Aku sudah bilang pada bapak kalau PakGumilar meminta bertemu. Namun bapak seperti menghindar. Terus saja mencarialasan kalau dia tidak bisa ambil libur jalan. Tidak ada yang ganti lah, lagidikejar setoran lah, dikejar-kejar cicilan bank lah. Terus berkilah.Lain hal saat dulu Wulandari yang mau tunangan. Sekalinyadiminta Bu Sumarni, bapak langsung ambil libur.Setiap hari aku memberinya kabar perkembangan tentangpernikahan. Dari mulai sudah dibookingnya MUA, daftar undangan, sampai hiburanapa yang akan diselenggarakan. Tapi bapak cuek saja, tidak mau peduli samasekali."Kami udah putuskan tempat nikahan di rumahnya Nataaja, Pak. Kalau bapak emang gak ridho di sini," kataku dengan kesabaranyang semakin menipis—berbalik arah menjadi rasa kecewa yang terus menumpuk."Terserah kamu saja.""Iya, aku tahu bapak pasti bilang gitu lagi. Aku cumalaporan saja karena aku masih tanggung jawab bapak. Setelah aku jadi istriorang, gak akan laporan sama bapak lagi."Bapak tidak bicara apa-
Ketika Mas Gagah Tiba 23Aku duduk di sofa dengan segala rasa kecewa yang terkunci dalam dada. Sabarku perlahan kandas. Batas sayang dan benci pada bapak sudah setipis kulit bawang. Salahkan? Entah.Aku sudah berusaha sabar. Menjelaskannya dengan baik-baik seperti saran Nata. Namun perjuangan ini ternyata hanya membuatku patah hati bertubi-tubi.Ada sekelebat ingatan manis masa lalu. Ketika usiaku mungkin kurang dari lima tahun. Saat itu kami tinggal di kampung kelahiran ibu. Kami belum punya rumah dan bapak masih jadi sopir angkot.Ada momen di mana ibu membawaku keluar dari rumah Mbah yang ada di dalam gang. Nongkrong di pinggir jalan untuk menunggu bapak. Lalu angkutan perkampungan itu berhenti dan bapak segera turun. Tergesa menyeberangi jalan dengan sebuah jinjingan di tangan.Bapak memberikan jinjingan itu. Mengendongku sebentar dan menghujani dengan kecupan. Lalu memberi ibu uang. Kalau pulang dari mengantar penumpang ke pasar besar, bapak sering beli oleh-oleh. Apa saja, kadan
KETIKA MAS GAGAH TIBA 24Pria urakan yang sekarang berbaju agak rapi dengan batik dan celana panjang itu celingukan. Sejak tadi dia hanya diam mendengarkan. Sekarang waktunya bicara. Ayo Mas Burhan katakan semuanya.Enak saja Wulandari itu, Mas Burhan yang menghamilinya kok dia malah mengancam agar bisa menikah dengan laki-laki lain. Bagaimana kalau Mas Burhan tidak mau bertanggung jawab atas bayi dalam kandungan itu. Mau dia bunting tanpa ayah?"Emmm... begini Pak Galuh. Benar yang dikatakan Pak Gumilar. Saya dan Wulan sudah pacaran lebih dari dua bulan ini. Saya sangat menyayangi Wulan. Jadi, meski belum memiliki apa-apa. Saya berniat menyeriuskan hubungan ini." Mas Burhan duduk menghadap bapak."HEH! Kamu ngomong apa? Jangan asal itu mulut! Memangnya anakku mau sama kamu!" Bu Sumarni menunjuk sembari berbicara sengit. Berdiri dari duduknya. Bola matanya nyaris keluar, merah membara. Penuturan Mas Burhan serupa nyala api bertemu bahan bakar. Langsung menyambar. "Ngaca dulu kamu sebe
KETIKA MAS GAGAH TIBA 25POV Bu Sumarni 2Wulandari adalah anak kebanggaanku. Dia akan membawa nama baikku nantinya. Akan jadi orang sukses, punya suami terhormat. Wulan selalu kubanggakan pada semua orang. Aku memberikan semua yang terbaik padanya sejak kecil. Bisa dibilang, Wulan tidak pernah tahu kesusahan orang tua.Perjuanganku menjodohkannya dengan atlet sukses itu sudah mentok. Sepertinya Nata memang tidak mau sama Wulan. Aku tidak masalah. Laki-laki masih banyak. Wulan pasti dapat yang selevel dengan Nata. Bahkan bisa lebih.Tapi jangan harap aku merestui Andini begitu saja. Tidak akan. Aku tidak suka melihat anak bodoh jelek itu menyaingi Wulan. Jadi setiap hari aku bujuk bapaknya supaya tidak memberi restu. Puas aku kalau lihat dia maksa nikah tapi bapaknya tidak ikut hadir. Siapa suruh, diurus dari kecil udah besar kok melawan.Makin kurang ajar anak itu sekarang. Pergi belanja, lalu pulang cuma pamer doang. Iya sih penampilannya jadi berbeda, baju-bajunya juga sepertinya m
KETIKA MAS GAGAH TIBA 26POV AndiniAkhirnya, semua terungkap dengan sendirinya. Tanpa aku harus mengotori tangan.Setelah kehadiran Mas Burhan. Semua tidak baik-baik saja. Bu Sumarni sakit-sakitan. Wulan lebih banyak menangis dan mengurung diri di kamar. Bapak bahkan harus libur untuk menjaga Bu Sum. Sekarang tidak ada yang bertolak pinggang; angkat dagu tinggi; memerintah sesuka hati. Ibu dan adik tiriku itu terpuruk akibat ulahnya sendiri.Miris. Begitu karma kehidupan. Semua orang pasti memetik buahnya. Untungnya. Saat mereka dihukum oleh perbuatan sendiri. Aku bukan Andini yang selalu bersembunyi di sudut dapur. Aku sudah berdiri tegak dan pasang badan. Siap menyongsong kehidupan.“Aku banyak menyaksikan kehidupan,” kata Nata satu hari. “Anak-anak yang mendapatkan tekanan dari keluarga menjadi orang yang terpuruk, tertekan, tidak berkembang. Ada yang malah meluap-luap lalu menyalurkan semuanya dengan cara salah. Kemudian pada akhirnya hancur sendiri. Tidak salah memang, mungkin u
KETIKA MAS GAGAH TIBA 27Pada kursi besi ini, aku duduk menunggu kepulangannya. Debar dada terasa tak jelas. Kenapa Nata belum juga datang? Tidak akan terjadi sesuatu kan?Beberapa hari lalu, aku berbincang dengan Mbak Anggun. Dia berpesan untuk tidak banyak bepergian di masa-masa menjelang pernikahan. Tradisi pingitan tidak semata-mata ada tanpa makna. Salah satu tujuannya adalah untuk menjauhkan diri dari mara bahaya. Konon katanya, ibadah paling dibenci setan itu menikah karena setelah ijab kabul, semua perbuatan yang dilakukan akan menjadi ibadah.“Sqalah satu pakdeku, Andini. Saat mau pergi seserahan, di jalan, saudara-saudaranya baru sadar kalau pengantin pria hilang.” Mbak Anggun berkisah.“Hilang ke mana?”“Coba kamu tebak di mana?”“Enggak tahu.”“Kekunci di WC. Mungkin karena rusuh tidak jelas, banyak orang, jadi tidak ada yang memerhatikan kalau pengantin pria tidak ikut dalam rombongan. Namanya jaman dulu tidak ada istilahnya mobil khusus pengantin. Tahu-tahu pas sudah jau
KETIKA MAS GAGAH TIBA 28“Sebaiknya kita mengirim do’a,” ajak dia setelah pemakaman bersih dari rerumputan.Aku mengangguk, Mengusap air mata yang menumpuk di sudut kelopak.“Ayo Mas pimpin do’a.”Nata merapikan pakaian. Memperbaiki posisi duduk dan mulai menengadahkan tangan. Menunduk. Dia mengawali dengan mengucap salam, istighfar, lalu membaca surat Al Fatihah. Kemudian melanjutkan bacaan sebagaimana umumnya orang-orang yang berziarah kubur. Nata mengakhiri bacaannya dengan doa yang panjang.“Assalamualaikum, Bu Fatma. Saya Adhinata. Insya Allah dalam beberapa hari kedepan akan menikahi putri ibu. Semoga ini akan menjadi ibadah kami yang panjang. Yang insya Allah satu hari nanti akan mengantarkan kami bertemu dengan ibu. Perpisahan ini hanya tentang waktu yang tak akan lama. Insya Allah satu hari nanti kita akan bertemu di tempat yang abadi. Di tempat yang indah. Tempat orang-orang memetik hasil kehidupannya. Terima kasih telah menjadi ibu yang penyayang, yang sabar, yang membesark
KETIKA MAS GAGAH TIBA 29“Andin, bapak ada yang mau dibicarakan.” Pria yang mengajak semua anggota keluarga untuk berkumpul ini memulai bicara. Duduk tafakur di ruang TV. Beberapa hari ini rautnya lebih kacau dan kelelahan. Cape ngurus anak tiri.“Bapak hanya punya dua anak. Kamu dan Wulan. Selama ini, kirim amplop ke mana-mana, tapi belum pernah hajatan. Mau kapan balikinnya kalau bukan saat kamu nikah atau saat Wulan nikah.”Aku diam. Menunggu tujuan kalimat bapak yang terlalu mengambil ancang-ancang. Bu Sum duduk sambil melipat tangan di dada. Sesekali memijat pelipisnya yang ditempel layar putih. Sementara Wulandari menunduk lesu, melihat karpet merah bercorak bunga.“Pernikahan kamu kan masih ada waktu beberapa hari. Apa tak bisa pindahkan ke sini? Urusan konsumsi biar bapak yang tanggung.”Aku menjeda jawab. Menatap wajah yang menua itu. Bapakku tanggung jawab orangnya. Setelah hidup sama Bu Sumarni tanggung jawabnya jadi salah sasaran. Aku marah sekaligus kasihan lihat bapak be