterpurukan hingga berada di titik terendah. Namun aku percaya bahwa Allah tidak akan menguji seorang hamba diluar batas kemampuannya. Dan bersamaan dengan itu Allah hadirkan Mas Alan sebagai penyembuh lukaku, pelengkap hidupku, dan sebentar lagi akan menjadi pendamping hidupku.Saat ini aku sedang mematut diri di depan cermin. Sedang menunggu detik-detik dimana sebentar lagi statusku akan berubah menjadi seorang istri. Gamis mewah berwarna putih serta hijab yang berwarna senada pula, kubiarkan menjuntai lebar menutupi dada yang kukenakan saat ini. "Masya Allah … adik Mbak cantik banget!" ujar Mbak Winda yang menghampiriku di kamar.Mbak Winda rela datang kesini hanya untuk menyaksikan pernikahanku. Padahal jarak dari rumahnya ke kampungku tidaklah dekat. Terharu, itulah yang kurasa saat melihat Mbak Winda kesini."Iya, Mbak Andira aslinya u
BAB 101. Penyesalan Selalu Datang Belakangan.POV RANGGA"Mas, minta uang dong buat beli skin care! Tuh lipstik aku sudah habis!" Lisa datang menyodorkan lipstiknya yang sudah ia korek dengan jarinya. Apakah Lisa tak melihat aku yang baru saja pulang kerja? Belum apa-apa sudah disuguhi dengan permintaan yang menyebalkan."Sudahlah, Lis, tak usah beli lipstik segala. Kamu tahu buat makan aja sekarang kita susah!" Pekikku. Sungguh, pusing sekali rasanya memikirkan semua masalah yang terus menerpa. Setiap berada di rumah selalu berakhir dengan keributan. Tidak dengan Ibu, tidak dengan Lisa, dan kadang seringnya Ibu yang berdebat dengan Lisa. Membuat kepala ini semakin pusing."Ah, Mas jahat. Coba kalau Ibu yang minta, pasti dibeliin. Kenapa aku yang istrimu minta uang buat beli lipstik saja susah, Mas?"Selalu seperti ini. Mempermasalahkan uang yang tak sepatutnya di bahas. Lisa sibuk meminta uang buat lipstik, sedangkan baru kemarin Ibu mengeluhkan beras yang sudah mulai menipis."Aku
Bab : 100Menjaga Hati***Aku melotot di depannya dengan jarak yang dekat. Biar saja, biar Mas Alan tahu kalau aku juga bisa marah. Menjengkelkan sekali. Mentang-mentang sudah sampai sini malah seenaknya seperti itu. Namun pandangan ini dikacaukan oleh bulu-bulu halus yang berada di pipi, membuat orang yang berada di depanku ini terlihat, sempurna. Sejenak, aku mengagumi ciptaan Tuhan yang amat sempurna."Kamu cantik banget kalau sedang marah. Apalagi menatapku dengan penuh cinta seperti itu." Aku gelagapan dan segera membuang muka. "Siapa juga yang memperhatikan wajahmu. Nyebelin banget sih!" gerutuku. Padahal sebenarnya sedang menyembunyikan rasa malu yang luar biasa. Sedangkan Mas Alan hanya tersenyum menanggapi ucapanku. Baru bertemu sehari dengannya, kenapa jadi se-menyebalkan ini?"Sebentar, Andira. Saya punya sesuatu untukmu." Mas Alan mengambil plastik yang berada di meja depan, lantas kembali mendekat ke arahku."Pakailah ponsel ini, Andira! Sudah saya simpan semua nomor sa