KETIKA MAS GAGAH TIBA 15POV Bu SumarniAku menarik Wulan dari gadis kesetanan itu. Kurang ajar Andini, berani-beraninya dia melukai buah hatiku.“Aku pastikan kalian keluar dari rumah ini tanpa harga diri sama sekali!” katanya murka.Andini sepertinya tidak bisa menguasai diri, dari pada terjadi keributan yang lebih parah dan malah aku yang kalah, kutarik Wulan untuk menjauh. Aku akan pakai cara lebih apik dari pada hanya sebatas bertengkar.Aku membawa Wulan masuk kamar. Buah hatiku itu menangis tergugu. Kasihan sekali, ikut perih aku mendengar tangisannya. Kuraba wajah itu dan kusingkap pipinya, jejak telapak membekas di sana, kulitnya bahkan terlihat berdenyut.Kurang ajar kamu Andini, akan kubalas lebih parah dari ini. Berani-beraninya dia. Aku saja tidak pernah melukai Wulan.“Sakit, Ma.”“Iya, sayang. Mama tahu pasti sakit.”Tanganku terkepal. Dendam membara. Aku tidak akan tinggal diam.Aku mengambil baskom kecil, es dan air. Anak tiri bodoh itu masih ada di ruang makan member
Menit-menit berlalu. Gadis cantikku ini mulai tidur lelap. Darahku berdesir setiap kali melihat jejak di pipinya. Aku meraba kening Wulandari. Boleh saja dia sudah dewasa, bagiku dia tetap anak-anak.Bersama malam yang semakin pekat, aku merajut kenangan.Tidak akan pernah terhapus dari ingatan kejadian belasan tahun silam. Saat itu usia Wulandari baru kelas dua SD. Aku mendapati bapaknya selingkuh dengan wanita lain. Setahun lamanya kami ada dalam debat kusir tidak bertepi. Bertengkar setiap hari.“Aku selingkuh karena sipatmu juga, Ma. Sudah bosan aku hidup bersamamu.” Darman teriak dan bersumpah serapah. Dia baru saja mengakui perselingkuhannya.“Begitu. Kamu lebih memilih jalang itu dari pada aku dan Wulan?”“Ya, aku memilih dia yang bisa menghargaiku dari pada kamu yang tidak pernah bersyukur!” Darman mengambil tas dan mengemasi pakaiannya. Wulandari yang saat itu sudah berada di bangku kelas 3 SD tentu saja paham kalau bapaknya akan pergi. Dia menjerit memeluk pinggang Darman. “
KETIKA MAS GAGAH TIBA 16POV Andini“Andini!” Suara teriakan bapak menggelegar dari depan kamar utama. Sudah pastilah bapakku menerima hasutan dari Bu Sumarni. Tidak mengapa. Aku sudah siap dengan semuanya.Setiap orang tentu ingin hidup tenang dan damai. Menjalani hari-hari dalam kerukunan. Tetapi beginilah nasib hidupku. Harus seatap dengan manusia berhati iblis.Mengalah. Sudah sejak lama. Sabar. Sudah dari dulu. Sekarang waktunya aku pasang badan untuk bertahan.Terbayang dalam benak akan seperti apa bapak marahnya malam ini. Mungkin dia akan menamparku sama seperti yang kulakukan pada Wulan. Bahkan mungkin mengusir dan membuang semua pakaianku. Wajar, mengalah saja aku masih disalahkan apa lagi jelas-jelas melawan begini.Aku berjalan menghampiri bapak dengan langkah hati-hati. Segelas kopi panas dan air putih kubawa turut serta dalam nampan.Aku bukan orang yang pandai mengendalikan diri. Selama ini hanya menjadi si gadis terpuruk yang selalu mengalah. Baru sekarang ini bisa mel
KETIKA MAS GAGAH TIBA 17Ini pagi yang berbeda. Dia yang membuat hariku cerah tidak akan menunjukkan wajah. Nata. Nama itu serupa mentari yang menyorot setiap pagi.Aku duduk di atas kasur menekuk lutut. Jam dinding menunjukkan pukul tiga dini hari. Sudah biasa setiap pagi bangun di jam ini. Jiwa serupa memiliki alarm, tidak bisa bablas meski sehari saja.Aku mengambil ponsel. Mengecek barang kali ada chat dari Nata. Ah, tidak ada. Sepagi ini mungkin dia belum bangun. Atau malah sudah berangkat dan kembali tidur di perjalanan. Biarlah, cukup do’a-ku yang mengiringinya.Aku bergegas menyiapkan sarapan untuk bapak. Lalu duduk di meja makan menemani bapak dengan membawa segelas susu hangat.“Jangan buat keributan lagi, Andin.” Setelah diskusi itu perkataan bapak lebih baik.“Enggak akan kalau gak ada yang memulai.”Bapak menggeleng kecil. Menatapku dengan sorot keheranan. Aneh mungkin dia, anaknya jadi semakin berbeda.“Bapak tetap tidak mau menikahkanku?”“Tergantung bagaimana sikap cal
Kendaraan Mbak Anggun terparkir cantik di depan gerbang. Hari ini dia mau mengantarkanku ke kota untuk mengubah penampilan katanya. Aku sudah memastikan pada Nata berapa uang yang boleh kugunakan. Dia bilang habis pun tidak mengapa.Bu Sumarni serupa tupai mencari makan, celingak-celinguk terus mengintip Mbak Anggun di sana. Lalu celingak-celinguk melihatku yang sedang berkemas. Kepo sekali."Mau ke mana kamu?" tanyanya ingin tahu tapi masih dengan raut angkuh."Pergi. Belanja.""Gayamu.""Iya, lah."Aku melenggang meninggalkan wanita itu. Puas sekali ya melihat orang yang setiap hari memojokkan dan menghina kita tidak berguna, sekarang hanya melongo sambil ternganga melihat perubahan hidup kita yang naik perlahan.Aku sudah berjanji dalam hati. Andai jadi orang kaya. Aku tidak akan alirkan kekayaanku pada Sumarni. Aku gak akan jadi anak yang menafkahi orang tua. Apa-apaan, selama ini aku saja cuma dapat sisa.Wulan. Kalau beli baju pasti yang bagus. Yang mahal. Beli kes dari toko. Ka
"A-Andini... kamu habis perawatan?" Wulandari terkesima."Iya, aku habis nyalon. Sudah sembuh kamu?" Aku sengaja menahan langkah. Memindai raut pucat itu.Wulandari tersenyum sebelah bibir dan membuang muka."Mau perawatan seperti apa pun kamu tidak akan bisa menyaingiku." Intonasinya pelan. Tentu saja karena ada bapak di rumah.Aku membalas senyumannya semanis mungkin. "Siapa yang mau menyaingimu?" Aku kembali mengayunkan langkah."Eh, iya. Aku ketemu sama Mas Burhan kemarin. Jaga kesehatan katanya.""Ih." Wulandari mendelik tidak suka.Aku menyimpan barang belanjaan. Mandi, lalu berbenah.Sebelum beranjak tidur, aku mengirimkan foto dan setruk transaksi belanjaan serta biaya perawatan salon pada Nata. Sebatas memberi tahu seperti ini hasil salon dengan nominal yang tak sedikit. Nata tidak membalas, sudah tidur atau sibuk, mungkin.Tidak peduli tidur selarut apa, jam tiga dini hari aku pasti terbangun untuk mempersiapkan sarapan bapak. Bapakku sering kali tidak sempat sarapan. Dia ka
"Dia anakku, Wulan. Kamu tidak boleh membunuhnya!" Kalimat Mas Burhan bisa dengan jelas kudengar.Apa? Anak Mas Burhan?Pada awalnya, aku berniat langsung menghampiri mereka, namun kalimat Mas Burhan membuatku urung. Tanpa pikir panjang, aku nemplok ke mobil yang terparkir di depan klinik. Memberi kode pada Mbak Anggun agar mobilnya segera pergi dari sini.Mobil jeep ini cukup tinggi. Sepertinya kedatanganku bisa terlindungi. Beberapa detik aku menunggu reaksi, dan benar saja. Tidak ada gelagat dari mereka yang mungkin menyadari kedatanganku.Oh, iya. Hp. Aku tidak boleh melewatkan ini. Sudah beberapa dialog terlewat memang, tapi gak masalah. Aku butuh informasi sekecil apa pun.Kuarahkan kamera pada dua orang yang sedang berdebat itu. Suaranya agak buyar sebab jarak dan deru kendaraan yang hilir mudik di jalanan."Aku tidak peduli. Hidupku akan hancur gara-gara bayi ini." Wulandari menghempaskan tangan Mas Burhan yang mencoba meraihnya. "Ini semua gara-gara kamu. Kau bodoh. Ceroboh,
Melupakan semua hal tentang Wulandari, aku datang ke galeri seorang MUA. Melihat-lihat begitu banyak gaun pengantin dari yang bertema internasional sampai adat. Hasil riasan dan juga dekorasinya tidak lepas dari pemeriksaan kami.Di daerahku, hajatan itu semacam ajang pengembalian amplop. Terkadang acara dilakukan di dua tempat. Mempelai istri dan juga suami. Berhubung aku punya keluarga yang tidak lazim, maka resepsi akan diadakan di satu tempat saja. Entah rumahku, rumah Nata, atau mungkin sewa tempat.Sekecil apa pun perkembangan, aku musyawarahkan dengan Bu Hamidah. Menyatukan kecocokan. Ibunya Nata itu bukan wanita ribet ternyata, dia ikut saja apa yang kumau, hanya kadang menambahkan atau mengingatkan agar aku tidak melupakan ini dan itu.Lelah pulang dari MUA, aku mengistirahatkan diri pada sofa ruang keluarga. Bu Sum tidak ada di rumah. Sementara Wulandari mengurung diri di kamar.Menit kemudian, Wulandari membuka pintu kamar, dia mematung beberapa detik. Menatapku. Entah apa
Seorang wanita berwajah jelita memasuki ruang yang dirancang sedemikian mewah. Membawa troli berisi aneka alat-alat masak. Tiga chef terkenal duduk di kursi kecil."Hallo, Chef." Andini tersenyum manis. Lalu menyusun alat-alatnya di meja berlapis stainles."Hallo, siapa nama kamu?" tanya pria bermata sipit di depan sana."Andini Larasati, Chef.""Wong jowo?""Yes, Chef.""Bilang yes jadi hilang wong jowonya," timpal juri berwajah jelita. Lalu disambut tawa kecil oleh yang lainnya."Enggak dong, Chef.""Mau masak apa, Andini?""Siomay seafood with mozzarella sauce.""Oke. Sudah siap?""Siap, Chef.""Waktunya lima menit dari ... sekarang."Tangan cekatan Andini lihai bergerak-gerak. Mempersiapkan apa yang tadi sudah dibuatnya. Jika peserta lain grogi masak sambil diperhatikan chef terkenal, tidak dengan Andini. Mentalnya cukup kuat untuk menerima semua itu. Tatapan para juri tidak lah ada apa-apanya jika dibandingkan sorot mata tajam dan mengintimidasi milik Sumarni. Jangankan hanya dip
KETIKA MAS GAGAH TIBA ENDMungkin nyawa Wulandari sudah melayang bila mana bayi itu tidak menangis. Seperti mendapat panggilan alam, mulut kecil itu menjerit keras. Suaranya memantul dari dinding ke dinding. Lalu menyelinap masuk ke dalam relung hati Burhan.'Dia ibu dari anakmu, dan ayahnya bukan seorang pembunuh.' Suara lembut berbisik dalam dirinya.Marah yang meletup bertabrakan dengan penyesalan karena tidak bisa menahan emosi. Dua perasaan itu membuat dia kesulitan mengendalikan diri. Burhan menghempaskan Wulandari dan Sumarni dari cengkeramannya. Dia berbalik dengan kaca-kaca di matanya. Bertolak pinggang. Sakit hati dan penuh penyesalan.Di belakang Burhan. Wulandari luruh. Duduk di lantai dan mengambil napas sebanyak-banyaknya. Terbatuk-batuk dia. Sementara Sumarni memegangi rahangnya yang seperti akan hancur.Selama ini, pada siapa pun mereka melontarkan cacian, tidak pernah ada yang melawan dengan melakukan tindak kekerasan yang nyaris melayangkan nyawa. Sumarni dan Wulanda
KETIKA MAS GAGAH TIBA 47POV AuthorDi malam yang hening, Andini berurai air mata. Ditatapnya berkas sertifikat yang menunjukkan kepemilikan atas namanya itu. Dadanya terasa penuh sebab rasa bahagia yang membuncah. Tak menyangka Nata akan melakukannya.Dipeluknya berkas itu serupa kekasih yang telah lama pergi."Sayang...." Nata mengusap punggung Andini."Aku gak nyangka kamu lakuin ini, Mas." Mata merah Andini menatap suaminya."Kenapa kamu baik banget?"Tanpa berkata, Nata menarik Andini bersandar pada dadanya yang lebar. Kemudian mengecup ubun-ubun Andini. "Aku sayang kamu. Sudah terlalu lama kamu menanggung penderitaan. Sekarang saatnya bahagia." Nata menjeda."Mas bahagia kalau kamu bahagia. Mas ikut sakit jika kamu sakit. Maka teruslah bahagia ... untukku." Nata mengangkat dagu Andini agar melihat padanya.Mendengar itu, tangisan dua netra Andini semakin berlinang. Nata bukan laki-laki yang pandai menggombal. Kalimat itu pastilah dari hatinya yang paling dalam. Bagi Andini, Nata
"Pak...Bapak... maafkan ibu, Pak." Dia langsung bersujud di depan kaki bapak."Ibu tidak punya niat jahat, Pak. Ibu hanya mau menabung." Dia berlinang-linang. Aku mencebik.Tanpa menghiraukannya, aku dan bapak melanjutkan langkah kembali ke tempat tidur.Sumarni beranjak mengikuti kami. Menunduk di depan bapak. "Bapak jangan salah sangka. Itu tidak seperti yang Andini kira. Ibu menabung untuk masa tua kita.""Masa tua yang seperti apa, Sumarni?" bapak yang sudah duduk tenang di atas kasur menatap wanita yang dulu selalu dibelanya."Masa tua seperti apa? Harus menunggu bagaimana dulu agar kau mengeluarkan tabunganmu? Jika bapak ada dalam kondisi hampir kehilangan kaki saja kau tidak bicara, lalu menunggu kondisi seperti apa? Menunggu bapak mati? Lalu kau bisa foya-foya, begitu?"Sumarni menggeleng. Terisak-isak."Bapak paham. Kau mempersiapkan diri untuk masa tuamu, bukan masa tua kita.""Tidak, Pak. Tidak begitu....""Cukup! Cukup!" Bapak menunjukkan telapak. "Bapak selalu menomorduak
KETIKA MAS GAGAH TIBA 46"Kalau bapak masih menganggapku anak, ceraikan dia. Tapi kalau bapak tetap mempertahankan pernikahan bapak. Maaf aku tidak akan lagi ada di samping bapak."Aku menatap pria yang masih berbaring ini dengan mata panas. Meski waktu sudah memberi jeda, gejolak di dada tetap sama.Jika kemarahan memiliki interval 1 sampai 1000, misal. Maka marah dan kecewa ini sudah sampai di batas maksimal. Aku tidak sudi lagi melihat wajah Sumarni. Andai bapak tetap mempertahankan dia, maka lebih baik aku saja yang pergi.Bapak menghela napas berat. Ditatapnya plafon rumah sakit dengan sendu. Lelaki yang sedang berbaring itu berkaca kedua netranya. Air yang menggumpal di kedua sudut mata itu menetes melewati pelipis kanan dan kiri.Aku paham. Bapak pun pasti sama kecewanya."Sampaikan talak bapak pada Sumarni, Ndok. Bapak sudah tidak bisa melanjutkan kalau seperti ini."Aku membuang napas dengan entakkan. "Aku lega mendengarnya."Setelah lama berharap, akhirnya talak itu keluar d
Ketika Mas Gagah Tiba 45"Ambil saja." Nata memberi saran. Dia menyentuh lengan agar aku menghentikan pertengkaran dengan Bu Sum.Bola mata Bu Sum membola ketika Nata berucap seperti itu. Dua bola mata yang dulu selalu membuatku takut dan menciut itu kini kucebik saja sambil balik kanan. Lalu menuju kamar bapak.Di depan lemari putih ini, aku membuka pintunya. Dikunci. Nata meraba bagian atas lemari. Ada. Dia memberikannya padaku, lantas aku segera membukanya."Heh! Jangan lancang kamu!" Bu Sum berkata sengit.Aku tidak tahu apa yang hendak dia lakukan karena fokus membuka kunci lemari, tapi Nata membuat gerakan seperti menghadang sesuatu di belakangku. Sontak aku menengok. Tangan Bu Sumarni sedang teracung sementara tangan kekar suamiku mencengkeram pergelangannya, sepertinya Bu Sumarni baru saja mau memukulku."Istriku hanya ingin mengambil haknya, Anda jangan halangi, Bu Sum!" Nata memperingatkan.Kalau lah suamiku kurus kerempeng seperti Mas Burhan, mungkin ibu tiriku itu sudah me
Ketika Mas Gagah Tiba 44Tangan Bu Sum meraba gagang pintu, baru kulihat raut takut di matanya. Dia berusaha tetap mengendalikan diri dengan mengangkat dagunya tinggi lalu menantang nyalang."Ibu datang ke sini sengaja buat urus bapak. Tapi kalau kamu lancang begini, maka lebih baik ibu pergi saja. Sana urus bapakmu sendiri!""Alasan! Kau memang hanya mau bapakku saat sehat saja. Saat sakit begini tidak mau mengurus. Ke mana saja kamu sampai-sampai baru datang ke sini?""Aku sibuk ngurus bayi Wulan.""Prioritasmu memang hanya Wulan dan dirimu sendiri. Bahkan ketika bapak sedang sekarat begini. Aku dan bapak hanya kau peras demi kebahagiaan kalian berdua.""Cukup, Andini! Semakin lancang saja kamu ... Pak, kamu diam saja lihat dia begini?""Pergi saja, Bu!" sahut bapak tak kalah kecewa."Kami tidak butuh kehadiranmu di sini. Dari dulu juga aku yang mengurus bapak. Yang mencuci pakaiannya, yang bangun malam untuk menyiapkan sarapannya tiap pagi, yang masak dan mengurus segala keperluann
Ketika Mas Gagah Tiba 43"Kenapa bapak?!" Aku setengah berteriak. Nada Bu Sumarni di seberang sana terdengar begitu panik, dan jelas membuatku sangat panik juga."Bapak kecelakaan di tol. Ibu tak tahu bagaimana kabarnya."Astagfirullah, lututku rasanya mendadak lemas. Tangan jadi gemetaran. Teringat bagaimana sikap dinginku belakangan ini pada bapak."Gimana keadaan bapak sekarang?""Ibu tidak tahu. Ibu baru dengar kabar."Allahuakbar. Aku mengusap wajah. Hal yang paling aku takutkan terjadi. Bapak mengalami kecelakaan. Tenang, Andini, tenang. Mungkin bapak tidak kenapa-napa.Aku mengendalikan diri dari kepanikan tak jelas ini. Lalu menelepon Nata."Mas, aku dengar bapak kecelakaan," kataku begitu sambungan diterima."Mas juga dengar. Ayo sebaiknya pulang, kita langsung ke sana saja.""Mas tahu lokasinya?""Tahu. Ayo pulang saja. Hati-hati di jalan.""Iya."Aku segera meninggalkan kampus. Pulang ke rumah menjemput suami. Sesampainya di sana, Nata mengambil alih kemudi. Kemudian kami m
Ketika Mas Gagah Tiba 42Jam 11 malam, deru motor suamiku baru terdengar. Dari balik gorden, bisa kulihat dia membuka pintu gerbang dengan menggunakan jas hujan. Air dari langit memang tidak berhenti seutuhnya. Kadang menderas, sebentar gerimis, lalu besar lagi.Aku menyambutnya di pintu dengan muka masam.Kesal. Aku menunggunya berjam-jam. Sementara chat dan teleponku diabaikan. Dia pikir aku tidak khawatir apa. Namanya berkendara, semua bisa saja terjadi. Tadinya mau kulaporkan polisi kalau sampai jam 12 malam tak juga pulang."Ke mana aja? Chat-ku gak dibalas. Telpon gak diangkat. Gak mikir apa kalau istri khawatir." Aku langsung menyemprotnya."Ada kerjaan, Sayang." Nata membuka helm dan jas hujannya di teras basah."Sampai gak ada waktu buat ngangkat telpon?""Tanggung. Mas silent hp nya.""Astagfirullah. Aku khawatir tahu. Kalau jam dua belas belum juga pulang, aku mau lapor polisi loh.""Mas gak kenapa-napa. Hanya ada kerjaan saja."Suamiku ini gak semanis tokoh di drama Korea.