“Sebentar.” Kay langsung beranjak. Dia keluar dari kamar Albern, meninggalkan Jenna dengan wajah kesal.“Kenapa lama sekali?! Bagaimana?” tanya Kay.“Kami kehilangan jejak, Tuan. Kami tidak punya informasi apa-apa untuk bisa melacak keberadaannya. Tadi, saat kami tiba di pemakaman, dia sudah tidak ada di sana.”Kay berdecak kesal. “Kalau begitu tetap cari tahu keberadaannya.” Tangan kirinya menekan pelipisnya.“Bolehkah kami meminta kontaknya, Tuan? Agar lebih mudah melacaknya.”“Ya, akan aku kirim.” Kay mengakhiri panggilan itu. Tangan dan jarinya pun langsung mengirim kontak Livy pada anak buahnya. Detik berikutnya, ia malah menghela napas panjang. ‘Kenapa aku malah memikirkan dia?! Kenapa aku ini?!’ batin Kay.Jenna kembali mendekati Kay. Dia memeluknya dari belakang.“Kak? Ada apa?” tanyanya, menempelkan kepala di punggung Kay.Kay menoleh dan langsung membalik badan. “Sudah malam… sebaiknya kamu tidur,” ucap Kay lembut.“Bolehkah temani aku tidur?” tanya Jenna terang-terangan.“J
Richard adalah pribadi yang sangat menjunjung tinggi kejujuran. Dia tidak sabar meminta penjelasan Jenna tentang semuanya.Baru saja Kay ingin kembali melanjutkan langkah untuk mengimbangi Jenna dan Albern, tiba-tiba handphone-nya kembali berbunyi. Dia menjawabnya,“Sudah ku bilang tidak perlu lagi—”“Kay!” panggil Richard, yang terkejut dibentak.Kay memastikan nama yang memanggilnya. “Ma- maaf Pa, aku pikir tadi…”“Kau kenapa?” tanya Richard.“A—tidak apa-apa, Pa. Tadi aku pikir dari kantor, anak buah. Maaf,” jelas Kay sedikit panik.“Kalian di mana?” tanya Richard dingin.“Kami sedang di mall, Pa. Jalan-jalan. Ada apa, Pa?”“Kalau urusan Albern sudah selesai, segera pulang, ada hal penting yang ingin Papa tanyakan.”“Apa itu Pa?” tanya Kay.“Bukan kamu, tapi Jenna.”“Je- Jenna? Ada apa, Pa? Ba- baiklah…” tanya Kay yang heran, tetapi paham sepertinya masalah serius.Kay memberi tahu Jenna.“Om mau tanya apa Kak?” tanyanya dengan wajah penasaran sedikit salah tingkah. Ia pikir Richar
“Jen?” Kay menatap Jenna dengan penuh kebingungan. “Bagaimana kamu bisa tahu?”“Aku pernah mendengarnya. Hubungan Kakak dengan Livy bahkan sudah jauh. Makanya aku berusaha untuk membuatnya tidak bernilai lebih di mata Kakak dan Om Richard.”Kay gelagapan. Dia tidak menyangka Jenna mendengar sebanyak itu. Dia pun panik saat menatap wajah Richard yang masih bertanya-tanya.“Pa, semua yang Jenna bilang memang benar. Tapi, aku sudah selesai dengannya sebelum menikah dengan Selina. Aku bahkan membencinya! Kenapa aku memilih dia menjadi Ibu Susu Albern karena hanya dia yang cocok menyusui Albern. Papa bisa tanya pada Dokter Rico dan Suster Merry.”Richard terdiam. Tidak ada yang tahu apa yang ada di pikirannya.“Jen… Kamu jangan khawatir. Kalau kamu pernah mendengar semuanya, kamu juga pasti dengar kalau aku membencinya. Aku muak dengannya. Selama dia berada di sini, aku selalu emosi. Tapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa karena Albern membutuhkan dia,” jelas Kay, berusaha meyakinkan Jenna.
Richard menghubungi Livy setelah meminta kontaknya dari ART. Apa yang dilakukannya sama sekali tidak diketahui oleh Kay. Dia ingin bertemu dengan ibu susu cucunya itu untuk meminta maaf. Bagaimana pun dia merasa bersalah karena sudah menganggapnya rendah.‘Semoga saja Ibu Livy mau bertemu. Aku juga jadi penasaran sebenarnya sejauh apa hubungannya dengan Kay di masa lalu.’ Richard berbicara di dalam hati.[Maaf Tuan, ini tentang apa?]Richard langsung mengirimkan alamat sebuah kafe pada Livy. [Jika Ibu Livy berkenan, saya tunggu sore ini jam 5 di kafe ini.]Sebenarnya Livy bimbang. Apakah dia harus datang atau tidak. Tetapi, dia pun penasaran hal penting apa yang Richard ingin sampaikan padanya.Setelah berpikir matang, akhirnya Livy menemui Richard sore itu.“Saya senang Ibu Livy datang. Silakan duduk Ibu Livy.” Richard menyambutnya.Livy bisa saja berpikiran yang bukan-bukan pada Richard, tapi selama ini pun dia tidak pernah menunjukkan sikap yang kurang enak atau melebihi batas.“Ad
“Pertanyaan apa itu, Tuan?” balas Livy.Richard tersenyum simpul. Dia menggeleng. “Maaf Ibu Livy… Tapi, yang saya tahu ketika seseorang itu benar-benar jahat, dia tidak akan mengakui kalau dia jahat, kejam dan pantas dibenci.”Livy terdiam.“Di sini saya tidak mengundang Ibu Livy untuk pernikahan Kay dan Jenna bulan depan, tapi saya meminta Ibu Livy datang untuk menjaga cucu saya, Albern. Hanya Ibu yang bisa saya percaya untuk menjaganya seharian penuh.”Wajah Albern berlarian di pandangan Livy. Dia sangat merindukan anak susunya tersebut. Dia ingin sekali memeluknya, mendekapnya dan menciumnya. Ia pun berpikir, mungkin hanya dengan begitu dia bisa bertemu lagi dengan Albern dan akan benar-benar menjadi momen terakhirnya.“Baiklah Tuan,” ucap Livy lirih.Richard tersenyum lebar. “Terima kasih, Ibu Livy. Terima kasih!”“Tapi… saya tidak akan bergabung di dalam acara, Tuan. Saya hanya ingin bersama Albern,” jelas Livy.“Baik, Ibu Livy.”Setelah pertemuan Livy dan Richard hari itu, Livy
Kay dan Jenna sudah berada di altar. Janji suci pernikahan mereka akan segera dimulai. Namun, Livy yang panik langsung berlari mencari Richard.“Tuan Richard!!!” teriak Livy memanggil dengan panik.Seluruh mata tertuju pada Livy. Termasuk tatapan Kay dan Jenna.Kebencian masih terlihat jelas di wajah Kay. Pikiran penuh tanya, mengapa Livy bisa ada di sana.“Li vy?” Richard mendekati. “Ada apa? Kenapa kamu keluar?” tanyanya.“Al… Albern, Tuan. Tangannya dingin. Dari tadi saya coba bangunkan dia tidak merespon. Saya sangat khawatir,” jelas Livy panik.Gedung yang tiba-tiba hening, membuat Kay mendengar pengaduan Livy pada ayahnya. Ia berjalan cepat untuk menghampiri.Jenna sempat mencegah Kay untuk pergi meninggalkan Altar. Dia sangat kesal karena seharusnya sebentar lagi mereka akan sah menjadi suami istri. Namun, kemunculan seseorang yang tidak dia inginkan tersebut telah mengacaukan semuanya.“Kaak…” Jenna mencoba mengejar Kay.“Apa maksudmu?! Kenapa kau ada di sini?!” bentak Kay pad
Kay melepas cengkeramannya dari leher Livy dengan cara mendorongnya. Livy terpental jatuh ke belakang dan terduduk.“Ahh!” Livy kesakitan dan reflek menekuk perutnya karena terasa sakit. Ia menangis dan merintih kesakitan.“Kay! Kau keterlaluan!” ucap Richard.“Aku keterlaluan, Pa? Dia sudah berusaha membunuh Albern!” bentak Kay.Mulut Livy masih ternganga sambil merintih menahan sakit di bokong dan perut bawahnya. Ia tidak kepikiran untuk membela dirinya lagi. Dia terus menekuk dan memegang perutnya.“Aku akan penjarakan kau!” tuduh Kay pada Livy dengan sangat kejam.Livy menggeleng. Dia berusaha bangkit untuk menyelamatkan diri. Tidak akan ada yang peduli rasa sakit yang dialaminya.Saat Livy mencoba berdiri, tiba-tiba cairan merah mengalir di kakinya hingga menetes ke lantai. Ia masih merintih. Bahkan tidak tahu apa yang terjadi padanya.Livy kembali terjatuh berlutut sambil menahan sakit yang luar biasa. “To long…” Livy meminta tolong.“Ibu Livy…” Richard ingin mendekat.“Papa! Ja
Kay baru saja keluar dari kantor polisi. Saat akan masuk ke dalam mobilnya, ada panggilan dari ayah mertuanya.“Halo, Pa?”“Kay… Bukan Ibu Livy. Bukan dia pelakunya. Pelakunya Jenna!” Richard langsung memberi tahu.“A- apa? Maksud Papa?” Kay masih berusaha mencerna laporan ayah mertuanya.Richard menjelaskan semuanya.Kay frustrasi dia menekan pelipisnya lalu menutup mulutnya. “Arggh! Sialan! Bagaimana bisa?” pekiknya emosi.“Bawa Ibu Livy kembali, Kay. Dia tidak bersalah! Sementara itu Papa akan tetap berpura-pura tidak tahu kalau Jenna adalah pelaku yang sesungguhnya. Papa tunggu kamu. Cepat!” ucap Richard. Dia pun bergerak cepat untuk mendapatkan bukti penguat yanag lain.Kay teringat pada Livy. Ia pun mulai kepikiran bagaimana kalau yang dia katakan benar? Kalau dia benar-benar keguguran anaknya? Tapi kebenciannya pada wanita itu dan mengetahui di mana dia tinggal belakangan ini, membuatnya ragu. Ia tidak bisa percaya semudah itu.Dengan cepat dia kembali masuk ke dalam kantor pol
“Siapa yang berbicara barusan?” tanya Kay. Suaranya pelan dan datar namun berhasil membuat pegawainya yang berbisik-bisik terdiam, kaku, menunduk tak berkutik.Kay memberikan Albern pada Livy.Livy menggendong Albern. Ia sama sekali tidak tersinggung dengan bisikan itu. Apa yang salah? Semua oran tahu bahwa dia memanglah babu, sebatas ibu susu.“Siapa yang baru saja bicara seperti itu?!” bentak Kay.Semua mereka bergidik takut.“Papa…” Albern memanggilnya lembut. Anak itu tidak pernah melihat ayahnya marah dan membentak tegas seperti itu.Emosi Kay teralihkan. Dia menatap anaknya.“Livy, kamu bisa ke ruanganku. Bawa Albern,” jelas Kay lembut.“Tidak perlu menegur mereka,” ucap Livy dengan tenangnya. Namun, justru ucapannya itu membuat Kay semakin kesal dan emosi pada pegawainya.Kay merangkul Livy. Melanjutkan langkah mereka bersama untuk masuk ke dalam lift.Pegawai biasanya itu langsung menghela napas lega. Mereka saling menyalahkan satu sama lain. Lalu mendesis merasa beruntung kar
Livy menjauhkan tatapannya. “Ya,” jawabnya, menyibukkan diri dengan merapikan body and hair care milik Albern.“Ya sudah, Papa makan dulu ya? Al dan Mama siap-siap,” ucapnya. Kay masih menatap Livy, yang sibuk, atau berpura-pura sibuk agar tidak menatapnya. “Hm, kamu sudah makan?” tanyanya.Livy menatapnya lagi. “Belum,” jawabnya.“Oh. Ka- kalau begitu ayo makan bersama,” ucap Kay.“Ya, duluan saja,” jawab Livy.Kay mengangguk. Ia menggendong Albern dan membawanya keluar kamar. “Ayo temani Papa makan,” ucapnya.Setelah Livy membereskan kamar Albern, dia pun keluar kamar. Baru saja dia menutup pintu, Albern sudah berlari menangkapnya.“Eh Al?” sapa Livy, gemas. Dia langsung menggendong anak itu.“Papa…” ucap Al, menunjuk ke arah dapur.“Mau sama Papa?” tanya Livy.Al mengangguk.Kening Livy mengernyit. Padahal tadi Kay sudah membawanya, dia yang kembali, lalu kenapa meminta untuk kembali pada ayahnya di meja makan? Namun, dia tidak mungkin mendebat anak kecil yang belum mengerti apa-ap
Livy tidak menjawab. Namun, hatinya juga tak marah mendengar ungkapan harap dari Kay.Kay menatap wajah Livy, yang pandangannya tidak membalasnya. Arah pandangannya menunduk, menatap gelas atau meja, yang pasti tak menatap sorot mata Kay yang penuh harap.Kembali hening.Livy meraih gelasnya, lalu kembali minum. Usai ia meletakkan kembali, barulah dia bersuara. “Aku—aku…” Ragu. Tak tahu harus bagaimana menyampaikan. “Aku rasa, sekarang… justru aku—aku tak pantas untukmu.”“Aku yang tak pantas untukmu,” timpal Kay. Ia tidak terima dengan ucapan Livy. “Aku yang tidak pantas untukmu, karena kejahatan dan kekejamanku padamu saat aku tidak tahu semuanya, benar-benar bukan seperti manusia yang punya hati. Aku yang tidak pantas,” potong Kay. “Tidak apa-apa, Livy. Aku mengerti,” sambungnya pelan.Livy terdiam. Dia juga belum bisa memaafkan luka itu jika mengingatnya.“Aku ke kamar Albern dulu,” lirih Livy, lari dari perbincangan dan pembahasan mereka yang dingin dan tak berujung. Ia membawa g
Livy tidak bisa menjawab ucapan Richard. Lagi pula pertanyaan itu tak untuk dijawab, melainkan untuk dirasakan. “Aku ke kamar Al dulu, Pa,” ucapnya pelan. Ia menunduk lalu berjalan, meninggalkan Richard. Ia menuju kamar Albern.Dan begitulah, malam itu tak menunjukkan perubahan besar untuk hubungan keduanya. Tidak ada pelukan, tidak ada amarah yang meledak. Namun, diamnya mereka seakan menyiratkan kalau semua itu adalah permulaan. Mungkin, tak mungkin mengulang masa lalu, tak bisa, tetapi bisa saja menyusun kembali hal yang jauh lebih dalam.Kay tahu, luka yang ditinggalkannya terlalu dalam untuk disembuhkan hanya dengan penyesalan. Ia tidak berharap untuk dimengerti, apalagi dicintai kembali. Tapi malam itu, ucapan maaf Livy saat tiba di rumah, seakan memintanya masuk ke dalam ruang luka, dan membiarkannya melihat dari dekat. Livy pun sangat menyesal tak memberitahu semuanya di masa itu.Di kamar Albern, saat memandangi anak yang sudah lelap itu, tatapannya justru menuju lamunan. Dia
Setelah lama di pemakaman, hening, diam tanpa sanggup membahas semuanya kembali ke belakang, akhirnya Kay beranjak. “Kita pulang?” tanyanya.Suaranya masih serak, khas suara baru selesai menangis, atau memendam kepedihan yang tak terungkapkan.Livy pun beranjak, tanpa menjawab, tanpa menatap Kay. Dia melangkah lebih dulu, meninggalkan Kay beberapa langkah di belakangnya. Ada banyak hal yang disesalkan, tetapi tak berguna untuk diungkapkan kembali. Membuatnya masih menitikkan air mata. Tangannyaa pun sibuk menepisnya.Kay melihat kalau Livy juga tidak dapat membendung air matanya. Andai saja dia bisa memeluk, menenangkannya seperti yang sering dia lakukan dulu. Namun, semua itu tinggal kenangan, bayang-bayang semu yang tak tahu apa mungkin akan terulang. Tangannya serasa tak akan sampai, meski Livy tepat berada di depannya.Livy masuk ke dalam mobil. Tepat setelah Kay bergerak cepat membukakan pintu untuknya. Ia duduk diam dan keheningan kembali menguasai mereka.Perjalanan mereka sama
Livy reflek melangkah mundur. Ia menatap Kay dengan kebingungan dan sedikit tidak percaya. Kay bahkan sudah mencari tahu sejauh itu. Sedalam itu rasa sakit yang dia simpan?“A- aku bahkan tidak tahu kalau mereka mengubur kandunganku. Aku tidak tahu usianya berapa. Aku sama sekali tidak tahu apa-apa,” isak Livy, menutup mulutnya. Perih di masa lalu membuat tubuhnya sedikit gemetar.Tatapan Kay teduh dan iba. Dia bisa merasakan betapa sakit dan pahit yang Livy alami di masa lalu. Ia pun merasa semakin bersalah karena sudah membenci Livy selama itu.Andai boleh mengikut hati, Kay ingin sekali meraih tangan Livy, menggenggamnya hingga memeluknya erat seakan memberikan kekuatan untuk saling menguatkan. Ia ingin mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang. Sayangnya, Kay tidak berani melakukan semua itu setelah jahat dan kejam yang dia berikan tanpa henti padanya.Ia pun menunduk. Napasnya sesak. Terdengar saat dia mencoba menghela napas menyembunyikan air matanya. “Aku minta maaf. Tapi, a
“Kay?” Richard tidak menyangka bahwa menantunya itu bahkan akan menghukum dirinya sendiri. “Aku pantas dihukum, Pa. Aku sudah sangat kejam pada Livy. Dia pantas memutuskan ini,” ucap Kay, kelu. Livy menutup mulutnya setelah menjatuhkan kertas yang harusnya dia tandatangani. Dia tidak bisa mengambil langkah itu meski ia belum bisa memaafkan Kay. “Kamu pikir aku akan memaafkanmu dengan menghukummu seperti ini?” lirih Livy sedikit geram walau masih terisak. Kay tidak menjawab. Dia hanya menunduk. Penyesalan di dirinya terlihat amat begitu dalam. Livy menatap pria paruh baya yang terkapar lemah dengan napas satu satu. “Urus apa yang sudah kamu lakukan ini!” ujar Livy, tegas. “Semuanya justru membuatku semakin sakit!” Ia beranjak. Pergi masuk ke dalam rumah, menuju kamarnya. Ia mengurung diri di sana. Richard menyentuh kedua bahu Kay dan menuntunnya untuk bangkit. “Papa paham. Papa tahu kamu sedang membuktikan penyesalanmu. Papa tahu kamu sedang membalas luka-lukamu. Tapi, lebih baik
Setelah tidak bisa menjelaskan apa-apa pada Pak Sopir sepanjang perjalanan, Livy akhirnya tiba di rumah dengan kepanikan yang luar biasa. Tubuhnya bahkan gemetar. “Nyonya? Nyonya Livy? Ada apa?” pekikan Bibi Eden mengundang Richard keluar dari kamarnya. Livy menggeleng. Dia tidak tahu haru menjelaskan dari mana. Dia menutup wajah, mengusap mukanya dan menutup mulutnya. “Livy? Ada apa? Tenang dulu…” Richard mencoba menenangkan. Ia pun menatap wajah Pak Sopir yang masih dalam kebingungan. “Ada apa? Apa yang terjadi?” tanyanya pula. Pak Sopir hanya bisa menggeleng. Belum sempat jawaban keluar dari mulut Livy, tiba-tiba mobil Kay dan anak buahnya pun tiba di pelataran rumah. Livy semakin panik. Dia reflek berjalan ke arah belakang Richard, bahkan memegang lengan baju pria yang sudah menganggapnya seperti anak. “Livy…” Kay sampai di ruang tengah, setelah berlari menghampiri. “Ada apa sebenarnya?” tanya Richard. Suaranya menjadi tegas. “Bi. Bibi Eden. Tolong awasi Albern.
Hari-hari setelah Livy pulang ke rumah berjalan dengan pola yang hampir sama. Kay hanya terlihat saat pagi hari—menyapa Albern, menggodanya dengan lelucon kecil, lalu pamit dengan ciuman singkat di kening putranya. Kadang ia menoleh ke Livy, kadang tidak. Bila pun iya, tatapannya cepat dialihkan. Kondisi Livy pun sudah baik. Dia sudah bisa beraktifitas seperti biasanya. Memang, dengan jarangnya Kay berada di rumah, bisa meminimalisir sakit hati dan lukanya yang belum sembuh sepenuhnya. Tetapi, dengan sikap Kaay yang seperti itu, datang, pergi seakan hilang, membuat Livy tak percaya dengan upayanya yang meminta maaf. Malam hari Kay akan pulang. Kadang Livy sudah tertidur. Kadang pura-pura. Tapi Kay tak pernah lagi masuk ke kamarnya, apalagi menyapanya. Hanya suara langkah kaki dan suara pintu dari kamar Albern yang terdengar oleh Livy. Ya, setidaknya pria itu tidak benar-benar melupakan anaknya. Livy mulai terbiasa dengan semua itu. Ia tidak mencari. Tidak juga bertanya. Sebab Rich