Bab 146. Video Rekaman Sonya Di Ponsel RajaDeva segera berbalik dan berjalan buru-buru menuju mobilnya. Dengan kecepatan tinggi mobil itu melaju membelah jalan raya. Meraih ponsel miliknya, dia lalu memanggil nomor Alina.“Halo Dev, kamu di mana, Nak? Kebetulan sekali kamu nelpon Mama? Mama mau menanyakan tentang gugatan cerai kamu kepada Alisya. Kenapa belum kamu daftarkan juga, Dev? Kamu udah janji, kan hari ini?” Terdengar suara Alina dari ujung sana.Deva menelan ludah. Ibunya yang egois kembali menuntut. Padahal Deva sedang sangat murka. Dia ingin melampiaskan kekesalannya. Tetapi ibunya malah lebih dulu menyerangnya.“Kenapa diam, Nak? Eeem, kamu masih menundanya karena Alisya baru keguguran, ya? Ok, kalau begitu mama maklum. Tetapi, mama harap kamu jangan mundur, ya! Agar kamu bisa segera menikahi Sonya. Kamu tahu, kan, kalau perusahaan kita sedang tidak baik, Nak! Kita butuh suntikan dana yang besar. Saat ini Sonya adalah harapan kita satu-satunya. Om Rahman pasti akan m
Bab 147. Alina Lemas Saat Tahu Alisya Yang Membeli Rumahnya“Astaga! Ini ini … ini pasti bukan Sonya! Sonya tak mungkin mau melakukan hal serendah ini! Ini pasti editan!” seru Alina menggeleng tak percaya. Deva sontak merebut ponsel Raja yang masih di tangan ibunya. Kedua matanya membulat sempurna demi melihat layar.“Raja! Kau? Kau yang mengambil video ini secara langsung?” sergahnya masih tak percaya.“Iya, Mas! Sudah lama aku ingin melaporkan ini pada Mas Deva, tapi waktunya tidak tepat.” Raja meraih kembali ponsel miliknya lalu menyimpannya kembali di dalam saku.“Ini bukan editan, Mas, tapi asli. Waktu itu aku dengar kabar Alisya minggat dari rumah Dr. Ilham. Aku mencarinya ke mana-mana karena khawatir dia akan terlunta-lunta di jalanan. Salah satu alternatifnya adalah ke rumah Fajar. Karena menurutku Rena dalah putri Fajar. sangat wajar kalau Alisya membawa Rena ke sana. Sebab waktu itu Intan dan ibunya juga masih ada di rumah Fajar. Tetapi yang kutemu di sana bukan Alisy
Bab 148. Alina Mencek*k Leher Tasya“Apa? Tidak mungkin!” pekik Alina lemas. “Alisya tak mungkin sanggup membeli rumah itu! Siapa dia rupanya, ha?” imbuhnya masih tak percaya.“Ya, Mama benar! Alisya bukan siapa-siapa! Di dunia ini hanya Mama satu-satunya manusia paling hebat! Ini kunci mobil Mama! Nikmati semua harta Mama! Aku pergi!” Deva meletakkan kunci mobil BMW yang biasa dia kendarai di atas kasur, tepat di samping ibunya. Lalu melenggang pergi.Alina tak lagi bersuara.“Puas Mama sekarang? Mama terlalu merendahkan Alisya! Lihat dia sekarang, Ma! Dia berhasil membangun perusahaan yang sama dengan milik Mama! Perusahaan yang ternacam gulung tikar milik sahabat kuliahnya dulu, berhasil dia kembangkan hingga maju pesat. Bahkan hampir semua pelanggan prusahaan Mama kini berpindah kepadanya. Dan yang paling menyedihkan, dia pula yang membeli rumah pribadi yang harusnya dia tempati bersama Mas Deva!!” sentak raja ikut melapiaskan kekecewaannya.“Mama tidak percaya! Itu tidak be
Bab 149. Keperihan Hati RajaRaja menepikan mobilnya di depan gerbang sebuah rumah mewah di kawasan Polonia. Pria itu mengedarkan pandangan ke dalam halaman luas di balik pagar besi nan kokoh yang terpasang di sekeliling rumah megah itu. Sebuah rumah bergaya Eropa berlantai tiga.Sebuah mobil mewah terparkir di sana. Raja memicingkan kedua kelopak mata, seperti pernah melihat mobil mewah itu, tapi di mana dia lupa. Apakah Alisya sudah demikian makmurnya hingga bisa memiliki mobil semewah itu juga?“Maaf, Pak? Bapak mau bertemu siapa?” Seorang pria empat puluh tahunan yang berjaga di pos depan datang menghampiri ke sisi gerbang bagian dalam. Tanpa membuka pintu gerbang Pak Arul memindai penampilan Raja. Pria itu seperti pernah melihat sang tamu, namun kapan dan di mana? “Hey, bukankah Bapak yang di rumah sakit tadi pagi? Bapak yang bersama ibu-ibu gemuk dan super angkuh itu, iyakan?” terka Pak Arul begitu yakin. “Yang menghina dan marah“Eh, iya, Bapak … supirnya Pak Damar, poli
Bab 150. Rahasia Keguguran Alisya Terbongkar“Mama ikut!” Alisya baru saja menaikkan sebelah kakinya ke dalam mobil, Adante yang sudah terbangun langsung mengejar.“Jangan-lari, Sayang! Nanti jatuh, lho! Iya, mama tunggu! Yu, kamu ikut juga, sini!” Alisya memanggil babysiternya. Segera gadis itu menyusul, masuk dan duudk di bangku tengah. Alisya menggendong Adante duduk di bangku depan, di samping Pak Arul.“Kita ke rumah sakit, ya, Pak!” titah Alisya saat mbil sudah melaju keluar dari gerbang. “Baik, Bu!” sahut pria itu patuh. Mobil Raja mengiring di belakang.Ponsel Alisya berdering belum juga dua menit perjalanan. Nama Damar menari-nari di layar benda pipih itu. “Hallo, Pak Damar!” jawab Alisya setelah mengusap layar.“Maaf, Mbak! Sebaiknya Mbak jangan banyak bergerak dulu, Mbak baru saja sembuh, bukan? Saya khawatir, Mbak kenapa napa di jalan.”“Oh?” Sontak Alisya menoleh kepada sang Supir. pria itu mengangguk, wajahnya sedikit memucat.“I-iya, pak Damar. saya ke rumah saki
Bab 151. Rencana Alisya Menggugat Cerai Deva“Apa? Saya keguguran? Maksudnya?” sontak Alisya meraba perutnya. Wanita itu menoleh ke arah Raja. Mencoba mencari penjelasan kepada pria itu.“Kamu, kamu … seperti bingung? Kenapa?” Raja ikut bingung melihat ekspresinya.“Papa bilang apa? Aku keguguran?” tanya Alisya lirih.“Apakah kamu belum tahu, maksudku … astaga, jadi, mereka masih merahasiakan ini darimu? Alisya, oh, maksudku, aku dan papa yang salah berarti. Kami kira kamu sakit dan terpaksa dirawat waktu itu karena keguguran, kami hanya menerka, tolong kamu jangan langsung percaya, ya!” bujuk Raja semakin panik.Alisya terdiam, kepalanya mendadak pening. Kedua tangannya memijit di kening. Pandangannya mulai berkunang-kunang.“Sya, kamu baik-baik saja, kan?” Raja mendekatinya. Mencoba meraih dan menggenggam tangannya. Berharap Alisya tidak kenapa-napa.“Permisi! Mbak Alisya, apakah urusannya sudah selesai?” Seorang pria berseragam tiba-tiba menerobos masuk. “Pak Damar?” Raja meno
Bab 152. Perhatian Damar Pada Alisya“Sudah, tak apa-apa!” Damar menggenggam tangan Alisya, lalu menurunkan dari bahunya. Dengan tetap menggenggam, dia membawa tangan Alisya ke pangkuannya. “Sudahi tangisnya!” ucapnya lembut, lalu kembali menyeka pipi wanita itu dengan ujung jemarinya.“Em, terima kasih banyak!” jawab Alisya pelan. Tangis tersendatnya terhenti sudah. Sentyhan jemari Damar mampu ciptakan damai di hatinya. Tatapan lembut penuh perhatian mata tegas Damar mampu meniup sedu di relung jiwa. Alisya merasa tak sendirian. Alisya merasa ada yang menopang.“Mbak merasa lebih baik sekarang? Bagaimana kalau kita turun, minum yang hangat –hangat sepertinya bagus buat kesehatan Mbak?” Damar menawarkan.“Emm, boleh.”“Baik, saya duluan turun, biar saya bukakan pintunya buat Mbak.”“Saya bisa turun sendiri, Pak Damar.”“Jangan, Mbka Alisya masih lemah. Saya khawatir Mbak tiba-tiba pusing lalu jatuh. Tunggu, ya!” Baru saja Dapar hendak membuka pintu mobil di sebelahnya, ponselnya ti
Bab 153. Keputusan Damar, Bukan Karena Alisya“Bapak bilang apa barusan?” Alisya mengulang pertanyaannya.“Aku mau menyudahi pertunangan tak sehat ini. Aku bilang begitu tadi, kenapa? Ada yang aneh dengan kalimatku?” Damar menoleh, menatap Alisya dengan lekat.“Eeem, tidak! Maksud saya, saya tak berhak ikut campur! Saya bukan siapa-siapa Pak Damar. Saya juga tidak kenal Mbak Luna atau keluarga Bapak. Cuma saran saya, kalau bisa tolong pikirkan dulu baik-baik keputusan Bapak itu. Pertunangan itu adalah sesuatu yang sakral. Antara Bapak dan Mbak Luna pasti telah terjadi sesuatu yang begitu dalam sehingga kalian sampai kepada tahap pertunangan. Kedua keluarga kalian juga sudah setuju dan menyepakati. Tinggal selangkah lagi, kalian akan ke pelaminan. Jangan buru-buru memutuskan pertunangan, itu saran saya, Pak! Maaf, bila saya agak lancang,” tukas Alisya panjang lebar.“Terima kasih atas saran Mbak! tetapi, maaf, saya tak bisa mengindahkannya. Keputusan saya sudah bulat. Saya suda
Bab 195. TamatSidang ditutup, Alisya duduk lemas di bangkunya. Sidang pertama kasus perceraiannya ini terpaksa ditunda. Terggugat tidak menghadiri sidang. Entah Deva ke mana. Pengadilaan agama memutuskan sidang ditunda dua minggu mendatang.“Ayo, pulang, Ca! Nunggu apa lagi?” Bu Ainy menepuk lembut bahu Alisya.“Iya, Ibu pulang diantar Pak Arul, ya! Ica mau langsung ke kantor.” Alisya meraih tas lalu bangkit perlahan.“Iya, mungkin Deva sudah ada di kantor. Ibu menjadi mikir seribu kali untuk perceraian kalian ini.”“Ibu mikir apa? Kok sampai seribu kali?” tanya Alisya lemas, lalu berjalan keluar ruang sidang. Bu Ainy mengiring di sisinya.“Entahlah, yang jelas Ibu merasa sedih. Akhir-akhir ini Deva sangat berubah. Dia juga terlihat sangat pasrah. Ibu enggak tega, Ca. Apalagi Rena dan Tasya seringkali Ibu pergoki menangis berdua, diam-diam menelpon Deva. Sepertinya mereka juga sangat terpukul dengan rencana perpisahan kalian ini.”“Ya. Tapi itu hanya sebentar. Selanjutnya merek
Bab 194. Alisya Menolak Damar“Naik apa, Pak Deva?” tanya Damar mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman.“Naik ojek saja, Pak. Mari!” sahut Deva tersenyum, lalu melangkah cepat menuju gerbang. Dengan sigap Pak Arul membuka pintu gerbang untuknya. Deva berdiri sambil celingukan ke kanan dan ke kiri. Menunggu ojek yang melintas. Dia harus berhemat. Persediaan uang di dompet sudah semakin menipis. Untuk menyewa taksi terlalu mahal baginya saat ini.Damar dan Alisya menatapnya dengan tatapan miris.“Sebentar, Pak Damar!” ucap Alisya lalu berjalan menuju garasi. Buru-buru membuka pintu mobil, dan masuk ke dalamnya.“Mbak Alisya mau ke mana?” tanya Damar mengikutinya.“Sebentar,” sahut Alisya memundurkan Alphard putih itu, kemudian memutar pelan.Damar hanya menatap bingung, saat mobil itu melaju ke luar gerbang dan berhenti di dekat Deva yang masih menunggu ojek di sana.Pintu samping mobil terbuka. Alisya turun dan berjalan menghampirinya. “Bawa saja mobilnya! Besok pagi cepat d
Bab 193. Alisya Mulai Dilema“Papa mau ke mana?” Rena menghentikan langkah Deva. Mereka baru tiba di kota setelah melakukan perjalanan jauh ke desa Fajar. Deva berniat langsung pulang ke kontrakannya setelah memasukkan mobil ke dalam garasi.Alisya yang sudah berjalan masuk ke dalam rumah ikut menghentikan langkah, menoleh kepada putrinya di teras depan.“Papa pulang dulu, ya, Sayang! Udah hampir malam. Rena mandi, makan, lalu istirahat, ya!” sahut Deva setelah membalikkan badan menghadap gadis kecil yang kini berstatus sebagai putri majikan itu.“Jangan pergi! Papa udah janji sama Rena! Papa akan menjadi pengganti Papa Fajar! Papa udah janji enggak akan pernah pergi lagi! Papa udah janji enggak akan pisah lagi sama Mama! Papa udah janji enggak akan –““Rena! Masuk!” sergah Alisya menghentikan rengekannya.“Tapi, Mama! Papa mau pergi lagi! Papa enggak boleh pergi lagi! Rena mau sama Papa!” Rena tak menghiraukan. Dia malah nekat mengejar Deba, lalu memeluk lengan pria itu.“Rena, m
Bab 192. Jangan Jatuh Cinta Lagi, Alisya!“Pak Deva, hati-hati nyetirnya, ya! Titip Mbak Alisya dan Rena!” titah Damar kepada Deva.“Baik, Pak.” Deva menjawab patuh. Meski cemburu menggigit hati, namun Deva berusaha mengerti. Alisya bukan miliknya lagi. Melainkan milik Damar sesaat lagi. Begitu perceraian mereka diputuskan oleh Pengadilan Agama.“Saya baik-baik saja, Pak Damar. Kalau Bapak sibuk, sebiknya tidak usah ke rumah! Selesaikan saja kasus Sonya!” Alisya berusaha menolak niat Damar secara halus.“Tentu, Mbak. Kasus Bu Sonya akan usut sampai tuntas. Kalau dibiarkan, dia akan tetap menjadi ancaman bagi ketenangan Mbak Alisya. Mbak tenang saja, ya!” Damar tetap berkeras. Alisya hanya bisa diam. Sudah beberapa kali dia mengusir pria ini bila datang ke rumhnya. Berkali sudah dia menunjukkan sikap bahwa dia sama sekali tak membuka hati. Bahkan dia juga sudah menjalin kerja sama dengan Luna, tunangan Damar. Namun, Damar tak surut juga. Pria itu selalu mencari cara dan alasan untu
Bab 191. Kehancuran Sonya di Tangan Sang Selingkuhan“Aku gak selingkuh, Lex, beneran. Aku berani bersumpah, aku enggak mungkin suka sama supirku sendiri,” lirih Sonya membuat Alex makin geram. Tetapi dia tak boleh tunjukkan sekarang. Sonya harus dia taklukkan dulu.“Baik, Sayang! Aku percaya padamu,” ucapnya seraya memeluk wanita itu.“Kamu percaya padaku, Lex?” ulang Sonya melonjak lega. Ada harapan tumbuh di sanubarinya.“Iya, Sayang! Aku percaya. Maaf, jika tadi aku sempat berbuat kasar. Itu kulakukan karena aku sempat begitu cemburu buta. Aku terlalu cinta sama kamu, Sonya. Maafkan aku!”“Iya, Lex. Aku tahu. Aku juga cinta sama kamu. Aku tetap setia hingga detik ini. Aku mau nikah sama kamu. Kamu udah janji mau nikahin aku, kan, Lex?”“Iya, Sayang! Tapi secara siri dulu, ya! Kamu tahu aku belum bisa menceraikan istriku, kan? Meski begitu, kamu adalah wanita yang paling istimewa bagiku. Kau adalah ratuku, Sayang!”“Ya, udah. Nikah siri juga gak apa-apa. Tolong selamatkan aku, y
Bab 190. Polisi Mengejar Sonya“Sakit, Lex! Ammpun …!” rintih Sonya saat Alex menghujamkan miliknya di bagian sensitif tubuh Sonya. Pria itu bergerak dengan cepat dan liar di atas tubuh wanita itu. Semakin Sonya merintih kesakitan, semakin kencang gerakannya. Kesakitan Sonya adalah hiburan baginya. Semakin kencang tangis Sonya, semakin terbang dia ke surga kenikmatan. Alex bagai kesetanan. Terbang semakin tinggi, hingga rintihan Sonya terdengar hanya sayup-sayup samar.Dan saat dia sampai pada pelepasan yang ke sekian kalinya, baru dia menyudahinya. Pria itu ambruk di samping tubuh telanj*ng Sonya denga peluh membasahi sekujur badan. Alex merasa harga dirinya kembali setelah dikhianati. Senyum penuh kepuasan tersungging di bibirnya.“Bagaimana, lebih hebat siapa? Aku atau supir kesayanganmu itu, hem?’ bisiknya seraya menggigit daun telinga Sonya.Wanita itu bergeming. Jangankan untuk bersuara, bernafas saja dia merasa sangat tersiksa. Sakit di sekujur tubuh terutama di areal kewan
Bab 189. Sonya Di Markas Alex“Terima kasih ya, Allah! Engkau telah mengembalikan Papa buat Rena. Semoga papa dan mama tidak pernah berpisah lagi, aamiin,” ucap Rena menengadahkan kedua tangannya ke langit, lalu mengusap wajah dengan telapak tangan setelah kata amin.“Sayang, ada yang mau mama bilang, tolong Rena dengar baik-baik, ya!” kata Alisya ingin menjelaskan kesalah pahaman putrinya.“Iya, Ma. Rena akan dengar.” Rena segera memasang wajah serius.“Begini sebenarnya, antara mama dan papa Deva, kami ….”“Maaf, Bu Alisya, tolong pikirkan dulu sebelum mengatakan apa-apa!” Deva memotong ucapan Alisya. Alisya tercekat. Bibirnya terkatup rapat.“Ingat, kita ke sini untuk menjemput Rena dan membawanya ke rumah sakit, bukan? Bagaimana perasaannya bila tahu yang sebenarnya, sedangkan kondisi Fajar tak mungkin kita tutupi darinya. Dia akan sangat kecewa. Tentang kita, kita bisa menunda menjelaskan padanya. Tapi tentng Fajar, kita harus jujur,” lanjut Deva lagi.Alisya menelan saliva. A
Bab 188. Binar Bahagia Di Mata Rena“Beberapa personil akan menjemput Bu Sonya, Mbak Alisya mau ke mana sekarang?” tanya Damar mengiringi langkah Alisya keluar dari kantor polisi itu. Deva sengaja berjalan agak jauh, pria itu belum bisa berucap apa-apa pada Alisya. Rencana Sonya yang hendak melenyapkan Alisya masih sangat mengejutkannya, juga membuatnya merasa sangat bersalah pada Alisya.“Saya mau pulang, mau menenangkan diri dulu. Terima kasih atas bantuan Bapak, selanjutnya saya mau Sonya diproses segera. Hari ini mungkin dia gagal melenyapkan saya, tapi besok, bisa saja dia mengulanginya!” jawab Alisya langsung menuju mobilnya.Deva buru-buru membukakan pintu mobil untuknya. Alisya masuk dan menyenderkan tubuh lemasnya di sandaran kursi.“Baik, Mbak pulang dulu! Istirahat saja di rumah. Saya akan urus semuanya. Tolong nanti kirim nomor keluarga Pak Fajar, ya!” pinta Damar berdiri tepat di samping jendela mobil, pria itu melongokkan kepalanya ke dalam, ke dekat Alisya.Deva yang
Bab 187. Pengkuan Ayu di Kantor Polisi“Saya ikut?” tanya Deva menunjuk dadanya. Alisya tak menyahut, dia langsung berjalan mendahului ke luar ruangan. Memberi instruksi kepada Deby lalu langsung menuju lif. Seperti orang bingung, Deva mengikutinya. Namun, saat Alisya menuju areal parkir, pria itu menghentikan langkah.“Bapak nunggu apa?” tanya Alisya kembali menghampirinya.“Eeem, saya lupa kalau saya sudah tak punya mobil. Maaf, saya naik taksi saja. Kita jumpa di kantor polisi. Saya duluan,” jawab Deva lalu melangkah pergi.“Maaf, Pak Deva! Pakai mobil saya saja!” Alisya menghentikannya. Deva berbalik. “Bapak yang nyetir!” titah Alisya menyodorkan kunci mobilnya.Ragu Deva meraihnya. Betapa harga dirinya serasa remuk redam. Akan lebih terhormat rasanya bila dia naik angkot saja, daripada menumpang di mobil mantan istrinya. Namun, ini adalah perintah dari sang Direktur Utama. Jika membantah, dia khawatir kehilangan pekerjaan.Dengan langkah berat dia berjalan menuju areal parkir VI