“Ibu Livy…” Merry menyapa Livy yang baru saja terjaga dari pingsannya. Livy memegang kepalanya yang terasa berat. “Sus? Albern mana?” tanyanya. Wajah Merry begitu khawatir dan prihatin pada Livy. “Albern di kamarnya, Bu. Dia baik…” lirih Livy. “Ibu istirahat dulu, ya?” bujuknya. Livy terdiam. Tatapannya sayu cenderung kosong. “Bu… Apa yang sudah Tuan Kay lakukan pada Ibu sampai Ibu pingsan?” tanya Merry, memelankan suaranya. Dia begitu hati-hati. Livy mengingat apa yang baru saja terjadi. Dia menggeleng. “Tidak Sus,” jawabnya lemah. “Dia tidak melakukan apa-apa,” jawabnya. “Tapi, kenapa Ibu sampai pingsan? Tuhan… aku kasihan sekali pada Ibu,” ringis Merry. “Aku baik, Sus.” Livy meyakinkan. Merry menghela napas panjang. Dia mengusap bahu Livy. Richard dan Kay datang ke kamar Livy setelah berbicara dengan dokter yang memeriksa Livy di ruang tengah. “Ibu Livy? Bagaimana keadaannya?” tanya Richard. “Baik Tuan…” jawab Livy, yang masih berbaring di kasurnya. Dia pun mencoba bangk
Lagi dan lagi yang salah adalah Livy. Jenna tersenyum puas di dalam hati. Mendengar tanggapan Kay tentang Livy, benar-benar membuatnya merasa aman. Kebencian Kay pada wanita di masa lalunya itu harus terus berlanjut. Agar dia bisa menjadi ibu pengganti untuk Albern. “Ah, jangan berkata seperti itu Kak Kay. Mungkin karena Ibu Livy kurang sehat jadinya dia kurang fokus. Selama ini, berbulan-bulan Ibu Livy sangat tulus kan menjaga dan merawat Albern?” bela Jenna. Merry terdiam. Dia tidak bisa menebak jalan pikiran wanita itu. Benar-benar cerdas mencari muka! “Ya betul Kay. Bukan salah Livy. Mungkin karena dia kurang sehat saja,” tambah Richard. “Ya sudah, kamu buat makanan baru untuk Albern ya?” ucap Richard menatap Merry. Merry mengangguk. “Siap, baik Tuan!” Tiba-tiba ART datang ke kamar itu. “Ada tamu, Tuan! Katanya dari butik—” “Ohh ya?! Itu pasti mau membahas pakaian untuk ulang tahun Albern nanti!” sambar Jenna semangat. “Kak Kay, itu pasti designer-nya. Dia berjanji akan me
Sedetik Kay menelan ludah saat mendengar penjelasan Livy. Namun detik berikutnya dia malah semakin geram melihat Livy. “Cukup! Aku muak dengan drama dan kepura-puraanmu ini!” ucapnya geram dan menunjukkan tatapan yang benar-benar muak pada Livy. Livy menghela napas, untuk melegakan dadanya yang terasa sesak. “Aku tahu Tuan tidak akan percaya,” lirihnya. “Hanya pria bodoh yang mau percaya pada Wanita ular sepertimu!” Livy mengusap pipinya dengan punggung tangannya. Dia masih menggenggam erat cincin itu. Kay memperbaiki posisi duduknya agar lebih tegap. Wajahnya yang arogan, mata elangnya yang tajam, terlihat sedang memikirkan kalimat menyakitkan apa lagi yang akan dia ucapkan. “Ya, tapi nyatanya aku pernah sebodoh itu. Hanya karena aku orang pertama yang menyentuh tubuhmu, aku pikir kau benar-benar tulus. Ternyata kau hanya membuatku jadi pelampiasan nafsumu yang besar itu! Seorang putri yang hidup dengan kekayaan, keluarga yang sibuk dengan politik, bisnis dan punya kekuasaan, s
Kay duduk di pinggiran tempat tidur di kamar Jenna. Dia memijat kepalanya sendiri karena merasa pusing. Jenna naik ke atas tempat tidur dan berlutut tepat di belakang Kay. Ia sedikit membungkuk saat meraih pundak Kay untuk dipijat. Membuat dadanya mengenai punggung Kay. “Kakak pasti sangat lelah. Mengurus perusahaan, mempersiapkan ulang tahun Albern, pertunangan kita dan semuanya. Aku janji, kalau kita sudah menikah nanti, Kakak tidak akan merasakan yang namanya lelah. Aku akan selalu ada untuk Kakak…” bisik Jenna, di telinga Kay. “Apa kekuatannya cukup? Kurang atau lebih?” tanya Jenna pula dengan nada sedikit mendesah, untuk mengonfirmasi Kay. “A- cukup,” jawab Kay seadanya. Dia masih memijat keningnya sendiri. “Kepala Kakak sakit ya? Oke, aku akan pijat di bagian kepala. Setelah ini… Kakak pasti rileks!” jelas Jenna. Ia mengibaskan rambutnya untuk meletakkan kepalanya di bahu kanan Kay, dan menatap Kay dengan jarak sedekat itu. Kay menoleh, membuat ujung hidung mereka bertemu.
Jenna memperhatikan bagaimana sorot mata Kay pada Livy. Tatapannya itu membuatnya tidak tenang. “Ibu Livy… lain kali, perhatikan apa yang Ibu pakai, ya? Albern kan sedang aktif-aaktifnya sekarang, kalau Ibu pakai kalung, gelang atau sebagainya, Albern bisa terluka,” jelas Jenna, menunjukkan sikap bahwa dirinya bijak. Ia berharap Kay akan terpancing dan kembali memarahi Livy. “Ah, iy- iya Nyonya, maaf.” Livy mengangguk. “Lain kali, hati-hati,” tambah Kay pula, datar namun tidak membentak. Responnya itu membuat Jenna kesal. Livy mengangguk. Ia pun heran, Kay tidak membentaknya. “Iya, Maaf Tuan,” sahut Livy pula. “Sayang… eh Kak Kay sudah jam segini, ayo kita pergi,” ucap Jenna, berpura-pura latah memanggil ‘Sayang’. Ia sengaja menunjukkan kemesraan di hadapan Livy dan Merry. Kay menatap Jenna. Dia tersenyum. “Ya, Sayang. Ayo…” ajaknya pula merespon setuju panggilan itu. Sesaat dia melirik Livy, yang ternyata sama sekali tidak menatap mereka. Ada perasaan kesal yang muncul di
“Ke- kenapa kamu berkata seperti itu?” tanya Kay, bingung. Ia heran kenapa Jenna bisa kepikiran seperti itu. ‘Apa aku terlihat seperti itu?’ batinnya pula. “Sudahlah. Ayo masuk.” Kay merangkul Jenna yang sedang menggendong Albern. Livy menoleh pada mereka dan Merry memperhatikan Livy. “Bu Livy… Entah kenapa aku merasa, aku masih melihat cinta di mata Ibu untuk Tuan Kay. Aku berharap keajaiban terjadi di antara kalian. Albern butuh Ibu, bukan Nyonya Jenna.” Merry menyentuh bahu Livy dan mengusapnya. Livy tersenyum simpul mencoba kuat. Ia terharu dengan ucapan Merry yang akhirnya membuat air matanya kembali menetes. Akhirnya Merry pun pergi. Livy kembali masuk ke dalam rumah. Rasanya seperti ada yang kurang. Dia akan merawat Albern sendirian. Albern benar-benar menjadi tanggung jawabnya sepenuhnya. ‘Walau tidak ada suster Merry, Ibu janji akan tetap menjaga Albern sepenuhnya,’ batin Livy. “Livy? Merry sudah pergi?” tanya Richard, yang melihat Livy masuk ke dalam rumah. Livy men
“Kak… Kakak mau ke mana?” tanya Jenna, menghalau Kay yang akan menuruni tangga.“Aku mau ke kamar Albern,” jawab Kay.“Aku ikut…” ucap Jenna.“Ka- kamu kenapa belum tidur?” tanya Kay.“Aku tidak bisa tidur. Aku khawatir pada Albern yang tidur sendirian. Aku ingin memeriksanya,” ucap Jenna, menunjukkan perhatian.Kay mengangguk. Dia pun turun bersama Jenna untuk sama-sama ke kamar Albern.Saat menyadari Albern sudah tidur, Livy pun menyimpan payudaranya dan perlahan beranjak. Saat itu pula dia langsung menoleh ke arah pintu dan melihat Kay bersama Jenna langsung masuk.“Ibu Livy? Kenapa ada di sini?” tanya Jenna. ‘Untung saja aku melihat Kak Kay saat akan turun dari tangga. Kalau tidak, mereka akan bertemu di kamar ini berduaan? Dia pasti akan menggoda Kak Kay secara halus!’ gumam Jenna di dalam hati.“Maaf Nyonya. Tadi saya memeriksa Albern
“Kak! Itu siapa?!” Jenna masih bertanya. Ia pun heran dengan tatapan Kay yang tajam pada pria asing itu.David baru menyadari kalau wanita itu ternyata bukanlah Livy. Namun, dia tidak berputus asa. Dia yakin kalau Livy berada di rumah itu. “Livy!!! Aku datang Livy!!! Keluar kamu!” David terus berteriak.Penjaga rumah mencoba menghalau David yang nekat ingin memanjat pagar. Namun, David malah semakin bar-bar.“Siapa itu?” David keluar dari kamarnya dan berjalan ke luar rumah untuk mencari tahu. Begitu juga dengan Livy yang langsung keluar. Ia menitip Albern pada si Bibi.“Kay? Dia siapa?” Richard pun bertanya.“Dia memanggil-manggil Livy, Om.” Jenna menjelaskan.Livy keluar. Tebakannya benar. Suara itu adalah suara David.Kay langsung memberikan tatapan tajam Livy, namun tidak berkata apa-apa. Sebab ia tak ingin ayah mertuanya, Richard, tahu kalau dirinya mengetahui siapa laki-laki itu. Dia
Kay dan Jenna sudah berada di altar. Janji suci pernikahan mereka akan segera dimulai. Namun, Livy yang panik langsung berlari mencari Richard.“Tuan Richard!!!” teriak Livy memanggil dengan panik.Seluruh mata tertuju pada Livy. Termasuk tatapan Kay dan Jenna.Kebencian masih terlihat jelas di wajah Kay. Pikiran penuh tanya, mengapa Livy bisa ada di sana.“Li vy?” Richard mendekati. “Ada apa? Kenapa kamu keluar?” tanyanya.“Al… Albern, Tuan. Tangannya dingin. Dari tadi saya coba bangunkan dia tidak merespon. Saya sangat khawatir,” jelas Livy panik.Gedung yang tiba-tiba hening, membuat Kay mendengar pengaduan Livy pada ayahnya. Ia berjalan cepat untuk menghampiri.Jenna sempat mencegah Kay untuk pergi meninggalkan Altar. Dia sangat kesal karena seharusnya sebentar lagi mereka akan sah menjadi suami istri. Namun, kemunculan seseorang yang tidak dia inginkan tersebut telah mengacaukan semuanya.“Kaak…” Jenna mencoba mengejar Kay.“Apa maksudmu?! Kenapa kau ada di sini?!” bentak Kay pad
“Pertanyaan apa itu, Tuan?” balas Livy.Richard tersenyum simpul. Dia menggeleng. “Maaf Ibu Livy… Tapi, yang saya tahu ketika seseorang itu benar-benar jahat, dia tidak akan mengakui kalau dia jahat, kejam dan pantas dibenci.”Livy terdiam.“Di sini saya tidak mengundang Ibu Livy untuk pernikahan Kay dan Jenna bulan depan, tapi saya meminta Ibu Livy datang untuk menjaga cucu saya, Albern. Hanya Ibu yang bisa saya percaya untuk menjaganya seharian penuh.”Wajah Albern berlarian di pandangan Livy. Dia sangat merindukan anak susunya tersebut. Dia ingin sekali memeluknya, mendekapnya dan menciumnya. Ia pun berpikir, mungkin hanya dengan begitu dia bisa bertemu lagi dengan Albern dan akan benar-benar menjadi momen terakhirnya.“Baiklah Tuan,” ucap Livy lirih.Richard tersenyum lebar. “Terima kasih, Ibu Livy. Terima kasih!”“Tapi… saya tidak akan bergabung di dalam acara, Tuan. Saya hanya ingin bersama Albern,” jelas Livy.“Baik, Ibu Livy.”Setelah pertemuan Livy dan Richard hari itu, Livy
Richard menghubungi Livy setelah meminta kontaknya dari ART. Apa yang dilakukannya sama sekali tidak diketahui oleh Kay. Dia ingin bertemu dengan ibu susu cucunya itu untuk meminta maaf. Bagaimana pun dia merasa bersalah karena sudah menganggapnya rendah.‘Semoga saja Ibu Livy mau bertemu. Aku juga jadi penasaran sebenarnya sejauh apa hubungannya dengan Kay di masa lalu.’ Richard berbicara di dalam hati.[Maaf Tuan, ini tentang apa?]Richard langsung mengirimkan alamat sebuah kafe pada Livy. [Jika Ibu Livy berkenan, saya tunggu sore ini jam 5 di kafe ini.]Sebenarnya Livy bimbang. Apakah dia harus datang atau tidak. Tetapi, dia pun penasaran hal penting apa yang Richard ingin sampaikan padanya.Setelah berpikir matang, akhirnya Livy menemui Richard sore itu.“Saya senang Ibu Livy datang. Silakan duduk Ibu Livy.” Richard menyambutnya.Livy bisa saja berpikiran yang bukan-bukan pada Richard, tapi selama ini pun dia tidak pernah menunjukkan sikap yang kurang enak atau melebihi batas.“Ad
“Jen?” Kay menatap Jenna dengan penuh kebingungan. “Bagaimana kamu bisa tahu?”“Aku pernah mendengarnya. Hubungan Kakak dengan Livy bahkan sudah jauh. Makanya aku berusaha untuk membuatnya tidak bernilai lebih di mata Kakak dan Om Richard.”Kay gelagapan. Dia tidak menyangka Jenna mendengar sebanyak itu. Dia pun panik saat menatap wajah Richard yang masih bertanya-tanya.“Pa, semua yang Jenna bilang memang benar. Tapi, aku sudah selesai dengannya sebelum menikah dengan Selina. Aku bahkan membencinya! Kenapa aku memilih dia menjadi Ibu Susu Albern karena hanya dia yang cocok menyusui Albern. Papa bisa tanya pada Dokter Rico dan Suster Merry.”Richard terdiam. Tidak ada yang tahu apa yang ada di pikirannya.“Jen… Kamu jangan khawatir. Kalau kamu pernah mendengar semuanya, kamu juga pasti dengar kalau aku membencinya. Aku muak dengannya. Selama dia berada di sini, aku selalu emosi. Tapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa karena Albern membutuhkan dia,” jelas Kay, berusaha meyakinkan Jenna.
Richard adalah pribadi yang sangat menjunjung tinggi kejujuran. Dia tidak sabar meminta penjelasan Jenna tentang semuanya.Baru saja Kay ingin kembali melanjutkan langkah untuk mengimbangi Jenna dan Albern, tiba-tiba handphone-nya kembali berbunyi. Dia menjawabnya,“Sudah ku bilang tidak perlu lagi—”“Kay!” panggil Richard, yang terkejut dibentak.Kay memastikan nama yang memanggilnya. “Ma- maaf Pa, aku pikir tadi…”“Kau kenapa?” tanya Richard.“A—tidak apa-apa, Pa. Tadi aku pikir dari kantor, anak buah. Maaf,” jelas Kay sedikit panik.“Kalian di mana?” tanya Richard dingin.“Kami sedang di mall, Pa. Jalan-jalan. Ada apa, Pa?”“Kalau urusan Albern sudah selesai, segera pulang, ada hal penting yang ingin Papa tanyakan.”“Apa itu Pa?” tanya Kay.“Bukan kamu, tapi Jenna.”“Je- Jenna? Ada apa, Pa? Ba- baiklah…” tanya Kay yang heran, tetapi paham sepertinya masalah serius.Kay memberi tahu Jenna.“Om mau tanya apa Kak?” tanyanya dengan wajah penasaran sedikit salah tingkah. Ia pikir Richar
“Sebentar.” Kay langsung beranjak. Dia keluar dari kamar Albern, meninggalkan Jenna dengan wajah kesal.“Kenapa lama sekali?! Bagaimana?” tanya Kay.“Kami kehilangan jejak, Tuan. Kami tidak punya informasi apa-apa untuk bisa melacak keberadaannya. Tadi, saat kami tiba di pemakaman, dia sudah tidak ada di sana.”Kay berdecak kesal. “Kalau begitu tetap cari tahu keberadaannya.” Tangan kirinya menekan pelipisnya.“Bolehkah kami meminta kontaknya, Tuan? Agar lebih mudah melacaknya.”“Ya, akan aku kirim.” Kay mengakhiri panggilan itu. Tangan dan jarinya pun langsung mengirim kontak Livy pada anak buahnya. Detik berikutnya, ia malah menghela napas panjang. ‘Kenapa aku malah memikirkan dia?! Kenapa aku ini?!’ batin Kay.Jenna kembali mendekati Kay. Dia memeluknya dari belakang.“Kak? Ada apa?” tanyanya, menempelkan kepala di punggung Kay.Kay menoleh dan langsung membalik badan. “Sudah malam… sebaiknya kamu tidur,” ucap Kay lembut.“Bolehkah temani aku tidur?” tanya Jenna terang-terangan.“J
Saat anak buah Kay tiba di pemakaman, ternyata Livy sudah tidak di sana. Mereka kehilangan jejak. Membutuhkan waktu lebih untuk bisa melacak keberadaannya.Ternyata setelah dari pemakaman anaknya, Livy mencari penginapan murah di pinggiran kota. Tak apa sederhana asal dia bisa tenang, tak ada yang mengganggu. Sepanjang perjalanan dari peristirahatan terakhir anaknya itu, dia terpikir untuk meninggalkan kota New York. Pergi entah ke mana saja untuk menata kembali hidupnya.‘Tapi, aku tidak tahu harus pergi ke mana…” batin Livy, saat dia sudah merebahkan diri di atas kasur kecil. Ia mengingat hidupnya yang malang. Tak punya siapa-siapa. Bahkan suaminya pun tak layak untuk disebut sebagai suami.Teringat pada David, Livy merasa dia harus segera menyelesaikan urusan mereka terlebih dahulu agar dia bebas. Tak ada hal yang mengikat dia dan David. Itu adalah langkah awal untuk mendapat ketenangan batin.Saat itu juga Livy menghubungi suaminya.“Halo…” sapa David.“Pekerjaanku sudah selesai.
“Sini Kak… biar aku yang menenangkan Albern…” Jenna mengambil Albern dari Kay. Dia langsung membawanya ke kamar.Kay masih mematung. Seperti ada yang hilang dari hatinya, dari hidupnya. Namun, semua perasaan itu terus dia sangkal. Kebenciannya pada Livy membuatnya menganggap Livy pantas mendapatkan apa yang terjadi tadi malam.‘Aku mengatakan rindu padanya sampai dia rela untuk bercinta denganku. Lalu pagi harinya aku merendahkannya dengan bayaran. Tidak! Tidak ada yang salah. Aku sudah melakukan dendamku!’“Kay? Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Richard, menepuk bahunya.Kay kembali dari lamunan. “Ah, tidak apa-apa, Pa.”“Kalau begitu, kamu lihat Albern. Kamu dan Jenna harus punya chemistry untuk sama-sama merawat Albern,” jelas Richard mengingatkan.Kay mengangguk.Sepanjang perjalanan, Livy menangis.“Ibu Livy? Maaf kalau lancang. Aku mendengar percakapan Ibu dan suami Ibu yang datang membuat keributan hari itu. Jadi, benar Ibu dan Tuan Kay dulunya…”“Pak… tolong rahasiakan ini
Livy terbangun dari tidurnya yang sangat lelap. Dia menoleh ke sebelahnya dan tidak mendapati siapa pun di sana. Ke mana Kay? Apa dia sudah bangun?Menyadari tubuhnya yang masih polos di bawah balutan selimut, membuatnya sadar bahwa apa yang terjadi tadi malam bukanlah mimpi. Jantungnya berdebar.Jam sudah menujukkan pukul 8 pagi. Livy benar-benar tidak menyangka dia akan bangun se-siang itu. Cepat-cepat dia beranjak, menghentak selimut untuk turun dari tempat tidur.Detik berikutnya, dia mematung melihat tumpukan uang di atas tempat tidur. Seketika perasaannya tidak tenang. Hatinya hancur. Sebuah kertas menyertai tumpukan uang yang berserakan itu.‘Ini bayaranmu untuk kejadian malam ini. Jika masih kurang, katakan saja berapa kau memberikan tarif untuk permainan satu malam.’ Hati Livy tercabik-cabik membaca pesan tulisan tangan Kay. Semua itu lebih buruk dari mimpi buruk. Ternyata Kay melakukan semuanya hanya dengan nafsu, bukan cinta seperti apa yang Livy rasakan dari apa yang dia