Bab 151. Rencana Alisya Menggugat Cerai Deva“Apa? Saya keguguran? Maksudnya?” sontak Alisya meraba perutnya. Wanita itu menoleh ke arah Raja. Mencoba mencari penjelasan kepada pria itu.“Kamu, kamu … seperti bingung? Kenapa?” Raja ikut bingung melihat ekspresinya.“Papa bilang apa? Aku keguguran?” tanya Alisya lirih.“Apakah kamu belum tahu, maksudku … astaga, jadi, mereka masih merahasiakan ini darimu? Alisya, oh, maksudku, aku dan papa yang salah berarti. Kami kira kamu sakit dan terpaksa dirawat waktu itu karena keguguran, kami hanya menerka, tolong kamu jangan langsung percaya, ya!” bujuk Raja semakin panik.Alisya terdiam, kepalanya mendadak pening. Kedua tangannya memijit di kening. Pandangannya mulai berkunang-kunang.“Sya, kamu baik-baik saja, kan?” Raja mendekatinya. Mencoba meraih dan menggenggam tangannya. Berharap Alisya tidak kenapa-napa.“Permisi! Mbak Alisya, apakah urusannya sudah selesai?” Seorang pria berseragam tiba-tiba menerobos masuk. “Pak Damar?” Raja meno
Bab 152. Perhatian Damar Pada Alisya“Sudah, tak apa-apa!” Damar menggenggam tangan Alisya, lalu menurunkan dari bahunya. Dengan tetap menggenggam, dia membawa tangan Alisya ke pangkuannya. “Sudahi tangisnya!” ucapnya lembut, lalu kembali menyeka pipi wanita itu dengan ujung jemarinya.“Em, terima kasih banyak!” jawab Alisya pelan. Tangis tersendatnya terhenti sudah. Sentyhan jemari Damar mampu ciptakan damai di hatinya. Tatapan lembut penuh perhatian mata tegas Damar mampu meniup sedu di relung jiwa. Alisya merasa tak sendirian. Alisya merasa ada yang menopang.“Mbak merasa lebih baik sekarang? Bagaimana kalau kita turun, minum yang hangat –hangat sepertinya bagus buat kesehatan Mbak?” Damar menawarkan.“Emm, boleh.”“Baik, saya duluan turun, biar saya bukakan pintunya buat Mbak.”“Saya bisa turun sendiri, Pak Damar.”“Jangan, Mbka Alisya masih lemah. Saya khawatir Mbak tiba-tiba pusing lalu jatuh. Tunggu, ya!” Baru saja Dapar hendak membuka pintu mobil di sebelahnya, ponselnya ti
Bab 153. Keputusan Damar, Bukan Karena Alisya“Bapak bilang apa barusan?” Alisya mengulang pertanyaannya.“Aku mau menyudahi pertunangan tak sehat ini. Aku bilang begitu tadi, kenapa? Ada yang aneh dengan kalimatku?” Damar menoleh, menatap Alisya dengan lekat.“Eeem, tidak! Maksud saya, saya tak berhak ikut campur! Saya bukan siapa-siapa Pak Damar. Saya juga tidak kenal Mbak Luna atau keluarga Bapak. Cuma saran saya, kalau bisa tolong pikirkan dulu baik-baik keputusan Bapak itu. Pertunangan itu adalah sesuatu yang sakral. Antara Bapak dan Mbak Luna pasti telah terjadi sesuatu yang begitu dalam sehingga kalian sampai kepada tahap pertunangan. Kedua keluarga kalian juga sudah setuju dan menyepakati. Tinggal selangkah lagi, kalian akan ke pelaminan. Jangan buru-buru memutuskan pertunangan, itu saran saya, Pak! Maaf, bila saya agak lancang,” tukas Alisya panjang lebar.“Terima kasih atas saran Mbak! tetapi, maaf, saya tak bisa mengindahkannya. Keputusan saya sudah bulat. Saya suda
Bab 154. Alina Menghajar Sonya“Auuu …. sakit! lepasin, Tante!” jerit Sonya terdengar hingga ke halaman depan. Fajar yang tengah siapa siaga di sana langsung keluar dari mobil. Setengah berlari pria itu menerobos masuk ke dalam rumah, mencari keberaaan Sonya.“Kau telah menghancurkan semua harapanku, Sonya! Aku yang tengah berjuang untuk mengembalikanmu ke dalam kehidupan Deva. Menempatkanmu kembali di tengah keluarga Wibawa. Segalanya kupertaruhkan untuk mewujudkan impian itu. Semuanya! Hrataku, perusahaanku, seluaruh ast-asetku. Semua kulakukan demi memenuhi amanah kakekku! Kakek buyutmu! Dia tak ingin perusahaan yang dia wariskan jatuh ke tangan pihak lain! Itu sebab aku berusaha menyingkirkan Alisya dan mengembalikanmu ke sisi Deva. Tapi, lihat apa yang kau lakukan!”Alina masih menjambakl rambut Sonya, mencengkram dengan penuh amarah.Fajar terpana, bingung harus berbuat apa.“Aku hampir saja berhasil, Sonya! Alisya sudah ditalak satu oleh Deva. Bahkan Deva akan segera menggu
Bab 155. Sonya Tak Takut Hamil Anak Fajar“Saya bantu turun, Mbak!” Fajar membuka pintu buat Sonya begitu mereka sampai di depan kontrakan Fajar.“Bantu aku masuk ke dalam, Mas! Kaki aku juga sakit,” rengek Sonya merasa berkesempatan untuk bermanja-manja. Kecewa karena khilangan harapan untuk memiliki Deva dia lampiaskan dengan menikmati momen kebersamaan dengan pria itu. Toh, Fajar juga mantan suami Alisya, sama-sama tampan, bedanya, kalau Deva tajir, Fajar fakir. Tak apa, toh papa Sonya memiliki sebuah showroom terkenal. Sonya tak akan jatuh miskin meski gagal menjadi nyonya Deva Wibawa, begitu pikirnya.“Saya gendong saja, ya?” usul Fajar seraya memeluk tubu Sonya.“Eem,” sahut wanita itu senang. Fajar menggendongnya masuk ke dalam rumah, langsung menuju kamar. Dengan hati-hati dia membaringkan sang putri majikan di atas kasur kasar.“Saya kunci dulu mobilnya, ya, Mbak bobok saja! Sekalian saya siapkan air hangat buat kompres luka lebam kaki dan tangan Mbak Sonya,” kata Fa
Bab 156. Alisya Menggugat Cerai DevaMona belum pulang dari café. Pukul dua belas malam adalah batas waktunya bertugas. Bila lewat dari jam tersebut, maka dia terhitung lembur. Malam ini, karena ada tamu istimewa yang menginap di kamarnya, Mona berencana tak akan mengambil waktu lembur. Sekarang masih pukul sepuluh malam. “Dua jam lagi.” gadis itu berdesis lirih.Sementara di kamar kos-kos an sewaan Mona, seorang pria tampak teronggok sambil memeluk lutut. Dia adalah Deva, tamu istimwea Mona. Lelaki itu tampak begitu lemah, mengulet di atas sebuah kasur kecil berukuran tiga kaki. Suara keroncongan terdengar jelas dari perutnya. Kelaparan, membuat pria itu terjaga dari tidurnya. Perih terasa begitu mengisap. Menekan perut sebelah kiri, Deva merintih kesakitan.“Aaau … sakit …!” jeritnya menggigit bibir bawahnya. Keringat jagung merembes di tengkuk dan pelipis, kemeja yang sudah dua hari melekat di badan, sudah basah oleh peluh. Peluh kesakitan.“Alisya. Sakit, Sya … sakit … Al
Bab 157. Bodyguard Alisya“Sudah beres, Bu Alisya! pengadilan akan segera mengurus semuanya. Panggilan sidang pertama akan segera dilayangkan kepada suami Ibu,” ucap Robin setelah semua urusan di pengadilan agama itu selesai. Pria itu berjalan di sisi Alisya menuju pintu utama.“Iya, Pak Robin. Terima kasih, ya!” sahut Alisya mengulas seuntai senyum. Senyum lega. Sebuah harapan terbit di sanubari. Statusnya tak akan digantung lagi. Sekarang Alisya bertekat akan fokus untuk anak-anak dan mengurus perusahaannya.“Saya akan mulai mengumpulkan bukti-bukti untuk bahan kita melawan kubu suami Ibu di sidang nanti. Bu Alisya fokus bekerja saja, saya yang urus semuanya.”“Baik, sekali lagi terima kasih, Pak Robin.”“Saya boleh bertemu Babysitter Ibu yang bernama Ayu itu? Saya ingin menjadikan dia sebagai saksi atas penculikan terhadap putra ibu. Pelaku penculikan itu adalah suami ibu sendiri, bukan?”“Ya, datang saja ke rumah saya! Bapak sudah tahu alamat saya, bukan?”“Sudah. Pak Da
Bab 157. Alisya Membeli Perusahaan Alina? “Iya, kamu, kan tahu aku dan Mas Robert sama sekali enggak paham tentang perusahaan, apalagi mengelolanya. Pabrik ini juga aku jual ke kamu, kan? Ini juga begitu,” ucap Tiara menjelaskan.“Lho, maksudnya bagaimana ini, aku enggak paham!?”“Tolong, kamu yang bayari dana milik keluarga Mbak Dinda, nah saham di perusahaan yang sudah terlanjur ditanamkan oleh Mas Ardho menjadi milik kamu. Perusahaan mertua kamu itu tak sanggup mengembalikan dana Mas Ardho, ya, kepemilikan perusahan itu jatuh ke tangan kamu, dong. Kebetulan sekali, bukan? Perusahaan milik mertua kamu itu enggak akan jatuh ke tangan orang lain, tapi ke tangan kamu! Seenggaknya putra kamu si Bima, kelak masih punya peninggalan perusahaan nenek buyutnya.”“Begitu, ya? Tapi, Mas Ardhonya setuju enggak?”“Kan, kami memang udah mufakat begitu! Di depan keluarga istrinya, juga di depan papa. Tolong, ya, Sya! Aku enggak tau mesti minta tolong ke siapa lagi. Cuma kamu teman aku yang
Bab 195. TamatSidang ditutup, Alisya duduk lemas di bangkunya. Sidang pertama kasus perceraiannya ini terpaksa ditunda. Terggugat tidak menghadiri sidang. Entah Deva ke mana. Pengadilaan agama memutuskan sidang ditunda dua minggu mendatang.“Ayo, pulang, Ca! Nunggu apa lagi?” Bu Ainy menepuk lembut bahu Alisya.“Iya, Ibu pulang diantar Pak Arul, ya! Ica mau langsung ke kantor.” Alisya meraih tas lalu bangkit perlahan.“Iya, mungkin Deva sudah ada di kantor. Ibu menjadi mikir seribu kali untuk perceraian kalian ini.”“Ibu mikir apa? Kok sampai seribu kali?” tanya Alisya lemas, lalu berjalan keluar ruang sidang. Bu Ainy mengiring di sisinya.“Entahlah, yang jelas Ibu merasa sedih. Akhir-akhir ini Deva sangat berubah. Dia juga terlihat sangat pasrah. Ibu enggak tega, Ca. Apalagi Rena dan Tasya seringkali Ibu pergoki menangis berdua, diam-diam menelpon Deva. Sepertinya mereka juga sangat terpukul dengan rencana perpisahan kalian ini.”“Ya. Tapi itu hanya sebentar. Selanjutnya merek
Bab 194. Alisya Menolak Damar“Naik apa, Pak Deva?” tanya Damar mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman.“Naik ojek saja, Pak. Mari!” sahut Deva tersenyum, lalu melangkah cepat menuju gerbang. Dengan sigap Pak Arul membuka pintu gerbang untuknya. Deva berdiri sambil celingukan ke kanan dan ke kiri. Menunggu ojek yang melintas. Dia harus berhemat. Persediaan uang di dompet sudah semakin menipis. Untuk menyewa taksi terlalu mahal baginya saat ini.Damar dan Alisya menatapnya dengan tatapan miris.“Sebentar, Pak Damar!” ucap Alisya lalu berjalan menuju garasi. Buru-buru membuka pintu mobil, dan masuk ke dalamnya.“Mbak Alisya mau ke mana?” tanya Damar mengikutinya.“Sebentar,” sahut Alisya memundurkan Alphard putih itu, kemudian memutar pelan.Damar hanya menatap bingung, saat mobil itu melaju ke luar gerbang dan berhenti di dekat Deva yang masih menunggu ojek di sana.Pintu samping mobil terbuka. Alisya turun dan berjalan menghampirinya. “Bawa saja mobilnya! Besok pagi cepat d
Bab 193. Alisya Mulai Dilema“Papa mau ke mana?” Rena menghentikan langkah Deva. Mereka baru tiba di kota setelah melakukan perjalanan jauh ke desa Fajar. Deva berniat langsung pulang ke kontrakannya setelah memasukkan mobil ke dalam garasi.Alisya yang sudah berjalan masuk ke dalam rumah ikut menghentikan langkah, menoleh kepada putrinya di teras depan.“Papa pulang dulu, ya, Sayang! Udah hampir malam. Rena mandi, makan, lalu istirahat, ya!” sahut Deva setelah membalikkan badan menghadap gadis kecil yang kini berstatus sebagai putri majikan itu.“Jangan pergi! Papa udah janji sama Rena! Papa akan menjadi pengganti Papa Fajar! Papa udah janji enggak akan pernah pergi lagi! Papa udah janji enggak akan pisah lagi sama Mama! Papa udah janji enggak akan –““Rena! Masuk!” sergah Alisya menghentikan rengekannya.“Tapi, Mama! Papa mau pergi lagi! Papa enggak boleh pergi lagi! Rena mau sama Papa!” Rena tak menghiraukan. Dia malah nekat mengejar Deba, lalu memeluk lengan pria itu.“Rena, m
Bab 192. Jangan Jatuh Cinta Lagi, Alisya!“Pak Deva, hati-hati nyetirnya, ya! Titip Mbak Alisya dan Rena!” titah Damar kepada Deva.“Baik, Pak.” Deva menjawab patuh. Meski cemburu menggigit hati, namun Deva berusaha mengerti. Alisya bukan miliknya lagi. Melainkan milik Damar sesaat lagi. Begitu perceraian mereka diputuskan oleh Pengadilan Agama.“Saya baik-baik saja, Pak Damar. Kalau Bapak sibuk, sebiknya tidak usah ke rumah! Selesaikan saja kasus Sonya!” Alisya berusaha menolak niat Damar secara halus.“Tentu, Mbak. Kasus Bu Sonya akan usut sampai tuntas. Kalau dibiarkan, dia akan tetap menjadi ancaman bagi ketenangan Mbak Alisya. Mbak tenang saja, ya!” Damar tetap berkeras. Alisya hanya bisa diam. Sudah beberapa kali dia mengusir pria ini bila datang ke rumhnya. Berkali sudah dia menunjukkan sikap bahwa dia sama sekali tak membuka hati. Bahkan dia juga sudah menjalin kerja sama dengan Luna, tunangan Damar. Namun, Damar tak surut juga. Pria itu selalu mencari cara dan alasan untu
Bab 191. Kehancuran Sonya di Tangan Sang Selingkuhan“Aku gak selingkuh, Lex, beneran. Aku berani bersumpah, aku enggak mungkin suka sama supirku sendiri,” lirih Sonya membuat Alex makin geram. Tetapi dia tak boleh tunjukkan sekarang. Sonya harus dia taklukkan dulu.“Baik, Sayang! Aku percaya padamu,” ucapnya seraya memeluk wanita itu.“Kamu percaya padaku, Lex?” ulang Sonya melonjak lega. Ada harapan tumbuh di sanubarinya.“Iya, Sayang! Aku percaya. Maaf, jika tadi aku sempat berbuat kasar. Itu kulakukan karena aku sempat begitu cemburu buta. Aku terlalu cinta sama kamu, Sonya. Maafkan aku!”“Iya, Lex. Aku tahu. Aku juga cinta sama kamu. Aku tetap setia hingga detik ini. Aku mau nikah sama kamu. Kamu udah janji mau nikahin aku, kan, Lex?”“Iya, Sayang! Tapi secara siri dulu, ya! Kamu tahu aku belum bisa menceraikan istriku, kan? Meski begitu, kamu adalah wanita yang paling istimewa bagiku. Kau adalah ratuku, Sayang!”“Ya, udah. Nikah siri juga gak apa-apa. Tolong selamatkan aku, y
Bab 190. Polisi Mengejar Sonya“Sakit, Lex! Ammpun …!” rintih Sonya saat Alex menghujamkan miliknya di bagian sensitif tubuh Sonya. Pria itu bergerak dengan cepat dan liar di atas tubuh wanita itu. Semakin Sonya merintih kesakitan, semakin kencang gerakannya. Kesakitan Sonya adalah hiburan baginya. Semakin kencang tangis Sonya, semakin terbang dia ke surga kenikmatan. Alex bagai kesetanan. Terbang semakin tinggi, hingga rintihan Sonya terdengar hanya sayup-sayup samar.Dan saat dia sampai pada pelepasan yang ke sekian kalinya, baru dia menyudahinya. Pria itu ambruk di samping tubuh telanj*ng Sonya denga peluh membasahi sekujur badan. Alex merasa harga dirinya kembali setelah dikhianati. Senyum penuh kepuasan tersungging di bibirnya.“Bagaimana, lebih hebat siapa? Aku atau supir kesayanganmu itu, hem?’ bisiknya seraya menggigit daun telinga Sonya.Wanita itu bergeming. Jangankan untuk bersuara, bernafas saja dia merasa sangat tersiksa. Sakit di sekujur tubuh terutama di areal kewan
Bab 189. Sonya Di Markas Alex“Terima kasih ya, Allah! Engkau telah mengembalikan Papa buat Rena. Semoga papa dan mama tidak pernah berpisah lagi, aamiin,” ucap Rena menengadahkan kedua tangannya ke langit, lalu mengusap wajah dengan telapak tangan setelah kata amin.“Sayang, ada yang mau mama bilang, tolong Rena dengar baik-baik, ya!” kata Alisya ingin menjelaskan kesalah pahaman putrinya.“Iya, Ma. Rena akan dengar.” Rena segera memasang wajah serius.“Begini sebenarnya, antara mama dan papa Deva, kami ….”“Maaf, Bu Alisya, tolong pikirkan dulu sebelum mengatakan apa-apa!” Deva memotong ucapan Alisya. Alisya tercekat. Bibirnya terkatup rapat.“Ingat, kita ke sini untuk menjemput Rena dan membawanya ke rumah sakit, bukan? Bagaimana perasaannya bila tahu yang sebenarnya, sedangkan kondisi Fajar tak mungkin kita tutupi darinya. Dia akan sangat kecewa. Tentang kita, kita bisa menunda menjelaskan padanya. Tapi tentng Fajar, kita harus jujur,” lanjut Deva lagi.Alisya menelan saliva. A
Bab 188. Binar Bahagia Di Mata Rena“Beberapa personil akan menjemput Bu Sonya, Mbak Alisya mau ke mana sekarang?” tanya Damar mengiringi langkah Alisya keluar dari kantor polisi itu. Deva sengaja berjalan agak jauh, pria itu belum bisa berucap apa-apa pada Alisya. Rencana Sonya yang hendak melenyapkan Alisya masih sangat mengejutkannya, juga membuatnya merasa sangat bersalah pada Alisya.“Saya mau pulang, mau menenangkan diri dulu. Terima kasih atas bantuan Bapak, selanjutnya saya mau Sonya diproses segera. Hari ini mungkin dia gagal melenyapkan saya, tapi besok, bisa saja dia mengulanginya!” jawab Alisya langsung menuju mobilnya.Deva buru-buru membukakan pintu mobil untuknya. Alisya masuk dan menyenderkan tubuh lemasnya di sandaran kursi.“Baik, Mbak pulang dulu! Istirahat saja di rumah. Saya akan urus semuanya. Tolong nanti kirim nomor keluarga Pak Fajar, ya!” pinta Damar berdiri tepat di samping jendela mobil, pria itu melongokkan kepalanya ke dalam, ke dekat Alisya.Deva yang
Bab 187. Pengkuan Ayu di Kantor Polisi“Saya ikut?” tanya Deva menunjuk dadanya. Alisya tak menyahut, dia langsung berjalan mendahului ke luar ruangan. Memberi instruksi kepada Deby lalu langsung menuju lif. Seperti orang bingung, Deva mengikutinya. Namun, saat Alisya menuju areal parkir, pria itu menghentikan langkah.“Bapak nunggu apa?” tanya Alisya kembali menghampirinya.“Eeem, saya lupa kalau saya sudah tak punya mobil. Maaf, saya naik taksi saja. Kita jumpa di kantor polisi. Saya duluan,” jawab Deva lalu melangkah pergi.“Maaf, Pak Deva! Pakai mobil saya saja!” Alisya menghentikannya. Deva berbalik. “Bapak yang nyetir!” titah Alisya menyodorkan kunci mobilnya.Ragu Deva meraihnya. Betapa harga dirinya serasa remuk redam. Akan lebih terhormat rasanya bila dia naik angkot saja, daripada menumpang di mobil mantan istrinya. Namun, ini adalah perintah dari sang Direktur Utama. Jika membantah, dia khawatir kehilangan pekerjaan.Dengan langkah berat dia berjalan menuju areal parkir VI