Halo... makasih sudah mengikuti sejauh ini. Please support dengan memberikan ulasan ya. Thank You!
Dokter Rico mengangguk.Livy menutup mulutnya dengan kedua tangan. Dia terlihat resah dan bersedih.Sementara Kay, tiba-tiba dia terdiam. Ada perasaan yang dia sendiri tidak dapat mengerti. Apa dia akan merasa kehilangan jika Livy tidak ada lagi? ‘Tidak mungkin!’ batinnya menolak.“Ya sudah Dok, terima kasih,” ucap Kay pada Dokter Rico.Tak lama setelah itu Doter Rico pun pamit.Livy sudah dihantui rasa kehilangan. Hatinya mengatakan tidak siap untuk berpisah dengan Albern, tapi apa daya, dia hanyalah ibu susu yang dikontrak. Selama ini Albern sudah menjadi obat baginya. Tapi setelah beberapa hari ke depan, besar kemungkinan mereka tidak akan bersama lagi alias harus berpisah.“Artinya waktumu di sini hanya satu minggu lagi. Lebih baik kau mulai mengemas barang-barangmu sejak hari ini agar setelah kontrakmu selesai, kau bisa langsung pergi…” Kay menjelaskan pada Livy. “Apa kau mengerti?”Dada Livy sudah teramat sesak. Dia hanya bisa mengangguk. “Tuan… bo- bolehkah selama satu minggu i
Kay mengusap kepalanya. Dia merasa frustrasi dengan apa yang dia lihat dan dia dengar. Sedangkan akalnya terus menolak Livy. Dia tidak bisa memaafkan wanita itu. Hatinya terlalu sakit. Kebenciannya terlalu dalam. Lalu kenapa dia menitikkan air mata?Malam sudah larut, Livy pun meninggalkan Albern. Itu adalah malam terakhir dia melihat anak susunya. Besok dia akan pergi. Pekerjaannya sudah selesai.Ingin rasanya waktu berhenti agar Livy terus bisa bersama Albern, tetapi apa boleh buat. Dia bukanlah siapa-siapa.Livy berjalan lambat dari kamar Albern menuju kamarnya. Rasanya sangat berat untuk menjalani semuanya. Meski begitu, dia sudah sampai di kamarnya.Semua barang-barangnya yang tidak seberapa sudah dia siapkan dalam sebuah tas. Seperti perintah Kay yang menyuruhnya untuk mengemas semuanya.Livy menghela napas yang sangat berat. Air matanya kembali bercucuran. Ia membuka handphone-nya dan melihat foto kebersamaannya dengan Albern di sana. Bibirnya tersenyum namun suaranya terisak m
Livy terbangun dari tidurnya yang sangat lelap. Dia menoleh ke sebelahnya dan tidak mendapati siapa pun di sana. Ke mana Kay? Apa dia sudah bangun?Menyadari tubuhnya yang masih polos di bawah balutan selimut, membuatnya sadar bahwa apa yang terjadi tadi malam bukanlah mimpi. Jantungnya berdebar.Jam sudah menujukkan pukul 8 pagi. Livy benar-benar tidak menyangka dia akan bangun se-siang itu. Cepat-cepat dia beranjak, menghentak selimut untuk turun dari tempat tidur.Detik berikutnya, dia mematung melihat tumpukan uang di atas tempat tidur. Seketika perasaannya tidak tenang. Hatinya hancur. Sebuah kertas menyertai tumpukan uang yang berserakan itu.‘Ini bayaranmu untuk kejadian malam ini. Jika masih kurang, katakan saja berapa kau memberikan tarif untuk permainan satu malam.’ Hati Livy tercabik-cabik membaca pesan tulisan tangan Kay. Semua itu lebih buruk dari mimpi buruk. Ternyata Kay melakukan semuanya hanya dengan nafsu, bukan cinta seperti apa yang Livy rasakan dari apa yang dia
“Sini Kak… biar aku yang menenangkan Albern…” Jenna mengambil Albern dari Kay. Dia langsung membawanya ke kamar.Kay masih mematung. Seperti ada yang hilang dari hatinya, dari hidupnya. Namun, semua perasaan itu terus dia sangkal. Kebenciannya pada Livy membuatnya menganggap Livy pantas mendapatkan apa yang terjadi tadi malam.‘Aku mengatakan rindu padanya sampai dia rela untuk bercinta denganku. Lalu pagi harinya aku merendahkannya dengan bayaran. Tidak! Tidak ada yang salah. Aku sudah melakukan dendamku!’“Kay? Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Richard, menepuk bahunya.Kay kembali dari lamunan. “Ah, tidak apa-apa, Pa.”“Kalau begitu, kamu lihat Albern. Kamu dan Jenna harus punya chemistry untuk sama-sama merawat Albern,” jelas Richard mengingatkan.Kay mengangguk.Sepanjang perjalanan, Livy menangis.“Ibu Livy? Maaf kalau lancang. Aku mendengar percakapan Ibu dan suami Ibu yang datang membuat keributan hari itu. Jadi, benar Ibu dan Tuan Kay dulunya…”“Pak… tolong rahasiakan ini
Saat anak buah Kay tiba di pemakaman, ternyata Livy sudah tidak di sana. Mereka kehilangan jejak. Membutuhkan waktu lebih untuk bisa melacak keberadaannya.Ternyata setelah dari pemakaman anaknya, Livy mencari penginapan murah di pinggiran kota. Tak apa sederhana asal dia bisa tenang, tak ada yang mengganggu. Sepanjang perjalanan dari peristirahatan terakhir anaknya itu, dia terpikir untuk meninggalkan kota New York. Pergi entah ke mana saja untuk menata kembali hidupnya.‘Tapi, aku tidak tahu harus pergi ke mana…” batin Livy, saat dia sudah merebahkan diri di atas kasur kecil. Ia mengingat hidupnya yang malang. Tak punya siapa-siapa. Bahkan suaminya pun tak layak untuk disebut sebagai suami.Teringat pada David, Livy merasa dia harus segera menyelesaikan urusan mereka terlebih dahulu agar dia bebas. Tak ada hal yang mengikat dia dan David. Itu adalah langkah awal untuk mendapat ketenangan batin.Saat itu juga Livy menghubungi suaminya.“Halo…” sapa David.“Pekerjaanku sudah selesai.
“Sebentar.” Kay langsung beranjak. Dia keluar dari kamar Albern, meninggalkan Jenna dengan wajah kesal.“Kenapa lama sekali?! Bagaimana?” tanya Kay.“Kami kehilangan jejak, Tuan. Kami tidak punya informasi apa-apa untuk bisa melacak keberadaannya. Tadi, saat kami tiba di pemakaman, dia sudah tidak ada di sana.”Kay berdecak kesal. “Kalau begitu tetap cari tahu keberadaannya.” Tangan kirinya menekan pelipisnya.“Bolehkah kami meminta kontaknya, Tuan? Agar lebih mudah melacaknya.”“Ya, akan aku kirim.” Kay mengakhiri panggilan itu. Tangan dan jarinya pun langsung mengirim kontak Livy pada anak buahnya. Detik berikutnya, ia malah menghela napas panjang. ‘Kenapa aku malah memikirkan dia?! Kenapa aku ini?!’ batin Kay.Jenna kembali mendekati Kay. Dia memeluknya dari belakang.“Kak? Ada apa?” tanyanya, menempelkan kepala di punggung Kay.Kay menoleh dan langsung membalik badan. “Sudah malam… sebaiknya kamu tidur,” ucap Kay lembut.“Bolehkah temani aku tidur?” tanya Jenna terang-terangan.“J
“Sabar ya Sayang… Mama akan berusaha mendapatkan uang segera. Kamu bertahan ya?” Livyna mengusap jejak airmata ketika melihat kondisi anaknya kian hari kian parah. Bayi tujuh bulan itu didiagnosa mengalami Stenosis Pilorus, penyempitan saluran di antara lambung dan usus dua belas jari. Hal itu membuat bayinya tidak bisa mencerna makanan dan minuman dengan baik. Dia hanya bisa meminum ASI, yang tentu saja sudah tidak lagi mencukupi kebutuhan gizi hariannya. Kondisi bayinya bisa makin memburuk jika tidak segera ditangani. “Tuhan… aku harus mendapatkan uang dari mana?” batin Livy menangis. Dia tidak kuat melihat kondisi anaknya. Hidup yang dulunya kaya dan mentereng, kini miskin dan sebatang kara. Perusahaan keluarga bangkrut dan terlilit hutang. Kedua orang tuanya meninggal dalam jarak satu tahun. Setelah tiga bulan pasca melahirkan, suaminya pun pergi menghilang entah ke mana. Siang harinya, ketika Livy hendak membeli makan, tiba-tiba wanita cantik itu tidak sengaja menginjak
“Maaf Ibu Livy, kami belum bisa memberikan kontrak kerja.” Detik itu, Livy langsung bersimpuh di kaki Kay yang ingin segera berlalu. Pria yang dulu hangat itu kini terlihat begitu angkuh. Bahkan, tidak peduli pada air mata Livy yang kini tengah merengek di bawah kakinya. “Kay… aku mohon! Izinkan aku menyusui Albern. Aku butuh pekerjaan ini. Aku mohon….” Dia sudah berharap akan mendapatkan pekerjaan ini demi anaknya. Bahkan dia tidak peduli meski dia harus dihinakan oleh mantan kekasihnya itu. “Apa kau pikir aku akan percaya pada perkataan wanita sepertimu?” kata Kai sambil menggerakkan kakinya, melepas cekalan tangan Livy di sana. “Pergi dari sini, Jalang! Aku tidak sudi melihat wajahmu!” Setelah itu, Kay pergi, meninggalkan Livy yang terisak diiringi tatapan kasihan dokter dan perawat. Namun, tidak ada yang bisa mereka lakukan lagi. Keputusan Kay adalah mutlak. Dalam perjalanan pulangnya, Livy mengingat kembali bagaimana hubungannya dan Kay di masa lalu. Hubungan yang t
“Sebentar.” Kay langsung beranjak. Dia keluar dari kamar Albern, meninggalkan Jenna dengan wajah kesal.“Kenapa lama sekali?! Bagaimana?” tanya Kay.“Kami kehilangan jejak, Tuan. Kami tidak punya informasi apa-apa untuk bisa melacak keberadaannya. Tadi, saat kami tiba di pemakaman, dia sudah tidak ada di sana.”Kay berdecak kesal. “Kalau begitu tetap cari tahu keberadaannya.” Tangan kirinya menekan pelipisnya.“Bolehkah kami meminta kontaknya, Tuan? Agar lebih mudah melacaknya.”“Ya, akan aku kirim.” Kay mengakhiri panggilan itu. Tangan dan jarinya pun langsung mengirim kontak Livy pada anak buahnya. Detik berikutnya, ia malah menghela napas panjang. ‘Kenapa aku malah memikirkan dia?! Kenapa aku ini?!’ batin Kay.Jenna kembali mendekati Kay. Dia memeluknya dari belakang.“Kak? Ada apa?” tanyanya, menempelkan kepala di punggung Kay.Kay menoleh dan langsung membalik badan. “Sudah malam… sebaiknya kamu tidur,” ucap Kay lembut.“Bolehkah temani aku tidur?” tanya Jenna terang-terangan.“J
Saat anak buah Kay tiba di pemakaman, ternyata Livy sudah tidak di sana. Mereka kehilangan jejak. Membutuhkan waktu lebih untuk bisa melacak keberadaannya.Ternyata setelah dari pemakaman anaknya, Livy mencari penginapan murah di pinggiran kota. Tak apa sederhana asal dia bisa tenang, tak ada yang mengganggu. Sepanjang perjalanan dari peristirahatan terakhir anaknya itu, dia terpikir untuk meninggalkan kota New York. Pergi entah ke mana saja untuk menata kembali hidupnya.‘Tapi, aku tidak tahu harus pergi ke mana…” batin Livy, saat dia sudah merebahkan diri di atas kasur kecil. Ia mengingat hidupnya yang malang. Tak punya siapa-siapa. Bahkan suaminya pun tak layak untuk disebut sebagai suami.Teringat pada David, Livy merasa dia harus segera menyelesaikan urusan mereka terlebih dahulu agar dia bebas. Tak ada hal yang mengikat dia dan David. Itu adalah langkah awal untuk mendapat ketenangan batin.Saat itu juga Livy menghubungi suaminya.“Halo…” sapa David.“Pekerjaanku sudah selesai.
“Sini Kak… biar aku yang menenangkan Albern…” Jenna mengambil Albern dari Kay. Dia langsung membawanya ke kamar.Kay masih mematung. Seperti ada yang hilang dari hatinya, dari hidupnya. Namun, semua perasaan itu terus dia sangkal. Kebenciannya pada Livy membuatnya menganggap Livy pantas mendapatkan apa yang terjadi tadi malam.‘Aku mengatakan rindu padanya sampai dia rela untuk bercinta denganku. Lalu pagi harinya aku merendahkannya dengan bayaran. Tidak! Tidak ada yang salah. Aku sudah melakukan dendamku!’“Kay? Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Richard, menepuk bahunya.Kay kembali dari lamunan. “Ah, tidak apa-apa, Pa.”“Kalau begitu, kamu lihat Albern. Kamu dan Jenna harus punya chemistry untuk sama-sama merawat Albern,” jelas Richard mengingatkan.Kay mengangguk.Sepanjang perjalanan, Livy menangis.“Ibu Livy? Maaf kalau lancang. Aku mendengar percakapan Ibu dan suami Ibu yang datang membuat keributan hari itu. Jadi, benar Ibu dan Tuan Kay dulunya…”“Pak… tolong rahasiakan ini
Livy terbangun dari tidurnya yang sangat lelap. Dia menoleh ke sebelahnya dan tidak mendapati siapa pun di sana. Ke mana Kay? Apa dia sudah bangun?Menyadari tubuhnya yang masih polos di bawah balutan selimut, membuatnya sadar bahwa apa yang terjadi tadi malam bukanlah mimpi. Jantungnya berdebar.Jam sudah menujukkan pukul 8 pagi. Livy benar-benar tidak menyangka dia akan bangun se-siang itu. Cepat-cepat dia beranjak, menghentak selimut untuk turun dari tempat tidur.Detik berikutnya, dia mematung melihat tumpukan uang di atas tempat tidur. Seketika perasaannya tidak tenang. Hatinya hancur. Sebuah kertas menyertai tumpukan uang yang berserakan itu.‘Ini bayaranmu untuk kejadian malam ini. Jika masih kurang, katakan saja berapa kau memberikan tarif untuk permainan satu malam.’ Hati Livy tercabik-cabik membaca pesan tulisan tangan Kay. Semua itu lebih buruk dari mimpi buruk. Ternyata Kay melakukan semuanya hanya dengan nafsu, bukan cinta seperti apa yang Livy rasakan dari apa yang dia
Kay mengusap kepalanya. Dia merasa frustrasi dengan apa yang dia lihat dan dia dengar. Sedangkan akalnya terus menolak Livy. Dia tidak bisa memaafkan wanita itu. Hatinya terlalu sakit. Kebenciannya terlalu dalam. Lalu kenapa dia menitikkan air mata?Malam sudah larut, Livy pun meninggalkan Albern. Itu adalah malam terakhir dia melihat anak susunya. Besok dia akan pergi. Pekerjaannya sudah selesai.Ingin rasanya waktu berhenti agar Livy terus bisa bersama Albern, tetapi apa boleh buat. Dia bukanlah siapa-siapa.Livy berjalan lambat dari kamar Albern menuju kamarnya. Rasanya sangat berat untuk menjalani semuanya. Meski begitu, dia sudah sampai di kamarnya.Semua barang-barangnya yang tidak seberapa sudah dia siapkan dalam sebuah tas. Seperti perintah Kay yang menyuruhnya untuk mengemas semuanya.Livy menghela napas yang sangat berat. Air matanya kembali bercucuran. Ia membuka handphone-nya dan melihat foto kebersamaannya dengan Albern di sana. Bibirnya tersenyum namun suaranya terisak m
Dokter Rico mengangguk.Livy menutup mulutnya dengan kedua tangan. Dia terlihat resah dan bersedih.Sementara Kay, tiba-tiba dia terdiam. Ada perasaan yang dia sendiri tidak dapat mengerti. Apa dia akan merasa kehilangan jika Livy tidak ada lagi? ‘Tidak mungkin!’ batinnya menolak.“Ya sudah Dok, terima kasih,” ucap Kay pada Dokter Rico.Tak lama setelah itu Doter Rico pun pamit.Livy sudah dihantui rasa kehilangan. Hatinya mengatakan tidak siap untuk berpisah dengan Albern, tapi apa daya, dia hanyalah ibu susu yang dikontrak. Selama ini Albern sudah menjadi obat baginya. Tapi setelah beberapa hari ke depan, besar kemungkinan mereka tidak akan bersama lagi alias harus berpisah.“Artinya waktumu di sini hanya satu minggu lagi. Lebih baik kau mulai mengemas barang-barangmu sejak hari ini agar setelah kontrakmu selesai, kau bisa langsung pergi…” Kay menjelaskan pada Livy. “Apa kau mengerti?”Dada Livy sudah teramat sesak. Dia hanya bisa mengangguk. “Tuan… bo- bolehkah selama satu minggu i
Livy menggeleng. “Jangan Tuan. Sadar…” Dia berusaha memalingkan wajahnya saat Kaay mendekatkan dirinya dan menghimpit tubuhnya. “Ingat! Tuan akan menikah dengan Nyonya Jenna,” ucapnya mengingatkan. Seperti baru disadarkan, Kay langsung terdiam. Lalu dia kembali berdiri. “Wanita murahan sepertimu ternyata masih jual mahal!” Ia langsung meninggalkan Livy. Memang sangat aneh. Livy tidak tahu bagaimana menghadapi Kay. Bukan hanya ketakutan, tetapi dia juga merasa rendah mendengar semua perkataan dan hinaannya. Walau sesekali Livy berani melawan, tetap saja sikapnya terlalu kejam. Entah kapan Livy bisa tidur dengan tenang. Tanpa menyimpan rasa sedih dan ketakutan. Lagi, malam ini dia kembali menangis sebelum akhirnya terlelap. Keesokan harinya saat Livy membantu si Bibi menghidang sarapan di meja makan, Richard pun menegur Livy. “Sebenarnya apa yang Ibu Livy pikirkan sampai berani mengubah baju yang saya berikan?” tanyanya dingin, tak seramah sebelumnya. “Tuan… saya benar-benar tidak
“Kalau bukan karena kau sedang menyusui Albern, aku sudah—”“Sudah apa? Sudah mencekikku?” potong Livy. Dia mengusap air matanya.Albern menatap wajah Livy yang basah. Anak berumur satu tahun itu seakan mengerti kalau ibu susunya itu sedang bersedih. Tiba-tiba Albern pun menangis. Tangannya mencoba meraih pipi Livy.“Tidak Sayang… Mama tidak apa-apa. Lanjut mimik ya? Sini sini… Mama baik-baik saja…” bujuk Livy, pada Albern. Dia mencoba menenangkan Albern yang dipangkunya.Kay yang sebenarnya emosi, malah terdiam. Dia memperhatikan bagaimana Livy menenangkan anaknya. Yang paling membuatnya tidak habis pikir adalah reaksi Albern yang ikut menangis melihatnya menangis. Dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Bagaimana mungkin dia meluapkan emosinya di depan anaknya sendiri?Pria matang dengan tatapan tajam itu hanya bisa menghela napas. Ia mengusap mulut dan dagunya.“Ini belum selesai! Aku tidak ingin melanjutkan karena takut terbawa emosi. Aku tidak ingin menunjukkan amarah di depan anakk
Setelah lagu ulang tahun selesai dinyanyikan, Richard memberikan kata sambutan. Ia memperkenalkan cucunya. Sembari menggendongnya, dia menjelaskan kalau selama ini cucunya tidak mungkin bisa sehat dan bahagia tanpa jasa ibu susunya.“Ibu Livy… sini.” Richard memanggil Livy.Livy pun panik. Ia sendiri tidak percaya diri dengan penampilannya yang seksi.Richard pun sebenarnya ragu, tetapi dia tetap harus memperkenalkan wanita yang telah dianggap berjasa.Livy perlahan berjalan mendekati keluarga Wisley. Dia menyatukan kedua telapak tangannya untuk memberi salam pada seluruh undangan.Kay bisa menangkap beragam komentar dari para undangan setelah melihat Livy.“Wah… itu Ibu Susunya? Cantik sekali?”“Tapi bukan dia kan yang akan menjadi calon istri Pak Kay?”“Terlihat seperti wanita tidak benar… Penampilannya saja seperti itu.”“Itu Ibu Susu atau lebih haha…”“Yakin cuma menyusui Baby Albern?”Suara-suara sumbang itu terdengar berbisik-bisik. Bahkan Livy juga mendengarnya. Ia merasa malu.