KETIKA MAS GAGAH TIBA 25POV Bu Sumarni 2Wulandari adalah anak kebanggaanku. Dia akan membawa nama baikku nantinya. Akan jadi orang sukses, punya suami terhormat. Wulan selalu kubanggakan pada semua orang. Aku memberikan semua yang terbaik padanya sejak kecil. Bisa dibilang, Wulan tidak pernah tahu kesusahan orang tua.Perjuanganku menjodohkannya dengan atlet sukses itu sudah mentok. Sepertinya Nata memang tidak mau sama Wulan. Aku tidak masalah. Laki-laki masih banyak. Wulan pasti dapat yang selevel dengan Nata. Bahkan bisa lebih.Tapi jangan harap aku merestui Andini begitu saja. Tidak akan. Aku tidak suka melihat anak bodoh jelek itu menyaingi Wulan. Jadi setiap hari aku bujuk bapaknya supaya tidak memberi restu. Puas aku kalau lihat dia maksa nikah tapi bapaknya tidak ikut hadir. Siapa suruh, diurus dari kecil udah besar kok melawan.Makin kurang ajar anak itu sekarang. Pergi belanja, lalu pulang cuma pamer doang. Iya sih penampilannya jadi berbeda, baju-bajunya juga sepertinya m
KETIKA MAS GAGAH TIBA 26POV AndiniAkhirnya, semua terungkap dengan sendirinya. Tanpa aku harus mengotori tangan.Setelah kehadiran Mas Burhan. Semua tidak baik-baik saja. Bu Sumarni sakit-sakitan. Wulan lebih banyak menangis dan mengurung diri di kamar. Bapak bahkan harus libur untuk menjaga Bu Sum. Sekarang tidak ada yang bertolak pinggang; angkat dagu tinggi; memerintah sesuka hati. Ibu dan adik tiriku itu terpuruk akibat ulahnya sendiri.Miris. Begitu karma kehidupan. Semua orang pasti memetik buahnya. Untungnya. Saat mereka dihukum oleh perbuatan sendiri. Aku bukan Andini yang selalu bersembunyi di sudut dapur. Aku sudah berdiri tegak dan pasang badan. Siap menyongsong kehidupan.“Aku banyak menyaksikan kehidupan,” kata Nata satu hari. “Anak-anak yang mendapatkan tekanan dari keluarga menjadi orang yang terpuruk, tertekan, tidak berkembang. Ada yang malah meluap-luap lalu menyalurkan semuanya dengan cara salah. Kemudian pada akhirnya hancur sendiri. Tidak salah memang, mungkin u
KETIKA MAS GAGAH TIBA 27Pada kursi besi ini, aku duduk menunggu kepulangannya. Debar dada terasa tak jelas. Kenapa Nata belum juga datang? Tidak akan terjadi sesuatu kan?Beberapa hari lalu, aku berbincang dengan Mbak Anggun. Dia berpesan untuk tidak banyak bepergian di masa-masa menjelang pernikahan. Tradisi pingitan tidak semata-mata ada tanpa makna. Salah satu tujuannya adalah untuk menjauhkan diri dari mara bahaya. Konon katanya, ibadah paling dibenci setan itu menikah karena setelah ijab kabul, semua perbuatan yang dilakukan akan menjadi ibadah.“Sqalah satu pakdeku, Andini. Saat mau pergi seserahan, di jalan, saudara-saudaranya baru sadar kalau pengantin pria hilang.” Mbak Anggun berkisah.“Hilang ke mana?”“Coba kamu tebak di mana?”“Enggak tahu.”“Kekunci di WC. Mungkin karena rusuh tidak jelas, banyak orang, jadi tidak ada yang memerhatikan kalau pengantin pria tidak ikut dalam rombongan. Namanya jaman dulu tidak ada istilahnya mobil khusus pengantin. Tahu-tahu pas sudah jau
KETIKA MAS GAGAH TIBA 28“Sebaiknya kita mengirim do’a,” ajak dia setelah pemakaman bersih dari rerumputan.Aku mengangguk, Mengusap air mata yang menumpuk di sudut kelopak.“Ayo Mas pimpin do’a.”Nata merapikan pakaian. Memperbaiki posisi duduk dan mulai menengadahkan tangan. Menunduk. Dia mengawali dengan mengucap salam, istighfar, lalu membaca surat Al Fatihah. Kemudian melanjutkan bacaan sebagaimana umumnya orang-orang yang berziarah kubur. Nata mengakhiri bacaannya dengan doa yang panjang.“Assalamualaikum, Bu Fatma. Saya Adhinata. Insya Allah dalam beberapa hari kedepan akan menikahi putri ibu. Semoga ini akan menjadi ibadah kami yang panjang. Yang insya Allah satu hari nanti akan mengantarkan kami bertemu dengan ibu. Perpisahan ini hanya tentang waktu yang tak akan lama. Insya Allah satu hari nanti kita akan bertemu di tempat yang abadi. Di tempat yang indah. Tempat orang-orang memetik hasil kehidupannya. Terima kasih telah menjadi ibu yang penyayang, yang sabar, yang membesark
KETIKA MAS GAGAH TIBA 29“Andin, bapak ada yang mau dibicarakan.” Pria yang mengajak semua anggota keluarga untuk berkumpul ini memulai bicara. Duduk tafakur di ruang TV. Beberapa hari ini rautnya lebih kacau dan kelelahan. Cape ngurus anak tiri.“Bapak hanya punya dua anak. Kamu dan Wulan. Selama ini, kirim amplop ke mana-mana, tapi belum pernah hajatan. Mau kapan balikinnya kalau bukan saat kamu nikah atau saat Wulan nikah.”Aku diam. Menunggu tujuan kalimat bapak yang terlalu mengambil ancang-ancang. Bu Sum duduk sambil melipat tangan di dada. Sesekali memijat pelipisnya yang ditempel layar putih. Sementara Wulandari menunduk lesu, melihat karpet merah bercorak bunga.“Pernikahan kamu kan masih ada waktu beberapa hari. Apa tak bisa pindahkan ke sini? Urusan konsumsi biar bapak yang tanggung.”Aku menjeda jawab. Menatap wajah yang menua itu. Bapakku tanggung jawab orangnya. Setelah hidup sama Bu Sumarni tanggung jawabnya jadi salah sasaran. Aku marah sekaligus kasihan lihat bapak be
KETIKA MAS GAGAH TIBA 30Panitia yang bertugas di masjid, menyambut. Rombonganku dan rombongan Nata dipersilakan masuk ke tempat yang telah disediakan. Aku, Nata, dan keluarga terdekat langsung mengisi tempat akad. Petugas dari KUA sudah stand by di sini.Acara akad pun dimulai. Diawali oleh sambutan ini-itu. Pembacaan Al-Quran. Ceramah singkat petuah pernikahan. Dan lainnya. Tibalah di mana penghulu memandu untuk dilakukannya ijab kabul.Aku menunduk bersama debar rasa yang entah. Bapak mulai menjabat tangan Nata. Lalu ijab kabul pun diikrarkan dengan lancar. Semua saksi berkata ‘sah’ dan penghulu melanjutkan dengan do’a.Bulir bening menghalangi pandangan. Dadaku diselimuti haru. Hanya dengan sedetik saja, statusku berubah jadi istri orang. Bagaimana kehidupan setelah ini?Aku diperintahkan untuk salaman dan menerima mahar sebagai dokumentasi. Kucium tangan pria yang baru saja mengambil alih tanggung jawab dari bapak ini dengan takzim. Bersama itu, air mataku menetes.Tanpa diperint
KETIKA MAS GAGAH TIBA 31 Pov Wulandari 2 Kehamilan ini membuatku serupa hidup dalam neraka. Sungguh aku menyesali kebodohan sendiri, mau-maunya termakan bujuk rayu Burhan. Jahat sekali dia. Sengaja tak pasang pengaman demi bisa menikahiku.Selepas muntah-muntah di rumah Nata, hidupku tidak baik-baik saja. Aku sadar sudah mendapat penolakan dari Nata dan keluarganya. Jadi tidak mungkin terus mengejar pria itu, sementara waktu terus berjalan.Setiap hari, aku berada dalam kekhawatiran. Tanganku bahkan tidak henti-hentinya bergetar. Setiap kali memikirkan bagaimana musibah besar ini akan terungkap, jantungku berpacu lebih cepat.Bukan bagaimana aku yang mendominasi pikiran ini. Tapi bagaimana Mama. Pasalnya Mama sangat membenci Burhan. Kebenciannya pada Burhan mungkin setara dengan kebenciannya pada Andini. Ya, aku paham karena memiliki kebencian yang sama pada kakak tiriku itu. Jangan tanya kenapa. Karena bukan hanya cinta, benci pun tidak membutuhkan alasan. Melihat dia yang kucel, n
KETIKA MAS GAGAH TIBA 32 POV Andini "Gak apa-apa tidur tanpa ranjang?" Aku bertanya. Kami berdua berbaring di atas kasur. Menatap plafon. Ada-ada saja kejadian malam ini. Ranjang lapuk itu malah hancur. Duh, bisa-bisanya aku gak kepikiran beli ranjang baru. "Enggak masalah. Jangankan tidur tanpa ranjang. Tanpa kasur saja mas sering." "Masa?" "Ya. Dulu pernah ikut sisir pantai. Tidur di pinggir laut, di atas batu dan pasir. Pas bangun badan udah basah karena air pasang. Sering juga sengaja direndem tengah malam di kolam saat pelatihan. Apa lagi kalau sudah kecapean, kadang baring di mana saja yang penting bisa tidur." "Pasti berat ya latihan jadi atlet gitu?" Aku mengubah posisi tidur jadi miring. Melihat dia yang terlentang dengan tangan terlipat di belakang kepala. Masya Allah ya indahnya punya suami. Sampai malam selarut ini ada teman bicara. Nata mulai bercerita bagaimana unik perjalanan hidupnya. Mulai dari sebatas latihan di kali sampai melanglang buana ke luar negeri. Na
Seorang wanita berwajah jelita memasuki ruang yang dirancang sedemikian mewah. Membawa troli berisi aneka alat-alat masak. Tiga chef terkenal duduk di kursi kecil."Hallo, Chef." Andini tersenyum manis. Lalu menyusun alat-alatnya di meja berlapis stainles."Hallo, siapa nama kamu?" tanya pria bermata sipit di depan sana."Andini Larasati, Chef.""Wong jowo?""Yes, Chef.""Bilang yes jadi hilang wong jowonya," timpal juri berwajah jelita. Lalu disambut tawa kecil oleh yang lainnya."Enggak dong, Chef.""Mau masak apa, Andini?""Siomay seafood with mozzarella sauce.""Oke. Sudah siap?""Siap, Chef.""Waktunya lima menit dari ... sekarang."Tangan cekatan Andini lihai bergerak-gerak. Mempersiapkan apa yang tadi sudah dibuatnya. Jika peserta lain grogi masak sambil diperhatikan chef terkenal, tidak dengan Andini. Mentalnya cukup kuat untuk menerima semua itu. Tatapan para juri tidak lah ada apa-apanya jika dibandingkan sorot mata tajam dan mengintimidasi milik Sumarni. Jangankan hanya dip
KETIKA MAS GAGAH TIBA ENDMungkin nyawa Wulandari sudah melayang bila mana bayi itu tidak menangis. Seperti mendapat panggilan alam, mulut kecil itu menjerit keras. Suaranya memantul dari dinding ke dinding. Lalu menyelinap masuk ke dalam relung hati Burhan.'Dia ibu dari anakmu, dan ayahnya bukan seorang pembunuh.' Suara lembut berbisik dalam dirinya.Marah yang meletup bertabrakan dengan penyesalan karena tidak bisa menahan emosi. Dua perasaan itu membuat dia kesulitan mengendalikan diri. Burhan menghempaskan Wulandari dan Sumarni dari cengkeramannya. Dia berbalik dengan kaca-kaca di matanya. Bertolak pinggang. Sakit hati dan penuh penyesalan.Di belakang Burhan. Wulandari luruh. Duduk di lantai dan mengambil napas sebanyak-banyaknya. Terbatuk-batuk dia. Sementara Sumarni memegangi rahangnya yang seperti akan hancur.Selama ini, pada siapa pun mereka melontarkan cacian, tidak pernah ada yang melawan dengan melakukan tindak kekerasan yang nyaris melayangkan nyawa. Sumarni dan Wulanda
KETIKA MAS GAGAH TIBA 47POV AuthorDi malam yang hening, Andini berurai air mata. Ditatapnya berkas sertifikat yang menunjukkan kepemilikan atas namanya itu. Dadanya terasa penuh sebab rasa bahagia yang membuncah. Tak menyangka Nata akan melakukannya.Dipeluknya berkas itu serupa kekasih yang telah lama pergi."Sayang...." Nata mengusap punggung Andini."Aku gak nyangka kamu lakuin ini, Mas." Mata merah Andini menatap suaminya."Kenapa kamu baik banget?"Tanpa berkata, Nata menarik Andini bersandar pada dadanya yang lebar. Kemudian mengecup ubun-ubun Andini. "Aku sayang kamu. Sudah terlalu lama kamu menanggung penderitaan. Sekarang saatnya bahagia." Nata menjeda."Mas bahagia kalau kamu bahagia. Mas ikut sakit jika kamu sakit. Maka teruslah bahagia ... untukku." Nata mengangkat dagu Andini agar melihat padanya.Mendengar itu, tangisan dua netra Andini semakin berlinang. Nata bukan laki-laki yang pandai menggombal. Kalimat itu pastilah dari hatinya yang paling dalam. Bagi Andini, Nata
"Pak...Bapak... maafkan ibu, Pak." Dia langsung bersujud di depan kaki bapak."Ibu tidak punya niat jahat, Pak. Ibu hanya mau menabung." Dia berlinang-linang. Aku mencebik.Tanpa menghiraukannya, aku dan bapak melanjutkan langkah kembali ke tempat tidur.Sumarni beranjak mengikuti kami. Menunduk di depan bapak. "Bapak jangan salah sangka. Itu tidak seperti yang Andini kira. Ibu menabung untuk masa tua kita.""Masa tua yang seperti apa, Sumarni?" bapak yang sudah duduk tenang di atas kasur menatap wanita yang dulu selalu dibelanya."Masa tua seperti apa? Harus menunggu bagaimana dulu agar kau mengeluarkan tabunganmu? Jika bapak ada dalam kondisi hampir kehilangan kaki saja kau tidak bicara, lalu menunggu kondisi seperti apa? Menunggu bapak mati? Lalu kau bisa foya-foya, begitu?"Sumarni menggeleng. Terisak-isak."Bapak paham. Kau mempersiapkan diri untuk masa tuamu, bukan masa tua kita.""Tidak, Pak. Tidak begitu....""Cukup! Cukup!" Bapak menunjukkan telapak. "Bapak selalu menomorduak
KETIKA MAS GAGAH TIBA 46"Kalau bapak masih menganggapku anak, ceraikan dia. Tapi kalau bapak tetap mempertahankan pernikahan bapak. Maaf aku tidak akan lagi ada di samping bapak."Aku menatap pria yang masih berbaring ini dengan mata panas. Meski waktu sudah memberi jeda, gejolak di dada tetap sama.Jika kemarahan memiliki interval 1 sampai 1000, misal. Maka marah dan kecewa ini sudah sampai di batas maksimal. Aku tidak sudi lagi melihat wajah Sumarni. Andai bapak tetap mempertahankan dia, maka lebih baik aku saja yang pergi.Bapak menghela napas berat. Ditatapnya plafon rumah sakit dengan sendu. Lelaki yang sedang berbaring itu berkaca kedua netranya. Air yang menggumpal di kedua sudut mata itu menetes melewati pelipis kanan dan kiri.Aku paham. Bapak pun pasti sama kecewanya."Sampaikan talak bapak pada Sumarni, Ndok. Bapak sudah tidak bisa melanjutkan kalau seperti ini."Aku membuang napas dengan entakkan. "Aku lega mendengarnya."Setelah lama berharap, akhirnya talak itu keluar d
Ketika Mas Gagah Tiba 45"Ambil saja." Nata memberi saran. Dia menyentuh lengan agar aku menghentikan pertengkaran dengan Bu Sum.Bola mata Bu Sum membola ketika Nata berucap seperti itu. Dua bola mata yang dulu selalu membuatku takut dan menciut itu kini kucebik saja sambil balik kanan. Lalu menuju kamar bapak.Di depan lemari putih ini, aku membuka pintunya. Dikunci. Nata meraba bagian atas lemari. Ada. Dia memberikannya padaku, lantas aku segera membukanya."Heh! Jangan lancang kamu!" Bu Sum berkata sengit.Aku tidak tahu apa yang hendak dia lakukan karena fokus membuka kunci lemari, tapi Nata membuat gerakan seperti menghadang sesuatu di belakangku. Sontak aku menengok. Tangan Bu Sumarni sedang teracung sementara tangan kekar suamiku mencengkeram pergelangannya, sepertinya Bu Sumarni baru saja mau memukulku."Istriku hanya ingin mengambil haknya, Anda jangan halangi, Bu Sum!" Nata memperingatkan.Kalau lah suamiku kurus kerempeng seperti Mas Burhan, mungkin ibu tiriku itu sudah me
Ketika Mas Gagah Tiba 44Tangan Bu Sum meraba gagang pintu, baru kulihat raut takut di matanya. Dia berusaha tetap mengendalikan diri dengan mengangkat dagunya tinggi lalu menantang nyalang."Ibu datang ke sini sengaja buat urus bapak. Tapi kalau kamu lancang begini, maka lebih baik ibu pergi saja. Sana urus bapakmu sendiri!""Alasan! Kau memang hanya mau bapakku saat sehat saja. Saat sakit begini tidak mau mengurus. Ke mana saja kamu sampai-sampai baru datang ke sini?""Aku sibuk ngurus bayi Wulan.""Prioritasmu memang hanya Wulan dan dirimu sendiri. Bahkan ketika bapak sedang sekarat begini. Aku dan bapak hanya kau peras demi kebahagiaan kalian berdua.""Cukup, Andini! Semakin lancang saja kamu ... Pak, kamu diam saja lihat dia begini?""Pergi saja, Bu!" sahut bapak tak kalah kecewa."Kami tidak butuh kehadiranmu di sini. Dari dulu juga aku yang mengurus bapak. Yang mencuci pakaiannya, yang bangun malam untuk menyiapkan sarapannya tiap pagi, yang masak dan mengurus segala keperluann
Ketika Mas Gagah Tiba 43"Kenapa bapak?!" Aku setengah berteriak. Nada Bu Sumarni di seberang sana terdengar begitu panik, dan jelas membuatku sangat panik juga."Bapak kecelakaan di tol. Ibu tak tahu bagaimana kabarnya."Astagfirullah, lututku rasanya mendadak lemas. Tangan jadi gemetaran. Teringat bagaimana sikap dinginku belakangan ini pada bapak."Gimana keadaan bapak sekarang?""Ibu tidak tahu. Ibu baru dengar kabar."Allahuakbar. Aku mengusap wajah. Hal yang paling aku takutkan terjadi. Bapak mengalami kecelakaan. Tenang, Andini, tenang. Mungkin bapak tidak kenapa-napa.Aku mengendalikan diri dari kepanikan tak jelas ini. Lalu menelepon Nata."Mas, aku dengar bapak kecelakaan," kataku begitu sambungan diterima."Mas juga dengar. Ayo sebaiknya pulang, kita langsung ke sana saja.""Mas tahu lokasinya?""Tahu. Ayo pulang saja. Hati-hati di jalan.""Iya."Aku segera meninggalkan kampus. Pulang ke rumah menjemput suami. Sesampainya di sana, Nata mengambil alih kemudi. Kemudian kami m
Ketika Mas Gagah Tiba 42Jam 11 malam, deru motor suamiku baru terdengar. Dari balik gorden, bisa kulihat dia membuka pintu gerbang dengan menggunakan jas hujan. Air dari langit memang tidak berhenti seutuhnya. Kadang menderas, sebentar gerimis, lalu besar lagi.Aku menyambutnya di pintu dengan muka masam.Kesal. Aku menunggunya berjam-jam. Sementara chat dan teleponku diabaikan. Dia pikir aku tidak khawatir apa. Namanya berkendara, semua bisa saja terjadi. Tadinya mau kulaporkan polisi kalau sampai jam 12 malam tak juga pulang."Ke mana aja? Chat-ku gak dibalas. Telpon gak diangkat. Gak mikir apa kalau istri khawatir." Aku langsung menyemprotnya."Ada kerjaan, Sayang." Nata membuka helm dan jas hujannya di teras basah."Sampai gak ada waktu buat ngangkat telpon?""Tanggung. Mas silent hp nya.""Astagfirullah. Aku khawatir tahu. Kalau jam dua belas belum juga pulang, aku mau lapor polisi loh.""Mas gak kenapa-napa. Hanya ada kerjaan saja."Suamiku ini gak semanis tokoh di drama Korea.